Langsung ke konten utama

[BOOK REVIEW] Sebelas Menit Pertama; Awal atau Akhir?




Judul                           : Critical Eleven
Penulis
                         : Ika Natassa
Penerbit                       : Gramedia Pustaka Utama
Tebal Buku                  : 344 halaman
Cetakan
Pertama         : 2015
ISBN                           : 978-602-03-1892-9
Harga                          : Rp.69.000,-
Sumber Gambar          : goodreads


Dalam dunia penerbangan, dikenal istilah critical eleven, sebelas menit paling kritis di dalam pesawat –tiga menit setelah take off dan delapan menit sebelum landing– karena secara statistik delapan puluh persen kecelakaan pesawat umumnya terjadi dalam rentang waktu sebelas menit itu. It’s when aircraft is most vulnerable to any danger.
In a way, it’s kinda the same with meeting people. Tiga menit pertama kritis sifatnya karena saat itulah kesan pertama terbentuk, lalu ada delapan menit sebelum berpisah –delapan menit ketika senyum, tindak-tanduk, dan ekspresi wajah orang tersebut jelas bercerita apakah itu akan jadi awal sesuatu ataukah justru menjadi perpisahan.
Ale dan Anya pertama kali bertemu dalam penerbangan Jakarta-Sydney. Tiga menit pertama Anya terpikat, tujuh jam berikutnya mereka duduk bersebelahan dengan saling mengenal lewat percakapan serta tawa, dan delapan menit sebelum berpisah Ale yakin dia menginginkan Anya.
Kini, lima tahun setelah perkenalan itu, Ale dan Anya dihadapkan pada satu tragedi besar yang membuat mereka mempertanyakan pilihan-pilihan yang mereka ambil, termasuk keputusan pada sebelas menit paling penting dalam pertemuan pertama mereka.
Diceritakan bergantian dari sudut pandang Ale dan Anya, setiap babnya merupakan kepingan puzzle yang membuat kita jatuh cinta ataau benci kepapda karakter-karakternya, atau justru keduanya.






