بِسْــــــــــــــــــمِ
اﷲِالرَّحْمَنِ اارَّحِيم
Judul: Insya Allah, Sah!
Penulis: Achi TM
Penerbit: Gramedia Pustaka Utama
Tebal Buku: 328 halaman
Cetakan Pertama: Januari 2015
Tebal Buku: 328 halaman
Cetakan Pertama: Januari 2015
ISBN: 978-602-03-1465-5
Harga: Rp. 70.000,-
Sumber Gambar: goodreads
Kenapa sih semesta ini seperti berkonspirasi
mengacaukan persiapan pernikahan Silvi?
Silvi
terjebak dalam lift bersama Raka. Karena panik, Silvi bernazar akan memakai
jilbab kalau bisa keluar dari lift. Masalahnya, bagaimana mungkin ia –desainer
sekaligus pemilik Silviana Sexy Boutique yang beromzet miliaran– bisa memenuhi
nazar untuk berjilbab? Gila aja, kan?! Tapi, menurut Raka nazar harus dipenuhi,
kalau tidak, kesialan beruntun akan terus menimpanya.
Kekacauan
urusan pernikahan Silvi ternyata tak kunjung kelar. Ketika Silvi rela mencoba
berjilbab demi kelancaran urusan pernikahannya, ia mendapati kenyataan yang
mengejutkan. Dion, calon suami Silvi, ternyata tidak suka perempuan berjilbab dan
mengancam akan membatalkan pernikahan mereka!
“Saya
terima nikahnya Silviana Harini binti Rasyid Mahmud dengan maskawin tersebut
dibayar tunai.”
“Sah?”
“Saaaah...!”
Cuma itu yang ingin didengar Silvi.
Alhamdulillaah. Bersyukurlah bagi yang diberi
kemudahan oleh Allah untuk memenuhi salah satu perintahnya dalam surat Al-Ahzab
ayat 59, ya, berhijab! Karena sesungguhnya, banyak pula di luar sana yang
justru harus melewati jalanan terjal dan berliku untuk menutup mahkota mereka
dengan pakaian mulia itu.
Seperti dalam novel ini. Secara garis besar, menurutku, novel ini
membawa kita turut mengarungi teramat sulitnya Silvi Harini –seorang desainer
khusus baju-baju seksi– hijrah menjadi pribadi yang lebih baik di jalan Allah. Betapa
sulit sepak terjangnya untuk berjuang mempertahankan jilbab yang luar biasa
menuai kontroversi dari lingkungan sekitarnya. Dimulai dari kemarahan adiknya,
lalu kehilangan banyak langganan butiknya, kemudian, yang sangat mengejutkan
dari yang paling mengejutkan adalah Dion! Calon suaminya yang luar biasa
slengean dalam hal agama, sudah pasti menentangnya yang tiba-tiba memutuskan
untuk berjilbab. Ia malah menghujatnya habis-habisan dan mengancam akan
membatalkan pernikahan yang seluruh persiapannya nyaris selesai. “Kamu itu
kan... desainer baju-baju seksi, nggak mungkinlah pakai jilbab. Jadi kayak
orang munafik tauk!” Bukan hanya itu, si Dion malah menuduhnya selingkuh
dengan salah satu orang kepercayaan Dion yang bernama Raka. Raka, lelaki dengan
gambaran yang sangat bertolak belakang dengan si Dion.
“Demi Allah... aku memakai jilbab karena aku sadar
bahwa Allah adalah Tuhan yang harus aku taati. Bukan karena manusia mana pun,
apalagi Raka.”
Memangnya kenapa sih si Silvi tiba-tiba mau pake jilbab?
Seperti dikatakan pada blurbs. Terperangkap di dalam lift mati berduaan
dengan lelaki luar biasa shaleh yang bernama Raka. Ya, semuanya berawal dari
sana! Karena pintu lift tak kunjung terbuka, dengan cerobohnya nazar untuk
mengenakan jilbab meluncur dari mulutnya. Ajaibnya, kurang sepuluh detik
setelah Silvi mengucapkan nazar itu, mulut lift menjeblak lebar!
