source from here |
Aku terenyak. Malam itu kau melemparku ke titik
sadar dengan kekuatan luar biasa. Memojokkanku dengan hentakan membabi buta.
Tegun sesaat tetiba dipecah oleh inci demi inci ari yang menjeri, disusul bulir
bening yang meruah tak terperi.
Aku mengisak tanpa nada. Kupijiti pelipis
di setiap ruas peluh yang kian mendingin. Tentu saja dengan gerak perlahan tersebab
aku sedang melobimu, Mimpi. Namun makin lama, ingatan ini malah kian menyeretku
ke dalam cuplikan-cuplikan mengejutkan darimu.
Jantungku mencelus. Gundukan rasa di sudut hati
ini limbung. Tersebab jika kau saja sudah tak bersedia dijadikan tumpuan, apa
lagi yang bisa kujadikan perantara untuk mengepakkan sayap-sayap rasa ini?
Mimpi, tolong dengan sangat.
Aku belum punya cukup keberanian untuk
meminta izin pada realita. Masih banyak serakan variabel, pun bentangan jurang
yang menjaraki. Aku masih harus berjuang untuk menyeberang. Meski sedikit pun
tak tahu, apakah ada upaya serupa yang pun tergerak di selubuk hati di sana, aku
tetap di kepengkuhan yang sama. Bahkan kalaupun navigasi akhir takdir tak sesuara
dengan rasa ini, tak apa. Siapa yang tahu takdir akan mengkonversi diri di
tengah perjalanan, bukan?
Sekarang kamu sudah mengetahui keadaannya,
kan, Mimpi?
Jadi tolong, sampai batas waktu, yang sayangnya
masih belum bisa kuestimasi, bersedialah kujadikan tumpahan rasa.
Hai, Mimpi, aku banyak mendengar bahwa
dirimu ternyata bisa mewujud menjadi nyata. Maukah kali ini kau bekerja sama dengan
realita untuk melakukan hal tersebut perihalku?
Oh, tapi tidak dengan cuplik getir yang kamu
kilatkan di tidurku saat itu.
Komentar
Posting Komentar