Meninjau Uang dari Beragam Sisi; Secara Syariah dan
Konvensional
Oleh: Asti Nurhayati Nurjaman
source from google |
Abstrak
Uang adalah benda ajaib yang terlibat dalam nyaris setiap sendi
kehidupan. Kertas maupun logam, jika tak ada, terhambat pula kondisi
keseharian. Rupiah, apalagi dollar, semua sama-sama menjadi incaran.
Ibarat tubuh manusia, uang berperan sebagai darah. Salah satu pemegang
peran sentral yang menyokong ketahanan tubuh tersebut. Pun perekonomian yang
tak mungkin lepas dari kontribusi uang.
Sejak berakhirnya masa barter hingga dewasa ini, uang menjadi alat tukar
yang luar biasa melancarkan beragam aktivitas ekonomi. Akan tetapi, meski uang
bukan hal asing dalam keseharian, pengetahuan akan uang itu sendiri dapat
dikatakan sangat minim. Baik dari segi historis, agamis, sampai teoritis yang
memuat jenis-jenis, fungsi, bahkan varian permasalahan yang timbul sebab
eksistensi uang itu sendiri. Semuanya, dari dulu sampai sekarang, masih dan
selalu menjadi perbicangan hangat bahkan menuai perbedaan pendapat di kalangan
para ahli. Baik ekonom konvensional maupun syariah.
Yang paling kentara di masyarakat, uang sangat lekat sebagai simbol
ukuran kebahagiaan, kesuksesan, dan kekayaan. Gambaran yang bukan sekadar
indikator minimnya pemahaman akan uang, namun sekaligus menjadi pangkal atas mengemukanya
banyak persoalan sebagai akibat tidak tepatnya perlakuan terhadap uang.
Uang: Berseberangannya Definisi,
Konsepsi, hingga Fungsi
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, akan didapat pengertian bahwa uang adalah
alat tukar atau standar pengukur nilai (kesatuan hitungan) yang sah,
dikeluarkan oleh pemerintah suatu negara berupa kertas, emas, perak, atau logam
lain yang dicetak dengan bentuk dan gambar tertentu.
Menurut pendapat ekonom konvensional Karl E. Case dan Ray C. Fair dalam
bukunya Principle of Economics menjelaskan bahwa uang adalah segala
sesuatu yang umum dan dapat diterima sebagai alat pembayaran dan dapat
diperjualbelikan. Stephen L. Slavin pun dalam bukunya Introduction Economics
menyatakan bahwa uang adalah segala sesuatu yang umum dipergunakan sebagai alat
tukar dan sebagai komoditi.[1]
Lain halnya dengan yang dikatakan Dr. Ibrahim Unais dalam kitabya Al-Mu’jam
al-Wasith menjelaskan bahwa uang yaitu segala sesuatu yang umum dipergunakan
untuk bermuamalat dalam bentuk dinãr, dirhãm, dan lainnya sebagai alat
tukar atau pembayaran cash terhadap barang atau jasa.[2]
Penekanan dinãr dan dirhãm dikarenakan pada saat itu kedua logam
tersebut dijadikan standar ukuran atas transaksi barang atau jasa. Sebab
keduanya memiliki nilai yang relatif konstan. Bahkan Al-Ghazali menyatakan bahwa
Allah menciptakan dinãr dan dirhãm sebagai hakim penengah diantara
seluruh harta sehingga seluruh harta bisa diukur dengan keduanya[3].
Meski begitu, setelah perjalanan historis yang cukup panjang, seiring
berjalan dan berkembangnya waktu, pun uang turut bergulir. Wujud uang terus
bertransformasi. Tidak terbatas pada beragam logam semata. Baik uang itu
berasal dari emas, perak, tembaga, kulit, kayu, kertas, batu, dan besi. Selama
diterima masyarakat dan dianggap sebagai uang, maka segala macam transaksi akan
tetap berjalan. Oleh karena itu, para ahli kontemporer mulai mendefinisikan
bahwa uang adalah benda-benda yang disetujui oleh masyarakat sebagai alat
perantara untuk mengadakan tukar-menukar atau perdagangan dan sebagai standar
nilai[4].