Beberapa
bab ke depan, perihal nazar ini tak pernah diungkit lagi. Lembar demi lembar
terus bergulir bersama musibah dan kesulitan yang silih berganti seakan
menghalangi Silvi yang tengah menyiapkan pernikahannya dengan Dion. Hingga di
saat yang terasa sudah sangat genting, Raka dengan tegas mengingatkan Silvi
akan nazarnya itu. “Memulai itu memang sulit, tapi jika dilakukan karena
Allah, insya Allah pasti akan dimudahkan. Saya yakin, kesulitan yang kamu
dapatkan saat mempersiapkan pernikahan adalah teguran dari Allah agar kamu
melaksanakan nazarmu.”
Kalau manusia dalam keadaan senang kadang lupa sama
Allah. Kalau sedang susah pasti lupa kepada Allah.
Singkat
cerita, setelah melewati pergulatan batin yang hebat, merenungkan segala kejadian
buruk yang menimpanya, apalagi setelah rambutnya terbakar, dibantu juga oleh Kiara,
Raka, dan Aida yang tak pernah berhenti mendukungnya, akhirnya Silvi mengenakan
jilbab! Dan ajaib, semesta lantas berbalik menjadi bersahabat dengannya. Ada
saja hal-hal yang melancarkan urusan pernikahan yang sebelumnya
tersendat-sendat. Namun bukan hanya itu yang membuatnya takjub setelah
berjilbab, melainkan lebih pada perasaan damai yang seketika menyelimuti
hatinya. Ini seperti jatuh cinta.... Seperti menyadari bahwa... kamu
menemukan sesuatu yang selama ini kamu cari. Aku bersimpuh di lantai dengan
kaki lemas, kemudian menangis.
Setelah
mengenakan jilbab, setiap kali hendak melakukan kebiasaan buruk selalu membuat Silvi
lantas malu bahkan mengurungkan niatnya. Jilbab adalah ‘alarm’ bagi kita
untuk selalu menjalankan hidup sesuai dengan ajaran-ajaran Islam. Hal itu
justru membuatnya semakin nyaman melindungi auratnya di balik pakaian luar
biasa yang membawanya pada keinginan untuk taat lebih jauh lagi. Namun bersamaan
dengan hal itu, seperti dikatakan di awal, banyak juga perubahan dari dunia
luar yang sering kali menggoyahkan pendiriannya, bahkan Silvi sempat melepas
kembali jilbabnya. “Memakai jilbab adalah sebuah tonggak perubahan, Sil. Dengan
memakai jilbab berarti kamu harus siap dengan segala perubahan. Dunia kamu akan
berubah, perlakuan orang-orang di sekitarmu juga akan berubah,”
Lalu
selanjutnya?
“Aku mencintaimu, Dion... tapi ternyata aku lebih
mencintai Tuhanku, Tuhanmu juga....”
Seterusnya? Baca saja :3
Sedikit renungan:
Aku
jadi ingat kalimat yang berbunyi wallahu rauufun bil‘ibaad. Allah
benar-benar tidak akan menyia-nyiakan hamba-Nya yang berbuat baik. Kaitannya
dengan buku ini?
Pertama. Buktinya, Allah menghadirkan lelaki yang luar biasa shaleh sebagai jodoh
Silvi –perempuan yang baru saja atau sedang berjuang untuk hijrah ke jalan
Allah. Padahal sebelumnya, dia luar biasa slengean dalam hal agama. Ini bukti
kalau Allah senantiasa akan selalu mensyukuri dan menyantuni hamba-Nya yang berbuat
baik :))
Karena lelaki yang baik untuk perempuan baik, lelaki shaleh untuk
perempuan shalehah. Ini juga menunjukkan bahwa surat An-Nuur ayat 26 itu memang benar. Saat Silvi
masih jauh dari agama, ya dia cocok-cocok aja lah terus barengan sama si Dion. Mereka
berdua sama-sama jauh dari agama. Namun keadaan berbalik saat Silvi memutuskan
untuk berjilbab dan mulai mendalami agama, dia malah merasa tidak nyaman saat
berada dekat Dion. Di sinilah Allah membimbing Silvi menemukan jodoh
yang lebih sesuai untuk dirinya yang sudah mau menghijrahkan diri ke jalan
Allah.
