بِسْــــــــــــــــــمِ اﷲِالرَّحْمَنِ اارَّحِيم
Ada yang suka nulis?
Iya dong, di sekolah tiap hari
aku nulis.
Itu
sih udah pastiii -___- Bukan itu maksutnyah --“
Terus?
Maksutnya
nulis karya gitu. Karya fiksi kayak novel atau cerpen. Kalau nonfiksinya yaaa
kayak esai atau artikel gituuu.
Oooohh,
iya aku suka-suka. Tapiiii ....
Tapi
apa?
Tapi
aku belum PD sama tulisanku
Wah berarti kamu harus BANGET baca buku ini.
Buku apaan?
Buku 101
Dosa Penulis Pemula. Buku ini serius bagus untuk melatih kemampuan menulis.
Bisa juga dijadikan bahan evaluasi untuk karya-karya kita yang sudah ditulis
sebelumnya. Setelah membaca buku ini, aku sampai terkaget-kaget karena sadar
ternyata banyak sekali dosa yang menjangkiti tulisan-tulisanku O.OV
Yasudahlah,
mending langsung aja ya ke postingannya. Postingan ini sebenarnya
tugas resume buku dari mata kuliah Bahasa Indonesia, tapiii ya karena
aku ingin berbagi pengetahuan sama kalian semua, terutama buat kalian yang belum
baca bukunya, ya semoga resume buku ini bisa ngebantu kalian buat ngelatih kemampuan
menulis. Oya, contoh-contoh cerita yang disertakan pada setiap “dosa” itu
tulisanku sendiri ya, hehe. Eh, bukan maksud apa-apa, maksudnya mau ngasih tahu
kalian aja kalau dalam resume ini gak semuanya bahasa buku, tapi
didominasi juga sama tulisan sendiri :3 Pokoknya buku ini recommended bangeeet
^^b
Judul : 101 Dosa Penulis
Pemula
Penulis : Isa Alamsyah
Penulis : Isa Alamsyah
Penerbit : Asma Nadia
Publishing House (ANPH)
Tahun : Juni 2014
Tebal : 336 hal
ISBN : 978-602-9055-24-5
Tahun : Juni 2014
Tebal : 336 hal
ISBN : 978-602-9055-24-5
1. Lima Dosa Utama: Pengulangan Kata atau
Gaya yang Sama
“.... Napoleon yang merupakan Jenderal dan
Kaisar Prancis yang merupakan pencetus The
Lousiana Purchase yang
merupakan sebidang tanah luas milik Prancis di Amerika Utara dimana
tanah itu dijual oleh Napoleon
untuk menutupi defisit anggaran di Prancis ....”
Aku mengakhiri presentasi
tentang sejarah Revolusi Prancis yang ku bawakan
di hadapan teman-teman ku.
Begitu sesi pertanyaan ku buka,
mereka langsung mengajukan
beberapa pertanyaan kepada ku.
Setelah ku tunjuk, Fambi
langsung berkata,
“Dapatkah Anda
menjelaskan bagaimana proses Lousiana Purchase yang telah Anda katakan dalam
presentasi Anda?”
Jika diteliti, narasi pendek di atas dijangkiti beberapa
dosa yang terbilang cukup fatal dimana banyak terjadi reduplikasi kata serupa
yang memberi kesan monoton pada saat dibaca.
Kata yang diberi tanda berwarna kuning disebut dengan serangan nama karena nama
serupa diulang dalam satu kalimat pendek. Bukankah dalam bahasa Indonesia
terdapat beberapa macam kata ganti yang dapat dijadikan alternatif?
Begitu juga
dengan serangan aku,
kesalahan ini paling banyak dan nyaris dilakukan semua penulis pemula yang menggunakan
POV aku dalam tulisannya. Pada narasi
tersebut didapatkan sampai tiga serangan aku dalam satu kalimat, padahal serangan
tersebut bisa dipangkas agar kalimat lebih efektif dengan menghilangkan atau
menggantinya oleh variasi kata yang lain. Dalam penulisannya pun terdapat
kesalahan, karena penulisan ku
seharusnya menempel dengan dengan kata sesudah atau sebelumnya. Serangan ini
hampir serupa dengan serangan
anda yang lebih banyak ditemukan dalam penulisan artikel atau buku
motivasi.
Kata langsung dan Prancis dengan warna biru tua menunjukkan serangan kata sama karena salah satu dari kata
tersebut dapat digantikan dengan bentuk lain yang memiliki arti sepadan.
Tulisan
akan terasa kurang kreatif jika terjangkit kecenderungan gaya yang sama seperti narasi di atas
yang mempunyai tiga buah kata yang
merupakan dalam kalimat pendek.
Kelima dosa
tersebut sebenarnya dapat disebut dosa yang serupa namun dalam bentuk yang
berbeda-beda. Setiap penulis harus bisa menemukan kelemahan sendiri agar tidak
terjebak pada reduplikasi kata sehingga tulisannya tidak membosankan. Ada
baiknya untuk membaca ulang keseluruhan karya dengan sangat teliti sambil
menghitung virus-virus yang menjangkiti setiap kata. Setelah serangan dari
virus tersebut terkumpul maka gantilah dengan pilihan kata lain dengan padanan
yang sama atau bahkan jika perlu untuk menghilangkannya. Dalam bentuk verbal serangan
reduplikasi mungkin tidak terlalu dipermasalahkan, namun dalam bentuk tulisan
justru sangat mengganggu jika kata serupa diulang berkali-kali dan memenuhi
satu halaman sehingga memudarkan esensi dari sebuah karya.
“.... Napoleon merupakan
Jenderal dan Kaisar Prancis pencetus The Lousiana Purchase ketika sebidang
tanah luas milik Prancis di Amerika Utara dijual olehnya untuk menutupi defisit
anggaran di negeri Menara Eiffel itu ....”
Aku
mengakhiri presentasi tentang sejarah Revolusi Prancis di hadapan teman-teman.
Begitu sesi pertanyaan dibuka, mereka kontan mengajukan beberapa pertanyaan.
Setelah kutunjuk, Fambi langsung berkata, “Dapatkah Anda menjelaskan bagaimana
proses Lousiana Purchase yang telah dikatakan dalam presentasi?”
Bagaimana
perbedannya?
2. Lima Dosa Akibat Kalimat Tidak Efektif
atau Tidak Selektif
“Asti.”
Gadis
berkerudung itu langsung menolehkan
kepala begitu mendengar seseorang memanggil namanya.
Sesosok
lelaki sipit berwajah oval berjalan mendekat dan memberi salam, “Assalamualaikum.”
Asti pun menjawab salamnya, “Waalaikumsalam
Fambi. Ada apa?”
Fambi
tak langsung menjawab, ia membuka tas dengan banyak buku-buku yang memenuhinya kemudian
menyerahkan secarik kertas pada teman perempuannya itu seraya berkata, “Sangat amat banyak terima kasih.
Catatan ini sungguh sangat
membantuku. Mau pulang bareng?
Di bawah langit sore pukul empat
sepulang sekolah itu, mereka berjalan bersama meninggalkan sekolah mereka.
Kalimat yang efektif dan efisien serta selektif adalah
kalimat yang tidak perlu menjelaskan
sesuatu yang sudah jelas seperti menolehkan
kepala. Meski gaya seperti ini kadang masih dibenarkan dalam fiksi untuk
konteks penekanan atau hal lain namun jika penggunaannya berlebihan akan
membuat tulisan menjadi aneh.
Menjamakkan
yang sudah jamak juga salah satu bentuk ketidakefektifan kalimat yang
sering dilakukan penulis pemula yang terkesan tidak mengeti tata bahasa. Kata banyak buku-buku pada narasi di atas menjadi
contoh riil dalam serangan dosa ini.
Sangat amat banyak
terima kasih. Catatan ini sungguh sangat membantuku. Penggunaan sangat, amat, sungguh sudah menunjukkan
kekuatan dalam suatu kalimat dan jika ditambah lagi malah tampak berlebihan dalam memberi tekanan.
Dalam budaya lisan boleh saja dipakai karena masih mungkin masuk di dialog
sebagai bagian karakter tokoh, namun jika dipakai dalam narasi atau deskripsi akan
terlihat berlebihan dan tidak efektif.
Assalamualaikum
merupakan ekspresi ungkapan salam dan untuk menghindari dosa mengulang keterangan yang sudah
diterangkan sebaiknya memilih salah satu antara menjelaskan dalam dialog
atau narasi karena tak perlu dilekatkan dalam keduanya.