Hal ini sejalan dengan Ibn Khaldun yang sempat mengatakan bahwa uang tidak harus
mengandung emas dan perak, kedua logam itu hanya dijadikan standar nilai uang,
sementara pemerintah menetapkan harganya secara konsisten[5].
Perbedaan pendefinisian tersebut menunjukkan beragam pula konsepsi terhadap
uang. Apalagi dalam konteks ekonomi syariah dan konvensional. Salah satu poin
yang kentara membedakan keduanya adalah, jika uang dapat dijadikan komoditas
dalam lingkup konvensional, tidak halnya menurut ekonomi syariah. Dalam
pandangan Islam, uang sebatas digunakan sebagai alat tukar dan berlaku secara
umum di masyarakat. Uang tidak diperkenankan untuk diaplikasikan pada komoditi,
sebab dapat merusak kestabilan moneter. Pun, nyaris jumhur ulama
menyepakati.
Uang sebagai komoditas dalam ekonomi konvensional adalah dimana uang
berperan sebagai objek yang diperjualbelikan. Diidentikkan pula dengan modal. Arti
dari modal itu sendiri adalah sesuatu yang produktif dan memiliki daya untuk
menghasilkan nilai tambah daripada nilai yang telah ada. Tetapi pelekatan uang
sebagai modal di sini keliru. Karena modal hanya akan produkif jika dikelola
oleh orang berkompeten, dalam kegiatan produktif yang riil pula. Kekeliruan di
sini lebih disebabkan oleh ketidakjelasan jual beli uang itu sendiri. Apabila
uang yang berstatus modal digunakan untuk keperluan konsumsi, maka modal di
sini tidak memiliki kualifikasi untuk menghasilkan nilai tambah. Sebaliknya, uang
akan memberi hasil lebih jika dipakai untuk kegiatan produksi. Namun masih tak
dibenarkan jika tetap uang yang dijadikan objek untuk meraup keuntungan. Nilai
tambah yang merupakan keuntungan dari jual beli uang ini jelas dilarang dalam
Islam. Secara gamblang Allah mengatakannya dalam surat Ar-Rûm ayat 39.
Sebaliknya, ekonomi Islam dengan sangat jelas dan tegas menyatakan bahwa
uang adalah uang, uang bukan capital. Uang adalah sesuatu yang bersifat flow
concept dan merupakan public goods, sementara capital bersifat
stock concept dengan status private goods.[6]
Sebagai flow concept, uang diibaratkan air yang jika dialirkan,
akan bersih dan sehat. Namun apabila dibiarkan menggenang, maka air akan keruh
atau kotor. Pun uang. Jika dialirkan untuk produksi berpotensi menimbulkan
perkembangan perekonomian. Sebaliknya, jika menggenang tanpa diikutsertakan dalam
produktivitas, akan berimbas pada macetnya
roda perekonomian. Ini menunjukkan pentingnya melibatkan uang untuk diinvestasikan
dalam sektor riil.
Lalu, sebagai public goods uang adalah barang yang dapat
digunakan oleh siapa pun tanpa halangan bahkan paksaan. Sebagai public goods
uang diumpamakan jalan raya dengan capital sebagai kendaraan yang
berlalu lalang. Tanpa kecuali, siapa saja dapat menggunakan jalan raya. Namun
peluang lebih besar untuk memanfaatkan jalan raya pasti dimiliki mereka yang
memiliki kendaraan, dibandingkan mereka yang tak mempunyai kendaraan. Pun
dengan uang sebagai public goods yang dimanfaatkan para pemilik capital.
Kesempatan untuk memperoleh keuntungan lebih besar jika capital yang
dimiliki dilibatkan untuk berlalu lalang dalam sektor produksi. Makin tinggi
produktivitas, kian besar peluang untuk memperoleh keuntungan dari jalan raya
tersebut. Oleh karena itu, penimbunan uang (kanz) dilarang karena menghalangi
orang lain untuk menggunakan uang yang merupakan public goods tersebut.
