Langsung ke konten utama

[CREATE IT | TASK] Meninjau Uang dari Beragam Sisi; Secara Syariah dan Konvensional

Meninjau Uang dari Beragam Sisi; Secara Syariah dan Konvensional
Oleh: Asti Nurhayati Nurjaman



source from google




Abstrak
Uang adalah benda ajaib yang terlibat dalam nyaris setiap sendi kehidupan. Kertas maupun logam, jika tak ada, terhambat pula kondisi keseharian. Rupiah, apalagi dollar, semua sama-sama menjadi incaran.
Ibarat tubuh manusia, uang berperan sebagai darah. Salah satu pemegang peran sentral yang menyokong ketahanan tubuh tersebut. Pun perekonomian yang tak mungkin lepas dari kontribusi uang.
Sejak berakhirnya masa barter hingga dewasa ini, uang menjadi alat tukar yang luar biasa melancarkan beragam aktivitas ekonomi. Akan tetapi, meski uang bukan hal asing dalam keseharian, pengetahuan akan uang itu sendiri dapat dikatakan sangat minim. Baik dari segi historis, agamis, sampai teoritis yang memuat jenis-jenis, fungsi, bahkan varian permasalahan yang timbul sebab eksistensi uang itu sendiri. Semuanya, dari dulu sampai sekarang, masih dan selalu menjadi perbicangan hangat bahkan menuai perbedaan pendapat di kalangan para ahli. Baik ekonom konvensional maupun syariah.
Yang paling kentara di masyarakat, uang sangat lekat sebagai simbol ukuran kebahagiaan, kesuksesan, dan kekayaan. Gambaran yang bukan sekadar indikator minimnya pemahaman akan uang, namun sekaligus menjadi pangkal atas mengemukanya banyak persoalan sebagai akibat tidak tepatnya perlakuan terhadap uang.