Di bawah langit sore
pukul empat sepulang sekolah itu, mereka berjalan bersama meninggalkan sekolah
mereka. Ketidak
selektifan cara penulis dalam mendeskripsikan suatu keadaan dalam cerita
mengakibatkan hasil tulisan jadi bertele-tele dan terkesan dipanjang-panjangkan.
Untuk
mengatasi lima dosa di bagian kedua ini penulis harus lebih peka dan selektif
dalam memilih dan memilah kata serta informasi sehingga semua yang tersaji
dalam tulisan benar-benar dibutuhkan. Lihat perbandingannya.
“Asti.”
Gadis
berkerudung itu langsung menoleh begitu mendengar seseorang memanggil namanya.
Sesosok
lelaki sipit berwajah oval berjalan mendekat dan memberi salam.
“Waalaikumsalam Fambi.
Ada apa?”
Fambi
tak langsung menjawab, ia membuka tas dengan buku-buku yang memenuhinya
kemudian menyerahkan secarik kertas pada teman perempuannya itu seraya berkata,
“Terima kasih banyak. Catatan ini sangat membantuku. Mau pulang bareng?
Di
bawah langit sore itu, mereka berjalan bersama meninggalkan sekolah.
3. Empat Dosa dalam Ide
Bumi seakan berhenti
berputar saat mimpi yang telah digantungkan setinggi langit seketika lenyap
ditelan kemarahan wanita berambut putih di hadapannya. Dengan langkah
diseret-seret dan gaun mewah yang menjuntai menyapu pasir yang dipijaknya, ia
menghampiri wanita berpakaian lusuh itu lalu berkata, “Kau ibu dari suamiku?
Kau mertuaku?”
Wanita
tua itu hanya mengangguk bersama isakan sesal karena perkataan mustajabnya.
Istri
Malin Kundang merogoh selembar foto usang dari dalam saku bajunya dan
tercengang kaget mendapati perbedaan wajah dalam foto dengan orang yang kini
berdiri di hadapannya. “Sejak kapan ibu memakai kawat gigi? Pantas saja suamiku
tidak mengenalimu. Kau malah mengutuknya dalam kebingungan. Kau juga telah
membuatku menjadi seorang janda dan menghancurkan mimpi yang telah kami ukir
untuk hidup bahagia bersamamu di kampung ini.”
Ibu
Malin Kundang merasa ditampar oleh perkataan menantunya. Ia meraba giginya dan
tersentak kaget saat merasakan behel dengan karet Hello Kitty masih bertengger
dengan manisnya memagari dereten gigi setengah ompong itu. “Maafkan Ibu. Ibu
lupa melepas kawat gigi Hello Kitty yang baru dipasang kemarin.”
Menemukan ide merupakan langkah awal paling penting dalam
menulis. Jika sudah menemukan ide lengkap, maka bisa dikatakan kita sudah menyelesaikan
50% proses sebuah tulisan. Ide bisa berupa ide cerita, terkait tema atau judul,
dan karakter. Penulis harus selalu membuka diri untuk menyerap dan menemukan
ide, atau memunculkan ide dari diri sendiri yang unik, tidak klise, bukan
pasaran, dan spesial. Pertanyaan yang muncul dari benak seorang penulis
harusnya bermula dari:
“Apa yang akan saya tulis?”
“Apa yang membedakannya dari tulisan yang sudah ada?”
“Bagaimana membuat tulisan saya berbeda atau lebih baik?”
“Apa hal unik yang bisa saya gagas?”
Cerita Malin Kundang di atas sepintas memang sudah biasa, pasaran, dan tidak spesial,
namun penulis menempatkan ide yang didapat dari dirinya sendiri di bagian akhir
yang menjadi twist ending dari
penggalan narasi tersebut. Pemberian twist
ending tersebut merupakan upaya penulis agar senantiasa terhindar dari dosa
ide klise dan tidak orisinal
jika tetap menggunakan plot yang selama ini beredar karena ide serupa dengan
yang biasa dipikirkan banyak orang dan akan dengan mudah diketahui pembaca. Ada
beberapa hal yang menyebabkan ide dianggap tidak orisinal atau klise:
Ø
Sudah ada kisah yang mengangkat ide serupa.
Misalnya cerita cinta sampai mati yang dianggap sudah tidak orisinal karena telah
diangkat dalam Romeo and Juliette karya
Shakespeare.
Ø
Sesuai dengan harapan atau dugaan
kebanyakan orang. Dalam hal ini, ada satu hal yang perlu dicatat oleh penulis bahwa
pembaca itu justru sangat senang ‘ditipu’. Misalnya cerita superhero yang nyaris setiap cerita akhirnya jagoan yang menjadi
pemenang.
Ø
Sudah banyak diangkat orang. Misalnya
tema cinta terlarang.
Ø
Mudah diduga. Misalnya seperti cerita
fabel perlombaan antara kura-kura dan kelinci yang dimenangkan oleh tokoh yang
tidak diunggulkan kura-kura.
Ø
Sudah banyak diberitakan atau sering
terjadi. Misalnya kisah tentang TKI yang disiksa majikan.
Memang
banyak penulis yang melakukan modifikasi cerita pada kisah Malin Kundang tanpa
mengubah plot keseluruhan, namun hasil dari modifikasi tersebut pasti sangat
beragam karena setiap orang mempunyai ide unik tersendiri yang bahkan belum
dibahas oleh siapapun seperti akhir cerita di atas. Meski berbeda, tapi jika
ide tersebut tidak menarik
pasar pembaca, tetap saja tulisan akan menjadi sia-sia. Lebih parah lagi
jika ide meniru dari yang
sudah ada yang menunjukkan tidak adanya kreatifitas dalam diri penulis. Kalaupun
meniru sebaiknya jujur dengan menyebutkan sumber inspirasi karena meniru bukan
berarti plagiat sepanjang tidak melakukan copy
paste secara keseluruhan.
Namun
akan lebih baik jika percaya dengan karya sendiri dan menciptakan orisinalitas
dalam ide.
4. Delapan Dosa dalam Judul
Apa yang
pertama kali dilihat ketika orang melihat sebuah novel atau cerpen atau bahkan
film? JUDUL.
Apa yang
paling banyak disebutkan terlebih dahulu ketika orang membuka pembicaraan
tentang novel, cerpen atau bahkan film? JUDUL.
Apa yang
paling mewakili sebutan sebuah karya novel, cerpen atau bahkan film? JUDUL.
Jika penggalan cerita di atas diberi judul “Malin Kundang”,
tidak akan menggoda banyak orang untuk membaca karena cerita tersebut sudah
sangat tak asing di Indonesia ini. Selain judul nama tidak menjual, penggunaan “Malin Kundang”
akan membuat judul tidak
menarik karena generalitasnya serta judul tidak menggebrak dan provokatif terlebih jika
ada keunikan plot dalam cerita tersebut. Lalu judul apa yang tepat selain
“Malin Kundang”? Kesalahan yang paling banyak dilakukan oleh penulis pemula
adalah pelit menyiapkan judul, banyak dari penulis pemula yang hanya membuat satu judul.
Padahal penulis profesional bisa menyiapkan sampai puluhan judul untuk satu
karya mereka dengan membuat list
alternative judul yang dikaji dan diseleksi satu persatu.
“Malin Kundang dan Kawat Hello Kitty”
“Tring!”
Dua judul di atas cukup menggebrak dan provokatif dan menimbulkan
rasa penasaran pada pembaca. Mungkin saja pembaca akan bertanya-tanya hubungan
Malin Kundang dengan Hello Kitty atau maksud judul Tring dengan jalan cerita
rakyat Sumatera itu. Akan tetapi, jika ditinjau dari jumlah kata, dua judul
tersebut terkena serangan dosa judul
terlalu panjang atau terlalu pendek karena lazimnya terdiri dua atau
tiga kata. Namun tentu saja itu bukan aturan baku. Boleh-boleh saja membuat
judul panjang atau pendek asalkan padanan kata yang dipilih benar-benar kuat.
Judul “Malin dan Ibunya”, kurang menggoda pembaca karena
terlalu biasa dan tidak
membuat penasaran untuk menikmati isi tulisan lebih jauh. Lebih fatal
lagi jika memberi judul “Kutukan untuk Anak Durhaka” karena judul telah membocorkan ending
atau isi cerita yang mengakibatkan pambaca malas menyelesaikan bacaan
atau bahkan tak ingin membaca karena pokok cerita telah diungkapkan lewat
judul. Dari judul tersebut sudah tertebak bahwa cerita mengisahkan tentang
seorang anak durhaka yang mendapat kutukan. Bahkan ada beberapa kata yang
“haram” dipilih karena akan membocorkan isi, di antaranya: terakhir, ternyata, adalah, dan lain-lain.
