Sebelum melakukan telaah yang lebih jauh
mengenai uang, ada baiknya untuk terlebih dahulu mengenal konsep uang dalam
kacamata negeri pertiwi ini. Salah satu caranya adalah dengan mengkaji regulasi
yang berkaitan dengan eksistensi uang itu sendiri. Di Indonesia ini.
Sebagai negera yang merdeka dan
berdaulat, dirasa perlu bagi pemerintah Indonesia untuk merangkai peraturan
yang secara spesifik membahas uang secara holistik dan rinci. Sebab pengaturan
yang diamanatkan dalam Pasal 23B Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945 belum diatur dengan undang-undang tersendiri. Sehingga DPR RI bersama
Presiden Republik Indonesia memutuskan untuk menetapkan UU tentang mata uang,
yakni dalam UU RI Nomor 7 Tahun 2011.
UU yang terdiri dari 11 BAB dan 48 Pasal
ini dibuka dengan pasal yang menyatakan bahwa rupiah adalah mata uang yang
secara sah berlaku di wilayah teritorial Indonesia. Bentuknya yakni kertas dan logam.
Yang masing-masingnya memiliki ciri fisik tersendiri sesuai standar yang telah
dibakukan pemerintah. Jika saja beredar uang yang tidak secara utuh memenuhi
kriteria yang dilegalkan pemerintah, hal tersebut mengindikasikan bahwa uang
tersebut adalah uang palsu atau tiruan. Dan dalam Pasal 34 Ayat (2) disebutkan
adanya hukuman pidana dan denda yang harus ditimpakan kepada pihak tak
bertanggung jawab yang mengedarkan atau menyebarkan uang tiruan tersebut.
Paparan singkat mengenai bab pembuka di
atas menunjukkan betapa pemerintah memiliki peranan yang dapat dikatakan
sentral dalam mengatur keberadaan uang dalam suatu perekonomian. Kondisi
tersebut telah memenuhi tiga syarat uang dalam suatu perekonomian yang
dikatakan Al-Ghazali. Adanya sanksi yang diberlakukan bagi pengedar uang tiruan
juga masih sejalan dengan Al-Ghazali yang sangat mengecam tindakan tersebut.
Sebab menurutnya, perbuatan tersebut lebih berbahaya dibandingkan dengan
mencuri uang sebesar seribu dirham. Pun, dosanya terus tercatat selama uang
tiruan tersebut beredar di pasaran.
Salah satu poin dari tiga syarat yang
dikemukakan Al-Ghazali adalah percetakan dan pengedaran uang hanya dilakukan
oleh pemerintah. Dalam UU RI Nomor 7 Tahun 2011 ini, dua kegiatan tersebut
merupakan bagian dari pengelolaan rupiah. Adapun dalam Pasal 11 Ayat (1)
disebutkan bahwa pengelolaan rupiah meliputi tahapan perencanaan, pencetakan,
pengeluaran, pengedaran, pencabutan dan penarikan, hingga pemusnahan rupiah itu
sendiri. Yang dalam pelaksanaannya, seluruh tahapan pengelolaan rupiah tersebut
harus sesuai dengan prosedur pengamanan yang berlaku, sebagaimana tertera dalam
Pasal 12. Hal ini dimaksudkan agar terdapatnya pembagian kerja yang jelas. Oleh
karena itu, pemerintah menunjuk BI dan BUMN tertentu untuk saling berkoordinasi
dalam melalui tahap demi tahap tersebut.
Alasan ditunjuknya BI adalah, sebagai
bank sentral yang tentunya lebih tahu akan kondisi sektor keuangan di Indonesia,
BI pasti dapat membaca iklim moneter yang tengah mengudara, untuk selanjutnya
disesuaikan dengan tahapan pengelolaan rupiah. Karena seperti yang dikatakan Al-Maqrizi,
bahwa upaya mengeluarkan dan mencetak uang harus sesuai dengan proporsi
keuangan yang beredar di tengah-tengah masyarakat. Ini sebabnya dalam
pengelolaan rupiah, bukan hanya ada pengedaran, tetapi juga pencabutan dan
penarikan bahkan sampai ke pemusnahan rupiah dengan kriteria dan regulasi
tertentu. Sedapat mungkin, implikasi dari tahap demi tahap pengelolaan rupiah
itu harus menciptakan iklim perekonomian yang kondusif.
Peran pemerintah tidak berhenti pada
proses pengelolaan rupiah saja. Setelah diedarkan, yang perlu dilakukan
selanjutnya adalah memantau penggunaan rupiah itu sendiri. Pemerintah dengan
wewenang penuhnya harus menjaga agar penggunaan uang di masyarakat tetap berada
di jalur hukum yang seharusnya. Bentuk penyelewengan apa pun dalam pemanfaatan
uang harus ditindak tegas. Yang secara rinci terangkum dalam BAB X Pasal 33
sampai 41.
Komentar
Posting Komentar