Uang: Berseberangannya Definisi, Konsepsi, hingga Fungsi
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, akan didapat pengertian bahwa uang adalah alat tukar atau standar pengukur nilai (kesatuan hitungan) yang sah, dikeluarkan oleh pemerintah suatu negara berupa kertas, emas, perak, atau logam lain yang dicetak dengan bentuk dan gambar tertentu.
Menurut pendapat ekonom konvensional Karl E. Case dan Ray C. Fair dalam bukunya Principle of Economics menjelaskan bahwa uang adalah segala sesuatu yang umum dan dapat diterima sebagai alat pembayaran dan dapat diperjualbelikan. Stephen L. Slavin pun dalam bukunya Introduction Economics menyatakan bahwa uang adalah segala sesuatu yang umum dipergunakan sebagai alat tukar dan sebagai komoditi.[1]
Lain halnya dengan yang dikatakan Dr. Ibrahim Unais dalam kitabya Al-Mu’jam al-Wasith menjelaskan bahwa uang yaitu segala sesuatu yang umum dipergunakan untuk bermuamalat dalam bentuk dinãr, dirhãm, dan lainnya sebagai alat tukar atau pembayaran cash terhadap barang atau jasa.[2] Penekanan dinãr dan dirhãm dikarenakan pada saat itu kedua logam tersebut dijadikan standar ukuran atas transaksi barang atau jasa. Sebab keduanya memiliki nilai yang relatif konstan. Bahkan Al-Ghazali menyatakan bahwa Allah menciptakan dinãr dan dirhãm sebagai hakim penengah diantara seluruh harta sehingga seluruh harta bisa diukur dengan keduanya[3].
Meski begitu, setelah perjalanan historis yang cukup panjang, seiring berjalan dan berkembangnya waktu, pun uang turut bergulir. Wujud uang terus bertransformasi. Tidak terbatas pada beragam logam semata. Baik uang itu berasal dari emas, perak, tembaga, kulit, kayu, kertas, batu, dan besi. Selama diterima masyarakat dan dianggap sebagai uang, maka segala macam transaksi akan tetap berjalan. Oleh karena itu, para ahli kontemporer mulai mendefinisikan bahwa uang adalah benda-benda yang disetujui oleh masyarakat sebagai alat perantara untuk mengadakan tukar-menukar atau perdagangan dan sebagai standar nilai[4]. Hal ini sejalan dengan Ibn Khaldun yang sempat mengatakan bahwa uang tidak harus mengandung emas dan perak, kedua logam itu hanya dijadikan standar nilai uang, sementara pemerintah menetapkan harganya secara konsisten[5].
Perbedaan pendefinisian tersebut menunjukkan beragam pula konsepsi terhadap uang. Apalagi dalam konteks ekonomi syariah dan konvensional. Salah satu poin yang kentara membedakan keduanya adalah, jika uang dapat dijadikan komoditas dalam lingkup konvensional, tidak halnya menurut ekonomi syariah. Dalam pandangan Islam, uang sebatas digunakan sebagai alat tukar dan berlaku secara umum di masyarakat. Uang tidak diperkenankan untuk diaplikasikan pada komoditi, sebab dapat merusak kestabilan moneter. Pun, nyaris jumhur ulama menyepakati.
Uang sebagai komoditas dalam ekonomi konvensional adalah dimana uang berperan sebagai objek yang diperjualbelikan. Diidentikkan pula dengan modal. Arti dari modal itu sendiri adalah sesuatu yang produktif dan memiliki daya untuk menghasilkan nilai tambah daripada nilai yang telah ada. Tetapi pelekatan uang sebagai modal di sini keliru. Karena modal hanya akan produkif jika dikelola oleh orang berkompeten, dalam kegiatan produktif yang riil pula. Kekeliruan di sini lebih disebabkan oleh ketidakjelasan jual beli uang itu sendiri. Apabila uang yang berstatus modal digunakan untuk keperluan konsumsi, maka modal di sini tidak memiliki kualifikasi untuk menghasilkan nilai tambah. Sebaliknya, uang akan memberi hasil lebih jika dipakai untuk kegiatan produksi. Namun masih tak dibenarkan jika tetap uang yang dijadikan objek untuk meraup keuntungan. Nilai tambah yang merupakan keuntungan dari jual beli uang ini jelas dilarang dalam Islam. Secara gamblang Allah mengatakannya dalam surat Ar-Rûm ayat 39.
Sebaliknya, ekonomi Islam dengan sangat jelas dan tegas menyatakan bahwa uang adalah uang, uang bukan capital. Uang adalah sesuatu yang bersifat flow concept dan merupakan public goods, sementara capital bersifat stock concept dengan status private goods.[6]
Sebagai flow concept, uang diibaratkan air yang jika dialirkan, akan bersih dan sehat. Namun apabila dibiarkan menggenang, maka air akan keruh atau kotor. Pun uang. Jika dialirkan untuk produksi berpotensi menimbulkan perkembangan perekonomian. Sebaliknya, jika menggenang tanpa diikutsertakan dalam produktivitas,  akan berimbas pada macetnya roda perekonomian. Ini menunjukkan pentingnya melibatkan uang untuk diinvestasikan dalam sektor riil.
Lalu, sebagai public goods uang adalah barang yang dapat digunakan oleh siapa pun tanpa halangan bahkan paksaan. Sebagai public goods uang diumpamakan jalan raya dengan capital sebagai kendaraan yang berlalu lalang. Tanpa kecuali, siapa saja dapat menggunakan jalan raya. Namun peluang lebih besar untuk memanfaatkan jalan raya pasti dimiliki mereka yang memiliki kendaraan, dibandingkan mereka yang tak mempunyai kendaraan. Pun dengan uang sebagai public goods yang dimanfaatkan para pemilik capital. Kesempatan untuk memperoleh keuntungan lebih besar jika capital yang dimiliki dilibatkan untuk berlalu lalang dalam sektor produksi. Makin tinggi produktivitas, kian besar peluang untuk memperoleh keuntungan dari jalan raya tersebut. Oleh karena itu, penimbunan uang (kanz) dilarang karena menghalangi orang lain untuk menggunakan uang yang merupakan public goods tersebut.