Kalau ada kata terakhir
dalam judul, biasanya ada yang mati, misalnya Pesan Terakhir Ayah
(tertebak, akhirnya ayahnya meninggal dunia).
Namun ada juga penulis yang piawai sengaja menggunakan kata
terakhir untuk mengecoh pembaca, seperti dalam karya Rini Widhoraharjo yang
merupakan salah satu anggota di Komunitas Bisa Menulis. Ia memposting cerpen berjudul “Sarapan
Terakhir” dengan akhir cerita yang cukup menipu. Namun akan lebih baik jika kata-kata
“haram” yang telah disebutkan untuk tidak digunakan meski penulis memiliki ide
unik dalam plot cerita karena berisiko karyanya akan sia-sia karena keberadaan
kata yang diindikasikan membocorkan isi cerita.
Sekalipun dianjurkan untuk memilih judul yang menggoda atau
provokatif, pastikan judul tetap mewakili isi. Karena jika judul tidak sesuai isi maka
pembaca akan kecewa dan kapok membaca karya sang penulis. Seperti judul buku “Mimpi
1 Juta Dolar” yang sangat menarik namun saat dibuka ternyata hanya kumpulan
kata-kata mutiara. Sebagai pembaca pasti kecewa, namun sebagai penulis hal
tersebut tentu dapat dijadikan bahan pembelajaran agar senantiasa dapat
menemukan judul menarik dengan isi yang menarik pula sehingga karya menjadi
menakjubkan.
Judul mempunyai kedudukan yang tinggi dalam sebuah karya.
Judul adalah brand, trade mark, dan image sebuah karya, karena itu jangan main-main ketika memilih
judul.
5.
Delapan
Dosa dalam Opening
Opening merupakan gerbang
pembuka sebuah tulisan. Jika judul menjadi daya tarik yang mendorong orang mau
membaca tulisan, opening adalah
pemikat yang membuat seseorang mau terus membaca sebuah karya.
“Cwit
... cwit ... “
“Assalamualaikum ...”
Di pagi yang cerah
saat aku tengah bersiap untuk
bertolak ke sebuah bangunan tempatku menuntut ilmu bersama kawan dan guru
sesama pejuang pendidikan, bersamaan dengan kicauan burung yang
bertengger di pohon depan rumah, terdengar salam dari suara seseorang yang
sudah sangat kukenali. Cepat aku melangkah menuju ambang pintu rumah yang
berwarna coklat dan mendapati Fambi tengah berdiri menungguku di sana.
“Waalaikumsalam.”
Kata yang diberi tanda abu-abu di atas merupakan serangan opening onomatope atau bunyi-bunyian yang selalu
menjangkiti para penulis pemula. Banyak penulis pemula mengira ketika menggunakan
onomatope sebagai pembuka, maka karyanya akan seru, greget, dan wah. Padahal opening seperti itu sudah dipakai ribuan
orang dan tidak spesial. Penggunaan onomatope dalam suatu karya sangat tidak dianjurkan karena di Indonesia
tidak seperti di Inggris dan Jepang yang memiliki kamus onomatope yang distandarisasikan sehingga anggapan
yang ditangkap pembaca akan relatif berbeda-beda dan berpotensi menjerumuskan penulis
dianggap aneh oleh pembaca. Contoh onomatope
di atas jika tak diikuti dengan
narasi selanjutnya akan menimbulkan berbagai tebakan yang berbeda, bukan hanya kicauan
burung namun dapat juga diartikan sebagai suara decitan dari kendaraan yang
merem mendadak.
Serangan
cuaca pada opening merupakan
kecenderungan banyak penulis pemula dan opening
seperti itu dapat dikatakan sudah ketinggalan karena banyak ditemukan pada
karya-karya fiksi di masa lalu. Namun tak ada harga mati dalam kreativitas, dan
jika menyukai jenis opening dengan
suasana alam sah-sah saja. Tapi pastikan pendekatannya berbeda sehingga ada
kebaruan yang menarik dalam karya tulis.
Opening serangan
cuasa begitu marak karena di sekolah sebagian guru Bahasa Indonesia masih
menganggap atau mencontohkan tulisan indah adalah ketika opening-nya menggambarkan keadaan alam atau cuaca, atau karena
anak-anak di sekolah diwajibkan membaca cerpen lama atau novel yang openingnya juga serangan cuaca. Oleh
karena itu opening dengan serangan cuaca
dan onomatope termasuk ke dalam dosa opening standar,
biasa, tidak menggebrak bersama jenis opening yang lain seperti:
Ø
Sudah banyak atau pernah dipakai orang
lain. Misalnya memulai karangan dengan kata namanya,
namaku.
Ø
Memulai dengan kata pada yang dipakai nyaris semua anak SD.
Ø
Memulai dengan kata suatu, setelah, sepulang, selepas, sesudah, dan lain sebagainya.
Ada
beberapa pilihan dalam opening, dan
pada contoh di atas juga digunakan bentuk dialog yang disajikan untuk membuka
cerita dan yang paling sering dilakukan adalah berupa ucapan salam. Sayangnya,
penggunaan dialog tersebut terkesan asal sehingga menimbulkan dosa opening
tidak membuat penasaran karena serangan dialog opening yang
tidak kuat. Bahkan penggunaan dialog dalam opening dinilai tidak variatif karena
sebenarnya banyak pilihan cara dalam membuka cerita, seperti memulainya dengan
pertanyaan atau bahkan retorika. Namun penulis pemula cenderung hanya mempunyai
dua variasi dalam membuat opening.
Pertama narasi atau deskripsi, kedua opening
dialog seperti penggalan narasi di atas. Akan tetapi, jika tetap ingin
menggunakan dialog sebagai pembuka, pastikan dialog tersebut kuat, unik dan
berbobot, bukan dialog standar.
Jika
dilihat secara keseluruhan bagian pembuka cerita di atas bahkan terkesan bertele-tele terutama dalam
mendeskripsikan seorang anak yang sedang bersiap untuk berangkat ke sekolah. Selain
itu, opening juga membocorkan tentang kondisi keseluruhan
cerita yang dapat bernasib tulisan tersebut tidak mungkin dibaca sampai habis.
Jangan membuat opening yang biasa-biasa. Sebagaimana judul,
opening harus menggebrak, membuat penasaran, menggoda pembaca untuk melanjutkan
membaca. Seorang penulis harus dapat menciptakan pembuka cerita yang kaya
dengan orisinalitas tinggi serta mampu membuat pembaca seakan tertahan untuk
tidak beringsut satu derajat pun saat membacanya. Jika dianalogikan dengan
film, jika ingin diterima pasar masa kini penulis harus membuat opening yang dapat menimbulkan rasa
menyesal jika pembaca tertinggal saat-saat pertama yang mengawali sebuah
cerita.
Beriringan
dengan kicauan burung pipit, di pagi yang cerah itu tiba-tiba terdengar teriakan
salam dari suara seseorang yang kukenali. Benarkah dia? Benarkah dia datang ke
rumahku? Bersama degup jantung yang seketika merusuh, aku melangkah menuju sumber
suara dan otomatis jawaban salam meluncur dari lidahku yang langsung kelu begitu
melihat sosok tinggi di balik seragam putih abu itu. Benar, Fambi.
Bagaimana
perbedaannya?
6. Sembilan Dosa dalam Konflik
Konflik
adalah nyawa sebuah cerita. Tanpa konflik, cerita akan hambar, dan tidak
menarik. Konflik dalam cerita bisa berwujud dalam banyak wajah.
Masalah,
bagaimana menyelesaikannya?
Perselisihan,
bagaimana mengatasinya?
Impian,
bagaimana mencapainya?
Cinta,
bagaimana memutuskannya?
Gangguan,
bagaimana menghilangkannya?
Kelemahan
utama penulis pemula salah satunya adalah tidak menghadirkan konflik dalam karyanya. Seandainya
Cinderella mempunyai ibu tiri dan saudara tiri yang mendukung dan membantunya berjodoh
dengan sang pangeran. Serukah?
Konflik
tidak mesti fisik atau perkelahian. Dilema hati, perseteruan pikiran juga
merupakan konflik. Bahkan konflik bisa dihadirkan dalam buku nonfiksi, seperti
dalam buku No Excuse karya Isa
Alamsyah, banyak pembaca yang mengatakan seperti ditampar-tampar ketika
membacanya. Jadi, dalam fiksi dan nonfiksi, pun juga dalam tulisan ringan masukkan
konflik, peristiwa, atau masalah yang mampu membuat perasaan pembaca bergejolak
naik turun terbawa alur sehingga karya menjadi kuat.
