Source: Google
Aroma kopi menguar di sudut ruangan. Kamu
menekuri layar laptop. Pada bangku di sudut yang sama. Sesekali kamu menutup
hidung. Batuk dari suara kecilmu pun senantiasa mengiringi.
Kala detik silih berganti, gurat wajahmu
turut bertransformasi. Adalah raut sedih pada detik pertama. Detik kedua senyum
samar melengkung di tipis bibirmu. Detik berikutnya, bulir bening sempurna menyeruak
dari kelopak. Kacamata berbingkai hitam kamu lepas. Mengusap manik sipitmu yang
sembab. Menggunakan saputangan yang terbelam dalam genggaman.
Derit kursi yang ditarik tiba-tiba, membuatmu
tersentak kaget.
“Kamu nekat, Git!”
Kamu lantas menoleh pada Wini yang baru
datang.
“Bukan nekat. Tapi bunuh diri. Kenapa
kamu ada di sini, sih?” Karin yang menempati kursi di hadapanmu ikut menimpali.
Kamu meringis jemu pada dua temanmu.
Berusaha memungkiri. Namun sayang, perkataan Karin dan Wini benar adanya. “Lama
banget kalian. Kebiasaan ngaret udah seharusnya dibuang.” Ucapmu,
mencoba berkilah dari topik yang mereka permasalahkan.
“Kamu kenapa, Git?”
Di atas keyboard, kamu biarkan
lentik jemarimu berhenti menari. Lalu kamu menggerakkan kepala ke arah jendela.
Warna kelabu merayapi sekujur tubuh langit. Matahari seakan enggan memamerkan
cahaya teriknya siang itu. Kamu melepas napas berat. Sekaligus menendang lesakan
beban yang membuat penat. “Abah sama Ambu ngenalin aku lagi sama anak rekan
mereka.”
“Dan lagi-lagi-lagi, kamu nolak cowok
itu?”
Tak berani menoleh, kamu menatap dua
temanmu dengan ekor mata. “Karena aku belum ketemu sama orang yang pas.” Kamu
meneguk ludah. Cemas menunggu tanggapan pedas yang kerap kali mereka lontarkan.
Karin bersedekap dan merundukkan badan. Agar
kalian bertiga dapat berbisik lebih dekat. “Kamu lihat cowok di belakang aku.”
Refleks, kamu dan Wini menengok ke arah
yang dimaksud. “Kenapa cowok itu?” Wini bertanya penasaran.
“Lihat almamaternya. Salah satu
universitas favorit di luar kota. Kemungkinan besarnya adalah, dia pintar. Salah
satu tipe cowok yang jadi impian. Tapi, apa wajahnya bisa dikategorikan sebagai
cowok impian?”
Matamu dan Wini bergerak lagi ke arah
yang sama. Memastikan perkataan Karin.
“Hus! Jangan ngeledek kamu! Kualat, tau!”
Kesal, cepat-cepat Wini melotot ke arah Karin.
Karin tak ambil peduli. Pelototan itu dibalasnya
dengan kerlingan sebal. “Coba lihat cowok di belakang kamu, Win. Lihat stelannya.
Tajir banget pasti dia. Tipe cowok idaman. Tapi, apa setelah lihat kelakuannya
dia masih bisa disebut cowok idaman?”
Kamu dan Wini mengernyitkan kening. Atas
dasar rasa penasaran, kalian mencuri pandang pada pria yang dimaksud Karin. Selama
beberapa detik kalian meneliti gerak-gerik orang itu. Sadar maksud ucapan
Karin, serta merta kalian bergumam, “Astaghfirullah. “
“Dan sekarang---“
“Udah-udah. Jadi maksud kamu minta kita merhatiin
mereka, apa?” Gemas, Wini memotong kalimat Karin. Diseduhnya secangkir kopi
yang belum tersentuh.
“Denger dulu. Aku belum selesai.” Karin
tak mampu menahan ekspresi kesalnya. Pun, diseruputnya secangkir kopi untuk
mengusir rasa kecut. “Kentara sekali kalau cowok di belakang Gita itu alim
banget. Tipe cowok yang kayaknya bakal jadi imam yang baik. Tapi apa penampilannya
masih bisa membuat kalian tertarik?”
