Langsung ke konten utama

[BOOK REVIEW | CREATE IT] Hadis dan Ulumul Hadis

بِسْــــــــــــــــــمِ اﷲِالرَّحْمَنِ اارَّحِيم

HADIS DAN ULUMUL HADIS
Pada dasarnya terdapat banyak perbedaan mengenai definisi hadis. Secara etimologi, hadis merupakan bentuk mufrad dari hidas, hudasa, dan hudus dengan beberapa arti:
1.     Baru (jadid), lawan dari terdahulu (qadim);
2.     Dekat (qarib), tidak lama terjadi, lawan dari jauh (ba’id);
3.     Warta berita (khabar), sesuatu yang dipercakapkan dan dipindahkan dari seseorang kepada orang lainnya. Hadis yang bermakna khabar ini dihubungkan dengan kata tahdis yang berarti riwayat, ikhbar (mengabarkan).
Sedangkan secara terminologi dipengaruhi oleh perbedaan kacamata yang digunakan dalam mendefinisikan hadis yang akan membuahkan pengertian yang beragam pula, seperti:
Ø   Menurut ulama ushul fiqh; hadis lebih pada sesuatu yang mempunyai implikasi hukum karena hadis adalah salah satu sumber hukum yang menjadi penjelas Al-Quran bagi para mukalaf;
Ø   Menurut ulama hadis; hadis adalah semua yang disanadarkan kepada Nabi Muhammad SAW. baik perbuatan (fi’liyah), perkataan (qauliyah), dan ketetapan (taqririyah) yang menjadi sumber teladan.
Dari dua pendapat itu pengertian menurut ulama hadis jelas lebih luas dibandingkan dengan menurut ulama ushul fiqh. Ulama ahli hadis memandang bahwa semua yang datang dari Rasulullah SAW. baik yang berkaitan dengan hukum atau tidak adalah hadis. Sedangkan bagi ulama ushul fiqh, hadis terbatas pada sesuatu yang berkaitan dengan hukum.
          Bentuk-bentuk hadis antara lain:
1.     Perbuatan (Fi’liyah); berupa perkataan Rasulullah SAW. dalam berbagai hal dan keadaan. Contoh: tata cara shalat puasa, haji, dan lain-lain. “Nabi SAW menyamakan (meluruskan) saf-saf kami ketika kami melakukan salat. Apabila saf-saf kami telah lurus, barulah Nabi SAW bertakbir.
2.     Perkataan (Qauliyah); berupa perilaku beliau. Contoh: Rasulullah SAW.  bersabda: اَلْمُؤْمِنُ لِلْمُؤْمِنِ كَالْبُنْيَانِ يَشُدُّ بَعْضُهُ بَعْضًا
Orang mukmin dengan orang mukmin lainnya bagaikan sebuah bangunan yang satu sama lain saling menguatkan.” (HR. Muslim).
3.     Ketetapan (Taqririyah); berupa penetapan, penilaian, atau persetujuan Rasulullah SAW. atas perilaku atau ucapan sahabat meski beliau tidak melakukan atau mengatakan hal tersebut. Contoh:  Kami (para sahabat) melakukan salat dua rakaat sesudah terbenam matahari (sebelum salat Magrib), Rasulullah SAW terdiam ketika melihat apa yang kami lakukan, beliau tidak menyuruh dan tidak pula melarang kami.”
Terlepas dari perbedaan pengertian di atas, dapat disimpulkan bahwa hadis adalah berita yang diturunkan Allah kepada Rasulullah SAW. untuk dijadikan sumber hukum penjelas Al-Quran terhadap segala persoalan yang terjadi. Berita dari Allah itu ditunjukkan oleh Nabi Muhammad SAW. dapat berwujud perkataan, perbuatan, atau pun ketetapan.