Kini ia sadar ternyata
dukungan itu sangat mahal dan berharga. Dukungan apa? Dukungan dalam apapun. Bukan
hanya para calon pejabat yang haus akan dukungan hingga rela merogoh kocek
dalam-dalam. Namun segala hal dalam hidup memang perlu dukungan. Perih hatinya
saat tak mendapat dukungan untuk menempuh pendidikan di luar kota karena kekhawatiran
orangtua yang berlebihan. Beruntung,
pamannya yang pandai berbicara mampu membujuk orang tuanya hingga luluh meski
memberinya izin dengan keterpaksaan. Batinnya semakin hancur saat dengan keras orangtuanya
menentang hubungannya dengan lelaki idamannya yang bahkan langsung
memilih untuk mengakhiri cinta yang telah lama mereka jalin. Berselang satu
minggu kemudian ia menerima sepucuk undangan pernikahan dari mantan pacarnya
yang dengan mudahnya berpindah hati pada wanita lain. Di tengah kegalauannya antara
menghadiri atau mengabaikan undangan itu, adiknya pergi dari rumah tanpa sebab
yang jelas. Akhirnya, ia pun memilih untuk turut meninggalkan rumahnya, dan tanpa disengaja ia bertemu
dengan adiknya di rumah makan di perbatasan kota.
Selain
berpikir harus ada konflik, penulis harus juga memilih konflik menarik untuk
diangkat ke dalam cerita. Konfliknya apa? Cinta tidak direstui seperti pada
contoh di atas? Selain tidak
menarik, tidak membangun
rasa penasaran, konflik pada penggalan cerita di atas juga terlalu banyak menyebabkan
konflik menjadi tidak fokus
dan tidak selektif. Dosa-dosa tersebut selalu menyerang penulis pemula sehingga
plot dalam keseluruhan cerita tidak tergarap dengan baik, kemudian akan berdampak
pada penyelesaian konflik yang
tidak memusakan.
Tulisan di
atas menghadirkan beberapa peristiwa yang memilukan hati, namun terlalu banyak kebetulan
tanpa lanjaran dan detail yang kuat memberi kesan bahwa penulis mencari jalan mudah
atas konflik yang bahkan diciptakannya sendiri. Hal tersebut menunjukkan penulis
tidak piawai dalam membangun konflik sehingga pembaca mengalami kesulitan untuk
larut dalam alur karena penulis yang terlalu seru sendiri, hingga akhirnya pada cerita di atas tidak ditemukan penyelesaian
konflik yang jelas.
Meski kedekatan paman
dengan orangtuanya berhasil meluluhkan hati mereka untuk memberinya izin
sekolah di luar kota, perih di hati tak sepenuhnya surut karena izin itu penuh
dengan keterpaksaan. Undangan pernikahan dari mantan pacarnya semakin memperparah
kepiluannya. Jika Ayah dan Ibu merestui
mereka, pasti lelaki idamannya itu masih berada di sampingnya. Satu per satu
masalah yang datang membuatnya semakin tertekan dan memutuskan untuk pergi jauh
dari kota kelahirannya. Ia mengunjungi rumah makan langganan keluarganya, namun
tanpa sengaja ia bertemu dengan adiknya yang juga tengah kabur dari rumah. Cerita
sang adik menyadarkannya bahwa dirinya terlalu menutup diri karena timpaan
masalah hingga tak mengetahui peristiwa yang terjadi di luar dirinya.
Meski konfliknya
masih terkesan banyak, namun lanjaran-lanjarannya tampak lebih kuat bukan?
Cerdas memilih konflik
adalah keterampilan penulis yang juga bermanfaat dalam kehidupan. (Asma Nadia)
7. Sembilan Dosa dalam Ending
Ending mempunyai posisi sangat
penting dalam sebuah cerita karena merupakan bagian yang paling ditunggu-tunggu
dan hal terakhir yang tertanam pada pembaca.
“Apakah
menulis harus sudah tahu ending-nya?”
Pertanyaan mendasar
yang sering diajukan penulis pemula karena terserang dosa tidak tahu ending mau dibawa kemana. Jawabannya tergantung situasi
karena ide sering kali muncul tak diduga-duga, misalnya ada penulis yang sudah
tahu ending ketika memulai cerita, banyak
juga yang membiarkan cerita mengalir sampai menemukan ending yang tepat, bahkan tak jarang yang menyiapkan beberapa
alternatif ending.
Malin Kundang dan Kawat
Hello Kitty
Bumi seakan berhenti
berputar saat mimpi yang telah digantungkan setinggi langit seketika lenyap
ditelan kemarahan wanita berambut putih di hadapannya. Dengan langkah
diseret-seret dan gaun mewah yang menjuntai menyapu pasir yang dipijaknya, ia
menghampiri wanita berpakaian lusuh itu lalu berkata, “Kau ibu dari suamiku?
Kau mertuaku?”
Wanita
tua itu hanya mengangguk bersama isakan sesal karena perkataan mustajabnya.
Istri
Malin Kundang merogoh selembar foto usang dari dalam saku bajunya dan
tercengang kaget mendapati perbedaan wajah dalam foto dengan orang yang kini
berdiri di hadapannya. “Sejak kapan ibu memakai kawat gigi? Pantas saja suamiku
tidak mengenalimu. Kau malah mengutuknya dalam kebingungan. Kau juga telah
membuatku menjadi seorang janda dan menghancurkan mimpi yang telah kami ukir
untuk hidup bahagia bersamamu di kampung ini.”
Ibu
Malin Kundang merasa ditampar oleh perkataan menantunya. Ia meraba giginya dan
tersentak kaget saat merasakan behel dengan karet Hello Kitty masih bertengger
dengan manisnya memagari dereten gigi setengah ompong itu. “Maafkan Ibu. Ibu
lupa melepas kawat gigi Hello Kitty yang baru dipasang kemarin.”
“Tuhan.
Maafkan aku yang telah ceroboh menjaga lisan ini. Jika mungkin, tolong kembalikan
Malin anakku yang tak berdosa.”
Langit
yang sesaat mencerah kembali berselimut kelabu dan gelap. Teriakan keras petir
terus bersahutan menghentak-hentak ombak yang berdebur kencang mengombang-ambing
si batu Malin Kundang.
Di
tengah suasana alam yang mencekam itu, suara sayup namun terlalu kentara untuk
diabaikan mengiang di telinga istri Malin. Suara yang sangat tak asing bagi
indra pendengarannya.
“Tolong.
Tolong. Aku tidak bisa berenang. Tolong.”
Jantungnya
tertohok begitu mendapati suaminya tengah berusaha berenang menyelamatkan diri
dari kepungan air asin yang tak henti berayunan, dan otomatis ia memekik kaget
“Itu Malin Bu!”
Kontan
mereka berdua berlari untuk menyelamatkan lelaki yang telah kembali menjadi manusia
berkat doa kemustajaban doa dari ibu Malin. Setelah itu, hingga akhir hayat mereka bertiga hidup
bahagia di tanah Minang.
Ada baiknya
agar penulis mau belajar dari dongeng dan sesekali mencoba mendobraknya untuk mencoba
menghindari dosa ending klise dan ending ketebak agar dapat
menciptakan kebaruan dalam kisah.
Jika
ditilik seteliti mungkin dari aspek keaslian kisah, akhir cerita rakyat di atas
sebenarnya terkesan memaksakan
twist ending karena tak ada
lanjaran kuat yang berkaitan dengan kawat Hello Kitty. Perlu diingat, membuat twist ending itu bagus, tapi kalau twist-nya memaksa hanya akan membuat
karya menjadi buruk.
Lebih parah lagi, bagian paling ujung cerita di atas
menceritakan Malin yang telah menjadi batu lalu tiba-tiba hidup lagi yang
merupakan serangan happy ending yang dipaksakan. Hal
tersebut disebabkan karena banyak penulis pemula mengira sebuah cerita akan
sukses kalau berakhir bahagia, padahal bisa juga berakhir memilukan. Jika
ditanya happy atau sad, jawabannya adalah pilihan karena
keduanya mempunyai kelebihan dan kekurangan sesuai dengan konteksnya masing-masing.
Pilih sad atau happy, yang terpenting buatlah sealamiah mungkin tanpa unsur paksaan.
Bahkan bagi penulis yang cenderung ingin menampilkan kepiluan di akhir cerita,
namun karena keterbatasan ide sehingga banyak penulis yang terjangkit dosa mematikan tokoh tanpa alasan.
