Langsung ke konten utama

[CREATE IT] Dua Ribu di Balik Pintu

بِسْــــــــــــــــــمِ اﷲِالرَّحْمَنِ اارَّحِيم




Benar adanya
Bahwa pertemuan pertama akan meninggalkan rasa penasaran
Dan sekarang, di sinilah aku
Mencarimu

Pun, ada yang mengatakan
Adalah rasa rindu yang akan tersisa setelah pertemuan kedua

Jikalau Tuhan memberi kesempatan kedua untuk bertemu
Jikalau aku berhasil menemukanmu
Apa yang harus dilakukan agar aku tak merindu?





“Wah, saya lupa nggak bawa uang, Bu. Dua ribu lagi nanti siang saya bayar, ya?”
“Iya nggak apa-apa.”
“Sekali lagi maaf, Bu. Saya lupa. Saya pasti bayar kurangnya.”
***
Sedikit pun ia tak ingin beranjak dari tempatnya. Kabar yang diantarkan sambungan telepon seminggu lalu masih terngiang jelas di telinganya. Menyakitkan. Memekakkan. Bahkan nyaris membuatnya kehilangan indra pendengaran.
Ia tak menggubris ponsel yang menjerit berulang-kali. Sama sekali tak peduli. Meski yang harus menjadi taruhan adalah tanggalnya karir mapan yang telah bertahun-tahun digeluti.
Ia tak mengindahkan ketukan di balik pintu. Mereka yang bergantian memintanya untuk menyantap meski hanya sesuap nasi. Sama sekali tak ambil pusing. Meski tubuh kurusnya harus semakin kerempeng bahkan tinggal tulang sekalipun.
Persetan dengan semua itu!
Karena yang ia inginkan adalah fakta bahwa berita yang ia terima Jumat lalu hanya sebuah kebohongan besar. Atau jika boleh, ia berharap detik itu adalah hari ulang tahunnya. Dan kalimat yang terlontar dari suara serak di seberang sana adalah kejutan untuk dirinya. Kalau harus lebih gila lagi, mungkin saat itu adalah April Mop dan ia tengah dijahili oleh sosok jangkung yang memang suka mengerjainya.
Lalu kalau bukan kemungkinan-kemungkinan itu, apa lagi?
Siapa pun, tolong katakan satu kemungkinan yang lebih masuk akal!
Agar setidaknya ia merasa memiliki setitik harapan. Meski sekadar titik. Bukankah titik adalah sebuah lingkaran? Diagonalnya memang nol, ia tahu. Namun ia tak peduli. Terpenting baginya kini adalah masih adanya ruang di sana, untuk dirinya.
Salahkah jika ia tak menginginkan kenyataan yang kini membentang di hadapannya?
            “Ibu pergi dulu. Kamu hati-hati di rumah. Kamu juga pasti lapar.”
            Kecemasan pada suara itu menghentikan gerakan jari-jemarinya. Ia menunduk. Memandangi sepuluh jarinya yang berderet di atas tuts keyboard. Serta-merta desah beratnya terlepas saat manik matanya bergerak ke arah potret yang bertengger manis tak jauh darinya.
            Tangannya terus bergerak. Berpindah dari tuts keyboard lalu meraih pensil untuk menuliskan not demi not yang ia gubah. Bahkan sesekali ia menyelipkan sebatang pensil itu di daun telinga atau di bibir sementara ia terus mencoba menyuarakan benang kusut yang menyembilu hatinya.
            Tiba-tiba suara ketukan menyelinapi nada-nada barunya. Namun kali ini terdengar samar. Beberapa menit ia tak menghiraukannya. Hanya kembali bergelung bersama ratapannya. Ratapan yang ia hujankan ke dalam bentuk tak kasat mata. Nada demi nada. Lirik demi lirik. Bait demi bait.
Intonasi lembut dan ketukan dengan ritme teratur itu tak kunjung sunyi. Terus menyalip di antara suara keyboard yang ia ciptakan. Dengan gerakan malas dan kesal yang diredam ia bangkit. Membuka pintu kamar. Melangkah menuju pintu utama.
Assalamualaikum.”
Salam di balik suara serak itu bukan hanya membuat jantungnya mencelos, tapi juga sukses menjatuhkannya dan berdebam di lantai. Tanpa pikir panjang, dengan sekali gerakan ia menarik daun pintu. Detik berikutnya pintu berbahan kayu jati itu menjeblak sangat lebar.