Berkaitan dengan konsep uang tersebut, Adiwarman Karim mengatakan bahwa
terdapat ketidakjelasan konsep uang dalam ekonomi konvensional. Hampir serupa
dengan konsep ekonomi Islam, uang adalah flow concept jika merujuk pada konsep
Irving Fisher, dimana makin cepat perputaran uang kian besar pula pendapatan. Sekaligus,
uang juga stock concept menurut Marshall Pigou sebab uang adalah salah
satu alat untuk menyimpan kekayaan. Menurut Adiwarman Karim pula, kekacauan keuangan
bisa timbul karena ketidakjelasan ini. Permasalahan moneter bahkan sudah timbul
semenjak dan atau selama fungsi uang berada dalam penyimpangan. Yaitu ketika
uang dijadikan komoditi yang fungsinya sama dengan komoditas lainnya.
Perbedaan konsep uang antara ekonomi konvensional dan ekonomi syariah
berimplikasi terhadap iklim perekonomian. Dalam ekonomi konvensional sistem
bunga dan fungsi uang sebagai komoditi menyebabkan timbulnya pasar tersendiri.
Adalah pasar moneter. Tumbuh sejajar dengan pasar riil yang kemudian menimbulkan
dikotomi antara keduanya. Yang terjadi selanjutnya, pesatnya perkembangan
sektor moneter malah menghambat pertumbuhan sektor riil, menimbulkan inflasi,
dan menghambat pertumbuhan ekonomi.[7]
Dikotomi sektor riil dan moneter tidak terjadi dalam ekonomi Islam
karena absennya sistem bunga dan dilarangnya perdagangan uang. Sehingga corak
ekonomi Islam adalah ekonomi sektor riil yang beriringan dengan moneter sebagai
alat tukar untuk memperlancar kegiatan ekonomi seperti investasi, produksi, dan
perniagaan di sektor riil.[8]
Dari penjelasan panjang mengenai beragamnya definisi serta bermacamnya
konsepsi uang, akan ditemui fungsi-fungsi uang yang pasti berbeda pula. Berikut
adalah beberapa fungsi uang dengan tinjauan yang seimbang baik dari sisi
syariah maupun konvensional.
1.
Uang sebagai satuan nilai atau standar harga (Unit of account)[9]
Ini merupakan fungsi terpenting. Baik dalam ekonomi syariah maupun
konvensional. Fungsi inilah yang melancarkan transaksi barang atau jasa. Agar
tak terjebak dalam pentingnya fungsi ini, pendapat Al-Ghazali rupanya perlu untuk
ditekankan. Bahwa uang ibarat cermin yang tidak dapat merefleksikan dirinya
sendiri, namun dapat merefleksikan semua warna yang masuk ke dalamnya. Esensi
dari fungsi penting ini baru terasa setelah uang dihadapkan pada barang atau
jasa yang memerlukan ukuran nilai. Sehingga transaksi menjadi lancar karena nilai
tersebut terukur secara mudah dengan adanya fungsi uang ini.
2.
Uang sebagai alat tukar (Medium of exchange)[10]
Baik dalam ekonomi konvensional ataupun syariah, fungsi ini berkelindan
erat dengan fungsi sebelumnya. Setelah nilai suatu barang atau jasa terukur dan
sepadan dengan nilai uang, mereka lalu bisa dipertukarkan. Sebab di sinilah esensi
dilangsungkannya suatu transaksi. Yaitu untuk memperoleh barang atau jasa yang
dibutuhkan dengan jalan pertukaran. Dan fungsi uang ini memperlancarnya. Sebab
tak perlu lagi ada coincidence of wants yang harus terpenuhi seperti pada
masa barter.
3.
Uang sebagai alat penyimpan kekayaan (Store of value)[11]
Fungsi ini dapat dikatakan sebagai perwujudan dari salah satu motif
dalam mendapatkan uang. Yaitu motif berjaga-jaga dari kemungkinan yang tak terduga.
Sehingga sebagian uang yang dimiliki disimpan agar dapat digunakan saat
diperlukan. Dalam konteks ekonomi konvensional, di sini uang berposisi sebagai stock
concept yang menurut Marshall Pigou adalah alat untuk menyimpan kekayaan.