Jika dosa-dosa tersebut melekat dalam diri penulis, maka
hasil karya akan menjadi tidak
berkesan karena ending
tersebut tampak tidak logis
dan tidak memuaskan.
Penulis pemula kadang menulis tanpa perencanaan yang matang.
Ide brilian, opening bagus, isi
bagus, tetapi ending mengecewakan
bisa membuat segala kebagusan di awal ikut hilang. Jadi, ciptakanlah ending sebaik dan semantap mungkin yang
akan membekas dan tersimpan di hati serta pikiran pembaca. Hati-hati, hindari
dosa ending buru-buru.
8. Tiga Dosa dalam Detail
Kususuri jalanan ramai menuju rumah yang telah menjadi
tempat bernaung seumur hidupku. Di tepi jalan kudapati bapak tukang becak ramah
yang selalu bertegur sapa denganku yang juga menjadi langgananku jika
memerlukan jasanya. Saat tengah
mencoba mengalihkan arah pandangan, tiba-tiba tubuhku bertabrakan dengan seorang
lelaki yang sontak membantuku yang jatuh tersungkur ke tanah. Jantungku mencelos
begitu mata hitam ini bersilobok dengan sorot sipit seseorang yang bertubrukan
denganku.
“Fambi. Kenapa kamu di sini?”
Panjang lebar Fambi menceritakan tentang dirinya yang
tersesat saat hendak pergi ke suatu tempat.
Penulis pemula sering terjebak detail tidak penting pada cerita seperti menjelaskan
keseluruhan peristiwa secara terperinci karena tidak mampu menyeleksi detail penting yang seharusnya
menjadi potongan terbaik dalam sebuah cerita. Sangat mudah untuk mengetahui
apakah detail yang ada dalam cerita penting atau tidak. Dengan menghilangkan salah
satu atau beberapa detail. Jika alur cerita mengalami gangguan setelah detail
tersebut dicabut, maka detail itu penting. Namun jika setelah detail tak
digunakan dan cerita tetap dapat mengalir dengan normal, maka detail tersebut
tidak penting.
Detail akan membuat logika dalam cerita menjadi masuk akal.
Sekalipun kecil, asalkan penting, akan sangat membantu logika cerita. Detail
akan membuat ending yang tidak
terduga tetap bisa diterima karena pembaca menyadari telah mengabaikan detail
penting. Yang paling penting, hindari dosa tidak ada lanjaran karena akan mengurangi nilai suatu
karya seperti contoh di atas karena tak ada peristiwa yang menguatkan sebab
tersesatnya Fambi ke jalanan dekat rumah Asti.
Di tepi jalan tak jauh
dari pangkalan becak dekat rumah, jantungku mencelos begitu mata hitam ini
bersilobok dengan sorot teduh seseorang yang bertubrukan denganku. “Fambi.
Kenapa kamu disini?”
Panjang lebar Fambi
menceritakan sebab dirinya yang tampak terburu-buru menuju rumahku untuk
mengungkapkan sesuatu.
9. Lima Dosa dalam Narasi atau Deskripsi
Sebuah
cerpen atau novel biasanya hanya terbagi dua hal besar, pertama narasi atau
deskripsi dan kedua dialog. Kalau dilihat prosentase, dalam sebuah cerpen atau
novel narasi bisa mendominasi 70% sampai 90% porsi, sedangkan dialog hanya
mendapat porsi sekitar 10% sampai 30%. Jadi jelas sekali jika kacau dalam
narasi atau deskripsi, seorang penulis akan melakukan kekacauan yang
mendominasi seluruh tulisan.
Setelah Asti mempersilakannya duduk, Fambi melirik jam hitam
yang melingkar di pergelangan tangan kirinya. Jam yang merupakan kado ulang tahun dari
kakaknya tahun lalu. Ia penasaran, apa yang akan diberikan oleh kakaknya tahun
ini. Jarum jam seakan berderit.
Tenggorokannya tercekat. Dia ingin
mengatakan sesuatu. Kerongkongannya kemarau. Berkali-kali ia menelan ludah. Tapi kalimat sederhana itu terus-terusan nggak mau keluar.
Bahkan hingga ibunya Asti dan adik
yang masih kecil berkali-kali bolak-balik bawain makanan dan minuman untuk dia, suaranya tak kunjung terdengar.
Setelah terdiam cukup lama Fambi menggosok wajah untuk
menjernihkan air muka yang acak-acakan karena merasa gugup banget
dengan kedua telapak tangannya sambil menghela napas dan sesaat menahannya
kemudian menghembuskannya perlahan dan melirik Asti yang duduk dihadapannya
seraya mulai berkata, “Asti ...
aku ...”
“Iya?” Asti menjawab.
“Aku ...” Fambi diam karena gugup. Menelan ludah lagi. menghentak-hentak
jari pada pegangan kursi.
Berlama-lama
dalam narasi, menulis kalimat berputar-putar membuat kalimat panjang tanpa arah
adalah salah satu kelemahan penulis pemula. Narasi bertele-tele bisa terjadi karena penulis
berlama-lama menjelaskan sesuatu yang sudah jelas, memberi tahu secara khusus
hal yang sudah umum, atau bahkan hal yang tidak perlu disertai penjelasan.
Penulis
bebas memilih gaya narasi yang diinginkan, namun jangan sampai terserang dosa narasi atau deskripsi tidak
konsisten. Contoh di atas diawali bahkan didominasi dengan bahasa formal
tetapi kehadiran bahasa informal yang melabrak EYD di tengah-tengah narasi sangat
merusak estetika tulisan tersebut.Sebenarnya boleh saja penulis berganti gaya
bahasa dalam satu cerita, namun hanya dibolehkan dalam dialog karena bertujuan
untuk menunjukkan perbedaan karakter tokoh atau tergantung situasi cerita. Dosa
serupa juga ditemukan dalam penggalan cerita tersebut, dimana adanya serangan inkonsistensi kata ganti dalam
narasi atau deskripsi. Perubahan gaya bahasa dalam contoh di bawah
dibolehkan karena pemakaian saya
dalam dialog dipakai karena tokoh (si aku) menyesuaikan lawan bicara.
Aku baru saja bertemu perampok, ketika
dia menodong dan minta uang, aku bilang, “Saya tidak punya uang!” dan ketika
perampoknya lengah aku langsung kabur. (Isa Alamsyah)
Banyak
sekali penulis pemula mengabaikan
teknik “show don’t tell” yang menyebabkan
tulisan menjadi tidak kuat dan tidak menarik. Penggunaan kalimat yang bersifat
mendefinisikan harus dihindari dalam karya fiksi seperti kalimat “jam yang
merupakan kado ulang tahun” pada cerita di atas. Hal serupa juga terjadi pada
kalimat lain yang diberi tanda berwarna biru karena tidak memberi kesan figuratif pada pembaca saat membacanya. Show memang membutuhkan lebih banyak
kata, tapi membuat sebuah tulisan lebih kuat, dalam, nyastra, dan puitis.
Akan tetapi
dalam pemakaian teknik show penulis
harus mampu menempatkan kalimat secara tepat, jangan sampai terjangkit dosa narasi atau deskripsi terlalu
panjang. Banyak penulis pemula yang tidak tahu kapan harus memakai koma
dan titik. Akibatnya, sering ditemukan kalimat yang harusnya dipisah dengan
titik, ternyata disambung dengan kalimat lain dengan tanda koma atau bahkan
digabung tanpa ampun. Untuk membuktikan kalimat terlalu panjang atau tidak,
baca kalimat tersebut dengan keras, bukan dalam hati, tanpa menarik napas
sampai bertemu titik.
Jarum jam seakan
berderit turut tercekat bersama ternggorokannya saat mencoba mengatakan
sesuatu. Berkali-kali Fambi menelan ludah untuk membasahi kerongkongannya yang
kemarau, namun kalimat sederhana itu tak kunjung keluar dari persembunyiannya.
Dengan kedua telapak
tangannya, Fambi menggosok wajah untuk menjernihkan air muka yang menggugup. Lelaki
berwajah oval itu menghela napas panjang, sesaat menahannya dalam diam, kemudian
menghembuskannya dengan perlahan. Seraya melirik gadis yang duduk di sampingnya
ia berkata, “Asti ... aku ...”
Asti mengangkat kedua
alisnya, bertanya tanpa berucap.
Fambi menghentak-hentak
jemari tangannya pada pegangan kursi, “Aku ...” Gugup yang menyergap membuat
kalimatnya lagi-lagi tergantung dan kembali tertelan bersama air liurnya.