Mempertanyakan makna hidup, tujuan hidup ini sebenarnya mau ngapain, apakah aku sudah melakukan apa yang seharusnya aku lakukan sebagai manusia pada umur segini.
Deretan kalimat pada paragraf dua di halaman lima itu menamparku tanpa basa-basi. Membuatku terus membuka halaman demi halaman. Padahal niat awalnya cuma mau baca beberapa halaman aja dulu, tapi yaaa begitulah, karena gaya penceritaan penulis yang profesionalnya kelihatan banget namun tetap ringan, selesailah novel ini.
Dan seriusss! Aku jatuh cinta pada cara alam berkonspirasi untuk mempertemukan mereka berdua >_< Ale dan Anya! Pun dengan cara mereka saling mencintai satu sama lain.
Ale, nama panggilan untuk Aldebaran Risjad, seorang petroleum engineer –yang sering menyebut dirinya sebagai ‘tukang minyak’, bertemu dengan Tanya Baskoro alias Anya di penerbangan menuju Sydney. Singkat cerita, mereka bertukar nomor handphone dan menikah pada usia setahun perkenalan.
Aduuuh, bener deh yang satu ini, datangnya dari manaaa aja. Tak terduga. Jodooohh. Ah oke, kembali ke topik sebelum baper kumat -_-
Siklus waktu yang dimiliki Ale adalah sebulan berada di rig yang itu juga sering berpindah tempat. Dan libur untuk satu bulan setelahnya. Berselang seterusnya seperti itu. Profesinya sebagai ‘tukang minyak’ itulah yang membuat Ale dan Anya harus tinggal berjauhan. Tak mungkin pula jika Ale harus membawa Anya terus berpindah tempat, karena karir gemilang Anya sebagai konsultan pun tak mungkin untuk ditinggalkan.
Ika menyajikan cerita dengan alur yang maju-mundur. Dibuka dengan cerita pertemuan pertama Ale dan Anya –yang menurutku ajaibbb. Namun diselingi pula dengan penggambaran batin Anya, –si aku, yang kondisi hatinya lagi desperate banget. Anya yang sekuat tenaga mencoba melupakan Ale, suaminya sendiri, yang bahkan berada di bawah atap yang sama dengannya. Sepenuh hati, ia mencintai Ale –suaminya. Namun ada setitik noda super bandel yang memerlukan cara yang sama sekali tak mudah untuk menghapusnya. Look next paragraph, Anya-nya Ale benar-benar ingin melupakan Ale-nya Anya, suaminya sendiri.  Mau tahu kenapa setiap mengingatnya, aku selalu menyebut lengkap namanya, Aldebaran Risjad? Karena aku sedang berusaha setengah mati memindahkan semua kenangan tentang laki-laki ini dari amygdada ke hippocampus. Mengubah emotional memories menjadi conscious, visual memories.... Supaya aku mengingatnya hanya sebagai informasi, bukan seseorang yang punya ikatan emosional denganku.
Beberapa bab awal aku greget banget iniii T~T
Masalah macam apa yang membuat pasangan yang kerap kali membuat banyak pasang mata iri itu, bahkan kembali mempertanyakan keputusan mereka untuk menikah lima tahun lalu. Kesalahan apa yang telah diperbuat Ale hingga membuat Anya sanggup berbulan-bulan menganggap Ale tak ubahnya bak lalat yang berlalu lalang begitu saja. Lalat lebih beruntung malah. Karena lalat masih tetap dikejar walau hanya untuk dipukul. Sementara Ale?
Dan setelah masalah yang menyebabkan Ale dan Anya tak lagi seperti sedia kala itu dibuka dalam bab berapa aku lupa, aku greget banget, kapan sih kalian baikaaan? -___- Ayo, dong Aldebaran Risjad dan Tanya Baskoro. Kalian nggak sayang apa sama kenangan selama lima tahun yang telah terukir pada setiap jengkal di Kota Jakarta yang kalian sendiri memiliki perspektif berbeda tentang kota macet itu? Beuh -_-
Penulis membingkis alurnya dengan sangat-sangat-sangat rapiii. Profesional banget pokoknya. Rasanya smooth gimana gitu saat satu demi satu konflik terkuak dan terselesaikan. Apalagi, sudut pandang orang pertama yang bergantian antara Ale dan Anya, semakin membuat pembaca lebih mudah dalam meraba perasaan si tokoh. Anya, –si aku, yang sangat rapuh yang masih kelewat takut untuk pulang ke ‘rumah’nya yang dulu meski ia merindukan untuk ‘pulang’ dan menjadi seperti sedia kala, sangat. Ale, –si gue yang mencintai Anya setengah mati yang kemudian dengan sebuah ketololan yang tak sempat dikendalikannya malah membentang jarak dan tembok yang bukan hanya terlampau sulit untuk dihancurkan, dibuat retak pun sama sekali tak mudah.
Pergantian sudut pandang itu cukup mengaduk-aduk perasaan. Banyak juga adegan yang bikin jantung ini jumpalitan. Apalagi itu tuh, pas si Ale ulang tahun. Kamu benar-benar mencintainya, Le, Anya-muuu >_< Dan kesimpulannya, aku nggak rela kalau Ale dan Anya harus dihadapkan pada satu hal yang kerap kali menjadi ranjau dalam sebuah hubungan antara suami dan istri. Perpisahan atau apalah, you name it.
Naik-turun konfliknya curam sekali. Nendang banget, serius!
Pertemuan. Perpisahan. Keraguan atau bahkan kesempatan. Semuanya ada di sini. Dalam balutan cerita yang terangkai setelah diikat dalam sebuah pernikahan.
Bagaimana tetap menjadi istri yang baik meski separuh hati telah tercabik. Bagaimana terus menjadi suami yang setia meski hadirnya diri kerap tak dianggap ada. Bagaimana permasalahan dalam rumah tangga terselesaikan dengan cara yang elegan. Bagaimana menghadapi perpisahan yang telah tersurat, meski, pertemuan bahkan sama sekali tak sempat tersirat.
Penggalan ini menjadi salah satu bagian yang membuatku terharu (hlm. 224-225):
“Bu, saya mau korek-korek dikit nih, ya. Menurut Ibu, Bapak ini ada kekurangannya nggak?”
“Sebanyak bintang di langit! Sampai nggak sanggup saya menghitungnya.”
“Wah, apakah kebaikan Bapak juga banyak sekali, Bu?”
“Justru sedikit sekali. Ibarat matahari di langit. Bumi malah cuma punya satu matahari.”
“Lho, kalau begitu kok bisa Ibu hidup bersama Bapak rukun-rukun, akur, saling cinta sampai setengah abad?”
“Karena, Dik, begitu matahari terbit, semua bintang di langit jadi tidak kelihatan.”