Berkaitan dengan konsep uang tersebut, Adiwarman Karim mengatakan bahwa terdapat ketidakjelasan konsep uang dalam ekonomi konvensional. Hampir serupa dengan konsep ekonomi Islam, uang adalah flow concept jika merujuk pada konsep Irving Fisher, dimana makin cepat perputaran uang kian besar pula pendapatan. Sekaligus, uang juga stock concept menurut Marshall Pigou sebab uang adalah salah satu alat untuk menyimpan kekayaan. Menurut Adiwarman Karim pula, kekacauan keuangan bisa timbul karena ketidakjelasan ini. Permasalahan moneter bahkan sudah timbul semenjak dan atau selama fungsi uang berada dalam penyimpangan. Yaitu ketika uang dijadikan komoditi yang fungsinya sama dengan komoditas lainnya.
Perbedaan konsep uang antara ekonomi konvensional dan ekonomi syariah berimplikasi terhadap iklim perekonomian. Dalam ekonomi konvensional sistem bunga dan fungsi uang sebagai komoditi menyebabkan timbulnya pasar tersendiri. Adalah pasar moneter. Tumbuh sejajar dengan pasar riil yang kemudian menimbulkan dikotomi antara keduanya. Yang terjadi selanjutnya, pesatnya perkembangan sektor moneter malah menghambat pertumbuhan sektor riil, menimbulkan inflasi, dan menghambat pertumbuhan ekonomi.[7]
Dikotomi sektor riil dan moneter tidak terjadi dalam ekonomi Islam karena absennya sistem bunga dan dilarangnya perdagangan uang. Sehingga corak ekonomi Islam adalah ekonomi sektor riil yang beriringan dengan moneter sebagai alat tukar untuk memperlancar kegiatan ekonomi seperti investasi, produksi, dan perniagaan di sektor riil.[8]
Dari penjelasan panjang mengenai beragamnya definisi serta bermacamnya konsepsi uang, akan ditemui fungsi-fungsi uang yang pasti berbeda pula. Berikut adalah beberapa fungsi uang dengan tinjauan yang seimbang baik dari sisi syariah maupun konvensional.
1.      Uang sebagai satuan nilai atau standar harga (Unit of account)[9]
Ini merupakan fungsi terpenting. Baik dalam ekonomi syariah maupun konvensional. Fungsi inilah yang melancarkan transaksi barang atau jasa. Agar tak terjebak dalam pentingnya fungsi ini, pendapat Al-Ghazali rupanya perlu untuk ditekankan. Bahwa uang ibarat cermin yang tidak dapat merefleksikan dirinya sendiri, namun dapat merefleksikan semua warna yang masuk ke dalamnya. Esensi dari fungsi penting ini baru terasa setelah uang dihadapkan pada barang atau jasa yang memerlukan ukuran nilai. Sehingga transaksi menjadi lancar karena nilai tersebut terukur secara mudah dengan adanya fungsi uang ini.
2.      Uang sebagai alat tukar (Medium of exchange)[10]
Baik dalam ekonomi konvensional ataupun syariah, fungsi ini berkelindan erat dengan fungsi sebelumnya. Setelah nilai suatu barang atau jasa terukur dan sepadan dengan nilai uang, mereka lalu bisa dipertukarkan. Sebab di sinilah esensi dilangsungkannya suatu transaksi. Yaitu untuk memperoleh barang atau jasa yang dibutuhkan dengan jalan pertukaran. Dan fungsi uang ini memperlancarnya. Sebab tak perlu lagi ada coincidence of wants yang harus terpenuhi seperti pada masa barter.
3.      Uang sebagai alat penyimpan kekayaan (Store of value)[11]
Fungsi ini dapat dikatakan sebagai perwujudan dari salah satu motif dalam mendapatkan uang. Yaitu motif  berjaga-jaga dari kemungkinan yang tak terduga. Sehingga sebagian uang yang dimiliki disimpan agar dapat digunakan saat diperlukan. Dalam konteks ekonomi konvensional, di sini uang berposisi sebagai stock concept yang menurut Marshall Pigou adalah alat untuk menyimpan kekayaan.
Namun terdapat perbedaan pendapat di kalangan ekonom Muslim mengenai fungsi ini. Sebagian besar tidak membolehkan difungsikannya uang untuk menyimpan kekayaan, terlebih lagi jika terdapat motif spekulasi pula. Adnan At-Turkiman khawatir hal ini akan mengarah pada penimbunan uang yang akan berimplikasi pada lumpuhnya roda perekonomian. Namun Zaki Syafi’i menyikapi hal ini dengan membedakan antara menyimpan uang dengan menimbun uang. Menurutnya, menyimpan uang dalam bentuk uang dibolehkan, bahkan Islam sangat mendorong investasi dalam kegiatan produktif guna mewujudkan lancarnya sirkulasi uang dalam perekonomian. Penimbunan uang sama sekali tak dibenarkan. Selain mengganggu kondisi perekonomian karena uang tertarik dari peredaran yang kemudian berimplikasi pada penurunan volume transaksi secara makro, hal tersebut bahkan merugikan penimbun uang itu sendiri. Sebab nilai uang dari waktu ke waktunya selalu mengalami penurunan karena inflasi, apalagi jika uang itu dibiarkan idle begitu saja.
Sebagai jalan tengah mengenai fungsi ini, Al-Ghazali mengatakan bahwa Islam membolehkan menyimpan uang untuk berjaga-jaga dan sama sekali menolak penggunaannya untuk spekulasi.
Eksistensi Uang dalam Ekonomi Islam; Pemerintah di Tengah Kebijakan dan Problematikanya
Islam sangat mengakui urgensi uang. Sisi historis dapat dijadikan rujukan untuk merunut diakuinya uang dalam ekonomi Islam. Meski belum mencetak mata uang sendiri, namun dinãr dari Bizantium dan dirhãm dari Persia telah digunakan semenjak masa pemerinatahan Rasulullah saw. Sampai kemudian terobosan penting dicetuskan oleh khalifah Ali bin Abi Thalib, yaitu pencetakan mata uang koin atas nama negara Islam. Meski uang yang dicetak tidak dapat beredar luas karena singkatnya masa pemerintahan, namun hal ini menjadi bukti bahwa ekonomi Islam mampu mengikuti setiap perkembangan tanpa melepaskan nilai-nilai Islam itu sendiri. Sebab pencetakan uang yang dirintis Ali bin Abi Thalib tersebut terus dilakukan di masa-masa selanjutnya. Salah satunya adalah koin emas yang di pinggirannya bertuliskan kalimat bismillah dan syahadat pada masa khalifah Abdul Malik bin Marwan.