Kentara sekali perbedaannya kan?
10.
Sebelas
Dosa dalam Karakter Penokohan dan Penamaan
Tokoh utama
atau karakter adalah sosok yang menggerakkan sebuah cerita, terlepas sang
karakter utama adalah manusia atau bukan manusia. Sedih, senang, gembira, gelisah,
marah, kecewa, atau apa pun yang dirasakan ketika membaca, sebagian besar
dipengaruhi oleh apa yang dialami oleh tokoh atau karakter dalam cerita.
Rutinitas awal pekan
akan segera dimulai, para
petugas keamanan, petugas kebersihan, kepala sekolah, dan guru-guru, serta ratusan
murid telah berkumpul di lapangan. Begitu juga dengan Asti, Asri, Dian yang telah berdiri di
barisan masing-masing. Pagi itu menjadi hari yang mendebarkan baginya karena di
penghujung nanti, ia akan membawakan pidato berbahasa Inggris di hadapan seluruh
peserta upacara.
Begitu namanya disebut, gadis berkerudung itu melangkah
bersama degup jantungnya yang turut berhentak-hentak rusuh. Didapatinya Asri,
Dian, Fambi dan teman dekatnya Asbi,
serta Arbi melemparkan
senyum semangat ke arahnya.
Riuh tepuk tangan
seketika membahana begitu ia mengakhiri pidato singkatnya. Guru bahasa
Inggrisnya, Bu Farida memberi pujian atas penampilannya dan meminta Asri dan Dian yang juga sangat
menyukai bahasa Inggris untuk melakukan hal yang sama pada pekan lain.
Salah satu
kelemahan penulis pemula adalah tidak serius mempertimbangkan jumlah karakter
yang perlu ditampilkan dalam cerita, dan sering kali terkena dosa karakter terlalu banyak. Selain
dosa tersebut, contoh di atas menunjukkan bahwa penulis tidak selektif memilih karakter dimana semua
elemen yang ada dalam setting cerita ditampilkan
sekaligus. Padahal tidak semua karakter tersebut mempengaruhi cerita, sehingga
mereka hanya menjadi karakter
tempelan. Karakter tempelan adalah karekter yang ada atau tidak ada, tidak
mempengaruh cerita.
Dari segi
penamaan, penulis sangat jelas terserang kesalahan memberi nama ke semua tokoh padahal tidak semua
tokoh tersebut penting dengan bukti tak ada lagi cerita tentang nama-nama yang
disebutkan sampai akhir. Boleh-boleh saja memberi nama pada semua karakter yang
terlibat dalam cerita, namun pastikan ketika memberi nama ada maksudnya, bukan
sekedar aksesoris. Selain itu, penulis memberi nama yang rancu tokoh perempuan atau lelaki, dalam bahasa
Inggris disebut unisex name, sehingga
sering kali membingungkan pembaca, ditambah jika penulis tak mampu menggarap
dengan baik karakter si tokoh. Lebih parah lagi, pada narasi pendek di atas banyak
penggunaan nama tokoh yang mirip
yang juga mengganggu pemahaman pembaca.
Pada contoh
di atas tanpa sadar karakter
pribadi pengarang masuk ke semua karakter/tokoh. Padahal ketika membuat
karakter dalam sebuah tulisan, penulis harus menjadi orang lain dan harus bisa
menyesuaikan diri dengan kebutuhan karakter termasuk mengatur emosi serta kemampuan
keilmuan mengikuti karakter yang ada. Lihat perbandingannya.
Rutinitas awal pekan
akan segera dimulai dan semua orang telah berkumpul di lapangan. Begitu juga
dengan Asti dan teman-temannya yang telah berdiri di barisan masing-masing.
Pagi itu menjadi hari yang mendebarkan baginya karena di penghujung nanti akan
membawakan pidato berbahasa Inggris di hadapan seluruh peserta upacara.
Begitu namanya disebut, gadis berkerudung itu
melangkah bersama degup jantungnya yang turut berhentak-hentak rusuh.
Didapatinya teman-temannya melemparkan senyum semangat ke arahnya, termasuk
Fambi.
Riuh tepuk tangan seketika
membahana begitu ia mengakhiri pidato singkatnya. Guru bahasa Inggrisnya
memberi pujian atas penampilannya dan meminta murid yang lain agar dapat
melakukan hal yang sama pada pekan lain.
Setiap gadis itu lewat, seluruh mata
memandangnya. Dia bukan sekedar siswi di sekolah ini, tapi dia adalah bintang. Matanya, wajahnya, hidungnya,
tingginya, seluruh yang ada pada dirinya adalah wujud kesempurnaan. Selain itu, dia merupakan anak yang sangat berprestasi
serta sangat disukai banyak orang atas segala yang melekat pada dirinya. Dia
juga merupakan anak tunggal dari salah satu tokoh sangat terpandang di
daerahnya.
Tukiyem, siapa pun yang bisa
mencuri hatinya, pastilah pemuda paling beruntung. (Isa Alamsyah)
Menciptakan karakter tidak membumi adalah salah satu kelemahan penulis
pemula, dimana karakter tersebut dianggap tidak believable, nyaris tidak ditemukan di dunia nyata. Kadang karakter tersebut terlalu sempurna atau
too good to be true. Sebaliknya, membuat
orang jahat yang kejahatannya seolah tidak ada di muka bumi. Dan contoh
tersebut menunjukkan penulis tidak
piawai memilih nama tokoh. Bukan berarti nama Tukiyem tidak ada yang
cantik, namun penggunaannya membuat tulisan terasa terganjal sehingga
menyebabkan pembaca tidak
terikat secara karakter emosional dengan karakter/tokoh. Nama tokoh
dalam karya bukan sekedar tempelan, jadi harus pintar memilih nama tokoh yang
proporsional, dapat berkaitan erat dengan hati sehingga pembaca mampu menyatu
ke dalam kisah.
Kesalahan tersebut timbul bisa karena penulis tidak
menjiwai karakter yang dibangun sehingga tercipta karakter/tokoh yang tidak konsisten. Bagaimana
membuat tokoh yang konsisten? Seperti yang dilakukan Asma Nadia, dengan
menghubungkan karakter dengan tokoh nyata yang ada dalam bayangan, bisa dua
atau tiga karakter asli digabungkan menjadi satu tokoh di tulisan.
11.
Lima Dosa
dalam Diksi dan Kosa Kata
Semua
lelaki sama saja, batin Asti sambil pergi meninggalkan ruang
kelasnya dengan perasaan sakit
yang tak terperi. Tampak Fambi yang berusaha mengejar teman dekatnya
yang pergi tanpa pamit padanya.
Hal yang membuat tulisan membosankan adalah karena
penulisnya miskin kosa kata atau
variasi kata, sehingga banyak kata diulang dalam sepenggal narasi
pendek. Padahal bisa ditulis dengan kata lain yang serupa. Namun dalam bermain
kata, penulis juga harus menjaga keaslian semaksimal mungkin. Jangan mengekor
atau mengulang kata yang ssudah banyak dipakai orang sebab akan menampilkan
kesan miskin
orisinalitas. Usahakan untuk tidak memakai ungkapan yang sudah didengar
jutaan orang dalam deskripsi/narasi, jangan menjadi penulis yang tidak berani mengeksplorasi atau
mengeksperimen kata.
Dosa-dosa tersebut banyak menyerang penulis pemula karena jarang membuka kamus untuk memperkaya
kosa kata, serta mengabaikan
kata yang tidak dimengerti untuk dicari tahu seluk-beluk penggunaannya
dalam suatu karya.
Selalu ada lebih dari satu cara untuk mengungkap hal yang
sama. Penulis hebat mampu menemukan cara terbaik dalam mengungkapkannya. Selalu
ada lebih dari satu kata untuk mengungkap hal yang sama. Penulis hebat mampu
memilih kata yang paling kuat, unik, dan berbeda dalam setiap tulisannya. Bagaimana
jika contoh di atas dibandingkan dengan hasil revisi di bawah?
Spesies mereka sendiri yang selalu
memaksa untuk menggeneralisasikan semua kaum adam, batin Asti sambil beranjak membawa
titik-titik luka di hatinya. Cepat Fambi mengejar teman dekatnya yang bertolak
tanpa berucap.
12.