Kebanyakan dari orang dewasa, tak pernah bisa bersikap santai terhadap perpisahan dan menganggapnya wajar. Sewajar bernapas. Sewajar mengedipkan mata. Seperti halnya hujan yang memang sudah sewajarnya membasahi tanah. Pun layaknya api yang memang telah digariskan berasa panas. 






Komentar

Postingan populer dari blog ini

[TASK] Proposal Usaha (Kewirausahaan)

Ini tugas bikin proposal waktu kelas sebelas hihi :3 Gak tau bener gak tau nggak soalnya dulu gak sempet direview sama gurunya -,- Disusun oleh: Asti Nurhayati Sri Isdianti Kelas XI-AP4 SMK Negeri 1 Garut 2012-2013 BAB 1 PENDAHULUAN A. Nama dan Alamat Perusahaan Toko Buku   “27 RADAR” Jl.   Radar   No. 27 Garut B. Nama dan Alamat Penanggung Jawab Usaha Ø     Penanggung jawab 1: Nama : Asti Nurhayati Nurjaman   TTL : Garut, 19 Agustus 1996   Ø      Penanggung jawab 2: Nama : Sri Isdianti TTL : Garut, 12 September 1996   C. Informasi Usaha          Usaha toko buku yang kami kelola ini berada di Jl.   Radar   No. 27, merupakan lokasi yang sangat strategis yang berada di pusat kota Garut ini, bisa dengan mudah dijangkau oleh kendaraan apapun. Juga terletak di antara banyaknya pusat perkantoran serta sekolah-sekolah sehingga menjadi suatu keuntungan tersendiri bagi kami karena berdekatan dengan banyak

[BOOK REVIEW] Sejarah Ekonomi Dalam Islam

بِسْــــــــــــــــــمِ اﷲِالرَّحْمَنِ اارَّحِيم Judul: Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam Penulis:DR. Euis Amalia, M.Ag Penerbit: Gramata Publishing Tebal Buku: xiv + 322 halaman ISBN: 978-602-96565-1-0 Harga: Rp. 69.000,- Sumber gambar: goodreads Ada kesenjangan epistemologi yang mengemuka lebar tatkala ingin menampilkan literatur sejarah pemikiran ekonomi. Nilai fairness dan transparansi seolah sulit untuk dibuka ketika dihadapkan pada siapa menemukan apa karena bermuara pada “otoritas klaim.” Fakta-fakta ironis menyebutkan bahwa seringkali hasil karya ilmuwan muslim kita diabaikan oleh sarjana barat, padahal mereka sendiri secara implisist mengakui banyak karyanya telah diilhami oleh  pemikir Islam atau karya mereka tidak pure lagi karena sebelumnya sudah diketemukan teori oleh sarjana muslim. Hanya bisa dihitung dengan jari penulis-penulis barat yang mengakui bahwa konsep-konsep atau teorinya berasal dari pemikir Islam. Secara simplistis saja,

[BOOK REVIEW] AYAH Tanpa Tapi

Surga juga ada di telapak kaki ayah – pada setiap langkah yang ia ambil untuk terus menyambung nafas dan menumbuhkanmu, ada surga. (Seribu Wajah Ayah – hlm. 16)             Ayah, salah satu bilah tervital dalam hidup yang dikatakan Rasulullah setelah penyebutan Ibu yang diulang sebanyak tiga kali.             Ibu, ibu, ibu, baru ayah .            Repetisi yang menomorempatkan ayah bukan berarti kita harus menomorsekiankan pula sosok itu dalam hidup. Tidak sama sekali.           Memang, kebanyakan figur ayah tidak sama dengan ibu. Jika ibu seakan tak pernah kehabisan agenda kata yang berlalu lalang di telinga kita, beda halnya dengan ayah yang bahkan seolah enggan untuk bersuara walau hanya sekecap. Pun, sering kali kita lebih nyaman bersandar di punggung ibu yang ekspresif dibanding harus bercengkrama dengan sosok ayah yang cenderung defensif.            Meski tidak menutup kemungkinan tidak semua ayah berkarakter begitu, tapi itu juga tak dapat dipungkiri, kan?