بِسْــــــــــــــــــمِ اﷲِالرَّحْمَنِ
اارَّحِيم
Aku mau berbagi salah satu cerita hikmah yang paling aku suka di bukunya Ustad
Yusuf Mansur yang berjudul How to Make a Good Life ini. Semua aku ketik ulang. Benar-benar sama persis dengan yang ada di buku. Pun aku nggak menambah
atau bahkan mengurangi walau satu huruf. Bagian cerita ini ada di halaman 92-99. Semoga bermanfaat^^
Penulis: Ust. Yusuf Mansur
Penerbit: Penerbit Zikrul Hakim
Tebal Buku: 432 halaman
Cetakan Pertama: Jumadil Akhir 1434 H / Mei 2013
ISBN: 978-979-063-817-4
Harga: Rp. 61.000,-
"Sesungguhnya
Kami telah menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya. Kemudian Kami
kembalikan dia ke tempat yang serendah-rendahnya (neraka), kecuali orang-orang
yang beriman dan mengerjakan amal shaleh; maka bagi mereka pahala yang tiada putus-putusnya."
(QS. at-Tiin: 4-6)
KELEBIHAN MANUSIA
Manusia bisa menjadi hewan, hewan tidak bisa menjadi manusia.
Inilah kelebihan manusia!
"De, apa
bedanya, gajah, semut, dengan kakek-kakek?" Luqman mulai mencandai
Maemunah.
" Apa, ya?"
Enggak tau, ah!" jawab istrinya cuek, sambil terus
memasak sup jagung kesukaan Luqman.
Semut bisa naekin gajah, sedangkan gajah enggak bisa naekin semut!" jawab Luqman.
Setelah menjawab
seperti di atas, Luqman diam seribu bahasa, pura-pura tidak mau melanjutkan.
"Terus?"
tanya Maemunah.
Nah, pertanyaan ini
yang ditunggu Luqman. "Terus bagaimana?" pancingnya.
"Ya terus
kakek-kakeknya?"
"Kakek-kakeknya
kamu aja yang naekin! Ha ha ha..." Luqman tertawa, jebakannya
berhasil.
"Wuuuh dasar ngeres!" Maemunah
merajuk.
"Nah, sekarang,
apa persamaannya kebo sama monyet?" giliran Maemunah yang ngasih tebakan.
"Sama-sama
enggak bisa maen piano, iya, 'kan?"
"Wuh,
jelek!" Maemunah bersungut karena Luqman sudah tahu jawabannya.
"Nih, satu lagi!
Apa kelebihan manusia dibanging hewan?" tanya Maemunah lagi.
"Hewan enggak
punya otak, manusia punya otak."
"Ah, itu mah anak kecil juga tau."
"Manusia bisa
berpikir, hewan enggak bisa."
Ah, itu juga
biasa!"
Kali ini jawaban
Luqman disalahkan semua.
Maemunah kemudian
menjawab, "Manusia bisa menjadi hewan, hewan tidak bisa menjadi
manusia."
"Ye...
itu mah bukan tebakan, tapi memang dari sononya udeh begitu."
"Biarin!"
***
Luqman itu iseng. Dia
suka becandain istrinya, kadang kelewatan. Tapi, semua maksudnya adalah
sekadar bercanda. Misalnya, suatu hari, Luqman membawa oleh-oleh. Lalu sebelum
dikasih kepada Maemunah ini, ia meminta Maemunah memejamkan mata.
"De, kakak bawain oleh-oleh, nih. Tapi, tebak dulu!"
"Boleh."
"Yang Kakak bawa
ini bersisik dan bisa bergerak" canda Luqman, memberikan kesan bahwa yang
dibawanya itu semacam ular.
Maemunah sudah mau
buka mata saja kalo enggak buru-buru dilarang. Maemunah itu sensitif, denger gitu aja dia udeh merinding. Apalagi dibisiki, "Terus ada
ekornya!"
"Makanya,
hahati-hati nanti kalo megangnya."
"Ya udeh, buruan dong, apaan sih?"
"Ya, tebak
dulu."
"Benda atau
binatang sih?"
"Enggak
tahu."
"Berapa
huruf?"
"Enem!"
"Apaan, ya?
Benda ini bisa bergerak, terus bersisik, dan hurufnya ada enam. Berekor,
lagi!"
Maemunah akhirnya
memilih enggak dikasih oleh-oleh. Enggak apa-apa, katanya, daripada nanti
kenapa-napa.
"Nyesel,
lho, nanti. Ini 'kan, manis," goda Luqman.
"Tuh kaaan...
apaan, sih?" tanya Maemunah penasaran juga, sementara matanya masih merem.
"Ya udeh, sekarang pegang aja, nih!" Luqman menarik tangan Maemunah agar
membuka kepalanya, dan menaruh oleh-olehnya ditelapak tangannya.
Kontan Maemunah
menjerit. Oleh-oleh itu bukannya diterima dengan baik malah dilempar ke arah
Luqman. Untung saja enggak kena muka Luqman. Sudah gitu, sang istri juga enggak mau buka mata, ketakutan. Semakin sebel
dia, karena didengarnya Luqman tertawa senang.
"Ini, 'kan cuma
salak!" Akhirnya Luqman memberitahu sambil mengguncang-guncang bahu
Maemunah.
