بِسْــــــــــــــــــمِ اﷲِالرَّحْمَنِ اارَّحِيم
Judul : Rumah Tanpa Jendela
Penulis : Asma Nadia
Penerbit : Kompas
Tebal Buku : 188 halaman
Cetakan Pertama : Januari 2011
Cetakan Pertama : Januari 2011
ISBN : 978-979-709-546-8
Harga : Rp. 68.000,-
Rara, bocah perempuan penguni rumah tak berjendale di sebuah
perkampungan kumuh di pinggiran Jakarta. Ia punya mimpi sederhana, memiliki
jendela untuk rumah tripleksnya.
Tak usah banyak-banyak. Cukup satu saja. Agar dari
dalam rumah tiap malam dia bisa menatap keindahan bulan..., agar tiap pagi dia
bisa melihat senyum matahari..., agar setiap siang dia bisa melihat kupu-kupu,
capung, dan ramainya rintik hujan...
Rara tidak sendiri memburu mimpi. Dua pemuda jatuh
cinta dan memimpikan sosok yang sama. Seorang gadis menyalakan bunga mimpi
untuk kemudian menyerah dan terlupakan.
Sementara di sebuah rumah megah, seorang bocah laki-laki
berjuang untuk bebas dari kotak pikirannya sendiri. Ia merindukan kehangatan
keluarga, juga uluran persahabatan yang tulus. Tak semua impian bertakdir jadi
kenyataan.
Berbagai peristiwa tragis tak hanya menjauhkan Rara
dari mimpinya, juga dari kasih orang-orang tercinta. Lantas, bagaimana ia dapat
melanjutkan hidup, ketika satu persatu kebahagiaan dan sumber impian kembali ke
pangkuanNya?
Sebuah jalinan kisah sederhana yang menyentuh, yang
telah diangkat ke layar lebar sebagai film dengan judul sama.
Manusia hidup. Berkelana dari satu titik ke lain
tempat. Hingga kemudian, berpapasan dengan sang mimpi yang terus turut serta
bersama diri.
Ini tentang mimpi.
Meski tuk memakmurkan dapur kecil saja susah, mimpi
itu tetap merekah.
Meski sorot satir terus tersitir, mimpi itu tak
pernah lantas melipir.
Tak usah banyak-banyak. Cukup satu saja.
Begitu katanya. Gadis mungil berambut panjang
kemerahan karena terlampau sering terjerang sinar matahari, Rara.
Ia hanya ingin jendela. Bukan apa-apa. Mimpi yang terus
mengawang setelah bermain bersama kawan-kawannya, melalui sebuah rumah dengan
jendela indah. Jendela yang selalu tampak memukau di matanya. Sebab satu pun
tak ia miliki di rumahnya.
Semenjak saat itu, Rara punya mimpi.
Mimpi yang mengenalkannya pada doa.
Mimpi yang mengantarkannya pada perapalan tanpa
jeda.
Mimpi yang menguatkan keyakinannya pada sang
Pencipta.
“Tapi, apa pasti dikabulkan, Bu? Rara ingin punya jendela...”
Doa yang mengenalkannya pada rasa syukur.
Doa yang mengantarkannya pada pengharapan yang tak
pernah mengendur.
Doa yang menguatkan kehambaannya pada sang
Mahaluhur.
“Allah pasti mengabulkan setiap doa, Ra. Tapi
kadang ada doa-doa lebih penting yang harus didahulukan.”
Yang menjadi tokoh sentral di sini adalah, tentunya
Rara. Juga ada Aldo.
Dua anak yang berasal dari latar belakang yang
sangat berbeda. Dipertemukan dengan cara yang tak terduga. Hingga menjadi
sahabat yang selalu ada.
Dari keluarga Aldo, aku belajar bagaimana
semestinya sebuah keluarga. Yang tidak harus selalu sempurna. Sebab, sedikit ketidaksempurnaan
justru adalah perekat yang mengikat satu sama lain agar senantiasa selalu
dekat. Malu tidak bisa dijadikan alasan untuk menutup suatu cacat.
Juga dari keluarga Rara aku belajar bagaimana tetap
berbahagia meski makan hanya sekadar dengan kecap. Sebab syukur yang selalu
terucap. Pun karena landasan pada ridho sang Mahakuasa yang tertancap kuat.
Setiap orang berhak mengukir
mimpinya masing-masing. Apapun itu. Mimpi bukan hanya segala sesuatu yang
berkesan ‘wah’. Mobil mewah atau rumah megah? Mimpi tidak melulu bicara begitu.
Sebab terlalu dangkal jika mendefinisikan mimpi sebatas pada hal material
semacam itu.
Pun halnya dengan Rara, lewat mimpi ia belajar
berdoa. Tak langsung terkabul memang. Layaknya mengendarai sepeda, bebatuan dan
kerikil bak pendamping yang datang tanpa dimau. Namun karena tak lelah sepeda
itu dikayuh, berlabuhlah doa. Di saat dan tempat yang tepat.
Novel yang ditulis dengan sidut pandang orang
ketiga ini dibawakan dengan cara yang halus. Lucu dan menggelikan juga. Kadang terbayang
bahwa di sini penulis sedang duduk dikelilingi anak-anak kecil sambil
membacakan cerita tentang Rara, Aldo, dan kawan-kawannya.
Ini nih salah satu part
favorit sekaligus membuat air mata ini terbirit~
Tapi waktu yang terus bergerak membuat Rara lupa. Terbuai. Seakan-akan
mereka memiliki waktu tak terbatas. Seolah selamanya tak ada yang akan
memisahkannya dengan Bapak.
Komentar
Posting Komentar