Terjadinya Fitnah dan Perang Jamal[1]
Pada masa
pemerintahan Utsman ibn Affan, Muhammad ibn Abi Hudzaifah yang tumbuh di
lingkungan keluarga Utsman meminta jabatan penting, namun Utsman menolaknya dan
malah memberikannya pada Marwan ibn al-Hakam dan Sa’id ibn Ash yang berasal
dari keluarga Bani Umayyah seperti Utsman dan karena Utsman sangat mempercayai anggota
keluarganya.
Hal tersebut membuat
Muhammad ibn Abi Hudzaifah kecewa dan marah yang kemudian memberontak bersama
Muhammad ibn Abi Bakar yang merupakan putra bungsu Abi Bakar dan saudara seayah
Aisyah r.a.
Pada saat yang sama,
seorang Yahudi bernama Ibnu Sabi’ masuk Islam sambil merajut benang konspirasi
secara diam-diam, menyebarkan propaganda di kalangan masyarakat bahwa Ali
adalah khalifah dan pewaris Rasul. Ia menyeru masyarakat untuk mengkritik
Utsman dan mewujudkannya. Ia menetapkan Mesir sebagai pusat bagi gerakan
pemberontakan dan menghimpun orang-orang sehingga terbentuklah kelompok yang
dikenal Sabi’ah.
Pada saat itu pula, peperangan
yang dilancarkan oleh Muhammad ibn Abi Hudzaifah dan Muhammad ibn Abi Bakar masih
terus berlangsung. Pihak Sabi’ah dan pihak dua Muhammad pun berbaur dan
mengokohkan Mesir sebagai markas para pemberontak. Kemudian, pasukan dari Kufah,
Bashrah, bergabung dan berencana untuk memasuki Madinah sebagai rombongan haji
untuk melakukan keonaran dan kekacauan terhadap pemerintahan Utsman.
Utsman lalu
memerintah Ali untuk menghalau dan mengusir mereka agar kembali ke negeri
masing-masing. Namun setelah beberapa waktu kemudian, mereka kembali ke Madinah
dan mengatakan bahwa saat pulang bertemu
dengan seseorang yang membawa surat dari Utsman berisi perintah untuk membunuh sekelompok
orang di antara mereka, menyalib separuh, serta memotong tangan dan kaki sebagian
orang, di mana pada surat terdapat cap Utsman.
Mereka menduga bahwa
surat itu ditulis oleh Marwan ibn al-Hakam, sehingga mereka kemudian mengepung
rumah Utsman dan meminta Utsman untuk memilih antara menyerahkan Marwan atau Utsman
menanggalkan jabatannya yang satu pun tidak ada yang diterima Utsman. Hingga
akhirnya Utsman meninggal setelah rumahnya dikepung selama tiga minggu karena
terbunuh oleh golongan kriminal dan Khawarij.
Setelah Utsman wafat,
ada empat sahabat yang dianggap layak menduduki kursi khilafah, yaitu Thalhah,
Zubair, Sa’ad ibn Abi Waqqash, dan Ali. Namun begitu ke empat orang itu
ditemui, tak ada satu pun yang menanggapi.
Thalhah ibn
Ubaidillah ibn Utsman al-Quraisy, bergelar Abu Muhammad. Ia termasuk sepuluh
orang yang dijanjikan surga, dan satu dari delapan orang yang pertama-tama
masuk Islam. Zubair ibn al-Awwam ibn Khuwailid ibn Asad al-Quraisy, bergelar
Abu Abdullah. Ia murid dan sahabat, serta keponakan Rasul. Thalhah dan Zubair
termasuk orang-orang yang dicalonkan Umar untuk menjadi khalifah.
Di waktu yang sama
dengan dikepungnya rumah Utsman, Aisyah pergi berhaji. Ia mengetahui kematian
Utsman dalam perjalanan pulang, dan di tengah perjalanan ia melihat Thalhah dan
Zubair yang berlari dari Madinan untuk menghindari para pemberontak dan
pengacau. Setelah mendengar keseluruhan cerita, Aisyah meminta untuk menyusun
rencana dan bangkit menyongsong para pengacau.