Masa pembentukan hadis yaitu pada masa kerasulan Nabi Muhammad SAW. Selama 23 tahun hadis lahir dari interaksi antara Rasulullah SAW. dengan para sahabat melalui proses verbalisasi, sehingga ada yang mengatakan bahwa hadis adalah produk budaya.  Sedangkan verbalisasi itu terjadi karena para sahabat yang selalu saling menceritakan pengalaman mereka yang bersangkutan dengan Nabi Muhammad SAW. agar bisa saling bertukar pengalaman yang dapat dijadikan sandaran setiap persoalan. Hal ini dikarenakan tingginya animo mereka untuk menjadikan Nabi Muhammad SAW. sebagai sumber teladan.
          Selama 23 tahun itu, tidak ada penulisan hadis secara resmi, karena, selain terbatasnya media tulis, Nabi sempat melarang karena saat itu perhatian tengah terfokus pada Al-Quran serta Nabi Muhammad SAW. khawatir jika matan dalam hadis akan tercampur aduk dengan periwayatan Al-Quran. Sehingga hadis hanya hidup dalam hapalan para sahabat.
          Namun meski begitu, tetap saja ada beberapa sahabat, seperti Abdullah bin Amr bi AS, yang melakukan penulisan hadis secara diam-diam atau tidak resmi. Hal itu jelas sangat ditentang oleh sebagian sahabat yang lain dengan argumentasi bahwa Rasulullah SAW. pernah bersabda,
لَا تَكْتُبُوا عَنِّي شَيْئًا إِلَّا الْقُرْآنَ فَمَنْ كَتَبَ عَنِّي شَيْئًا غَيْرَ الْقُرْآنِ فَلْيَمْحُهُ
Janganlah kamu tulis apa-apa yang kamu dengar dariku selain Al-Quran. Dan barang siapa yang menulis sesuatu dari aku selain Al-Quran, hendaklah dihapuskan.”
          Tetapi, untuk lebih memastikan, Abdullah bin Amr bin AS kembali menanyakan perihal tersebut dan Rasulullah SAW. bersabda, “Tulislah apa yang kamu dengar dariku, demi Tuhan yang jiwaku di tangan-Nya, tidak keluar dari mulutku, selain kebenaran.”
          Hal tersebut karena yang yang menjadi kekhawatirn Rasulullah SAW. sebenarnya adalah mereka yang bisa saja mencampuradukkan hadis dengan Al-Quran.
          Kegiatan penulisan secara pribadi dan saling bertukar hadis terus terjalin di antara para sahabat. Hal itu bahkan semakin gencar setelah Nabi Muhammad SAW. wafat karena tidak ada lagi sumber utama dan terpercaya yang dapat memberi ketetapan atas segala persoalan kehidupan yang semakin kompleks. Hadis terus berpindah disampaikan dari mulut ke mulut. Masing-masing perawi meriwayatkan berdasarkan hapalannya yang terkenal kuat.
          Di antara para sahabat yang paling banyak menghapal/meriwayatkan hadis ialah Abu Hurairah. Menurut keternagan Ibnu Jauzi, Abu h=Hurairah meriwayatkan sejumlah 5.374 buah hadis. Kemudian para sahabat yang lain:
1.     Abdullah bin Umar r.a. meriwayatkan 2.630 buah hadis
2.     Anas bin Malik meriwayatkan 2.276 buah hadis;
3.     Aisyah meriwayatkan 2.210 buah hadis;
4.     Abdullah ibnu Abbas meriwayatkan 1.660 buah hadis;
5.     Jabir bin Abdullah meriwayatkan 1.540 buah hadis;
6.     Abu Said al-Khudri meriwayatkan 1.170 buah hadis.
          Seiring berjalannya waktu, wilayah cakupan agama Islam semakin meluas dengan pemeluk Islam yang semakin banyak pula. Ide penghimpuna hadis agar dapat diketahui oleh umat Islam untuk pertama kalinya dikemukakan oleh Umar bin Khattab meski tidak dilaksanakan karena sekaligus ia juga khawatir perhatian umat Islam yang tengah mempelajari Al-Quran akan terganggu. Selain itu, pada masa pemerintahan Umar bin Khattab memang tengah gencar-gencarnya upaya penghimpunan dan pembukuan Al-Quran.
