source from here |
“Tahiyat
awal, Pak.”
Kontan pria senja itu mengurungkan gerakannya yang
hendak berdiri. Ia kembali terduduk dengan telunjuk kanan yang terjulur di pangkuan.
Perempuan senja yang duduk di tepi ranjang tak henti merapal bacaan. Menuntun
langkah salat sang suami hingga usai.
Yep! That’s my grandparents!
Episode itu selalu membuatku menunduk. Sekadar
untuk menyembunyikan lekuk haru di kedua sudut bibir. Ah, betapa-betapanya
kebersamaan mereka. Too awesome to be explained by word!
Keindahan itu kian menyata setelah aku mengetahui
ribuan cerita di baliknya. Yup, flashback pengantar tidur aku
menyebutnya. Momen di mana Nenek membagi cerita semasa hidupnya. Tentu saja
padaku, cucu sulungnya.
Kisaran jam sembilan malam, Nenek akan masuk kamar
untuk bergegas tidur. Seperti biasa, dengan posisi Nenek yang berebah di sisi
ranjang dekat dinding, dan aku yang duduk mengutati laptop di tepi yang lain.
Nenek tidak langsung tidur. Ia malah lebih sering berbaring menyamping
memandangku. Seraya memeluk guling ia sering kali membuka percakapan dengan
bilang dirinya yang belum ngantuk, misalnya, atau mengeluhkan nyeri lutut yang
kerap kali ia rasakan, contohnya.
Apa pun.
Cakapan akan terus mengalir.
Terlebih jika kebetulan aku sedang memutar play
list djaman doeloe. File musik era sekitar tahun 70 sampai 90-an
peninggalan almarhum Bapak. Alunan itu seakan memaksa si flashback agar
menyeruak ke permukaan.
Saat aku menge-play lagu-lagunya Rock Well,
Van Hallen, atau bahkan Father-nya Peter Sue, Nenek lantas selalu bilang, “Ieu
lagu karesep si Bapak, nya, Teh?” (Terjemahan bisa dilihat di layar
televisi pemirsa. Hihii)
Aku mengangguk mengiyakan.
Yang dimaksud ‘Bapak’ oleh Nenek adalah Bapakku.
Anak pertama Nenek, yang pun, menjadi anak yang pertama kali harus berpulang.
Lagu kesukaan Bapak itu kemudian menjadi backsound
yang menggelar adegan demi adegan. Pertemuan Nenek dengan Aki yang menguntai
sampai jenjang pernikahan. Mereka yang kemudian bersama-sama merancang
keseharian setelah momen sekali seumur hidup itu. Rumah sederhana yang mulai
diramaikan oleh kehadiran anak pertama dan kedua. Kegiatan Aki yang super
padat. Pencapaian yang mulai menanjak menjelang kelahiran anak ketiga. Mereka
terus berproses bersama,sampai akhirnya mewujud menjadi seperti saat ini.
Dan hei, rangkaian cerita Nenek seakan mengiyakan
sepenggal tutur Fahd Pahdepie di buku Sehidup Sesurga-nya. Satu kalimat
terakhir di halaman dua puluh delapan itu mengatakan bahwa, “Di dalam
pernikahan, ujian selalu datang di awal justru agar kita bisa menemukan
pelajaran-pelajaran baru, kedewasaan-kedewasaan baru, dan kebijaksanaan-kebijaksanaan
yang lebih dalam”.
Pertemuan antara bacaan demi bacaan yang kulahap, kilas
balik cerita yang disuguhkan tiap malam oleh Nenek, plus banyak hal yang
kujumpai di realita, mendamparkanku di sebuah konklusi bahwa, ‘Hei, Ti, pernikahan tak sesederhana yang
selalu dibincangkan dan menjadi bahan kebaperan kalian, lho.’Ada banyak
sekali tetek bengek dan poin serta perihal lain yang tak boleh alfa dari pertimbangan
yang super matang.
Iyap! Tiap sendi dalam diri kita yang sebut saja,
beberapa di antaranya adalah moral, sosial, hingga spiritual harus diatensi
secara total agarbisa lebih siap bertualang dalam fase kehidupan super wah itu. Berkaitan dengan hal ini, aku
jadi ingat ujaran Deasylawati dalam bukunya yang berjudul ‘Sebelum Aku Menjadi
Istrimu’ bahwa persiapan pernikahan seringkali diidentikkan dengan kesibukan
saat hendak menggelar resepsi. Padahal persiapan yang sebenarnya bukanlah itu. Masih
kata Mbak Deasylawati, persiapan semacam itu seperti saat kita meyalakan api
dengan sangat besar agar tempe yang dimasak cepat matang. Memang iya, matang.