Setelah diyakinkan
Luqman, mau juga Maemunah membuka mata. Dan betul, memang salak yang dibawa
Luqman. Salaknya, salak Bali, manisnya enggak ketulungan.
"Jahat! Terus,
kok, kenapa dibilang bergerak, bersisik, dan punya ekor segala?"
"Iya, 'kan salak
juga makhluk hidup. Dan semua makhluk hidup bergerak menuju kematian, bergerak
menuju saat-saat terakhir menjad makhluk hidup. Terus, kulitnya 'kan, seperti
sisik dan punya buntut?!"
'Tapi, kok enam
huruf? Salak 'kan, lima huruf?'
"Kan, bacanya,
sal... lak!"
Kontan Luqman
dilempar pake guling. Dan salaknya, dimakan habis!
Giliran Luqman gigit jari, soalnya, tuh salak memang
cuma ada dua, sisa jatah di kantornya. Dan ia belum makan tuh salak, maunya
sih, makan bareng... eh, malah dihabisin Maemunah. Nasib!
"Dan sesungguhnya, Kami telah sediakan bagi neraka Jahanam
kebanyakan dari jin dan manusia. Mereka mempunyai hati, tetapi tidak mau
memahami dengannya; mereka mempunyai mata, tetapi tidak melihat dengannya; dan
mereka mempunyai telinga, tetapi tidak mendengar dengannya. Mereka itu seperti
binatang ternak, bahkan lebih sesat. Mereka itulah orang-orang yang
lalai." (QS. al-A'raaf: 179)
Pagi itu, Luqman
merenungkan kebenaran jawaban tebakan yang diberikan Maemunah tentang kelebihan
manusia dibanding hewan; manusia bisa menjadi hewan, sedangkan hewan tidak bisa
menjadi manusia.
Babi jorok, emang begitu adanya. Kebo kotor, juga emang begitu adanya. Tapi kalau manusia hidup jorok
dan kotor, sama saja dengan babi dan kebo. Dan pasti lebih jelek. Sebab, babi
dan kebo jelas enggak punya pikiran, beda dengan manusia yang diberi akal untuk
hidup bersih dan teratur.
Anjing, ayam, bebek,
burung, dan hampir semua binatang, "tidak tahu malu" kalau mau buang
hajat. Baik hajat bener-bener hajat -buang air- maupun "hajat"
yang satu ini, yaitu menyalurkan birahinya. Maka manusia, bila mengumbar nafsu
seksualnya secara binal, bahkan dilakukan di depan umum, apa bedanya dengan
binatang?
Ada lagi yang jauh
lebih menurunkan derajat kemanusiaan. Yaitu, ketika manusia tidak lagi
menggunaka potensi ketuhanan yang sudah diberikan Tuhan, yaitu potensi hati dan
kebenaran. Tidak peduli ia begitu kuasa atau begitu kaya, bila semuanya itu
dibangun dengan cara yang batil, dipandang hina oleh Tuhan dan akan dihadapkan
pada kehinaan. Tidak peduli ia begitu mulia atau begitu agung, kalau kemuliaan
dan keagungan itu dibangun di atas penderitaan orang lain dan menghalalkan
segala cara, tetap saja dianggap oleh Tuhan ia telah memilih jalan orang yang
hina.
Begitulah, ketika
kendali nafsu bukan lagi pada hati yang bersih dan pikiran yang jernih, maka
dia sama saja dengan hewan, bahkan lebih kejam, lebih buas, dan lebih hina. Ah,
manusia! Dalam "pakaiannya" yang kotor, dalam pikirannya yang kotor,
dan dalam hatinya yang kotor, maka manusia lebih buruk ketimbang hewan.
"Sungguh, Kami menciptakan manusia dalam sebaik-baiknya
penciptaan. Kemudian Kami mengembalikannya kepada kondisi yang
serendah-rendahnya, kecuali orang-orang yang beriman dan berbuat baik...." (QS. at-Tiin: 4-6)
MUNAJAT
Wahai Zat yang telah
menciptakan hamba, perbuatan hamba membuat hamba tak tampak seperti manusia.
Manusia itu diciptakan dari rahim seorang ibu, sedangkan hati hamba terkadang
kerasa seperti batu. Tak pandai memperhatikan orang lain dan tak pandai menaruh
iba kepada penderitaan sesama. Bahkan, hamba tak pandai menimbang dan berpiki
ketika hendal melakukan sesuatu.
Wahai Zat yang telah
menciptakan kehidupan, manusia itu diciptakan dengan sifat rahman dan rahim-Mu,
sedangkan jejak kehidupan hamba jauh dari kehidupan cinta dan kasih sayang.
Wahai Sang Pencipta,
Engkau tahu segala kekurangan hamba, kiranya Engkau juga berkenan menutup
segala kekurangan itu dengan samudera kebijakan-Mu yang tak berbatas.
Wahai Pemilik segala
ampunan, sesungguhnya Engkau tahu langkah-langkah sesat hamba, kiranya Engkau
juga berkenan menutupnya dengan ampunan dan maaf-Mu.
Semua ini agar hamba
kembali menjadi manusia yang berwajah manusia, berpikir manusia, dan berbuat
seperti perbuatan manusia. Amin.
Komentar
Posting Komentar