Mereka mendirikan pusat
dan markas pasukan serta sering mengadakan permusyawaratan di kediaman Aisyah. Hingga
mereka pun memutuskan untuk pergi menuju Bashrah. Hal ini dijadikan kesempatan
oleh kaum muda Bani Umayyah untuk menyelinap bergabung dengan tujuan
menyebarkan fitnah dan kekacauan untuk memperbesar masalah yang dihadapi Ali, dengan
menebar konspirasi dan desas desus di tubuh pasukan yang dipimpin Aisyah.
Berita kepergian
pasukan Aisyah ke Bashrah sampai ke telinga Ali yang kemudian berangkat bersama
beberapa orang Bashrah dan Kufah untuk mengejar rombongan Aisyah dengan harapan
dapat bertemu dan menahan niat mereka.
Ketika Aisyah sampai
di tempat dekat Bashrah, ia mengutus beberapa orang untuk memberitahukan peristiwa
yang terjadi pada khalayak ramai, juga mengirim surat pada para pimpinan dan
tokoh Arab di negeri itu. Gubernur Bashrah, Utsman ibn Hanif memanggil Imran ibn
Hushain dan Abu al-Aswad ad-Duali dan memerintah untuk menemui Aisyah dan mencari
informasi tentang perjalanan Aisyah beserta pasukannya.
Mereka bertemu
Aisyah dan bertanya sesuai perintah, dan Aisyah menjawab bahwa ia dan
pasukannya bangkit untuk mewujudkan perdamaian, melakukan amar maruf nahi
munkar dan ingin mengajak mereka untuk melakukan hal yang sama. Setelah itu,
mereka berdua menemui Thalhah dan bertanya, “Apa yang membuatmu datang kemari?”
Thalhah menjawab, “Untuk
menuntut dendam atas Utsman.”
Keduanya kembali
bertanya, “Tidakkah engkau telah membaiat Ali?”
Thalhah menjawab, “Ya,
terasa ada beban di leherku. Aku tidak keluar dari baiat Ali jika dia tidak
menghalangi kami mencari para pembunuh Utsman.”
Keduanya kemudian
mendatangi Zubair dan menanyakan hal yang sama. Zubair pun memberikan jawaban
yang sama dengan Thalhah.
Setelah itu, mereka
kembali ke tempat Aisyah untuk pamit. Aisyah berpesan pada mereka, “Wahai Abu
al-Aswad, jangan sampai hawa nafsu menuntunmu ke neraka. Ingatlah firman Allah
....” Aisyah membacakan surat Al-Mã’idah ayat 8.
Ucapan Aisyah membekas
dalam diri Imran ibn Hushain sehingga ia menjauhkan diri dari pertempuran dan
berkata pada Utsman ibn Hanif bahwa setelah peperangan yang panjang tak akan ada
hal berharga yang tersisa. Ia juga meminta pensiun pada Utsman ibn Hanif.
Utsman ibn Hanif tidak
mendengarkan saran Imran, ia kemudian menyeru orang-orang agar mempersiapkan
senjata dan berkumpul di masjid untuk mencegah pasukan Aisyah sampai Amirul
Mukminin datang. Namun Utsman terpedaya oleh seorang penipu ulung yang mengatakan
agar mengusir pasukan yang datang untuk mencari pembunuh Utsman ibn Affan. Sehingga
begitu Aisyah dan pasukannya sampai di Marbad, mereka ditawan sampai Utsman datang
bersama pengikutnya. Mereka lalu berkumpul di Marbad dan terjadi bentrokan saling
lempar batu begitu Thalhan dan Zubair berbicara.