Selain dari kronologi sejarah, terdapat juga beberapa ayat al-Quran dan hadits yang secara implisit mengatakan pentingnya penggunaan uang[12].
Surat Yusuf ayat 20, artinya:
“Dan mereka menjual Yusuf dengan harga yang murah, yaitu beberapa dirham saja, dan mereka merasa tidak tertarik hatinya kepada Yusuf.”
Dan dalam sebuah hadits yang diriwayatkan Abu Dawud:
“Tidak ada zakat pada dinar yang jumlahnya kurang dari dua puluh dinar dan pada setiap dua puluh dinar zakatnya setengah dinar.”
            Dengan adanya uang, hakikat ekonomi dalam perspektif Islam dapat berlangsung lebih baik, yaitu terpelihara dan meningkatnya perputaran harta (velocity) di antara pelaku ekonomi. Uang memperlancar terselenggaranya aktivitas zakat, infaq, shadaqah, wakaf, kharaj, jizyah, dan lain-lain. Pun sektor swasta , publik, dan sosial dapat berlangsung dengan akselerasi yang lebih cepat.[13] Oleh karena itu, Rasulullah sangat menganjurkan penggunaan uang agar terwujud keadilan dalam berekonomi. Beda halnya dengan sistem barter yang dapat menimbulkan riba.
            Dari kronologis historis uang dalam ekonomi Islam tersebut, dapat ditarik satu benang merah bahwa pemerintahlah pihak yang menjadi pemegang otoritas moneter dalam suatu perekonomian. Bukan hanya dalam ekonomi Islam,  pun ekonomi konvensional, tidak lagi memperdebatkan mengenai negara sebagai satu-satunya pemegang otoritas untuk mengeluarkan uang. Untuk menghindari monopoli, hak istimewa ini jelas tidak dapat diserahkan kepada perorangan atau perusahaan apapun dan dalam keadaan bagaimanapun juga. Wewenang pemerintah dalam konteks ini sesuai definisi uang yang terdapat pada Kamus Besar Bahasa Indonesia.
Sistem pemerintahan yang legal dan perangkat hukum yang tegas akan memiliki pengaruh yang signifikan dalam menentukan peraturan etika penggunaan uang. Hal tersebut ditujukan untuk mereduksi atau bahkan membabat habis segala macam persoalan yang diakibatkan tidak tepatnya perlakuan terhadap uang. Ekses moneter yang sempat terjadi di masa lampau dapat dijadikan rujukan untuk meminimalisir atau bahkan menghilangkan bermacam persoalan yang diakibatkan tidak tepatnya perlakuan pelaku ekonomi terhadap uang.
Salah satu contohnya adalah kebijakan moneter pada masa pemerintahan Bani Mamluk Burji yang oleh Al-Maqrizi dikritik sebagai sumber malapetaka. Pada masa itu, tepatnya pasca pemerintahan Sultan Al-Kamil, pemerintah mengubah kebijakan moneter, yaitu dengan meningkatkan pencetakan fulus serta mengurangi dinãr dan dirhãm. Ini dilakukan karena pemerintah terpengaruh oleh laba besar yang diperoleh dari pencetakan fulus, mata uang dari tembaga. Imbas dari kebijakan sepihak itu adalah kerugian besar yang diderita rakyat karena nilai mata uang yang mengalami penurunan. Penurunan nilai mata uang disebabkan terdapatnya lebih dari satu mata uang dalam perekonomian. Salah satu mata uang dengan nilai terendah itu akan mendesak keluar mata uang yang lebih baik untuk keluar dari peredaran. Akibat selanjutnya, adalah kelangkaan dinãr dan dirhãm dalam perekonomian. Sebab, dua mata uang logam itu bukan sekadar ditimbun sebagai alat penyimpan kekayaan, melainkan juga dilebur untuk dijadikan perhiasan. Mengenai hal ini, Al-Maqrizi menyatakan bahwa penciptaan mata uang dengan kualitas yang buruk akan melenyapkan mata uang yang berkualitas baik.[14]Dalam konteks ekonomi konvensional, ini dikenal dengan Hukum Gresham.
Oleh karena itu, menurut Al-Maqrizi, pencetakan mata uang harus disertai dengan perhatian yang lebih besar dari pemerintah untuk menggunakan mata uang tersebut dalam bisnis selanjutnya. Pengabaian terhadap hal ini, akan mengakibatkan terjadinya peningkatan yang tidak seimbang dalam pencetakan uang dengan aktivitas produksi dapat menyebabkan daya beli riil uang mengalami penurunan.[15] Dalam hal ini pun, ulama secara tegas mewanti-wanti pemerintah saat mengeluarkan dan mencetak uang haruslah sesuai dengan proporsi keuangan yang beredar di tengah-tengah masyarakat, dengan mempertimbangkan sesuainya sektor riil dengan sektor moneter dalam keseimbangan atau tidak berat sebelah. Zainul Arifin bahkan memperjelas –sebagai contoh Indonesia– krisis moneter dan ekonomi yang telah menimpa di antaranya disebabkan tidak seimbangnya antara sektor riil dengan sektor moneter.[16]
Narasi singkat tentang krisis moneter pada masa hidup Al-Maqrizi tersebut setidaknya menggambarkan alasan kuat dari definisi, fungsi, dan konsepsi uang menurut Islam yang telah dipaparkan di atas. Penimbunan dinãr dan dirhãm sebagai spekulasi untuk mengumpulkan harta kekayaan berimplikasi pada macetnya laju roda perekonomian. Menunjukkan bahwa, benar menurut ekonomi Islam, uang adalah flow concept sekaligus publict goods yang tidak boleh dibiarkan idle begitu saja sebagai stock concept.
Itu sebabnya banyak hal yang berseberangan antara ekonomi syariah dan ekonomi konvensional. Termasuk dalam lingkup uang. Berawal dari perbedaan pendefinisian yang sudah barang tentu akan menggiring pada banyak ketidaksamaan lainnya. Dari konsepsi hingga fungsi.