“Dia kelewat zuhud kali.”
Celotehan Wini membuatmu dan Karin
terkekeh. Sebentar kemudian Karin menegakkan posisi tubuhnya. Seraya memasang
wajah serius ia berkata, “Mengorek cela memang mudah. Nggak akan pernah berujung.
Jadi, kamu mau yang kayak gimana, sih, Git? Alim, pintar, dan kaya jadi
satu? Kamu mau yang sempurna?”
Pertanyaan itu berhasil menohokmu tepat
di dada. Kamu menatap Karin tepat di mata. Tepatnya karena tak terima.
“Kalau
kamu mau yang sempurna, selamanya kamu nggak akan pernah ketemu orang yang pas.
Karena pada dasarnya, nggak akan pernah ada jodoh yang pas.”
Wini
memandang Karin tak mengerti. Bertanya tanpa berucap.
“Cinta
selalu membutuhkan ketidaksempurnaan untuk membuktikan kesempurnaannya.”
“Dan
kekurangan mereka yang kita korek tadi adalah ketidaksempurnaannya?”
Karin
mengedikkan bahu. “Nggak menutup kemungkinan.” Ditangkupnya cangkir berwarna
cokelat itu. Sisa hangat kopi perlahan merayapi suhu tubuhnya. “Tapi cinta nggak
sesempit dan sedangkal itu. Cinta tidak melulu bicara tentang bahagia. Dalam
cinta ada hati yang senantiasa luka. Pun, cinta kerap didera rindu yang
tebalnya tak terkira. Harus ada semacam pergumulan yang menuntut
ketidaksempurnaan di sana. Baru akan terbukti betapa sempurnanya cinta.”
Pada
Karin dan Wini, kamu hadapkan laptop merahmu. Sebentuk wajah yang tersenyum di
situ membuat mereka terpaku. Sebelum mereka berseru, cepat-cepat kamu bicara
lebih dulu. “Semua yang kamu katakan barusan, ada padanya. Dia selalu membuatku
bahagia. Pun sempat menggoreskan luka. Bahkan meninggalkan rindu yang luar
biasa. Pemahamanku tentang jodoh nggak sekacau yang kita permasalahkan barusan.”
Lagi, kamu mengalihkan pandang ke arah jendela. Hujan tak lagi rintik. Namun
menderas semakin berisik. Tirai hujan saling berbenturan di trotoar. Tiap
titiknya serupa kerikil yang menghujani ubun-ubunmu. Lalu menembus dadamu. Kemudian
melesat ke dasar hatimu. Dan melukaimu.
“Kamu
bener, Git. Pemahamanmu tentang jodoh nggak sekacau itu. Tapi jauh melampaui
kekacauan yang ada di dunia ini.”
“Git!
Dia.udah.nggak.ada.”
Dalam
diam, kamu merasakan ruangan kedai bertambah ramai. Satu per satu pengunjung datang.
Semakin banyak. Pun, pemesan kopi semakin membeludak. Aroma kopi terus menguar.
Menguap menyelimuti seisi kedai. Bau yang kian menguat membuat napasmu tersendat.
Batukmu tak lagi serupa senggukan kecil yang ringan. Kamu bersedekap. Menghalau
udara yang membuatmu tak mampu bernapas. Sekaligus mengusir bayangan yang terus
berkelebatan di pelupuk mata.
“Git,
kamu kenapa?”
“Apa
aku bilang. Ibarat percobaan bunuh diri. Belum sembuh trauma berat sama aroma
kopi, masih aja nekat dateng ke sini.”
“Salah
besar kalau kamu mengartikan cinta dengan cara seperti ini.”
“Ayo
kita pulang.”
Bersama
dua temanmu, kamu berlalu. Bertolak dari tempat yang aromanya tak mampu lagi
dengan mudah kamu nikmati. Karena tambatan hati yang tak lagi di sisi.
Komentar
Posting Komentar