Kembali
lagi ke kalimat wallahu rauufun bil‘ibaad. Kedua, dalam buku ini
kita akan bertemu dengan Kiara dan Aida. Penulis menghadirkan mereka sebagai
penyeimbang cerita. Diceritakan mereka adalah sahabat Silvi yang sudah lebih
dulu berjilbab. Namun jangan salah, mereka ternyata memiliki masa lalu yang juga
kurang baik sebelum berjilbab. Tapi mereka sama-sama mendapatkan jodoh yang
baik setelah berhijrah. Mungkin di sini penulis ingin menegaskan bahwa tidak
ada kata terlambat untuk berhijrah, berubah menjadi pribadi yang lebih baik,
karena Allah Maha Pengampun dan tak akan membiarkan begitu saja hamba-Nya yang berbuat
baik :))
Kenapa
pada paragraf sebelumnya aku sebut kalau Kiara dan Aida dihadirkan sebagai
penyeimbang cerita? Karena di sini mereka turut menjadi orang yang terus mengingatkan
dan mendukung Silvi untuk berhijrah. Karakter mereka berdua, ditambah Raka,
hadir sebagai penyeimbang aura hedonis yang menguar dari tokoh-tokoh lain, seperti
Silvi dan Dion misalnya.
Setelah
ditelaah dan dimaknai lebih dalam, ternyata ada banyak hal yang dikritisi Achi
TM dalam novelnya yang ke-16 ini. Aku paparkan satu per satu ya hehehe.
Jika
dilihat secara kasar dan bulat, karakter Raka memang sangat sempurna dalam urusan
agama. Dia adalah lelaki idaman yang tak dapat diragukan lagi untuk dijadikan
seorang imam. Tapi tetap kan, meski fiksi, plausibility-nya juga
harus tetap ada agar cerita dapat diterima oleh logika. Salah satunya, penulis berhasil
mencuatkan plausibility pada karakter Raka sehingga terhindar dari
penciptaan karakter yang too good to be true. (Apa itu plausibility?
Kalian bisa gugling, atau tunggu saja karena bukunya baru selesai kubaca dan
ada di antrian review hihi)
Oke, kembali ke plausibility. Pada bagian mana sih plausibility
penokohan Raka?
Raka memang taat beragama, tapi dia tetap manusia biasa. Untuk yang
pertama kalinya, dia jatuh cinta. Tahu lah orang yang jatuh cinta gimana (gimana
emang?). Nah, di sini nih, luar biasa, aku salut sama cara Raka mengendalikan
rasa cinta yang diam-diam bersemayam dan tumbuh mekar dalam dada (cieee /?).
“Saya jatuh cinta pada perempuan yang saya pikir
jauh dari agama. Tapi saya berusaha menjaga hati saya, saya hanya mampu berdoa
supaya Allah memberikan hidayah untuk perempuan itu agar dia jadi muslimah yang
lebih taat.”
“Saya mencintai dia karena itulah yang Allah
anugerahkan kepada saya. Tapi saya berhasil mengurung cinta itu pelan-pelan. Cinta
saya padanya seperti karang yang kokoh, tapi zikir terus menerjangnya bagaikan
ombak, saya hanya menunggu sampai karangnya benar-benar rubuh.”
Dari
bagian ini aku menyimpulkan tentang pentingnya menjaga dan mengendalikan rasa
cinta hehehe. Jatuh cinta itu manusiawi. Masalahnya, terletak pada sikap kita
saat jatuh cinta itu datang menerpa. Tugas kita adalah mengendalikan dan
menjaga agar cinta yang tumbuh itu jangan sampai melampaui rasa cinta pada Allah
sang pemberi cinta. Keharusan kita
adalah menjadikan rasa cinta itu sebagai salah satu jalan untuk mendekatkan
diri pada Sang Khaliq, jangan sampai menjadi sesuatu yang malah menjauhkan kita
dengan-Nya.
Kalau
sudah menyinggung jatuh cinta, pasti bakal berkaitan juga dengan pacaran, topik
berikutnya yang secara tersirat dikritisi penulis dalam novel ini.
“Bukan. Syaratnya
hanya satu. Mbak Silvi juga harus ditemani oleh muhrimnya. Jadi kami tidak
berduaan saja. Kalau berduaan saja nanti yang ketiganya setan.”
Tapi Raka
menolak, dia punya prinsip kalau menyetir mobil, bangku depan hanya boleh
diduduki oleh istrinya.
Dalam Islam
nggak ada yang namanya pacaran Islam hanya melegalkan pernikahan.
“Hubungan
cinta sebelum pernikahan tidak akan pernah berakhir bahagia.”
“Memang nggak
baik pacaran, apalagi lama-lama. Setan itu selalu menggoda di mana-mana.”