            Suara serak itu bukan milik sosok yang telah nyaris seribu hari mewarnai hari. Ingin sekali ia mendustai penglihatannya sendiri. Memurkai keadaan yang membuatnya tak terkendali. Atau jika berani, ingin ia memaki orang yang berdiri di depannya dengan wajah berseri.
Assalamualaikum.” Orang itu mengulangi salamnya yang belum terjawab. Pun, dengan senyum yang merekah di kedua sudut bibir tipisnya.
Satu derajat pun, manik cokelatnya tak bergerak dari sosok yang kini menjulang di hadapannya. Jantung yang sebelumnya jatuh, kini mencair dan membasahi halaman rumah. “Wa-alaikum-salam. Kamu siapa?” Ia berhasil mendapatkan suaranya setelah beberapa saat tercekat oleh sekat yang menghadang di tenggorokan.
“Kemarin pagi saya ngerombak baju di butik depan, dan uangnya kurang dua ribu. Siangnya saya datang lagi tapi butiknya sudah tutup. Barusan juga tutup. Jadi saya tanya warga sekitar aja rumahnya di mana. Dan ini, saya mau bayar kurangnya. Tolong sampaikan maaf saya sama Ibu.”
Tangan mungil yang mengangsurkan selembar uang dua ribu itu membuat matanya melebar takjub. Begitu dengan refleks ia menyambutnya, orang itu langsung menutup pembicaraan.
“Makasih. Sekali lagi saya minta maaf. Assalamualaikum.”
Senyum simpul yang menghiasi wajah oval itu seolah menyihirnya untuk turut membentuk lekuk serupa. “Waalaikumsalam.”
Detik berikutnya, sosok itu melenggang menjauhi luasnya pekarangan rumah. Ia masih mematung di ambang pintu hingga beberapa menit ke depan. Setidaknya sampai ia menyadari kalau senyum masih tersungging di wajahnya. Senyum pertama setelah seratus enam puluh delapan jam bergelung dengan kubangan luka di lubuk hati yang terdalam. Senyum pertama setelah tujuh hari mencoba mengubur ribuan memori di belakang kepala rapat-rapat.
***
“Bu, uang ini buatku saja, ya?”
            Suara sang anak membuat aktivitasnya terhenti. Wanita paruh baya itu menancapkan matanya dengan kuat pada sang anak. Mengikuti setiap gerakan tubuh kurus itu.
Berjalan ke arah kulkas. Menuangkan susu ke dalam gelas. Dengan langkah ringan menghampiri meja makan. Dan menyantap sepotong roti dengan riang.
            Memang sudah seharusnya ia senang. Namun perubahan tiba-tiba itu sudah jelas akan menerbitkan rasa heran setengah mati. Buru-buru ia menduduki kursi di samping anaknya itu seraya berkata, “Uang mana maksudmu?”
            Dibukanya dompet. Lalu diletakkannya selembar uang dua ribu rupiah di hadapan sang ibu. Tanpa aba-aba, ia langsung menceritakan semuanya begitu membaca raut heran yang kentara tergaris di wajah senja wanita itu.
            “Are you seriously okay?”
            Pertanyaan itu menghentikan kunyahannya. Ia menoleh pada ibunya. Mulutnya bergerak ragu sebelum kemudian ia berucap, “Bu....”
            “Anak yang kemarin rumahnya di Jalan Kenanga.”
            Serta merta ia dan ibunya membawa pandangan pada ayah. Lelaki dengan kerut usia di wajahnya itu menarik salah satu kursi sambil masuk ke dalam percakapan.
***
Tiga bulan pencarian berlalu tanpa membuahkan hasil.
Bagaimana bisa? Tak ada satu pun bekal yang ia bawa. Entah itu alamat spesifik. Selembar foto. Apalagi sebuah nama! Andaikan ia memiliki salah satunya, pencarian tak akan berlalu serumit ini. Tuhan, kalau saja ia pandai melukis, senyum yang terus mengawang di ingatan itu pasti akan dikonversinya ke atas kanvas dengan indah. Setelah itu pencariannya pasti menjadi lebih mudah. Setidaknya. Tidak ada salahnya berharap, bukan?