          Pada tahun 99 Hijriyah, saat Umar bin Abdul Aziz memerintah, beliau sangat sadar bahwa para perawi yang mengumpulkan hadis dalam ingatannya semakin berkurang karena meninggal. Beliau khawatir apabila tidak segera dikumpulkan dan dibukukan hadis akan turut hilang bersama para perawinya. Kemudian pada tahun 100 H, Umar bin Abdul Aziz meminta kepada seluruh gubernur agar mengusahaka pembukuan hadis.
          Proses pembukuan hadis terus berlanjut hingga pada masa Bani Abbasiyah yang merupakan masa penyempurnaan. Hingga akhirnya diteruskan oleh imam-imam ahli hadis seperti Bukhari, Muslim, Turmuzi, Nasai, Abu Daud, Ibnu Majah, dan lain-lain. Mereka dikenal dengan Kutubus Sittahnya (kitab-kitab yang enam) yang diklaim merupakan hasil dari masa keemasan perkembangan hadis.

Hadis Nabi Muhammad SAW merupakan penafsiran terhadap Al-Quran dalam penerapan secara faktual dan ideal yang merupakan pribadi Rasulullah SAW. Hadis menjadi penafsir Al-Quran karena banyak ayat-ayat Al-Quran yang bersifat mujmal dan mutlak, seperti misalnya ayat perintah salat tidak menerangkan cara-caranya. Banyak pula ayat-ayat Al-Quran yang sulit dipahami atau dijalankan bila tidak dijelaskan sehingga para sahabat selalu menanyakan keterangannya pada Rasulullah SAW. Serta ada beberapa kejadian atau peristiwa yang tidak dijelaskan hukum-hukumnya dalam Al-Quran.
Secara teologis, sesuai bunyi syahadat, umat Islam wajib menjadikan Rasulullah SAW. sebagai sandaran. Dalam Al-Quran juga banyak secara jelas diperintahkan untuk mentaati dan meneladani Rasulullah SAW. Karena taat kepada Rasulullah SAW. berarti taat juga kepada Allah SWT. Begitu pula sebaliknya, jika ingkar kepada Rasulullah SAW. sama dengan ingkar kepada Allah SWT.
Untuk mewujudkan ketaatan tersebut, umat Islam harus mempelajari hadis, karena sebenarnya Al-Quran dan hadis adalah satu-kesatuan yang tidak dapat dipisahkan seperti dua sisi mata uang yang saling berdampingan. Karena keberagamaan menjadi tidak bernilai jika hanya disandarkan kepada salah satunya, Al-Quran saja, atau bahkan hadis saja. Jika ingin menjadikan Al-Quran sebagai pedoman yang baik, maka harus menjadikan hadis sebagai rujukannya.
Masalahnya, hadis bahkan baru dikumpulkan satu setengah abad setelah Nabi Muhammad SAW. wafat sehingga diperlukan ilmu yang mengkaji dan menjamin keotentikan dan keshahihan hadis yang sampai pada umat. Dan karena itulah para ulama mulai mempelajari ilmu hadis yang pada awalnya merupakan beberapa ilmu yang masing-masing berdiri sendiri karena pada saat itu ilmu-ilmu hadis ditulis secara parsial. Ilmu yang terpisah dan parsial tersebut kemudian digabungkan dan dijadikan satu setelah kemudian dijadikan satu disiplin ilmu yang berdiri sendiri dan dinamai ulumul hadis. Secara bahasa, ulumul adalah bentuk jamak dari ilmu. Jadi, ulumul hadis adalah ilmu-ilmu yang membicarakan tentang hal-hal yang berkaitan dengan hadis.
Ulumul hadis adalah salah satu ilmu yang penting untuk dipelajari umat karena jika dapat memahami hadis dengan baik, bukan tidak mungkin akan berdampak pula pada pembentukan karakter umat yang baik yang dapat memahami sumber hukum yang dijadikan pegangan dalam hidup dengan baik. Perkataan Sofyan Sami dapat dijadikan argumentasi kuat dalam hal ini, ia mengatakan, “Saya tidak menemukan ilmu yang lebih utama dari orang yang ingin dihadapkan wajahnya di hadapan Allah selain ulumul hadis.”