Penutup
Menyikapi Uang Secara Tepat
Menurut Al-Ghazali, uang merupakan sesuatu yang sangat penting dalam percaturan perekonomian, karena merupakan salah satu di antara sekian banyak nikmat Allah kepada manusia yang harus dipergunakan sesuai dengan koridor yang telah ditetapkan-Nya. Di samping memiliki kegunaan dalam masalah-masalah yang bersifat fisik, seperti untuk memperoleh makanan, uang juga memiliki kegunaan dalam masalah-masalah ketuhanan. Di mana orang yang memiliki uang idealnya mengingat akan nikmat Tuhan.
Uang memiliki dua kemungkinan, yaitu kemungkinan yang membawa kepada kebaikan dan kemungkinan yang membawa kepada keburukan. Tergantung orang yang memanfaatkan. Pun, tergantung nilai yang dijadikan pijakan. Setidaknya, seperti itulah yang terjadi antara ekonomi syariah dan ekonomi konvensional. Keduanya berdiri di atas nilai-nilai yang berseberangan, sehingga menimbulkan pengaplikasian yang berbeda pula. Meski tampak sama. Namun tetap, dalam ekonomi Islam ada nilai-nilai filosofis sekaligus agamis yang tidak boleh dikotakkan begitu saja.
Menyeruaknya permasalahan moneter sebagai akibat merebaknya disfungsi terhadap uang dalam perekonomian, terutama dalam konteks konvensional, seolah memperkuat konsep uang menurut pandangan ekonomi Islam. Sekaligus menunjukkan bahwa konsep uang secara konvensional malah menggiring perekonomian ke tepi jurang yang curam. Pun, sudah saatnya merunut perekonomian syariah masa lampau sebagai bahan rujukan untuk menghadapi serta menyelesaikan beragam persoalan moneter yang terjadi kini.
Islam mengatur cara untuk memperoleh uang dengan baik dan mempergunakan uang untuk kemaslahatan, agar manusia jangan menjadi budak uang, namun sebaliknya.