 Upayanya bak mencari jarum dalam tumpukkan jerami. Atau jika mungkin untuk diputarbalikkan, laksana mencari jerami di atas tumpukkan jarum. Menjemukan. Bahkan menggoreskan luka baru.
Bagaimana bisa ia seterluka ini?
Bagaimana bisa ia sekeras kepala ini?
Bagaimana bisa kendali dirinya separah ini?
Dan yang lebih gila adalah, semuanya karena sosok yang bahkan baru pertama kali menerpa matanya. Hanya beberapa menit pula.
            Ia menjatuhkan badan di atas sofa. Mengempaskan punggung pada sandarannya. Selama beberapa saat terjaga di balik matanya yang terpejam. Hingga kemudian ia tersentak dari posisinya saat angin tiba-tiba membisikkan suara serak yang sama.
            “Assalamualaikum.”
            Ingin sekali ia beranjak untuk memastikan. Namun rasa penasaran itu berhasil ia redam dan akhirnya tetap bergeming di tempat. Membiarkan salam yang serak itu merambati dinding butik ibunya.
Waalaikumsalam. Tunggu sebentar.” Ibu memandang anak tunggalnya yang tampak tak peduli. “Kamu itu, kenapa nggak bukain pintunya, toh?”
            “Maaf, Bu. Aku cape.”
            Ibu menggelengkan kepala seraya membukakan pintu untuk tamunya.
            “Kamu kalau mau istirahat, di dalam. Jangan di sini. Atau pulang saja ke rumah.”
            Ia membuka mata. Saat menegakkan posisi tubuhnya, kontan ia melompat dengan satu gerakan ke arah seseorang yang duduk di samping ibunya. Detak jantungnya bertalu-talu rusuh. Detik berikutnya, saat yakin dan memastikan bahwa orang itu adalah sosok yang sama dengan yang dilihatnya tiga bulan lalu, jantungnya sukses menghantam lantai. “Senang bertemu denganmu lagi.” Ia terlalu kelabakan untuk menahan agar kalimat itu tak meluncur begitu saja. Sikapnya itu membuat dua orang di hadapannya memasang ekspresi yang sama. Tak mengerti. Ia lalu menoleh pada Ibu seraya berkata, “Ibu, boleh aku ngobrol berdua sama dia?”
            Meski tak sepenuhnya paham, Ibu mengangguk. Dan masih dengan raut wajah serupa, ia berlalu ke ruangan yang lain.
            Tinggalah mereka berdua. Selama beberapa menit ruangan yang didominasi manekin itu dibelenggu hening. Hening yang tak terdefinisi.
“Boleh saya duduk di sini?” Ia menunjuk kursi kosong di depan sosok yang sangat jelas tak bisa menyembunyikan kebingungannya. Setelah itu, ia kembali tak bersuara. Kata-kata yang telah ia rancang jika berhasil menemukan sosok yang detik ini ada di hadapannya, menguap begitu saja. “Saya sangat senang bertemu denganmu lagi.” Meski telah sekuat tenaga menguras seluruh keberaniannya, kalimat serupa itu yang malah meluncur lagi dari mulutnya.
“Lagi?”
Buru-buru ia membuka dompet. Selembar uang yang telah hampir seratus hari bermukim di sana, diangsurkan pada sosok itu. “Tiga bulan yang lalu kamu ke rumah. Memberikan uang ini sama saya.”
Ia menyambutnya. Beberapa detik mengamati selembar uang itu sebelum kemudian menatap orang di hadapannya seraya berkata, “Oh iya, saya ingat. Kamu yang waktu itu nerima uang ini, kan?”
Ia menjawab dengan anggukan semangat. Bahkan terlalu bersemangat.
“Tapi ... kenapa uangnya ada di kamu? Kamu nggak nerusin amanat ini sama Ibu?”
Kali ini ia menggeleng cepat. Menyanggah kalimat yang diucapkan sosok yang duduk di depannya itu.
“Lalu?”
“Perkenalkan, saya Bagas. Kamu siapa?”
Semakin bertambah keheranannya akan tingkah orang itu. Ia menatap tangan yang terulur itu dengan kening mengernyit dalam.
“Selama tiga bulan ini saya mencarimu.”







