source from here |
“Tanda tangan macam apa ini? Parah! Kamu nggak
mungkin bisa jadi pengusaha kalau begini!”
Kalimat
yang meluncur dari sana, bagai kerikil yang menghujani ubun-ubun. Lalu menembus
dan satu per satu tertohok di ulu hatinya. Kedua tangannya terkepal. Pria itu
telah melukai harga dirinya. Sangat dalam. Hingga ia benar-benar ingin menghabisi
perut gempal itu dengan sekali tinjuan.
“Di
perkuliahan selanjutnya, saya ingin kalian berubah. Dimulai dari tanda tangan.”
Sepeninggal
Bambang, ruangan menjadi riuh. Bahasan akan tanda tangan menjadi perbincangan. Terdengar
seruan girang dari mereka yang tanda tangannya mendapat pujian. Tak sedikit
pula cibiran sebal serta tawa dari mereka yang bernasib sebaliknya.
Bambang
menuturkan bahwa kesuksesan berawal dari hal-hal kecil dalam hidup. Termasuk
tanda tangan. Tanda tangan yang baik menurutnya, adalah yang dimulai dari bawah
kemudian melesat ke atas dengan tingkat kemiringan yang curam, hingga berhenti di
titik teratas dengan bentuk garis lurus yang stabil. Nilai filosofinya sudah
jelas. Bahwa kesuksesan dititi dari bawah. Terus digapai tanpa kenal lelah yang
singgah. Akhirnya, akan tiba di titik teratas yang merupakan analogi dari
kesuksesan itu sendiri, tentunya, untuk menggapai kehidupan yang stabil.
Sampai
sana memang tak ada masalah. Ravi pun sepakat. Namun amarahnya tersulut saat dosen
manajemen pemasaran itu memaki tanda tangannya dengan gamblang.
“Tak
berkarakter. Seadanya. Tak berorientasi. Mau jadi apa kamu? Benar-benar
bermental pegawai.”
Suara
bariton itu mendenging di telinganya. Ravi tak berkutik. Percampuran antara
kaget sekaligus mencoba mencerna cercaan itu bulat-bulat.
“Lo
mau ganti tanda tangan juga, Rav?”
Suara Hiban memecah
lamunannya. Ravi melirik temannya itu sekilas seraya menimpali, “Harus?”
“Katanya
kalau tanda tangannya nggak bernilai filosofis yang dia jabarkan tadi, nggak
bakalan jadi pengusaha kayak dia. Nggak bakalan sukses.”
Ravi
sukses melongo. Tangannya refleks menjitak Hiban dan berkata, “Hati-hati lo,
Ban. Bisa-bisa lo nggak sukses karena kesimpulan sesat lo itu. Lo kudu inget
juga kalau ketetapan Allah berada dalam prasangka hamba-Nya.”
Hiban
mengusap-usap pelipis yang menjadi korban tangan nakal Ravi. Ia mendengus saat
Ravi hanya memamerkan gigi yang berderet rapi padanya. Cengiran kuda itu
membuatnya sebal. “Tapi tadi Pak Bambang seperti menggiring kita ke pemahaman
itu, Rav.”
“Itu
karena pikiran lo menyetujuinya.”
“Sok
cool lo. Kayak yang gue nggak lihat aja. Tadi di depan kelas, tinju lo
udah gatel banget, kan?”
Perkataan
Hiban mengembalikan Ravi pada lamunan yang terputus. Bayangan masa silam berkelebat
di benaknya. Titik-titik amarah naik lagi ke permukaan. “Bukan gara-gara itu.”
“Lah
alesan. Palingan nanti juga lo bakal ganti tanda tangan.”
***
“Sesuai kesepakatan dengan saya minggu kemarin.”
Bambang
menandang tanpa basa-basi. Ia meletakkan sebatang spidol di meja depan. Sambil
mengelilingi ruangan ia berkata dengan gaya khasnya yang berapi-api, “Ayo. Saya
ingin melihat perubahan kalian untuk menjadi pengusaha. Untuk menjadi sukses.”
Satu
per satu maju ke depan. Whiteboard mulai dipenuhi goresan tanda tangan. Tak
sedikit tanda tangan baru yang diberi acungan jempol sebagai tanggapan. Tak
sedikit pula tanda tangan berwujud baru yang masih dipermasalahkan.
