source from here |
Kiprah asuransi syariah dalam tatanan praktis telah dijabarkan oleh tim
DSN-MUI melalui fatwanya yang bernomor 21 pada tahun 2001. Laju waktu yang
beriringan dengan pesatnya inovasi yang merambahi industri keuangan mengantarkan
MUI pada keputusannya di tahun lalu untuk meluncurkan fatwa terbaru yang
semakin memperkaya lini asuransi syariah. Adalah Fatwa DSN-MUI Nomor 106 Tahun 2016
tentang Wakaf Manfaat Asuransi dan Manfaat Investasi pada Asuransi Jiwa
Syariah.
Pembentukan fatwa tersebut berangkat dari beberapa hal yang
melatarbelakanginya. Ada tiga poin pertimbangan
dalam fatwa yang jika disimpulkan menggambarkan bahwa secara empiris peleburan
wakaf ke dalam asuransi telah cukup marak, hanya saja belum ada aturan legal
yang memayungi. Oleh karena itu, DSN-MUI memandang bahwa pembentukan fatwa
tentang hukum mewakafkan manfaat asuransi dan manfaat investasi pada asuransi
jiwa syariah menjadi penting, karena, masyarakat, lembaga wakaf, dan Lembaga
Keuangan Syariah (LKS) sangat memerlukan eksplanasi syariah tentang praktik
tersebut.
Terdapat tiga aspek penting yang mesti dipahami dalam ketentuan umum fatwa
ini, yakni wakaf, manfaat asuransi, dan manfaat investasi. Pertama, wakaf
adalah menahan harta yang dapat dimanfaatkan atau di-istitsmar-kan tanpa
lenyap bendanya, dengan tidak menjual, menghibahkan, dan /atau mewariskannya,
dan hasilnya disalurkan pada sesuatu yang mubah kepada penerima manfaat wakaf
yang ada. Kedua, manfaat asuransi adalah sejumlah dana yang bersumber
dari dana tabarru’ yang diserahkan kepada pihak yang mengalami musibah
atau pihak yang ditunjuk untuk menerimanya. Dan ketiga, manfaat investasi
adalah sejumlah dana yang diserahkan kepada peserta program asuransi yang
berasal dari kontribusi investasi peserta dan hasil investasinya.
Jika tiga aspek tersebut dihubungeratkan dengan empat rukun dalam wakaf,
maka manfaat asuransi dan manfaat investasi bisa digolongkan pada ragam dari
harta yang diwakafkan (mauquf). Sementara tiga rukun lainnya adalah
harus adanya orang yang berwakaf (waqif), orang yang menerima manfaat
wakaf (mauquf ‘alaih), dan diucapkannya lafadz atau ikrar wakaf (sighat).
Manfaat asuransi yang boleh diwakafkan paling banyak
berkisar pada 45% dari total manfaat asuransi yang dimiliki oleh pemilik yang
akan mewakafkan (waqif). Selanjutnya, waqif harus menunjuk pihak
yang yang akan menerima manfaat wakaf (mauquf ‘alaih). Semua calon mauquf
‘alaih yang telah ditunjuk harus menyatakan persetujuan dan kesepakatan
mengikat (wa’d mulzim) untuk mewakafkan manfaat asuransi. Setelah manfaat
asuransi secara prinsip telah beralih hak kepada mauquf alaih maka harus
dinyatakan ikrar wakaf (sighat) sebagai tanda bahwa kesepakatan telah
terbentuk dan disetujui.
Lain lagi dengan manfaat investasi, kadar pewakafannya hanya
boleh mencapai satu per tiga (1/3) dari total kekayaan dan/atau tirkah,
kecuali disepakati oleh semua ahli waris lain dari pihak waqif.
Selain rukun wakaf yang empat, ada lagi satu elemen penting dalam wakaf,
yaitu pengelola wakaf (nazhir). Dalam buku-buku fiqh tidak disebutkan
bahwa nazhir adalah bagian dari salah satu rukun wakaf. Hanya saja,
karena semakin lama wujud dari mekanisme wakaf yang kian beragam, maka nazhir
menduduki peranan yang cukup penting dalam mengelola dan mengembangkan
harta makaf. Oleh karena itu, Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 tentang Wakaf
menyertakan nazhir menjadi salah satu rukun wakaf. Hal ini karena pengelolaan
wakaf yang terus menerus dimodernsisasi dan diakulturasikan dengan sistem
keuangan hari ini. Undang-Undang tersebut juga dibentuk karena mulai
berintegrasinya wakaf dengan berbagai Lembaga Keuangan Syariah (LKS) untuk menangani
wujud mauquf yang juga telah termodifikasi.
