Judul : Ranah 3 Warna
Penulis : A. Fuadi
Penerbit :
Gramedia Pustaka
Utama
Tebal Buku :
xiii + 473 halaman
Cetakan Pertama : Januari 2011
Cetakan Pertama : Januari 2011
ISBN :
978-979-22-6325-1
Harga : Rp. 65.000,-
Sumber Gambar : wikipedia
Sumber Gambar : wikipedia
Alif baru saja pindah dari Pondok Madani. Dia abhkan sudah bisa bermimpi dalam bahasa Arab dan Inggris. Impiannya? Tinggi betul. Ingin belajar teknologi di Bandung seperti Habibie lalu merantau sampai ke Amerika.Dengan semangat menggelegak dia pulang kampung ke Maninjau dan tak sabar ingin segera kuliah. Namun kawan karibnya, Randai, meragukan Alif mampu lulus UMPTN. Lalu dia sadar, ada satu hal penting yang dia tidak punya. Ijazah SMA. Bagaimana mungkin mengejar semua cita-cita tinggi tanpa ijazah?Terinspirasi semangat tim dinamit Denmark, dia mendobrak rintangan berat. Baru saja dia tersenyum, badai lain menggempurnya silih berganti tanpa ampun. Alif letih dan mulai bertanya-tanya: “Sampai kapan aku harus teguh bersabar menghadapi semua cobaan hidup ini?” Hampir saja dia menyerah.Rupanya “mantra” man jadda wajada saja tidak cukup sakti dalam memenangkan hidup. Alif teringat “mantra” kedua yang diajarkan di Pondok Madani: man shabar zhafira. Siapa yang bersabar akan beruntung. Berbekal kedua mantra itu dia songsong badai hidup satu persatu. Bisakah dia memenangkan semua impiannya?Ke mana nasib membawa Alif? Apa saja 3 ranah berbeda warna itu? Siapakah Raisa? Bagaimana persaingannya dengan Randai? Apa kabar Sahibul Menara? Kenapa sampai muncul Obelix, orang Indian, Michael Jordan, dan Kesatria Berpantun? Apa hadiah Tuhan buat sebuah kesabaran yang kukuh?Ranah 3 Warna adalah hikayat tentang bagaimana impian tetap wajib dibela habis-habisan walau hidup digelung nestapa tak berkesudahan. Tuhan sungguh bersama orang yang sabar.
Akhirnyaaa, selesai juga baca novel ini. Luar
biasa!
Buku kedua dari trilogi Negeri 5 Menara ini bukan hanya
lebih tebal dibanding buku pertama, tapi lebih ‘seru’ juga petualangan Alif di
sini.
Seperti dikatakan pada blurb, cerita dibuka
dengan kembalinya Alif ke Maninjau setelah lulus di PM. Di sana, Alif mulai
mengeksekusi mimpinya untuk melanjutkan kuliah ke PTN. Langkah pertama adalah
dengan mengikuti ujian persamaan. Eksekusi setelahnya adalah, mendaftar UMPTN. Di
sinilah sepoi angin mulai berdatangan, seakan mencoba mengikis semangatnya
untuk menggapai mimpi. Sebab, banyak sekali orang yang meragukan Alif lulus
UMPTN. Mereka lebih menyarankan agar Alif kuliah di swasta saja, bahkan yang
lebih parah adalah meminta Alif untuk pasrah pada nasib dan menjadi imam masjid
di kampungnya. Randai pun tak ketinggalan, ia menyarankan agar Alif kuliah IAIN
agar lebih cocok dengan background Alif yang berasal dari pondok. Namun
Alif tetap pengkuh dengan pendiriannya.
Dengan “mantra” man jadda wajada, Alif berhasil
menyapu tatapan meremehkan dari mereka. Meski mimpinya untuk menjadi Habibie
harus terkubur. Namun itu tak mengurangi sedikit pun kebangaannya menjadi
bagian dari Hubungan Internasional Universitas Padjajaran.
Singkat cerita, Alif merantau ke Bandung. Bertemu dengan
Geng UNO. Raisa, gadis multitalenta yang merupakan tetangga indekosnya. Ia pun tinggal
satu kos dengan Randai, sohib sekaligus rival yang sama-sama berasal dari
Maninjau.
Hingga kemudian, kematian ayahnya menjadi kenyataan
yang memukul tengkuknya dengan sangat keras. Alif terhuyung. Alif limbung. Satu
demi satu kesulitan menyambanginya. Ia bahkan pernah membeli bubur dengan uang
yang sangat pas-pasan. Agar porsinya menjadi banyak, Alif menambahkan segelas
air pada bubur tersebut.