Namun setelah Aisyah
berkhutbah tentang kehidupan umat dengan suara lantang, pengikut Utsman pun
pecah menjadi dua kelompok, sebagian beralih ke kubu Aisyah dan sebagian tetap
dalam pasukan Utsman. Mengetahui hal itu, Aisyah lalu berpaling memisahkan diri
dari kubu Utsman sampai berhenti di Marbad.
Karena mendapat
serangan, peperangan berlanjut hingga esok harinya, membuat pasukan Aisyah menghunus
tombaknya untuk membela diri. Kemudian Aisyah memerintahkan para pengikutnya
agar mundur hingga Bani Mazin hingga malam turun. Setelah diberi saran untuk
pindah dan berhenti di Zabuqah, begitu fajar menyingsing, kubu Utsman kembali
menyerang untuk membunuh Aisyah. Karena banyak korban berjatuhan di kedua belah
pihak, pasukan Aisyah mengusulkan jalan damai yang kemudian disetujui. Masing-masing
berjanji dan saling berkirim surat, serta mengirim utusan ke Madinah untuk melacak
jika Thalhah dan Zubair membaiat Ali dalam keadaan terpaksa, maka Utsman harus
keluar dan membebaskan mereka dari Bashrah. Namun jika tidak dalam keadaan
terpaksa, maka Thalhah dan Zubair yang harus keluar.
Diputuskan Ka’ab
yang berangkat ke Madinah pada hari Jumat. Di sana Ka’ab berkata, “Wahai penduduk
Madinah, aku adalah utusan dari Bashrah. Apakah orang-orang itu memaksa Thalhah
dan Zubair untuk membaiat Ali, atau keduanya melakukan dengan sukarela?”
Ali mendengar kabar
dari Madinah dan langsung mengirim surat pada Utsman yang mengatakan bahwa demi
Allah, Thalhah dan Zubair tidak merasa terpaksa membaiatnya, dan keduanya
sangat membenci perpecahan, keduanya hanya dipaksa untuk masuk ke dalam satu
golongan.
Perang Jamal
20.000 pasukan Ali
bertemu di medan perang bersama pasukan Aisyah yang berjumlah 30.000 orang. Perang
antarsesama muslim itu pun pecah, setiap kabilah menghadapi kabilahnya
masing-masing. Setiap kubu menganggap dirinya paling benar, tak mau mengalah
dan tak rela posisinya diganggu gugat. Melihatnya, Zubair berkata, “Ketika kaum
muslimin telah menjadi seperti gunung yang kokoh dan penuh kekuatan, sekarang
mereka justru ingin menghancurkan satu sama lain.”
Setelah kedua
kelompok merasa bahwa pertempuran tidak akan berakhir kecuali dengan jalan ishlah,
akhirnya Ali mengutus al-Qa’qa’ ibn Amr untuk mendatangi Thalhah dan Zubair.
Al-Qa’qa’ berangkat
dan menemui Aisyah terlebih dahulu lalu bertanya, “Wahai Bunda, apa yang
membuatmu datang ke negeri ini?”
Aisyah menjawab, “Putraku,
aku ingin mengusahakan perdamaian di antara manusia.”
Kemudian ia
berpaling pada Thalhah dan Zubair lalu menanyakan hal yang sama dan mendapat
jawaban yang serupa pula. Al-Qa’qa’ kembali berkata, “Katakanlah kepadaku, perdamaian
seperti apa yang ingin kalian wujudkan? Demi Allah, jika kami anggap baik, maka
kami juga akan melakukanhal itu. Dan jika kami anggap buruk, maka kami akan
menolaknya.”
Keduanya menjawab, “Kami
ingin menghukum para pembunuh Utsman. Jika mereka dibiarkan, berarti kita telah
meninggalkan Al-Quran. Dan jika mereka dihukum, berarti kita telah menghidupkanAl-Quran.”