Secara garis besar, ulumul hadis terbagi menjadi dua macam, yaitu:
Ø   Ilmu hadis riwayah; ilmu yang mempelajari periwayatan hadis, meliputi pemindahan hadis dari orang tertentu ke orang lain dengan dipintal atau dipertimbangkan kebenarannya.
Ø   Ilmu hadis dirayah; ilmu yang mempelajari hadis dari segi pengetahuannya, meliputi hal-hal yang berkaitan dengan rawi, sanad, dan matan.
·      Rawi adalah orang-orang yang menyampaikan hadis. Sifat-sifat yang ideal dimiliki para rawi adalah:
ü Bukan pendusta;
ü Tidak banyak salahnya;
ü Teliti;
ü Tidak fasik;
ü Bukan orang yang ragu-ragu;
ü Bukan ahli bid’ah;
ü Kuat hapalannya (dhabit).
·      Sanad adalah rangakain/rantai seluruh penutur/rawi mulai dari mudawwin hingga mencapai Rasulullah SAW.
·      Matan adalah redaksi dari hadis atau isi hadis.
Para ahli hadis sangat hati-hati dalam menerima suatu hadis kecuali jika perawi adalah orang yang sudah sangat dikenal kepribadiannya. Pada masa Abu Bakar r.a. dan Umar r.a. periwayatan tidak akan diterima jika tidak disaksikan kebenarannya oleh orang lain. Sementara Ali bin Abu Thalib tidak akan menerima hadis sebelum perawinya disumpah. Ini menunjukkan pentingnya dilakukan penelitian terhadap hadis untuk menghindari pemalsuan hadis yang mulai berkembang pesat pada zaman Ali bin Abi Thalib, terutama setelah peristiwa tahkim di mana umat Islam terpecah-belah menjadi beberapa golongan yang masing-masing mengaku berada dalam pihak yang paling benar. Untuk mempertahankan posisinya, mereka mulai meriwayatkan hadis-hadis palsu yang dapat memperkuat keberadaan mereka. Hadis palsu bermunculan dari golongan Syiah, kemudian Khawarij, ada juga golongan Zindiq, yaitu tukang kisah yang berupaya untuk menarik minat masyarakat dengan membuat kisah-kisah palsu.
          Faktor-faktor lain yang melatarbelakangi pentingnya penelitian hadis antara lain:
Ø   Proses penghimpunan hadis ke dalam kitab-kitab hadis yang memakan waktu cukup lama setelah Nabi Muhammad SAW. wafat;
Ø   Jumlah kitab hadis sangat banyak dengan metode penyusunan yang beragam;
Ø   Terjadinya periwayatan hadis secara makna. Beberapa ulama menentang periwayatan dengan cara tersebut karena redaksinya tidak utuh serta penafsiran maknanya yang dapat disebut subjektif tergantung pada diri perawi.
Oleh sebab itu, penelitian sanad dan matan menjadi sangat penting untuk dapat menjadikan hadis sebagai sumber hukum.
Kedudukan sanad dalam hadis sangat penting karena hadis yang diriwayatkan akan mengikuti perawinya. Dengan sanad, suatu periwayatan hadis dapat diketahui tingkat keshahihannya. Sanad merupakan jalan yang mulia untuk menetapkan hukum-hukum Islam. Dan tanpa sanad, orang-orang akan berbicara dan meriwayatkan hadis dengan seenaknya. Ada beberapa kaidah mayor yang dapat memenuhi syarat diterimanya suatu hadis, yaitu:
Ø   Sanad bersambung, dengan kaidah minor:
·      Muttasil (bersambung);
·      Marfu’ (bersandar kepada Nabi Muhammad SAW.);
·      Mahfuz (terhindar dari syuzuz);
·      Bukan muall (bercacat).
Ø   Perawi bersifat adil, dengan kaidah minor:
·      Beragama Islam;
·      Mukalaf (baligh dan berakal sehat);
·      Melaksanakan ketentuan agama Islam;
·      Memelihara muruah (harga diri).