“Nggak guna
banget kan pacaran segala kalau ternyata belum mengenal banget satu sama lain. Kalau
pacaran nggak digunakan untuk saling mengenal pasangan, berarti kalian
gagal.”
Jika jatuh cinta, pendam saja di lubuk hati dan simpan saja di belakang
kepala. Tak perlu diumbar, apalagi pacaran. Sandarkan saja semua rasa itu pada
Allah. Biar Allah yang membimbing cinta itu di jalan-Nya. Seperti cinta Raka
pada Silvi yang menurutku indah ._. Benar-benar cinta karena Allah.
Setelah
itu, tak kalah penting juga, topik yang berkaitan erat dengan judul novel ini –Insya
Allah, Sah! – tentunya adalah tentang pernikahan.
Secara
tersirat melalui dialog-dialognya, penulis mengkritisi pernikahan yang diselenggarakan
mewah-mewahan dengan alasan sekali seumur hidup. “karena dalam Islam,
sebaik-baiknya perempuan itu yang maharnya sedikit.” Padahal sebenarnya
bukan itu esensi dari suatu pernikahan. Sepasang insan menempuh pernikahan adalah
untuk bersama-sama meraih keridhoan Allah lewat salah satu sunnah Rasul ini. Baik
suami mau pun istri harus saling mengetahui hak dan kewajiban masing-masing
untuk mencapai mawaddah, sakinah, wa rahmah. Maka dari
itu, di sini sangat dianjurkan agar membaca buku-buku tentang pernikahan terlebih
dahulu sebelum menginjak jenjang tersebut. “Menikah tak hanya cukup dengan
cinta. Istri harus tahu apa hak dan kewajibannya terhadap suami, begitu juga
suami.”
Jadi,
sama sekali tak perlu merisaukan seberapa mewah pernikahan itu berlangsung. Buat
apa mewah tapi tidak berkah? “cobalah
menikah dengan sederhana. Supaya rumah tangga lebih berkah.” Uang yang
dimiliki, daripada dihabiskan untuk menggelar pernikahan mewah, akan lebih baik
jika disedekahkan pada yang lebih berhak menerima, kan? Nah, kan? Dari
pernikahan merembet juga pada pentingnya menjaga diri dari sikap boros dan pentingnya
memperhatikan sedekah. Luar biasa, kan buku ini? “Orang Islam itu nggak diajarim boros
sama Rasulullah, Sil.” “Lagi pula bersedekah itu bukan mengurangi uang kamu tapi menambahkan,
melipatgandakan,. Karena akan diganti sama Allah. Bersedekah, zakat, itu seperti
membersihkan uangmu. Ada hak orang miskin dalam hartamu.”
Juga, disinggung mengenai kebiasaan menentukan
tanggal pernikahan berdasarkan hari baik-hari buruk. Padahal sesuatu semacam
itu sama sekali bukan bagian dari ajaran Islam. “Bu, insya Allah dalam Islam
semua hari baik untuk menikah. Nggak perlu pakai acara hitung-hitungan hari
baik. Insya Allah semua baik.”
Yang
terpenting adalah bagaimana caranya agar pernikahan dapat menyatukan dua
keluarga dalam dekapan ukhuwah islamiah. Namun bukan sekadar bersatu
secara fisik, tapi juga disertai dengan hati yang bertautan. Menyatukan dua
administrasi insan di KUA saja butuh proses. Apakah nanti bisa menyatukan dua
keluarga besar? Yang terpenting adalah pernikahan harus menyatukan dua hati.
Sebenarnya,
masih banyak yang aku dapat dari buku ini. Mulai dari hal kecil yang mungkin
dianggap sepele oleh segelintir orang, seperti yang dikatakan Raka, Katanya kalau
minum itu lebih baik duduk, itu yang diajarkan Rasul. Mendengarkan
dan menjawab azan, “Kan lagi azan, Mas. Kita
hormati yang azan, supaya nanti pas sakaratul maut kita dimudahkan
mengucapkan dua kalimat syahadat.” Menjaga kebersihan, “Gina, kebersihan itu adalah sebagian dari iman. Allah itu
suka lho sama kebersihan.” Sampai pentingnya menjaga aib orang lain,
“Gina,
Allah saja menutup aib kita lho. Masa kamu tega membuka aib kakak kamu di depan
saya, sih?”