Tiga Dosa
dalam Setting
Mulut Mimi menganga melihat pemandangan indah yang ada di
hadapannya. Kejutan dari Minwoo sungguh tak pernah terduga. Ternyata, jika
mereka berjalan beberapa meter ke arah selatan dari pohon itu, mereka akan
menyadari tengah berada di mulut sebuah bukit. Lebih tepatnya lagi, tempat
rahasia Minwoo adalah sebuah bukit! Tak henti-henti ia menjelajahi tempat yang
baru dilihatnya itu dengan sepasang mata. Ke arah barat dari tempatnya berdiri, London Eye,
Westminster Palace, dan Menara Big Ben membentang dengan sangat megah dan
indah. Sementara jika ia beringsut ke arah timur, panorama Buckingham Palace
yang merupakan kediaman resmi ratu Inggris akan membuatnya terpesona, ditambah
dengan para penjaga istana mengenakan
seragam merah dan topi tinggi dari bulu beruang yang tampak seperti deretan
semut tengah berbaris rapi.
“Minwoo-ah. Kau benar. Aku akan betah sekali melukis di sini.” Ia berseru tanpa
menoleh dan masih menancapkan sinar kagum pada panorama indah jantung Kota London dari
ketinggian.
Banyak penulis pemula merasa keren kalau karyanya dibuat
dengan setting luar negeri, daerah
tertentu yang sexy atau waktu
tertentu yang atraktif. Sayangnya mereka tidak bijak memilih cerita sehingga
terkesan terkena dosa setting tempelan setting maksa sehingga jika settingnya diubah maka tidak mengubah jalan cerita. Jangan asal pilih setting waktu atau tempat tanpa mempertimbangkan alasan yang
dalam dan kuat. Saat memilih setting,
jangan pula penulis tidak
piawai menyajikan nuansa atau bahasa lokal yang khas dengan setting yang dipilih.
Meski penggalan novel di atas yang bersetting di London menyajikan nuansa-nuansa khas negeri kerajaan
itu, namun jika dilihat sekilas pembaca akan bertanya-tanya, kenapa nama tokoh
berasal dari Korea sedangkan settingnya
di Inggris? Pertanyaannya akan terjawab jika naskah kedua novel saya yang
berjudul Breath tersebut disetujui
untuk diterbitkan.
Setting tempat
yang tepat akan mendukung kekuatan cerita. Setting
waktu yang tepat juga akan memperkuat kedalaman cerita. Akan tetapi tidak semua
kisah harus mempunyai setting tempat
dan waktu tertentu. Penulis unggul mampu memutuskan kapan setting tertentu diperlukan, kapan cukup memilih setting yang netral.
13.
Sembilan Dosa
dalam Dialog
“Kamu kenapa berubah kepadaku”? tanya Fambi.
“ Aku tidak kenapa-kenapa”.
Jawab Asti.
“aku gak tahu kenapa, tapi kalo aku punya salah sama kamu,
aku minta maaf. Maafin aku.” Sejenak
Fambi terdiam, “Aku sedih kalo
kamu marah sama aku”.
Jawab Fambi
kemudian.
Ketika menulis dialog maka lupakan EYD yang akan membuat
kesan dialog tidak membumi,
karena dialog adalah milik karakter, namun jangan sampai terkena dosa dialog tidak konsisten
disematkan pada orang yang sama, di suasana yang sama, dan bertutur pada lawan
bicara yang sama.
Seorang
penulis harus memberi jiwa pada tokoh atau karakter dalam tulisannya, termasuk cara
berbicara tokoh. Jika tidak dilakukan, besar kemungkinan penulis akan terkena
dosa gaya dialog semua tokoh
sama atau bahkan dialog
terpengaruh jenis kelamin penulis. Cara pria atau wanita bertutur jelas
berbeda meski sepintas sulit dibedakan. Sederhananya, dialog wanita lebih banyak
main perasaan, sedangkan lelaki lebih banyak memakai pikiran. Namun jika ingin
diubah harus ada lanjaran kuat yang menyertainya.
Selain ping pong dialog, cuplikan
pendek di atas didominasi dialog
tidak penting atau mengulang informasi yang telah jelas dengan
menggunakan kata pengiring
dialog yang monoton/tidak variatif.
Bentuknya pun menunjukkan tanda tidak mengerti tata bahasa dalam penulisan penulisan
dialog. Berikut merupakan peraturan dalam penulisan dialog:
Ø Setiap
dialog memasuki alinea baru, kecuali dialog yang dipotong sedikit lalu
dilanjutkan.
Ø Huruf
pertama menempel (tanpa spasi) dengan kutip buka dan tanda baca/huruf terakhir
menempel dengan kutip tutup.
Ø Huruf besar
di awal dialog, kecuali kalau kalimatnya dijeda.
Ø Tanda baca
pada akhir kalimat ada di dalam petik bukan di luar petik dan menempel pada
tanda petik penutup.
Ø Titik
dipakai jika dialog berhenti tanpa keterangan narasi, jika dialog berhenti dengan
narasi pakai koma.
Ø Kalau
diawali narasi sebelum dialog, maka sebelum tanda petik diberi koma terlebih
dahulu menempel pada huruf terakhir kalimat narasi.
Dialog
membuat tulisan lebih variatif, dinamis, dan menarik sehingga tidak monoton
sekedar narasi dan sebagai bagian dari ilustrasi cerita. Dialog berfungsi untuk
menguatkan karakter atau penokohan, sebagai pemberi informasi, juga untuk
menunjukkan warna lokal, dan msih banyak lagi. Dan yang tak kalah penting, jangan terjebak dalam dialog tidak cerdas yang akan
membuat tulisan menjadi tidak berbobot.
Dengan wajah cemas dan
nada enggan lelaki jangkung itu akhirnya membuka mulut, “Kamu kenapa berubah”?
Seraya
menggeleng pelan, Asti menimpali, “Enggak.”
Di
balik kepalanya yang tertunduk sangat dalam, Fambi menghembuskan napas berat
dan berkata, “Apa pun itu, aku minta maaf.”
14.
Empat Dosa
dalam POV
POV (Point of View) atau sudut pandang secara umum hanya terdiri dari
dua pilihan yang paling lazim digunakan, yaitu POV orang pertama atau aku-an dan POV orang ketiga atau dia-an (dia bisa juga nama). Ada perbedaan
dalam pemakaian kedua sudut pandang tersebut sehingga banyak penulis pemula tidak mengerti beda POV aku-an dan dia-an. Akibatnya banyak
tulisan dengan POV orang ke-1 inkonsisten serta POV orang ke-3 terlalu monoton, atau bahkan POV aku bertutur
tidak sesuai umur dan ilmu.
POV aku-an:
Aku berjanji tidak akan
pernah mau bertemu lagi dengan Lisa. Sudah tiga kali gadis itu mengkhianati. Sebenarnya bahkan mungkin lebih dari
itu, hanya saja aku tidak tahu.
POV dia-an:
Ryan tidak akan pernah
mau bertemu lagi dengan Lisa. Sudah tiga kali gadis itu mengkhianatinya.
Sebenarnya, bahkan lebih dari itu, hanya saja Ryan tidak tahu.
Secara umum
penulis bebas memilih sudut pandang dalam cerita. Akan tetapi, keduanya punya
kekurangan dan kelebihan serta kekhasan pemakaiannya. Ketika menggunakan POV ke-1 penggunaan kata harus konsisten dari awal sampai akhir,
misalnya kata saya. Sebaliknya, jika
menggunakan POV orang ke-3, penulis
justru dituntut sebanyak mungkin secara variatif bargonta-ganti sebutan agar
cerita menjadi tidak monoton. Kata Ryan pada contoh di atas dapat
diganti menjadi dia, lelaki itu, dan
masih banyak lagi.
Ingat,
jangan mencoba-coba POV orang ke-2 karena belum ada
satu pun novel yang sukses dengan POV orang
ke-2. Alasannya, sulit menghadirkannya karena terasa sangat membingungkan pada
saat dibaca.
15.
Empat Dosa
dalam Alur dan Plot
Alur adalah
pergerakan cerita dari waktu ke waktu, atau rangkaian peristiwa demi peristiwa
dari awal sampai akhir cerita. Jadi penekanannya waktu atau urutan peristiwa.
Penceritaannya bisa diungkap secara berurutan atau tidak.
Plot adalah
ikatan yang mengaitkan satu kejadian dengan kejadian lainnya sehingga saling
berhubungan. Penekanan plot adalah hubungan satu peristiwa dengan lainnya.
Sebagai
contoh diambil dari cuplikan buku novel motivasi Mengejar-Ngejar Mimpi karya
Dedi Padiku.
Peristiwa satu (alur 1).
Ada tokoh preman mati
di pasar Karombasan Manado.
Peristiwa kedua (alur 2).