Ø   Perawi bersifat dhabit, dengan kaidah minor:
·      Hapal dengan baik hadis yang diriwayatkan;
·      Mampu menyampaikan hadis yang dihapal dengan baik;
·      Terhindar syuzuz;
·      Terhindar dari illat.
Sementara kaidah mayor yang diperlukan dalam kritik matan yang paling utama adalah terhindar syuzuz dan terhindar dari illat. Sedangkan untuk kaidah minornya ulama hadis mempunyai cara masing-masing dalam meneliti matan tanpa terpaku pada kaidah mayornya Namun tetap, ada tolok ukur yang dijadikan indikator dalam menentukan berterimanya suatu matan hadis, yaitu:
Ø   Tidak bertentangan dengan petunjuk Al-Quran;
Ø   Tidak bertentangan dengan hadis yang kualitasnya lebih kuat;
Ø   Tidak bertentangan dengan akal sehat, indera, dan sejarah;
Ø   Susunan pernyataannya menunjukkan ciri-ciri sabda kenabian.
Kritik sanad dilakukan terlebih dahulu sebelum kritik matan agar penelitian tidak dipengaruhi oleh latar belakang sejarah periwayatan dan penghimpunan hadis. Akan tetapi, tingkat akurasi hasil penelitiannya ditentukan oleh ketetapan metodologis dalam penerapannya, serta kecerdasan, keluasan pengetahuan, dan kecermatan pribadi ulama peneliti.
          Hal-hal di atas juga dapat dijadikan tolok ukur dalam mengenali hadis yang dhaif atau bahkan palsu. Hadis dhaif menurut bahasa, yaitu hadis yang lemah kebenarannya.  Hadis dhaif adalah salah satu jenis hadis berdasarkan kualitas matan dan sanad. Hal-hal yang menyebabkan kedhaifan suatu hadis, yaitu:
Ø   Rendahnya daya hapal perawi;
Ø   Kesalahan yang dilakukan dalam meriwayatkan hadis meski perawi dikenal jujur;
Ø   Tidak bersambungnya sanad.
Secara garis besar, macam-macam hadis dhaif digolongkan ke dalam dua sebab, yaitu gugurnya rawi dalam sanad dan adanya cacat pada rawi atau matan.
Ø   Hadis dhaif karena gugurnya rawi dalam sanad
1.     Hadis Mursal
Mursal berarti terlepas. Hadis mursal adalah hadis yang dalam sanadnya tidak menyebutkan sahabat sebagai rawi yang menerima langsung dari Nabi Muhammad SAW. Contoh:
بَيْنَنَا وَبَيْنَ الْمُنَا فِقِيْنَ شُهُوْدُ الْعِشَاءِ وَالْصُبْحِ لَاَ يْسْتَطِيْعُوْنَ.

Artinya:
Rasulullah SAW. bersabda, “Antara kita dengan kaum munafik (ada batas), yaitu menghadiri jemaah Isya dan Subuh; mereka tidak sanggup menghadirinya.”(HR. Malik).
2.     Hadis Munqati’
Munqati’ berarti terputus. Hadis munqati’ adalah hadis yang yang gugur di tingkat tabi’in. Contoh:
كَانَ رَسُوْلُ اللهِ ص.م اذَا دَخَلَ الْمَسْجِدِ قَالَ: بسْمِ اللهِ والسْلاَمُ عَلى رَسُوْلِ الله اللَهُمَ اغْفِرْ لِى ذُ نُو بِى وَافْتَحْ لِى اَبْوَابَ رَحْمَتِكَ (رواه  ابن ماجه)
Artinya:
Rasulullah SAW. bila masuk ke dalam masjid, membaca: dengan nama Allah, dan sejahtera atas Rasulullah SAW; Ya Allah, ampunilah segala dosaku dan bukakanlah bagiku segala pintu rahmatmu.” (HR. Ibnu Majah).
3.     Hadis Mudal
Mudal berarti sulit dipahami. Hadis ini gugur dua orang rawi atau lebih secara beriringan dalam sanadnya. Contoh:
لِلْمُلُوْكِ طَعَا مُهُ وَكِسْوَ تُهُ بِا لْمَعْرُوْفِ. (رواه ما لك)
Artinya:
Budak itu harus diberi makanan dan pakaian secara baik.” (HR. Malik).