Pada
gilirannya, Ravi maju dengan langkah mantap. Tangannya bergerak pasti. Menggoreskan
sebentuk tanda tangan yang sama. Sementara di kursinya, Hiban menatap sobatnya
itu heran.
Kening Bambang
mengernyit dalam. Matanya memperhatikan tanda tangan Ravi. Kemudian beralih
meneliti Ravi yang masih di posisi. “Anda tidak mengganti tanda tangan?” Akhirnya
Bambang bertanya. Sepertinya ia masih dengan betul mengingat Ravi. “Kenapa?” Tanyanya
lagi setelah melihat anggukan dari pemuda jangkung itu.
“Karena saya merasa
tidak konsisten kalau harus mengganti tanda tangan. Mungkin Bapak berbeda.
Tanda tangan bagi Bapak adalah jalan untuk mengekspresikan semangat hidup. Tapi
bagi saya, tanda tangan adalah sebuah komitmen. Dan saya harus menjaganya
sampai akhir. Apalagi, ada cerita berharga yang tersimpan di balik tanda tangan
saya, yang menurut Bapak tak berkarakter, seadanya, dan tak
berorientasi ini.”
Semua mahasiswa
terperangah. Mereka menegakkan posisi duduk. Siap mendengar terusan dari Ravi. Pun
Bambang. Tatapan takjub terpancar dari mata tajamnya. “Cerita berharga?” Tukas
Bambang sambil menempati sebuah kursi.
“Iya.”
“Bagaimana?”
***
“Kenapa harus ada tanda tangan sih?”
Pidi
yang baru pulang dari kantor langsung menghampiri Ravi. Serta-merta ia
menggenggam telapak tangan Ravi yang sedari tadi mengacak-acak rambutnya
sendiri. “Anak ayah kenapa?” Tubuh Ravi yang tak lagi mungil ia pindahkan ke
pangkuan.
“Ayah
mau nggak, bantuin Ravi bikin tanda tangan? Ravi bingung ini.”
Kening
Pidi mengernyit. “Tanda tangan buat apa?”
Ravi
mengangsurkan secarik kertas pada ayahnya. “Ini. Di lembar jawaban ujian harus
ngisi tanda tangan.”
“Wah,
anak ayah bener-bener udah gede. Sebentar lagi malah mau ujian nasional.” Pidi
menerima lembar jawaban itu. Kolom tanda tangan di sana nyaris kusut karena
berkali-kali dijadikan lahan tryal and error
oleh Ravi. Dan Pidi tersenyum geli karenanya. “Jadi kamu lagi latihan ngisi
lembar jawaban?” Ia lantas mencubit gemas pipi Ravi yang hanya menjawab dengan
anggukan. “Ayah bantu tapi dengan satu syarat.”
Ravi
menoleh pada ayahnya dengan gerakan malas.
“Nah,
itu yang ayah nggak mau.”
Kini
Ravi menatap Pidi tak mengerti.
“Senyum
dong. Biar belajarnya juga menyenangkan.”
Bukannya
mengiyakan, Ravi malah memberenggut manja.
“Ayah
gelitikin aja biar sekalian kamu ketawa.”
Belum
sempat Ravi menghindar, jemari Pidi sudah mendarat di perutnya. Membuat anak
lelaki itu tergelak di pelukan ayahnya. Berkali-kali Ravi mengangkat tangan,
karena pada akhirnya, Ravilah yang harus menyerah. Dan harus memamerkan deretan
gigi yang gigi serinya baru saja tanggal.
“Yah,
tanda tangan itu buat apa sih? Buat ngisi lembar jawaban di ujian?”
Sejenak
Pidi terdiam. Menyusun jawaban agar bisa dengan mudah dicerna Ravi. “Banyak.
Bukan hanya untuk ujian. Tapi yang jelas, tanda tangan itu untuk segala sesuatu
yang penting dan berharga buat kamu. Dan kamu harus menjaganya.” Pidi meringis
melihat Ravi yang masih termangu. Diusapnya puncak kepala Ravi seraya berujar, “Nanti
juga kamu mengerti.”