Namun terdapat perbedaan pendapat di kalangan ekonom Muslim mengenai
fungsi ini. Sebagian besar tidak membolehkan difungsikannya uang untuk
menyimpan kekayaan, terlebih lagi jika terdapat motif spekulasi pula. Adnan
At-Turkiman khawatir hal ini akan mengarah pada penimbunan uang yang akan
berimplikasi pada lumpuhnya roda perekonomian. Namun Zaki Syafi’i menyikapi hal
ini dengan membedakan antara menyimpan uang dengan menimbun uang. Menurutnya,
menyimpan uang dalam bentuk uang dibolehkan, bahkan Islam sangat mendorong
investasi dalam kegiatan produktif guna mewujudkan lancarnya sirkulasi uang
dalam perekonomian. Penimbunan uang sama sekali tak dibenarkan. Selain mengganggu
kondisi perekonomian karena uang tertarik dari peredaran yang kemudian
berimplikasi pada penurunan volume transaksi secara makro, hal tersebut bahkan merugikan
penimbun uang itu sendiri. Sebab nilai uang dari waktu ke waktunya selalu
mengalami penurunan karena inflasi, apalagi jika uang itu dibiarkan idle begitu
saja.
Sebagai jalan tengah mengenai fungsi ini, Al-Ghazali mengatakan bahwa Islam
membolehkan menyimpan uang untuk berjaga-jaga dan sama sekali menolak
penggunaannya untuk spekulasi.
Eksistensi Uang dalam Ekonomi Islam; Pemerintah
di Tengah Kebijakan dan Problematikanya
Islam sangat mengakui urgensi uang. Sisi historis dapat dijadikan
rujukan untuk merunut diakuinya uang dalam ekonomi Islam. Meski belum mencetak
mata uang sendiri, namun dinãr dari Bizantium dan dirhãm dari
Persia telah digunakan semenjak masa pemerinatahan Rasulullah saw. Sampai
kemudian terobosan penting dicetuskan oleh khalifah Ali bin Abi Thalib, yaitu
pencetakan mata uang koin atas nama negara Islam. Meski uang yang dicetak tidak
dapat beredar luas karena singkatnya masa pemerintahan, namun hal ini menjadi
bukti bahwa ekonomi Islam mampu mengikuti setiap perkembangan tanpa melepaskan nilai-nilai
Islam itu sendiri. Sebab pencetakan uang yang dirintis Ali bin Abi Thalib
tersebut terus dilakukan di masa-masa selanjutnya. Salah satunya adalah koin
emas yang di pinggirannya bertuliskan kalimat bismillah dan syahadat pada
masa khalifah Abdul Malik bin Marwan.
Selain dari kronologi sejarah, terdapat juga beberapa ayat al-Quran dan
hadits yang secara implisit mengatakan pentingnya penggunaan uang[12].
Surat Yusuf ayat 20, artinya:
“Dan mereka menjual Yusuf dengan harga yang murah, yaitu beberapa dirham
saja, dan mereka merasa tidak tertarik hatinya kepada Yusuf.”
Dan dalam sebuah hadits yang diriwayatkan Abu Dawud:
“Tidak ada zakat pada dinar yang jumlahnya kurang dari dua puluh dinar dan
pada setiap dua puluh dinar zakatnya setengah dinar.”
Dengan adanya uang, hakikat ekonomi dalam
perspektif Islam dapat berlangsung lebih baik, yaitu terpelihara dan
meningkatnya perputaran harta (velocity) di antara pelaku ekonomi. Uang
memperlancar terselenggaranya aktivitas zakat, infaq, shadaqah, wakaf, kharaj,
jizyah, dan lain-lain. Pun sektor swasta , publik, dan sosial dapat berlangsung
dengan akselerasi yang lebih cepat.[13]
Oleh karena itu, Rasulullah sangat menganjurkan penggunaan uang agar terwujud
keadilan dalam berekonomi. Beda halnya dengan sistem barter yang dapat
menimbulkan riba.
Dari kronologis historis uang dalam ekonomi Islam
tersebut, dapat ditarik satu benang merah bahwa pemerintahlah pihak yang
menjadi pemegang otoritas moneter dalam suatu perekonomian. Bukan hanya dalam
ekonomi Islam, pun ekonomi konvensional,
tidak lagi memperdebatkan mengenai negara sebagai satu-satunya pemegang
otoritas untuk mengeluarkan uang. Untuk menghindari monopoli, hak istimewa ini
jelas tidak dapat diserahkan kepada perorangan atau perusahaan apapun dan dalam
keadaan bagaimanapun juga. Wewenang pemerintah dalam konteks ini sesuai definisi
uang yang terdapat pada Kamus Besar Bahasa Indonesia.