4.     Hadis Muallaq
Muallaq berarti tergantung. Hadis ini gugur satu rawi atau lebih di awal sanad atau juga hadis yang semua rawinya tidak disebutkan. Contoh:
لاَ تَفَا ضَلُوْا بَيْنَ لَا نَبِيَاءِ (رواة الجا رى)
Artinya:
Janganlah kamu melebihkan sebagian nabi dan sebagian yang lain.” (HR. Bukhari).
Ø   Hadis daif karena cacat pada rawi atau matan.
Macam cacat yang menimpa para rawi atau matan, seperti pernah berdusta, pendusta, fasiq, tdak dikenal, dan berbuat bid’ah. Banyak keliru, banyak paham, buruk hapalan, lalu mengusahakan hapalan melalui rawi-rawi terpercaya adalah cacat yang menimpa rawi. Dan cacat matan seperti, adanya sisipan yang akan memberi pengertian yang berbeda
1.     Hadis Maudu’
Maudu’ berarti palsu. Hadis ini bukan dari Rasulullah SAW. tapi disandarkan pada beliau secara sengaja atau pun keliru. Dibuat oleh orang-orang Zindiq atau pun pihak yang membenci Islam. Hadis ini adalah seburuk-buruknya hadis dhaif dan tidak boleh diriwayatkan kecuali untuk menjelaskan kepalsuannya.
2.     Hadis Matruk atau Hadis Matruh
Matruk berarti ditinggalkan. Matruh berarti dibuang. Hadis ini diriwayatkan oleh orang tertuduh pernah berdusta, bermaksiat, lalai, atau banyak pahamnya. Contoh hadis yang diriwayatkan oleh perawi yang oerbah berdusta:
Artinya:
Rasulullah SAW. bersabda, “Sekiranya tidak ada wanita, tentu Allah disembah (ditaati) dengan sungguh-sungguh.”
3.     Hadis Munkar
Munkar berarti diingkari atau tidak dikenal. Hadis ini diriwayatkan oleh rawi lemah dan matan menyalahi aturan dari rawi yang kuat. Contoh:
Artinya:
Barang siapa yang mendirikan saat, membayar zakat, mengerjakan haji, berpuasa dan menghormati tamu, niscaya masuk surga.
4.     Hadis Muallal
Muallal berarti terkena illat (penyakit atau bencana). Hadis in imengandung sebab-sebab tersembunyi yang menjatuhkan derajatnya, bisa terdapat pada sanad atau matan, atau keduanya. Contoh, hadis ini seharusnya dari Abdullah bin Dinar, bukan dari Amru bin Dinar.
Artinya:
Rasulullah SAW. bersabda, “Penjuan dan pembeli boleh berkhiyar, selama mereka belum berpisah.”
5.     Hadis Mudraj
Mudraj berarti dimasuki sisipan, bisa berupa sanad atau matan. Contoh, hadis ini disisipi kata -------- yang bukan berasal dari Rasulullah SAW.
Artinya:
Rasulullah SAW. bersabda, “Saya adalah zaim dan zaim itu adalah penanggung jawab bagi orang yang beriman kepadaku, taat, dan berjuang di jalan Allah, dia bertempat tinggal di taman surga.” (HR. Nasai).
6.     Hadis Maqlub
Maqlub berarti hadis yang diputar balik pada matan, rawi, atau sanad. Jika hadis sebenarnya diriwayatkan oleh Kaab bin Murrah, tetapi dibalik menjadi Murrah bin Kaab.
7.     Hadis Syaz
Syaz berarti ganjil. Hadis ini diriwayatkan oleh rawi yang dipercaya tetapi matannya berlainan dengan hadis lain yang diriwayatkan oleh rawi lain yang juga dipercaya. Contoh keganjilan yang terdapat pada ungkapan ---------.
Artinya:
Rasulullah SAW. bersabda, “Hari Arafah dan Hari Tasyrik adalah hari-hari makan dan minum.” (HR. Musa bin Ali).