Cukup
lama ayah dan anak itu larut dalam ‘perjalanan menentukan tanda tangan Ravi’. Sudah
bermacam-macam tanda tangan mewujud dari pena yang digoreskan Pidi. Berkali-kali
Ravi menggeleng karena tak bisa mengikuti liukkan Pidi, sebanyak itu pula Pidi
mencoretnya.
“Jadi
kamu mau yang mana? Padahal yang ini gampang, bagus juga. Daripada ini.” Tangan
Pidi berpindah menunjuk dari satu titik ke titik yang lain.
Ravi
masih menggeleng. “Bikin yang lebih gampang dong, Yah.”
Beberapa
detik Pidi terdiam. Bingung menemukan gaya yang baru karena sudah cukup banyak
yang ia coba.
“Nah
itu, Yah.” Putus Ravi cepat dan mantap begitu bolpoin hitam itu mendarat
sempurna di atas kertas.
Kening
Pidi mengernyit. Matanya bergerak mengamati semua tanda tangan yang dibuatnya.
Lalu tatapannya berakhir di mata Ravi yang berbinar senang. “Padahal ini semua
lebih bagus menurut ayah.”
“Tapi
Ravi suka yang ini.” Tukasnya tanpa balas menatap Pidi. Anak lelaki itu kini
asyik dengan pensil dan kertasnya. Berkali-kali berseru girang karena berhasil menggambar
tanda tangannya dengan sempurna. Tanpa kesulitan pula.
Pidi
menghela napas. Mau tak mau, secercah senyum turut terbit di wajahnya.
Keesokan harinya ....
“Lho, Yah. Ini apa?” Tanya Alya sambil meraba
bagian saku kemeja Pidi.
Pidi menunduk. Ia
kontan tertawa begitu melihatnya. “Tanda tangan Ravi.”
Alya
mengernyit. Tak sepenuhnya paham maksud suaminya itu.
“Ayo
berangkat, Yah.”
Pidi
dan Alya menoleh bersamaan. Ravi sudah lengkap dengan seragam merah-putih rapi dan
tas di pundaknya. Tali sepatu pun sudah saling merapat di simpulnya. Alya
bersimpuh lalu bertanya, “Ravi, kamu kenapa curat-coret di baju ayah?”
“Ravi
bukan nyurat-nyoret, Bu. Tapi kemarin ayah bilang kalau tanda tangan itu untuk
segala sesuatu yang penting buat Ravi.”
Pidi
dan Alya berpandangan. Pidi ikut bersimpuh di samping Alya. Dengan ekspresi
berpikir ia menimpali, “Jadi maksudnya, ayah penting buat Ravi?”
Ravi
mengangguk cepat-cepat. “Di baju Ibu juga ada, kok. Tapi bukan baju yang ini.”
Sekarang
Pidi dan Alya sama-sama tergelak. Tak menyangka sekaligus takjub dengan tingkah
anak sulung mereka.
“Kalau
begitu, ayo kita berangkat!” Pidi menggendong Ravi. Mendudukkannya di jok
motor. Sementara Alya mengikuti dan duduk di belakangnya.
***
“Setelah itu, saya nggak lagi melihat sosok ayah
secara utuh. Karena sore harinya, ibu mendapat telepon kalau ayah mengalami
kecelakaan lalu lintas. Kemeja ayah pulang dalam keadaan bersimbah darah. Tapi bagian
sakunya nggak. Orang-orang menemukan ayah dalam keadaan memegangi dada bagian
kirinya. Meski mereka mengira ayah melindungi dompetnya, tapi saya yakin, tanda
tangan saya yang ayah lindungi.”
Ravi
bersimpuh di depan ruangan. Meredam lutut yang bergemeletuk dan kaki yang
bergetaran. Dihelanya napas berat. Sekaligus memendat air mata yang siap
mendarat. “Makanya Pak, kemarin saya sempat kesal sekali sama Bapak. Bukan
karena Bapak mengatai tanda tangan saya yang menurut Bapak tidak memenuhi
kriteria buat jadi seorang pengusaha. Tapi karena saya punya cerita di balik
tanda tangan itu.”