Sistem pemerintahan yang legal dan perangkat hukum yang tegas akan
memiliki pengaruh yang signifikan dalam menentukan peraturan etika penggunaan
uang. Hal tersebut ditujukan untuk mereduksi atau bahkan membabat habis segala
macam persoalan yang diakibatkan tidak tepatnya perlakuan terhadap uang. Ekses
moneter yang sempat terjadi di masa lampau dapat dijadikan rujukan untuk meminimalisir
atau bahkan menghilangkan bermacam persoalan yang diakibatkan tidak tepatnya
perlakuan pelaku ekonomi terhadap uang.
Salah satu contohnya adalah kebijakan moneter pada masa pemerintahan
Bani Mamluk Burji yang oleh Al-Maqrizi dikritik sebagai sumber malapetaka. Pada
masa itu, tepatnya pasca pemerintahan Sultan Al-Kamil, pemerintah mengubah kebijakan
moneter, yaitu dengan meningkatkan pencetakan fulus serta mengurangi dinãr
dan dirhãm. Ini dilakukan karena pemerintah terpengaruh oleh laba
besar yang diperoleh dari pencetakan fulus, mata uang dari tembaga.
Imbas dari kebijakan sepihak itu adalah kerugian besar yang diderita rakyat
karena nilai mata uang yang mengalami penurunan. Penurunan nilai mata uang
disebabkan terdapatnya lebih dari satu mata uang dalam perekonomian. Salah satu
mata uang dengan nilai terendah itu akan mendesak keluar mata uang yang lebih
baik untuk keluar dari peredaran. Akibat selanjutnya, adalah kelangkaan dinãr
dan dirhãm dalam perekonomian. Sebab, dua mata uang logam itu bukan
sekadar ditimbun sebagai alat penyimpan kekayaan, melainkan juga dilebur untuk
dijadikan perhiasan. Mengenai hal ini, Al-Maqrizi menyatakan bahwa penciptaan mata
uang dengan kualitas yang buruk akan melenyapkan mata uang yang berkualitas
baik.[14]Dalam
konteks ekonomi konvensional, ini dikenal dengan Hukum Gresham.
Oleh karena itu, menurut Al-Maqrizi, pencetakan mata uang harus disertai
dengan perhatian yang lebih besar dari pemerintah untuk menggunakan mata uang
tersebut dalam bisnis selanjutnya. Pengabaian terhadap hal ini, akan
mengakibatkan terjadinya peningkatan yang tidak seimbang dalam pencetakan uang
dengan aktivitas produksi dapat menyebabkan daya beli riil uang mengalami
penurunan.[15]
Dalam hal ini pun, ulama secara tegas mewanti-wanti pemerintah saat
mengeluarkan dan mencetak uang haruslah sesuai dengan proporsi keuangan yang
beredar di tengah-tengah masyarakat, dengan mempertimbangkan sesuainya sektor
riil dengan sektor moneter dalam keseimbangan atau tidak berat sebelah. Zainul
Arifin bahkan memperjelas –sebagai contoh Indonesia– krisis moneter dan ekonomi
yang telah menimpa di antaranya disebabkan tidak seimbangnya antara sektor riil
dengan sektor moneter.[16]
Narasi singkat tentang krisis moneter pada masa hidup Al-Maqrizi
tersebut setidaknya menggambarkan alasan kuat dari definisi, fungsi, dan
konsepsi uang menurut Islam yang telah dipaparkan di atas. Penimbunan dinãr dan
dirhãm sebagai spekulasi untuk mengumpulkan harta kekayaan berimplikasi
pada macetnya laju roda perekonomian. Menunjukkan bahwa, benar menurut ekonomi
Islam, uang adalah flow concept sekaligus publict goods yang
tidak boleh dibiarkan idle begitu saja sebagai stock concept.
Itu sebabnya banyak hal yang berseberangan antara ekonomi syariah dan
ekonomi konvensional. Termasuk dalam lingkup uang. Berawal dari perbedaan
pendefinisian yang sudah barang tentu akan menggiring pada banyak ketidaksamaan
lainnya. Dari konsepsi hingga fungsi.