Sementara untuk status kehujjahan hadis, ada beberapa pendapat di kalangan para ulama:
Pertama, hadis dhaif tersebut dapat diamalkan secara mutlak baik yang berkaitan dengan kewajiban atau pun halal dan haram, dengan syarat tidak ada hadis lain yang menerangkannya.
Kedua, dipandang baik mengamalkan hadis dhaif dalam fadailul amal, baik yang berkaitan dengan hal-hal yang dianjurkan mau pun dilarang.
Ketiga, hadis dhaif sama sekali tidak dapat diamalkan dalam kaitan apa pun.
          Ada pun syarat-syarat mengamalkan hadis dhaif menurut al-Hafid ibnu Hajar, yaitu:
Ø   Telah disepakati untuk diamalkan, yaitu hadis dhaif yang tidak terlalu dhaif;
Ø   Hadis dhaif tersebut berada di bawah suatu dalil yang umum;
Ø   Hadis dhaif tersebut diamalkan namun tanpa disertai keyakinan atas kepastian keberadaannya.
Permasalah hadis dhaif adalah jumlah rawi yang tidak memungkinkan berterimanya suatu hadis dan putusnya rantai sanad. Beda halnya dengan hadis mutawatir dan ahad yang memiliki jumlah perawi yang memungkinkan berterimanya suatu hadis. Hanya saja terdapat perbedaa di antara keduanya.
1.     Hadis Mutawatir
Mutawatir berarti beriringan antara satu dengan yang lain. Hadis mutawatir adalah suatu hadis hasil tanggapan panca indera yang diriwayatkan oleh sejumlah besar rawi yang menurut kebiasaan mustahil mereka berkumpul dan bersepakat untuk berdusta. Syarat-syarat hadis mutawatir, yaitu:
Ø   Hadis berdasar tanggapan panca indera yang benar-benar merupakan hasil pemikiran semata atau rangkaian dari peristiwa;
Ø   Bilangan perawi mencapai jumlah yang menurut adat mustahil untuk berdusta;
Ø   Jumlah perawi dalam tingkatan pertama mau pun berikutnya seimbang.
Hadis ini berfaedah daruri, yaitu keharusan menerima secara bulat karena yang terkandung di dalamnya memberi keyakina qath’i yang harus diyakini seyakin-yakinnya bahwa Rasulullah SAW. menyabdakan atau mengerjakan sesuatu yang diriwayatkan oleh para perawi mutawatir karena keadilan dan kedhabian mereka tidak diragukan lagi. Macam-macam hadis mutawatir:
·      Mutawatir Lafzi
Hadis yang susunan redaksinya persis sama sehingga garis besar dan perincian maknanya juga sama.
·      Mutawatir Maknawi
Hadis yang makna umumnya sama walau berbeda redaksi dan perincian maknanya.
·      Mutawatir Amali
Hadis menyangjut perbuatan Rasulullah SAW, yang disaksikan dan ditiru tanpa perbedaan oleh orang banyak. Seperti pelaksanaan salat.
Sebagian ulama memasukkan mutawatir amali ke dalam mutawatir maknawi. Jumlah hadis mutawatir didominasi oleh hadis yang berkaitan dengan ibadah wajib dan jenis yang paling banyak adalah mutawatir maknawi.
2.     Hadis Ahad
Ahad berarti satu. Hadis ini tidak memenuhi syarat mutawatir. Macam-macamnya yaitu:
·      Hadis Mayhur (Hadis Mustafid)
Mayhur berarti sudah tersebar atau populer. Hadis mayhur diriwayatkan oleh tiga orang perawi, sedangkan hadis mustafid diriwayatkan oleh empat orang perawi.
·      Hadis Aziz
Hadis ini adalah hadis yang mulia, kuat, dan jarang. Hadis ini biasanya diriwayatkan oleh dua orang rawi meski pada tingkatan berikutnya terdapat pula hadis yang diriwayatkan oleh lebih dari dua orang.
·      Hadis Garib
Hadis garib berarti terpisah atau menyendiri dari yang lain. Hadis ini diriwayatkan oleh satu orang sahabat Nabi Muhammad SAW meski pada tingkatan berikutnya terdapat pula hadis yang diriwayatkan oleh lebih dari satu orang.