Ternyata, “mantra” man jadda wajada saja belum
cukup untuk mengarungi hidup.
Saat Alif nyaris menyerah. Pasrah pada kenyataan.
Pun telah tersirat niat untuk pulang kampung dan menjadi guru mengaji saja di
sana. Buku diari yang telah lama tak dibaca, memantulkan sederet kalimat ke
arahnya:
Man shabara zhafira, siapa yang bersabar akan beruntung.
Alif sadar, bahwa selama ini ada satu kata yang
telah ia lupakan, sabar.
Alif sadar, bahwa selama ini ia hanya mengeluh,
mengeluh, dan mengeluh.
Alif sadar, bahwa selama ini ia terus meratapi
kekurangan.
“Mantra” itu membangunkan Alif. Alif akan menjadi
pribadi yang lebih sabar. Bukan berarti diam. Justru ia bergerak lebih gigih,
pantang menyerah, terus bertambah aktif lagi. Dan voila, satu per satu surprise
dari Tuhan pun berdatangan!
Surprise tentunya tidak melulu segala sesuatu yang identik
dengan kebahagiaan. Namanya juga hidup, kejutan yang datang pasti beragam. Namun
di sini, aku menyaksikan bagaimana Alif mengubah surprise yang tidak
menyenangkan menjadi menakjubkan, yang tidak mungkin menjadi tidak ada apa-apa
di tangannya, yang biasa menjadi luar biasa, dan yang luar biasa menjadi sangat
luar biasa. Itulah momen-momen yang menempa kesabaran seorang Alif.
Percampuran antara man jadda wajada dengan man
shabara zhafira bukan hanya membuatnya bertahan di Bandung. Namun juga
mengantarkan sepatu hitamnya pada dua warna lain di belahan bumi yang berbeda
dan menemukan banyak hal luar biasa di sana.
Bukan hanya itu, percampuran antara man jadda
wajada dengan man shabara zhafira ini membuatnya kuat untuk
merelakan. Memungkas perasaan indah yang merimbun di dalam hatinya. Mengubur
rencana indah yang telah dua tahun ditumbuknya. Melepas cinta pertamanya,
bahkan sebelum rasa yang meranggas itu sempat ia katakan. Nyesek seriusss T~T
Ah, seriuuus! Setelah dibuat ‘ngiler’ dengan kisah
Alif menimba ilmu di Pondok Madani. Sekarang ditambah petualangan hidup Alif di
buku ini >_<
Seperti pada buku sebelumnya, sudut pandang yang
digunakan adalah orang pertama. Si Aku, yakni Alif. Selain dari jemari
tangannya keluar kosakata yang kaya dan diksi yang tak itu-itu saja, karakter
tokoh yang dibangun A. Fuadi sangat kuat. Karakterisasi yang kuat itu yang
kemudian membangun alur yang kuat pula. Dari alur yang kuat itu, nilai yang
menjadi focal point di sini pun tersampaikan. Man shabara zhafira,
disampaikan tidak secara eksplisit. Namun secara tidak langsung dijabarkan
penulis dengan gamblang dalam banyak narasi dan percakapan.
Buku ini lebih mengaduk emosi dibanding yang
pertama, menurutku. Kalau di buku pertama, aku cenderung menyaksikan semangat
Alif yang menggebu-gebu belajar di PM. Namun di sini emosinya lebih banyak. Berkali-kali
aku berkaca-kaca (beuh). Mungkin ini karena permasalahan yang dilalui Alif semakin
beragam dan komplek. Hemmm.
Pokoknya, top lah buku ini. Kalian harus baca.
Terakhir, aku suka sekali dengan yang dikatakan
Alif di penutup cerita.
‘.... “Mantra” man jadda wajada saja ternyata tidak cukup sakti. Antara sungguh-sungguh dan sukses itu tidak bersebelahan, tapi ada jarak. Jarak ini bisa hanya satu sentimeter, tapi bisa juga ribuan kilometer. Jarak ini bisa ditempuh dalam hitungan detik, tapi juga bisa puluhan tahun.Jarak antara sungguh-sungguh dan sukses hanya bisa diisi sabar. Sabar yang aktif, sabar yang gigih, sabar yang tidak menyerah, sabar yang penuh dari pangkal sampai ujung yang paling ujung....Bagaimanapun tingginya impian, dia tetap wajib dibela habis-habisan walau hidup sudah digelung oleh nestapa akut....Sabar itu awalnya terasa pahit, tetapi akhirnya lebih manis daripada madu.”
Ah, omong-omong, aku kok kangen Sahibul Menara ya? Atang,
Baso, Dulmajid, Raja, Said, apa kabarnya? Hihi~
Komentar
Posting Komentar