[1] Muhammad Zen, Uang dalam Perspektif: Ekonomi Islam dan Konvensional, (Jakarta: Al-Iqtishãdiyyah, 2004), vol. 1 no. 1, hlm. 113.
[2] Ibid.
[3] Rozalinda, Ekonomi Islam: Teori dan Aplikasinya pada Aktivitas Ekonomi, Jakarta: Rajawali Pers, 2014, hlm. 280.
[4] Ibid.
[5] Euis Amalia, Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam: Dari Masa Klasik Hingga Kontemporer, Jakarta: Gramata Publishing, 2010, hlm. 248.
[6] Muhammad Zen, Uang dalam Perspektif: Ekonomi Islam dan Konvensional, (Jakarta: Al-Iqtishãdiyyah, 2004), vol. 1 no. 1, hlm. 116-117.

[7] Anita Rahmawaty, Riba dalam Perspektif Keuangan Islam, hlm. 26.
[8] Ibid.
[9] Rozalinda, Ekonomi Islam: Teori dan Aplikasinya pada Aktivitas Ekonomi, Jakarta: Rajawali Pers, 2014, hlm. 282.
[10] Ibid.
[11] Ibid, hlm. 283.
[12] Akhmad Akbar Susanto, Uang dan Transaksi-Transaksi Keuangan dalam Tinjauan Islam, Pengajian Keluarga Canberra, 1 Desember 2012.
[13] Anita Rahmawaty, Riba dalam Perspektif Keuangan Islam, hlm. 25.
[14] Euis Amalia, Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam: Dari Masa Klasik Hingga Kontemporer, Jakarta: Gramata Publishing, 2010, hlm. 266-267.
[15] Ibid, hlm. 267-268.
[16] Muhammad Zen, Uang dalam Perspektif: Ekonomi Islam dan Konvensional, (Jakarta: Al-Iqtishãdiyyah, 2004), vol. 1 no. 1, hlm. 124.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