Namun coba gigit, bagian dalamnya pasti masih mentah. Seperti itulah persiapan
yang instan, hanya mematangkan bagian luarnya saja.
Menikah kan ibadah yang dikatakan merupakan bagian
dari separuh agama, tak mungkin kan kita mengemas persiapan yang sembrono untuk
mengarunginya? Apalagi perjalanan ibadah dalam kapal pernikahan ini bukan hanya
serius, tapi juga super misterius.
Di awal, mungkin hanya ada kecipak-kecipak air yang
bahkan masih bisa ditangani bersama si tawa. Namun kian lama, ciprat itu malah
membesar dan bahkan mengombak dengan gerak tak terduga. Apa yang terjadi
selanjutnya? Apakah akan mengaram putus asa begitu saja, atau saling menguatkan
genggaman tersebab sadar bahwa itu adalah episode yang memerlukan penyikapan
yang bijak serta yakin bahwa air akan menghentikan amukannya? Akankah pernikahan akan terpungkas menjadi hanya sesaat, ataukah
dijaga agar menjadi ibadah yang
langgeng hingga akhir hayat?Kisah
akan bergulir sesuai kualitas serta kuantitas bekal dalam kantong masing-masing.
Sehingga benarlah, bahwa sebelum benar-benar siap melangkah ke sana, adalah kudu bagi kita untuk menyempurnakan separuh
jalan ibadah lain yang masih bisa dilakoni saat berstatus seorang diri (baca: jomblo
:D).
Perihal itu, aku benar-benar menemukan cerminannya
dalam cerita Nenek. Sebenarnya, banyak serakan cerita yang aku dengar dari
pasangan lain, tapi mungkin, untuk sejauh ini, perjalanan hidup Nenek dan
Aki-lah yang memukauku. Lebih mengharukan lagi, Nenek sering berkata bahwa ia
tak pernah menyangka akan menjejak di atmosfer hidup seperti sekarang ini.
Tentu saja laksa demi laksa suka mau pun duka telah ia kecap, dan Allah
menjawabnya dalam esok demi esok yang selalu Nenek eratkan pada sang sabar.
Adalah tentu saja, hari ini Nenek dan Aki sudah tiba
di episode yang mengharuskan salah satu dari mereka membimbing pasangannya
dalam setiap adegan.
Aki tampak menolehkan kepalanya ke samping kiri.
Nenek mengimbuhi dengan melafalkan, “Assalamualaikum
warahmatullah.”
“Dzikir,
Pak. Subhanallah, walhamdulillah, wa laa ilaha illallah, wallahu akbar.”
Hatiku menghangat. Tanpa nada, aku merafal syukur
demi syukur dalam benak.Senang karena Allah memberiku kesempatan untuk mengisi
hari senja mereka. Ah, ataukah sebaliknya, kebersamaan mereka yang menghiasi hariku
sehingga aku bisa banyak memetik ajar di sana. Sepertinya keduanya.
Meski di bilah lain yang juga cukup dalam, kerap
terasa cucukan jeri. Tersebab ternyata tak kudapati gambar serupa antara Bapak
dan Mamah karena Allah bahkan sudah memanggil salah satu dari mereka sebelum
dijelang senja.
Kan?
Ada varian rupa kisah dalam sebentuk pernikahan. Namun bagaimana pun rekam
adegan yang harus dilakoni, semoga bisa mencipta surga yang bisa dihidupkan
bukan sekadar di dunia, pun terboyong hingga ke akhirat.
End untuk tulisan ini.
Flashback
pengantar tidur yang dituturkan Nenek
sering kali berakhir karena Nenek yang jatuh terlelap. Pun tak jarang karena
Nenek yang tetiba melirik jam dinding kemudian berseru kaget, “Eh, gening jam sabelas. Sugan teh jam
salapan keneh.” Setelah itu ia akan berbalik menghadap tembok seraya menggumamkan
bacaan sebelum tidur.
Sementara aku lebih sering meneruskan mengakrabkan
diri dengan malam. Mengutati kursor yang seakan menantang balapan berkedip pada
sepasang mataku yang tak jua disinggahi kantuk.
Komentar
Posting Komentar