Penutup
Menyikapi Uang Secara Tepat
Menurut Al-Ghazali, uang merupakan sesuatu yang sangat penting dalam
percaturan perekonomian, karena merupakan salah satu di antara sekian banyak
nikmat Allah kepada manusia yang harus dipergunakan sesuai dengan koridor yang
telah ditetapkan-Nya. Di samping memiliki kegunaan dalam masalah-masalah yang
bersifat fisik, seperti untuk memperoleh makanan, uang juga memiliki kegunaan
dalam masalah-masalah ketuhanan. Di mana orang yang memiliki uang idealnya mengingat
akan nikmat Tuhan.
Uang memiliki dua kemungkinan, yaitu kemungkinan yang membawa kepada
kebaikan dan kemungkinan yang membawa kepada keburukan. Tergantung orang yang
memanfaatkan. Pun, tergantung nilai yang dijadikan pijakan. Setidaknya, seperti
itulah yang terjadi antara ekonomi syariah dan ekonomi konvensional. Keduanya
berdiri di atas nilai-nilai yang berseberangan, sehingga menimbulkan pengaplikasian
yang berbeda pula. Meski tampak sama. Namun tetap, dalam ekonomi Islam ada nilai-nilai
filosofis sekaligus agamis yang tidak boleh dikotakkan begitu saja.
Menyeruaknya permasalahan moneter sebagai akibat merebaknya disfungsi
terhadap uang dalam perekonomian, terutama dalam konteks konvensional, seolah
memperkuat konsep uang menurut pandangan ekonomi Islam. Sekaligus menunjukkan
bahwa konsep uang secara konvensional malah menggiring perekonomian ke tepi
jurang yang curam. Pun, sudah saatnya merunut perekonomian syariah masa lampau
sebagai bahan rujukan untuk menghadapi serta menyelesaikan beragam persoalan
moneter yang terjadi kini.
Islam mengatur cara untuk memperoleh uang dengan baik dan mempergunakan
uang untuk kemaslahatan, agar manusia jangan menjadi budak uang, namun
sebaliknya.
[1]
Muhammad Zen, Uang dalam
Perspektif: Ekonomi Islam dan Konvensional, (Jakarta: Al-Iqtishãdiyyah, 2004), vol. 1 no. 1, hlm. 113.
[2]
Ibid.
[3]
Rozalinda, Ekonomi Islam: Teori dan
Aplikasinya pada Aktivitas Ekonomi, Jakarta: Rajawali Pers, 2014, hlm. 280.
[4]
Ibid.
[5]
Euis Amalia, Sejarah Pemikiran
Ekonomi Islam: Dari Masa Klasik Hingga Kontemporer, Jakarta: Gramata
Publishing, 2010, hlm. 248.
[6]
Muhammad Zen, Uang dalam
Perspektif: Ekonomi Islam dan Konvensional, (Jakarta: Al-Iqtishãdiyyah, 2004), vol. 1 no. 1, hlm. 116-117.
[7] Anita Rahmawaty, Riba dalam Perspektif
Keuangan Islam, hlm. 26.
[8] Ibid.
[9] Rozalinda, Ekonomi Islam: Teori dan
Aplikasinya pada Aktivitas Ekonomi, Jakarta: Rajawali Pers, 2014, hlm. 282.
[10] Ibid.
[11] Ibid, hlm. 283.
[12] Akhmad Akbar Susanto, Uang dan Transaksi-Transaksi
Keuangan dalam Tinjauan Islam, Pengajian Keluarga Canberra, 1 Desember
2012.
[13] Anita Rahmawaty, Riba dalam Perspektif
Keuangan Islam, hlm. 25.
[14] Euis Amalia, Sejarah Pemikiran Ekonomi
Islam: Dari Masa Klasik Hingga Kontemporer, Jakarta: Gramata Publishing,
2010, hlm. 266-267.
[15] Ibid, hlm. 267-268.
[16] Muhammad Zen, Uang dalam Perspektif:
Ekonomi Islam dan Konvensional, (Jakarta: Al-Iqtishãdiyyah, 2004), vol. 1 no. 1, hlm. 124.
Komentar
Posting Komentar