Bambang
beranjak. Menghampiri dan meminta Ravi agar kembali berdiri. Digandengnya pundak
Ravi dalam posisi tegak seraya berkata, “Apa barusan? Laki harus kuat!”
“Saya
....”
Bambang
mengeratkan pegangannya di pundak Ravi. “Anda menjaga apa yang sudah ayah anda
jaga?”
Ravi
mengangguk samar. “Lagi pula, yang saya tangkap dari permintaan Bapak kemarin,
tanda tangan hanyalah sebuah analogi. Mengubah diri, menjadi lebih baik
tentunya, akan sama sulitnya dengan mengganti tanda tangan. Kalau saja otak seperti
roda yang berkarat, maka saat tangan kita bergerak menuliskan tanda tangan
baru, otak kita akan berdecit karena gerakan yang di luar jalur. Perlu
pembiasaan agar tangan dan otak kita bisa dengan mudah menulis tanda tangan
yang baru. Begitu juga dengan berubah menjadi lebih baik. Perlu pembiasaan agar
kita menjadi terbiasa dengan perubahan itu sendiri.”
Penjelasan
panjang lebar dari Ravi membuat Bambang termangu sejenak. Sekarang tangannya
menepuk-nepuk pundak Ravi. Ia mengedarkan pandang ke seisi ruangan. Beberapa di
antara mereka, terutama mahasiswi tampak dengan mata sembab. Bahkan masih ada
sisa isak di sana. Larut ke dalam penuturan masa kecil Ravi.
“Dia
benar. Dia tepat. Anda-anda yang sudah mengubah tanda tangan, apakah merasa
kesulitan?”
Mereka
yang dimaksud, mengangguk serentak.
“Iya,
Pak, kagok.”
“Masih
sering lupa, Pak.”
“Tapi
dalam beberapa hari saya sudah terbiasa.”
Ravi
melirik ke arah Bambang santun. Mengerti maksud pemuda itu, Bambang mengangguk
mengiyakan.
“Bukan
berarti saya mengenyampingkan semua penjelasan dari Bapak kemarin. Saya setuju
dengan filosofi Bapak mengenai bentuk sebuah tanda tangan yang menggambarkan fase-fase
kehidupan. Yang bisa diubah kapanpun sesuai dengan spirit kita. Tapi setiap
orang bebas hidup dengan persepsinya masing-masing, kan?”
“Jadi,
lo nggak akan mengganti tanda tangan?”
Ravi
menoleh pada sahabatnya yang turun bicara. Dan mengangguk.
“Meskipun
menurut Pak Bambang, tanda tangan lo itu tak berkarakter, seadanya,
dan tak berorientasi?”
Ravi
mengangguk lagi. “Terserah orang mau mencerca bagaimana. Selama kita tak pernah
membenarkannya, cercaan itu tak akan pernah berlaku. Tidak ada yang lebih
berhak menentukan sesuatu itu baik atau buruk, selain diri kita sendiri. Seperti
halnya Allah yang memberi ketetapan sesuai dengan prasangka setiap hamba-Nya.”
“Ravi?”
Panggil Pak Bambang yang semakin ingat nama pemuda di sampingnya itu.
Ravi
lalu beralih pada Bambang. “Iya, Pak?”
“Saya
hanya ingin memastikan kalau maksudmu menjaga tanda tangan itu, adalah menjaga
pribadimu yang konsisten. Bukan hal lain di luar itu.”
Ravi
mengerutkan kening. Bertanya tanpa berucap.
“Anda
tidak sedang meratapi dia yang sudah tiada, kan? Anda sudah berdamai dengan
masa lalu, kan?”
Ravi
lantas menggeleng. “Nggak lah, Pak. Saya nggak mau menyulitkan dia di sana,
hanya karena kesedihan yang berlebihan.” Seulas senyum yakin mengembang di
wajahnya. Bayangan masa silam kembali membayang di pelupuk mata.
Saat Pidi berkutat
bersama bolpoin dan kertasnya. Saat Pidi mencoret dari satu titik ke titik yang
lain dengan ekspresi berpikirnya. Saat Pidi menemukan tanda tangan yang tepat
untuk Ravi. Putranya yang akan mengikuti ujian nasional sekolah dasar.
Komentar
Posting Komentar