Hadis ini berfaedah dhani sehingga masih perlu diadakan penelitian. Jika maqbul maka wajib diamalkan dan jika mardud tidak boleh diamalkan.



Kolaborasi dari berbagai sumber.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

[TASK] Proposal Usaha (Kewirausahaan)

Ini tugas bikin proposal waktu kelas sebelas hihi :3 Gak tau bener gak tau nggak soalnya dulu gak sempet direview sama gurunya -,- Disusun oleh: Asti Nurhayati Sri Isdianti Kelas XI-AP4 SMK Negeri 1 Garut 2012-2013 BAB 1 PENDAHULUAN A. Nama dan Alamat Perusahaan Toko Buku   “27 RADAR” Jl.   Radar   No. 27 Garut B. Nama dan Alamat Penanggung Jawab Usaha Ø     Penanggung jawab 1: Nama : Asti Nurhayati Nurjaman   TTL : Garut, 19 Agustus 1996   Ø      Penanggung jawab 2: Nama : Sri Isdianti TTL : Garut, 12 September 1996   C. Informasi Usaha          Usaha toko buku yang kami kelola ini berada di Jl.   Radar   No. 27, merupakan lokasi yang sangat strategis yang berada di pusat kota Garut ini, bisa dengan mudah dijangkau oleh kendaraan apapun. Juga terletak di antara banyaknya pusat perkantoran serta sekolah-sekolah sehingga menjadi suatu keuntungan tersendiri bagi kami karena berdekatan dengan banyak

[BOOK REVIEW] Sejarah Ekonomi Dalam Islam

بِسْــــــــــــــــــمِ اﷲِالرَّحْمَنِ اارَّحِيم Judul: Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam Penulis:DR. Euis Amalia, M.Ag Penerbit: Gramata Publishing Tebal Buku: xiv + 322 halaman ISBN: 978-602-96565-1-0 Harga: Rp. 69.000,- Sumber gambar: goodreads Ada kesenjangan epistemologi yang mengemuka lebar tatkala ingin menampilkan literatur sejarah pemikiran ekonomi. Nilai fairness dan transparansi seolah sulit untuk dibuka ketika dihadapkan pada siapa menemukan apa karena bermuara pada “otoritas klaim.” Fakta-fakta ironis menyebutkan bahwa seringkali hasil karya ilmuwan muslim kita diabaikan oleh sarjana barat, padahal mereka sendiri secara implisist mengakui banyak karyanya telah diilhami oleh  pemikir Islam atau karya mereka tidak pure lagi karena sebelumnya sudah diketemukan teori oleh sarjana muslim. Hanya bisa dihitung dengan jari penulis-penulis barat yang mengakui bahwa konsep-konsep atau teorinya berasal dari pemikir Islam. Secara simplistis saja,

[BOOK REVIEW] AYAH Tanpa Tapi

Surga juga ada di telapak kaki ayah – pada setiap langkah yang ia ambil untuk terus menyambung nafas dan menumbuhkanmu, ada surga. (Seribu Wajah Ayah – hlm. 16)             Ayah, salah satu bilah tervital dalam hidup yang dikatakan Rasulullah setelah penyebutan Ibu yang diulang sebanyak tiga kali.             Ibu, ibu, ibu, baru ayah .            Repetisi yang menomorempatkan ayah bukan berarti kita harus menomorsekiankan pula sosok itu dalam hidup. Tidak sama sekali.           Memang, kebanyakan figur ayah tidak sama dengan ibu. Jika ibu seakan tak pernah kehabisan agenda kata yang berlalu lalang di telinga kita, beda halnya dengan ayah yang bahkan seolah enggan untuk bersuara walau hanya sekecap. Pun, sering kali kita lebih nyaman bersandar di punggung ibu yang ekspresif dibanding harus bercengkrama dengan sosok ayah yang cenderung defensif.            Meski tidak menutup kemungkinan tidak semua ayah berkarakter begitu, tapi itu juga tak dapat dipungkiri, kan?