Ada isu kalau sang
preman mati dibunuh oleh seorang Gorontalo.
Peristiwa ketiga (alur 3).
Dedi Padiku dan teman
sekampungnya Suwanda sedang foto-foto di jembatan dekat pasar Karombasan.
Keduanya adalah orang Gorontalo yang sedang mengadu nasib di Manado.
Kalau dibaca, semua data dan peristiwa di atas belum
menjadi cerita karena belum ada plot. Peristiwa satu dan dua sudah punya plot
(ada hubungan) tapi belum bisa masuk ke novel Dedi Padiku karena belum ada hal
yang menghubungkan kejadian itu dengan kisah perjalanan hidup sang penulis.
Namun setelah ada peristiwa yang menghubungkan maka terciptalah plot baru yang
membuat semua cerita menjadi terkait, alur dan plot terbentuk.
Penjelasan di atas untuk menjelaskan karena banyak penulis
yang tidak mengerti konsep
alur dan plot sehingga tidak mampu memaksimalkan alur. Dari waktu terjadinya peristiwa
alur bisa dibagi menjadi:
Ø Alur maju
atau kronologis atau progresi
Cerita
dimulai dari urutan apa yang terjadi lebih dahulu kemudian berurutan kejadian
berikutnya dan seterusnya sampai ending.
Penulis harus pandai membangun peristiwa demi peristiwa.
Ø Alur mundur
(flashback) atau regresi
Cerita
dimulai dari satu kejadian terakhir lalu kembali ke masa sebelum kejadian
tersebut berlangsung. Cara ini bisa membangun penasaran pembaca kenapa itu bisa
terjadi.
Ø Alur
campuran
Adalah alur
gabungan unsur kronologis dan flashback digabung.
Ø Cut to cut
Teknik
penceritaan yang menampilkan beberapa potongan peristiwa dengan tokoh
berbeda-beda yang tidak terkait langsung satu dengan yang lainnya, namun
biasanya ada benang merah yang menghubungkan setiap peristiwa.
Ø Alur bertingkat
waktu dan alur lintas waktu
Alur ini
merupakan alur yang menceritakan kisah satu orang yang berada dalam dua zona
waktu yang berbeda (atau lebih) dan semua berlangsung secara paralel. Biasanya
terkait dengan mesin waktu, mimpi, halusinasi, dan penulis harus cerdas
membangun logika baru.
Bagi penulis yang tidak piawai menyimpan misteri atau jebakan,
tingkatkan kemampuan menulis dan membuat cerita dengan membua ending yang tidak terduga dan membuat
pembaca puas dengan tipuan.
Jangan
sampai gagal membangun
klimaks atau tidak ada klimaks dalam tulisan. Klimaks adalah bagian
paling seru, kuat, menonjol, menohok, atau paling berkesan untuk pembaca. Teori
kepenulisan sebagian besar akan membahas tiga bagian alur dilihat dari
klimaksnya. Pertama klimaks naik,
berarti kisahnya mulai biasa, tensinya naik terus sampai klimaks tertinggi. Kedua anti klimaks, berarti klimaksnya
turun dari kejadian yang paling heboh lalu menurun tensinya hingga akhir. Ketiga campuran ada naik turun ada
turun naik yang memiliki banyak suspense.
Penulis
harus piawai memilih pendekatan yang terbaik untuk ceritanya, karena setiap
alur punya kelebihan dan kecocokan terhadap cerita tertentu.
16.
Empat Dosa
dalam Pesan
Cerita yang
baik adalah yang mempunyai pesan atau gagasan di dalamnya, bukan sekedar
hiburan atau selingan semata yang tak mempunyai pesan. Tapi selain pesan, yang penting diperhatikan
adalah cara menyampaikan pesan sebaik mungkin tanpa dipaksakan, tidak menggurui
dan tepat sasaran.
Apakah
setiap cerita harus punya pesan?
Kalau
pertanyaan ini ditanyakan kepada penganut paham “I art pour I’art” tentu saja bagi mereka pesan bukanlah hal yang
penting. Slogan ini dipopulerkan di Perancis di awal abad 19 sebagai bentuk
gerakan yang memisahkan seni dan pesan moral, etika, dan pendidikan. Dalam
bahasa Inggris slogan ini diterjemahkan sebagai “art for art’s sake” dan dalam bahasa Indonesia dipopulerkan dengan
istilah “seni untuk seni”.
Namun
terlepas dari slogan tersebut, seni termasuk tulisan merupakan media untuk
menyampaikan pesan sehingga karya menjadi lebih bernilai tinggi. Akan tetapi
jangan membebani banyak
pesan pada tulisan karena membuat cerita justru menjadi lemah dan tidak
fokus. Bagaimanapun, mengirim satu pesan yang diterima lebih baik daripada
mengirim banyak pesan tapi satu pun tidak sampai.
“Mas, kalau mungkin
mau kasih hadiah kejutan, belikan baju itu, ya!” Seru seorang istri pada suaminya saat tengah berjalan-jalan di sebuah
mall.
Coba
bandingkan dengan contoh di bawah.
“Wah,
Mas baju itu bagus sekali.” Seru seorang istri pada suaminya dengan nada antusias
saat tengah berjalan-jalan di sebuah mall.
Kelemahan penulis pemula yaitu penyampaian pesannya terlalu kental, verbal, dan
kentara karena tidak
piawai menyimpan pesan di balik pesan. Penulis harus berpikir keras dan
mampu menyelipkan pesan apa pun secara halus dan tersembunyi namun kena dalam
sebuah cerita. Semakin baik penulis menyimpan “pesan di balik pesan” atau menyampaikan
pesan tidak secara frontal, maka semakin mudah tulisan diterima masyarakat.
Menulis untuk menyebarkan kebaikan.
(Asma Nadia)
17.
Lima Dosa
Terkait Mental dan Sikap Penulis
Kebiasaan
paling buruk yang sering dilakukan penulis pemula, terutama yang masih remaja
adalah menyingkat kata
seenaknya atau menggunakan bahasa alay
yang tidak jelas. Sehingga tulisannya tidak dimengerti dan diabaikan,
efek selanjutnya karena diabaikan akhirnya tidak mau menulis lagi dan cita-cita
sebagai penulis kandas karena mereka mudah menyerah tidak bermental baja, terlebih lagi jika mereka
telah mendapat kritikan pedas terhadap karyanya.
Banyak
penulis pemula yang mengeluh kesulitan menulis karena kehabisan ide. Penulis
yang kehabisan ide, bukan karena tidak ada sumber ide, melainkan karena tidak mempunyai hati yang peka serta
visi yang tidak tajam untuk menangkap sumber ide yang berkeliaran di
sekitar sehingga menjadi malas
atau bahkan cepat puas dengan karya yang telah dihasilkan. Hal-hal
tersebut terjadi karena penulis tidak mempunyai motivasi kuat, sebab kebanyakan berkarya hanya
berdasarkan hobi atau kesukaan. Mentalitas penulis yang seperti itu tidak akan
cukup membuat seseorang bertahan dalam dunia kepenulisan. Intinya, seseorang
bertahan dan tetap menulis karena punya motivasi dan alasan kuat.
Apa
motivasimu dalam menulis?
Temukan
alasan yang kuat untuk meluncur ke papan atas bersama para penulis hebat. Satu
alasan kuat cukup untuk membuatmu terus menulis.
Tidak ada tempat bagi penulis malas. No
excuse! (Asma Nadia)
Jadikan menulis rutinitas setiap hari
hingga hidup terasa tidak lengkap bukan hanya ketika kamu tidak sholat atau
beribadah melainkan juga jika kamu belum menulis. (Asma Nadia)
Berapa jam dalam sehari semalam
diunakan untuk tidur? Berapa jam untuk menulis? Kalau ingin jadi penulis kenapa
lebih banyak di tempat tidur dibangingkan menulis? Semangat, No Excuse! (Asma Nadia)
Keren. Dari dulu pengen buku ini, tapi belum kesampaian. Setelah baca review di atas, rasa penasaran saya banyak yang sudah terjawab.
BalasHapusMakasih.
Alhamdulillah kalau postingan ini membantu :) Terima kasih kunjungannya^^ Hihi
HapusLebih enakan beli bukunya. Tiap butuh ilmunya tinggal buka nuku doang
HapusTerima kasih mbak Asti. Sangat bermanfaat.
BalasHapusBagusbak....bermanfaat
BalasHapusblok warnanya gunakan warna yang terang, soft, dan tidak menutupi tulisan.
BalasHapusBagus kak. Terimakasih
BalasHapus