Kemudian
al-Qa’qa’ berkata, “Kalian sebenarnya telah membunuh para pembunuh Utsman dari
antara penduduk Bashrah. Sebelum membunuh mereka, kalian lebih istiqamah
daripada sekarang. Kalian telah membunuh 599 orang. Itu sebabnya 6000 orang
menjadi murka dan ingin mengusir kalian.”
Mereka
membenarkan ucapan al-Qa’qa’ dan meminta agar al-Qa’qa’n kembali pada Ali dan
mengatakan bahwa masalah telah selesai. Ali sangat senang mendengarnya, namun
perang tetap terjadi karena para pemberontak yang tidak menyukai jalan damai
sebab tidak bisa mewujudkan kepentingan mereka dan takut kejahatan mereka terendus.
Tak ada seorang pun mendengar seruan Ali yang meminta untuk menghentikan
peperangan. Sementara, Aisyah menaiki kendaraannya dan mulai menghela untanya.
Ali
kemudian berkumpul dengan Thalhah dan Zubair. Ia mengingatkan tentang sabda
Rasul yang mengatakaan bahwa biarkan saja orang membunuhmu sehingga dia menjadi
orang yang zhalim. Thalhah dan Zubair membenarkan dan menyesali perbuatan
mereka. Kemudian Zubair pergi ke Madinah diikuti oleh Amr ibn Jarmuz dan
dibunuh oleh Ibnu Jarmuz ketika tengah melaksanakan shalat. Sementara Thalhah tidak
jadi turut pergi bersama Zubair karena ia juga dibunuh oleh Marwan ibn Hakam
yang menganggapnya sebagai hambatan terbesar bagi Bani Umayyah.
Di
tengah peperangan, Ali sadar bahwa perang tidak akan berhenti sampai unta milik
Aisyah berhasil dilumpuhkan. Akhirnya ia berseru agar memotong unta yang
ditumpangi Aisyah. Namun orang-orang dari Bani Dhabbah melindungi unta Aisyah
sampai 70 orang terbunuh yang membuat salah seorang dari Bani Dhabbah nekad
menerobos dari belakang dan menyembelih unta Aisyah karena menyadari jika unta
tidak dibunuh maka seluruh anggota kabilahnya akan habis.
Begitu
perang terhenti, Ali menjumpai Aisyah dan menanyakan kabar bundanya itu.
Kemudian Ali menyiapkan segala keperluan Aisyah berupa kendaraan dan bekal lalu
mengantarnya bersama orang-orang yang selamat dalam peperangan.
Setelah membaca ini, aku
sedikit speechless gimana gitu ._.
hehehe soalnya baru tahu kalau ternyata antara Siti Aisyah sama Ali bin Abi
Thalib pernah ada konflik yang lumayan terbilang runcing lah ._. yaaa dulu aku
jarang baca buku-buku yang berkaitan dengan sejarah Islam sih -_- jadinya kudet kan -_____-
Tapiii hal ini terjadi
karena keduanya sama-sama bersikeras ingin menegakkan kebenaran, cuma yaaa
karena perbedaan paham jadinya meletuslah Perang Jamal ini. Untuk lebih
lengkapnya kalian bisa baca buku ini niiih.
Bacaan bagus. Sangat sangat
bagus sekali *redundannya muncul -_-* disajikan dengan sangat runtut dan ringan
serta tidak membosankan seperti halnya membaca sejarah pada umumnya :v Banyak
pelajaran yang bisa diambil dari diri Siti Aisyah yang luar biassssa ini juga
patut diteladani dan mudah-mudahan dapat diterapkan khususnya oleh kita sebagai
perempuan hehehe.
Judul: Aisyah
: Sejarah Lengkap Kehidupan UMMUL Mu ' MININ ' AISYAH R.A.
Penulis: Sulaiman
an-Nadawi
Harga: Rp. 85.500,- (tapi waktu beli dikasih diskon jadi
Rp.50.000,- soalnya tinggal satu lagiii :3)
Rilis: Juni
- 2012
ISBN: 9789791303071
Komentar
Posting Komentar