Sangat
sarat dengan nilai-nilai keagamaan. Sama sekali tidak menggurui tapi cukup
menendang ulu hati. Menurutku, gaya bahasa Achi TM hampir sama seperti cara Mia
Arsjad bertutur. Penggunaan kata yang ringan, permainan kata yang tidak
membosankan, dan yang paling khas adalah kekocakannya. Pasti saja, ada satu
kata yang selalu berhasil membuatku tergelitik bahkan di tengah suasana yang
serius atau bahkan genting sekali pun. Kekocakannya itu sering kali memecahkan
efek dramatis yang berhasil diciptakan sebelumnya.
Novel
ini, benar-benar novel dewasa yang menuntun kita agar menjadi dewasa yang
sejalan dengan ajaran Islam. Eh, lho? Novel dewasa? Aku pun baru sadar setelah
membaca beberapa halaman kalau di back cover-nya tercetak dengan sangat
jelas NOVEL DEWASA. Tapi jangan khawatir, kata dewasa di sini bukan
dalam konteks ‘dewasa’ dalam konotasi negatif.
Buku ini, pengingat dan siraman rohani dalam balutan karya tulis ringan
yang mudah diterima, menurutku hehehe. Aku benar-benar merekomendasikan novel
ini untuk dibeli, dimiliki, dibaca, dimaknai, lalu diamalkan. Jangan lupa juga,
direview agar yang kita dapat dari bacaan tidak kabur begitu saja hehehe. Ayo, buku bagus seperti ini jangan dilewatkan^^9
Di
bawah, aku kutip salah satu dialog antara Raka dengan Silvi yang paling aku
suka. Juga ada beberapa pelajaran lain yang aku garis bawahi.
“Perbuatan maksiat
itu seperti bom waktu. Dia kadang diabaikan, tapi sebenarnya sedang mempersiapkan
diri untuk meledak.”
“Meledakkan apa?”
“Ya meledakkan
manusia itu sendiri. Memang Mbak pikir minuman keras, seks bebas, pembunuhan, pencurian,
jika dibiarkan bisa membuat manusia itu damai?”
“Ya, bisa hancur,
dong.”
“Makanya, saya
mencoba jadi bagian dari sedikit orang yang peduli dengan masa depan manusia.”
“Mbak Noni bilang kita harus memberikan
barang yang terbaik yang bisa kita kasih untuk saudara kita.”
“Semua orang selalu bilang nggak siap.
Apa kita pernah siap saat dilahirkan? .... Apa kita siap untuk mati?”
“Memakai jilbab itu wajib, siap nggak
siap kamu harus melakukannya. Manusia itu harus selalu berubah menjadi lebih
baik.”
“Ya, bukan hanya jilbab fisik aja
tapi juga shalehah. Karena lelaki yang baik untuk perempuan baik, lelaki shaleh
untuk perempuan shalehah.”
“Lha, justru orang zaman batu itu
bajunya minim-minim nyaris nggak pake baju, Gina. Menutup aurat itu adalah satu
ciri manusia modern.”
Ya Allah... bila jilbab telah
mengubah seseorang menjadi lebih baik, maka sepatutnya aku tak perlu meragukan
perintah-Mu lagi.
Karena memutuskan tali silaturahmi itu
bisa mempersulit rezeki dan mempersulit hidup kita.
Disakiti dan terluka oleh lidah bekasnya
lebih dalam dan susah hilang dibandingkan luka oleh pedang.
“Emang apa sih fungsinya menjaga
pandangan?” Kiara bilang supaya bisa menjaga hati.
Kiara sering menasihati aku agar tidak
terlalu berlebihan memuji seseorang. Rasulullah melarangnya sebab pujian itu
bisa menjatuhkan.
Tipe lelaki yang selalu menepati janjinya.
“Shalat tepat waktu lebih enak, lho.”
Dia tak ingin
merepotkan perempuan katanya.
Boros itu
sifatnya setan.
Meminta maaf
adalah perbuatan mulia.
Memuliakan
alquran.
Menjaga
amanah.
Puasa
senin-kamis.
Ukhuwah islamiah.
Mencegah kemubaziran.
Menjaga wudhu.
Akhirul
kalam. Mudah-mudahan bisa mendatangkan manfaat karena sebaik-baiknya
manusia adalah yang bermanfaat untuk sesamanya ^O^
Komentar
Posting Komentar