Source from here. |
“Aku bosan.”
Kalimat itu bagai meteorit yang jatuh ke dasar
bumi. Membelai atmosfer dengan gesekannya yang menyembilu. Hingga berdebam
menghantam tanah. Dan dalam sekejap meluluhlantakkannya menjadi partikel-partikel
debu.
Omong-omong soal debu, aku jadi teringat lirik lagu
yang berkata, “Aku tanpamu, butiran debu~”
Terlalu gila memang. Namun akankah perumpamaan
dalam lagu itu menjadi kenyataan yang harus kuhadapi?
Setelah pernyataan tak diduga itu terlontar dari
mulutmu. Yang dengan susah payah, kucerna mereka. Sebab dua kata memekakkan itu
terus melesak-lesak memaksa masuk menelusupi rongga telinga.
Pada akhirnya, aku memang tidak menjadi debu. Sebab
sepeninggalmu, dengan mereka aku menjelma. Memungut detik demi detik yang berceceran.
Untuk kemudian kugubah dalam kumpulan klausa.
Meski kamu telah bertolak membelakangiku, tak ada
hal mutlak yang melarangku untuk tetap berada di tempat yang sama, kan? Lagipula,
tak ada yang mendaftarkan hak paten untuk namamu, kan? Sehingga aku bisa dengan
leluasa mengukirnya. Mencelotehkan kembali banyak hal yang kuyakin –kamu
menganggapnya angin lalu.
Jarum jam tak pernah berhenti
berputar. Hari terus berganti. Minggu berganti bulan. Dan bulan terus berjalan.
Mungkin sudah saatnya kuutarakan
bahwa, aku lelah.
Dibelenggu cinta yang membuat hati
ini semakin tak kenal rasa. Dikungkung rindu yang membuat hati ini semakin
membiru.
Rindu.
Menyoal rindu, Fahd Pahdepie
bilang, bahwa katanya:
“Ada dua
jenis kerinduan. Kerinduan pertama karena kita pernah merasakan sesuatu dan
kita menginginkannya kembali. Kerinduan kedua karena kita tak pernah
mengalaminya dan benar-benar ingin merasakannya, setia menunggu dalam penantian
yang lugu.”
Adalah
kerinduan jenis pertama yang berpuluh bulan ini mendera. Tak kalah banyak kucoba
sudahi. Tak kalah kuat pula rindu ini menolak pergi. Rindu ini tetap di sini.
Bertransformasi menjadi mimpi. Memang, adalah ketidakmungkinan untuk kembali.
Namun, bukankah masih ada satu jenis rindu lagi?
Mungkinkah?
Mungkinkah
ketidakmungkinan atas rindu jenis pertama akan terjawab oleh rindu yang kedua? Dan
akankah kamu hadir sebagai jawabnya? Iyakah kau tengah bereksperimen dengan perkataan
Dee dalam Spasi-nya? Dengan cara terlebih dahulu membentang jarak, ke arahku?
Seindah apa pun huruf terukir, dapatkah ia bermakna
apabila tak ada jeda? Dapatkah ia dimengerti jika tak ada spasi?
Bukankah kita baru bisa bergerak jika ada jarak? Dan
saling menyayang bila ada ruang?
Namun
itu tidak benar, sayangnya.
Lalu,
tentangmu, pantaskah masih kusimpan harap? Sebab, bukankah tak ada yang tak
mungkin bagi Tuhan? Seperti yang dituturkan Putri Al-Fatih dalam Secangkir
Kopi-nya bahwa:
Pengharapan itu tidak salah, yang salah adalah ketika
mengharap pada manusia itu sendiri. Karena hati kita, perasaan kita seluruhnya
milik Tuhan.
Ya.
Tanpa
terus-menerus menjadi pungguk yang tetap nekat merindukan bulan, harap ini akan
selalu ada. Sebab, pada-Nyalah harap ini dirapal dan dipanjatkan.
Komentar
Posting Komentar