Masih dalam Undang-Undang yang sama, dikatakan bahwa dalam menjalankan
tugasnya nazhir berhak menerima imbalan dari hasil bersih atas
pengelolaan dan pengembangan harta benda wakaf yang besarnya tidak melebihi 10%
(sepuluh persen). Hal ini juga bisa dirujuk pada dasar hukumnya pada hadis yang
menceritakan tentang kisah Umar bin Khaththab ketika mendapatkan tanah di
Khaibar untuk kemudian diwakafkan. Di akhir hadis disebutkan bahwa pihak yang
mengurus tanah tersebut bisa menggunakan hasilnya dalam kadar yang sesuai tanpa
menjadikan peran nazhir yang diembannya sebagai sumber pendapatan.
Sebab, pada hakikatnya wakaf adalah salah satu jenis filantropi dalam Islam yang berdimensi ganda, yakni untuk menjangkau nilai spiritual dan sosial.
Jika dalam konteks asuransi jiwa, fatwa DSN-MUI yang sedang dibahas pun
turut memperhatikan pentingnya batasan untuk para nazhir tersebut. Ketentuan
ujrah bagi para nazhir dibatasi paling banyak sampai 45% dari
kontribusi reguler pada tahun pertama, dan meningkat menjadi 50% pada tahun kedua dan seterusnya.
Akan tetapi meski dari segi manajemen telah mengalami proses pengkinian,
disinergikan bersama instrumen keuangan dengan diversifikasi produk apa pun, prinsip
dasar wakaf mutlak tak boleh direvisi. Adalah
seperti arti kata wakaf itu sendiri yang dalam kamus Al-Wasith dinyatakan
serumpun dengan kata imsak yang berarti menahan. Senada dengan definisi
yang telah disinggung dalam fatwa DSN-MUI No. 106 Tahun 2016, bahwa pengelolaan
harta wakaf tidak boleh sampai melenyapkan nilai pokok harta tersebut. Harta wakaf
harus ditahan dari upaya jual beli, hibah, dan bahkan diwariskan pada keluarga waqif,
sebab harta tersebut sudah diikrarkan untuk diserahkan kebermanfaatannya pada mauquf
‘alaih yang ditunjuk waqif.
Konsep wakaf di asuransi terbagi ke dalam tiga jenis. Pertama adalah Wakaf
Fund yang merupakan asuransi dengan model wakaf, di mana tabarru’ fund di
asuransi syariah disebut dana wakaf karena mekanismenya perusahaan akan
membentuk dana wakaf sebelum kemudian orang ber-tabarru’ yang dananya
akan mengalir ke rekening wakak fund. Kedua yaitu Wakaf Polis yang
sudah jadi dan berada di tangan pemegang polis untuk kemudian diwakafkan kepada
badan atau lembaga wakaf. Ketiga adalah fitur produk asuransi syariah yakni
produk perusahaan asuransi syariah yang peruntukkan manfaat asuransi dan
manfaat investasinya adalah diwakafkan.
Hadirnya fatwa baru yang mensinergikan wakaf dengan asuransi ini
diharapkan bisa dijadikan pedoman oleh para praktisi asuransi syariah. Fatwa bernomor
106 ini harus bisa menjadi stimulus bagi lini perasuransian agar bisa lebih
mengkreasikan dan mengembangkan produknya. Dalam fatwa tersebut dikatakan bahwa
mewakafkan manfaat asuransi dan manfaat investasi pada asuransi jiwa syariah
hukumnya boleh dengan mengikuti ketentuan yang terdapat dalam fatwa tersebut. Tentu
saja sejalan dengan prinsip bermuamalah di dalam Islam dengan pembolehannya
terhadap segala sesuatu sampai ada dalil yang melarang.
Referensi:
Ali, Hasan. Asuransi dalam Perspektif Hukum Islam: Suatu Tinjauan Analisis Historis, Teoritis, dan Praktis. Jakarta: Kencana, 2004.
Qahaf, Mundzir. Manajemen Wakaf Produktif. Jakarta: Khalifa, 2005.
Fatwa Dewan Syariah Nasional No: 21/DSN-MUI/X/2001 tentang Pedoman Umum Asuransi Syariah
Fatwa Dewan Syariah Nasional No: 106/DSN-MUI/X/2016 tentang No. 106/X/2016 tentang Wakaf Manfaat Asuransi Syariah dan Manfaat Investasi pada Asuransi Jiwa Syariah
Komentar
Posting Komentar