Komentar

Postingan populer dari blog ini

[TASK] Proposal Usaha (Kewirausahaan)

Ini tugas bikin proposal waktu kelas sebelas hihi :3 Gak tau bener gak tau nggak soalnya dulu gak sempet direview sama gurunya -,- Disusun oleh: Asti Nurhayati Sri Isdianti Kelas XI-AP4 SMK Negeri 1 Garut 2012-2013 BAB 1 PENDAHULUAN A. Nama dan Alamat Perusahaan Toko Buku   “27 RADAR” Jl.   Radar   No. 27 Garut B. Nama dan Alamat Penanggung Jawab Usaha Ø     Penanggung jawab 1: Nama : Asti Nurhayati Nurjaman   TTL : Garut, 19 Agustus 1996   Ø      Penanggung jawab 2: Nama : Sri Isdianti TTL : Garut, 12 September 1996   C. Informasi Usaha          Usaha toko buku yang kami kelola ini berada di Jl.   Radar   No. 27, merupakan lokasi yang sangat strategis yang berada di pusat kota Garut ini, bisa dengan mudah dijangkau oleh kendaraan apapun. Juga terletak di antara banyaknya pusat perkantoran serta sekolah-sekolah sehingga menjadi suatu keuntungan tersendiri bagi kami karena berdekatan dengan banyak

[BOOK REVIEW] Sejarah Ekonomi Dalam Islam

بِسْــــــــــــــــــمِ اﷲِالرَّحْمَنِ اارَّحِيم Judul: Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam Penulis:DR. Euis Amalia, M.Ag Penerbit: Gramata Publishing Tebal Buku: xiv + 322 halaman ISBN: 978-602-96565-1-0 Harga: Rp. 69.000,- Sumber gambar: goodreads Ada kesenjangan epistemologi yang mengemuka lebar tatkala ingin menampilkan literatur sejarah pemikiran ekonomi. Nilai fairness dan transparansi seolah sulit untuk dibuka ketika dihadapkan pada siapa menemukan apa karena bermuara pada “otoritas klaim.” Fakta-fakta ironis menyebutkan bahwa seringkali hasil karya ilmuwan muslim kita diabaikan oleh sarjana barat, padahal mereka sendiri secara implisist mengakui banyak karyanya telah diilhami oleh  pemikir Islam atau karya mereka tidak pure lagi karena sebelumnya sudah diketemukan teori oleh sarjana muslim. Hanya bisa dihitung dengan jari penulis-penulis barat yang mengakui bahwa konsep-konsep atau teorinya berasal dari pemikir Islam. Secara simplistis saja,

[BOOK REVIEW] AYAH Tanpa Tapi

Surga juga ada di telapak kaki ayah – pada setiap langkah yang ia ambil untuk terus menyambung nafas dan menumbuhkanmu, ada surga. (Seribu Wajah Ayah – hlm. 16)             Ayah, salah satu bilah tervital dalam hidup yang dikatakan Rasulullah setelah penyebutan Ibu yang diulang sebanyak tiga kali.             Ibu, ibu, ibu, baru ayah .            Repetisi yang menomorempatkan ayah bukan berarti kita harus menomorsekiankan pula sosok itu dalam hidup. Tidak sama sekali.           Memang, kebanyakan figur ayah tidak sama dengan ibu. Jika ibu seakan tak pernah kehabisan agenda kata yang berlalu lalang di telinga kita, beda halnya dengan ayah yang bahkan seolah enggan untuk bersuara walau hanya sekecap. Pun, sering kali kita lebih nyaman bersandar di punggung ibu yang ekspresif dibanding harus bercengkrama dengan sosok ayah yang cenderung defensif.            Meski tidak menutup kemungkinan tidak semua ayah berkarakter begitu, tapi itu juga tak dapat dipungkiri, kan?