Judul:
Ayat-Ayat Cinta 2
Penulis: Habiburrahman El Shirazy
Penulis: Habiburrahman El Shirazy
Penerbit:
Republika Penerbit
Tebal Buku: vi + 698 halaman
Cetakan Pertama: November 2015
Tebal Buku: vi + 698 halaman
Cetakan Pertama: November 2015
Cetakan
Keduabelas: Maret, 2016
ISBN:
978-602-0822-15-0
Harga:
Rp. 95.000,-
Alhamdulillah. Akhirnya aku sampai di
penghujung lembaran buku dengan ketebalan nyaris 700 halaman ini. Warbiyasah!
(?)
Di Ayat-Ayat Cinta 2 aku bertemu lagi
dengan Fahri. Itu lho, suaminya Aisha dan Maria. Maria kan sudah meninggal. Nah
kalau di buku ini Aisha sudah bertahun-tahun menghilang. Terakhir kali Fahri
bertemu dengan istrinya itu adalah di bandara saat Aisha hendak berangkat ke
Palestina. Beberapa hari setelahnya, mereka hilang kontak. Gawatnya, di saat
yang sama pula ditemukan mayat Alicia dalam kondisi yang sangat mengenaskan.
Alicia adalah wartawan yang berangkat dengan Aisha ke Palestina. Sementara
Aisha, sampai detik diceritakan Fahri pindah ke Jerman pun tak diketahui
rimbanya. Sudah nyaris tujuh tahun, dan Fahri tidak tahu apakah istri yang
sangat dicintainya itu masih hidup atau sudah tiada.
Fahri susah move on pokoknya. Ditawarin
nikah sama ini-itu dia tetep nggak mau.
Bukan hanya kisah cinta Fahri, kehidupan
sehari-harinya juga menjadi penceritaan yang mendapat porsi yang cukup besar. Bagaimana
Fahri, seorang muslim yang merupakan minoritas di Edinburgh hidup dengan
bertetanggakan mereka yang beragam latar belakang. Ada nenek-nenek Yahudi yang
bernama Catarina. Kakak beradik James dan Keira yang sangat membenci Islam. Brenda,
perempuan yang pernah memberinya kado wine sebagai tanda terima kasih. Itulah
saatnya Fahri untuk berdakwah. Memperlihatkan bahwa Islam sama sekali jauh dari
bau-bau negatif seperti yang mereka pahami. Dakwah yang Fahri sampaikan melalui
caranya berakhlak dengan tetangga. Bagaimana Fahri sangat memuliakan mereka
meski sering kali mendapat perlakuan yang tidak semena-mena. Pada akhirnya,
Fahri benar-benar berhasil meluruskan cara pandang mereka terhadap Islam. Dakwah
tidak melulu harus cuap-cuap sambil berdiri di mimbar, kan?
Ada juga Misbah dan Sabina. Keduanya
sama-sama mendapat bantuan yang tidak sedikit dari Fahri.
Pokoknya, sosok Fahri di sini
benar-benar mapan dan matang dalam segala aspek. Akademisi yang disegani, iya.
Pengusaha sukses, iya. Sempurna pokoknya. Fahri seolah tak ada cela. Begitulah,
godokan karakter yang sangat khas racikan Kang Abik. Terasa too good to be
true. Meski sebenarnya tidak menutup kemungkinan ada –mungkin memang ada–
sosok orang sempurna seperti itu. Satu dari sepuluh mungkin hehehe.
Begitu, sih. Alurnya memang meliuk-liuk
tak terduga. Tapi sebenarnya tidak ada yang terlalu mengejutkan. Sama tidak
mengejutkannya begitu sampai di akhir halaman. Sebab, ada satu detail yang dari
awal penceritaan terus-menerus diulang oleh penulis, seakan penulis mau
mengalihkan fokus pembaca. Bukannya teralihkan fokusnya, pembaca justru malah
menjadi curiga. Dan ternyata benar saja. Ending sejalan dengan dugaan
awal. Aku nyesek sih sebenarnya. Greget juga.
Dari segi isi, melalui karakter tokoh
utamanya yang (selalu) digambarkan sangat mencintai ilmu pengetahuan, big applause
pokoknya. Kaya wawasan. Kang Abik banget! Ada banyak sekali pengetahuan
yang aku dapat dari sini. Cukup banyak lho yang aku highlight, underline,
dan cirian(?). Namun deskripsi yang terlalu mendetail ini juga terkadang
mengganggu jalan cerita. Jadinya malah bertebaran dialag atau narasi yang tidak
berkaitan dengan cerita. Mungkin ini ya, yang menyebabkan ketebalan bukunya seperti
ini? Tapi tak apa-tak apa.
Ada inkonsisten penulisan juga. Mungkin
karena jumlah halamannya yang cukup banyak kali, ya. Jadinya editor lupa di
awal tadi aamiin ditulis amiin atau ãmîn atau malah ãmén,
ya? Semuanya ada hehehe.
Overall, buku ini aku masukkan ke jajaran buku
yang aku rekomendasikan untuk dibaca. Menyaksikan peradaban Islam di belahan
bumi bagian lain bersama Fahri. Bagaimana Fahri berkeras menghidupkan peradaban
Islam yang sesungguhnya, bukan peradaban Islam yang tertutup oleh terlampau
banyaknya muslim, yang malah, tak sejalan dengan Islam itu sendiri. Bahwa
sesungguhnya, Islam itu sempurna. Kalaupun ada yang tak berjalan ideal, itu
semata adalah kekeliruan umat yang menjalankan Islam itu sendiri.
Satu kalimat yang refleks aku ucapkan
begitu menutup buku ini:
Wah, poligami! -_-
Omong-omong soal judul postingan, kenapa aku harus menjuduli "Kemana Aisha?"
Ini karena menurutku, masalah hilangnya Aisha mendapat porsi yang besar dalam mempengaruhi alur dan naik-turunnya cerita. Beberapa keputusan besar yang menjadi penentu alur cerita, berpangkal dari satu titik. Ia Aisha.
Jadi, kemana sebenarnya Aisha?
Aku yakin, dalam beberapa bab awal, pertanyaan itu yang akan terus bercokol di benak kalian wahai reader. Selanjutnya, jika jeli, jawaban akan kalian dapat bahkan sebelum mencapai halaman terakhir.
Terima kasih.
Komentar
Posting Komentar