[TASK] Proposal Usaha (Kewirausahaan)

Ini tugas bikin proposal waktu kelas sebelas hihi :3 Gak tau bener gak tau nggak soalnya dulu gak sempet direview sama gurunya -,- Disusun oleh: Asti Nurhayati Sri Isdianti Kelas XI-AP4 SMK Negeri 1 Garut 2012-2013 BAB 1 PENDAHULUAN A. Nama dan Alamat Perusahaan Toko Buku   “27 RADAR” Jl.   Radar   No. 27 Garut B. Nama dan Alamat Penanggung Jawab Usaha Ø     Penanggung jawab 1: Nama : Asti Nurhayati Nurjaman   TTL : Garut, 19 Agustus 1996   Ø      Penanggung jawab 2: Nama : Sri Isdianti TTL : Garut, 12 September 1996   C. Informasi Usaha          Usaha toko buku yang kami kelola ini berada di Jl.   Radar   No. 27, merupakan lokasi yang sangat strategis yang berada di pusat kota Garut ini, bisa dengan mudah dijangkau oleh kendaraan apapun. Juga terletak di antara banyaknya pusat perkantoran serta sekolah-sekolah sehingga menjadi suatu keuntungan tersendiri bagi kami karena berdekatan dengan banyak

[BOOK REVIEW] Sejarah Ekonomi Dalam Islam

بِسْــــــــــــــــــمِ اﷲِالرَّحْمَنِ اارَّحِيم Judul: Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam Penulis:DR. Euis Amalia, M.Ag Penerbit: Gramata Publishing Tebal Buku: xiv + 322 halaman ISBN: 978-602-96565-1-0 Harga: Rp. 69.000,- Sumber gambar: goodreads Ada kesenjangan epistemologi yang mengemuka lebar tatkala ingin menampilkan literatur sejarah pemikiran ekonomi. Nilai fairness dan transparansi seolah sulit untuk dibuka ketika dihadapkan pada siapa menemukan apa karena bermuara pada “otoritas klaim.” Fakta-fakta ironis menyebutkan bahwa seringkali hasil karya ilmuwan muslim kita diabaikan oleh sarjana barat, padahal mereka sendiri secara implisist mengakui banyak karyanya telah diilhami oleh  pemikir Islam atau karya mereka tidak pure lagi karena sebelumnya sudah diketemukan teori oleh sarjana muslim. Hanya bisa dihitung dengan jari penulis-penulis barat yang mengakui bahwa konsep-konsep atau teorinya berasal dari pemikir Islam. Secara simplistis saja,

[BOOK REVIEW] AYAH Tanpa Tapi

Surga juga ada di telapak kaki ayah – pada setiap langkah yang ia ambil untuk terus menyambung nafas dan menumbuhkanmu, ada surga. (Seribu Wajah Ayah – hlm. 16)             Ayah, salah satu bilah tervital dalam hidup yang dikatakan Rasulullah setelah penyebutan Ibu yang diulang sebanyak tiga kali.             Ibu, ibu, ibu, baru ayah .            Repetisi yang menomorempatkan ayah bukan berarti kita harus menomorsekiankan pula sosok itu dalam hidup. Tidak sama sekali.           Memang, kebanyakan figur ayah tidak sama dengan ibu. Jika ibu seakan tak pernah kehabisan agenda kata yang berlalu lalang di telinga kita, beda halnya dengan ayah yang bahkan seolah enggan untuk bersuara walau hanya sekecap. Pun, sering kali kita lebih nyaman bersandar di punggung ibu yang ekspresif dibanding harus bercengkrama dengan sosok ayah yang cenderung defensif.            Meski tidak menutup kemungkinan tidak semua ayah berkarakter begitu, tapi itu juga tak dapat dipungkiri, kan?