source from google |
Bebek merah itu berhenti menderu. Fayad
lantas menghambur ke ambang pintu. Dengan ekspresi lugu, menyambut sosok yang
baru saja turun dari motor itu.
Rahman
tersenyum menyadari kehadiran Fayad di sana. Ia menghampiri putra bungsunya itu
dan bersimpuh. “Tebak, Bapak bawa apa buat Fayad?” Ia mengedikkan kepalanya ke belakang,
seolah menunjuk kedua tangan yang tersembunyi di sana.
Kening
Fayad mengenyit dalam. Meski sudah tahu dan akan selalu tahu jawaban atas pertanyaan
itu, ia menatap bapaknya dengan ekspresi berpikir. Menikmati teka-teki yang
diajukan Rahman. “Sekallang mobil-mobillannya wallna apa, Pak?”
Tawa
Rahman berderai saat Fayad langsung mendorongnya ke inti pembicaraan. Gaya
bicara Fayad yang sedikit terbata membuatnya semakin merasa geli. Dengan nada
jahil ia balik bertanya, “Fayad yakin Bapak bawa mobil-mobilan?”
Fayad
mengangguk mantap.
“Bapak
kalah lagi, deh.” Rahman mengacak-acak rambut Fayad gemas.
Wajah
Fayad kontan berbinar begitu mobil yang sedari tadi terparkir di
persembunyiannya, melaju, dan berhenti tepat di depan matanya. Dalam
sepersekian detik mobil baru itu beralih ke dalam dekapannya. “Waaah, mellah,
Pak.” Fayad berjingkrak girang. Senang menerima kejutan yang ke sekian-sekian-sekian
kalinya dari Rahman. “Warnanya sama kayak motol Bapak.”
“Eh,
Bapak udah di sini aja.”
Ia
melirik sekilas ke arah Lia. Mengulurkan tangan pada istrinya yang hendak
mencium tangan. Namun matanya tetap berfokus pada pemandangan indah di sana.
Lia
mengikuti arah pandang Rahman dan menggeleng setelahnya. “Ya ampun, Pak. Mobil-mobilan
lagi. Sebulan ini Bapak udah beli lima, lho.”
Masih
tanpa menatap Lia, Rahman menggeleng seraya berujar, “Nggak apa-apa. Bapak suka
sekali lihat wajah senang Fayad kayak begitu.”
Sebentar,
Lia mendecak kesal. Ia lalu menggandeng lengan suaminya seraya berujar, “Kalau
begitu kita makan siang dulu. Menu masakan hari ini, semuanya kesukaan Bapak.
Ada---“ Kalimatnya terhenti karena Rahman tiba-tiba menghentikan langkah.
“Hari
ini luar biasa.”
Tak
mengerti arah pembicaraan, kening Lia berkerut. Bertanya tanpa berucap
“Setelah
lihat pemandangan indah di wajah Fayad, sekarang dijamu sama chef favorit
dengan menu favorit pula.”
Tak
ada reaksi berarti dari Lia. Ia hanya mengangkat bahu dan berkilah, “Jangan
berlebihan deh, Pak. Itu adalah mobil-mobilan ke sekian puluh yang Bapak kasih
buat Fayad. Dan bukan pertama kalinya juga Ibu masak buat Bapak.”
Rahman
tidak menanggapi. Ia malah menghampiri Fayad dan menggendongnya. “Ayo, kita
makan dulu.”
“Fayad
nggak lapal.”
Rahman memberenggut kecewa. Ia lalu memasang raut berpikir. Mencari
alternatif lain untuk membujuk si bungsu. Sebentar kemudian ia berujar, “Kalau
begitu, Fayad mau nggak, nganterin Bapak sama Ibu ke meja makan?”
Mata
bulat Fayad bergerak, bergantian dari wajah Rahman ke mainan barunya. “Pake
mobil mellah ini?”
Rahman
cepat-cepat mengangguk.
Kepala
Fayad ikut turun naik mengerti. Seketika itu juga ia mengacungkan mobil di
tangan kanannya tinggi-tinggi. Menggerak-gerakkannya seakan mobil itu tengah
diparkirkan. “Brummm ....”
“Lho,
bukannya itu suara mobil yang warna hitam?” Lia yang sedari tadi menjadi
penonton, tak kuasa menahan gemas. Saat hendak menghampiri dua lelaki itu,
Rahman buru-buru mencegah dengan isyarat mata. Akhirnya, Lia hanya terpaku di
tempat dengan perasaan dongkol sekaligus heran.
“Mobillan
hitam yang itu lussak. Keinjek sama motollnya Kak Opall.”
“Ooohhh.”
Rahman dan Lia menyahut bersamaan. “Jadi suaranya dikasih ke mobil yang baru
aja, begitu?”
“Motor
Kak Naufal hebat juga ya, Bu. Bisa nginjek mobil. Sampai rusak pula.”
Dengan
polosnya, Fayad memandang Rahman dan Lia bergantian. Ia tak memahami gurauan kedua orangtuanya itu. “Diantellin
ke meja makan sama mobillan ballunya jadi nggak?”
Rahman
lantas beralih pada Fayad seraya berseru, “Berangkaaat!”
“Brummm
... brummm.”
Mobil merah itu melayang-layang di udara. Dikendalikan oleh Fayad sang driver.
Bersama Fayad yang erat dalam gendongannya, Rahman berjalan berkelok-kelok. Pun,
mobil melesat di tangan Fayad dengan irama serupa. Hingga kemudian, Rahman
menjeda gerakan solid itu di hadapan Lia. “Fayad, ayo kita jemput Ibu duluuu.”
Lia
menggeleng tak habis pikir. Terlampau sering Rahman memancingnya untuk melekuk
senyum geli. Sebagai reaksi atas sikap suaminya yang kerap kali tak terduga.
Usia kebersamaan mereka bahkan sudah tak lagi muda. Namun Rahman selalu
berhasil membuatnya merasa seperti pengantin yang baru selesai menikah kemarin
sore.
“Sampaiii.”
“Fayad
duduknya mau sama Bapak.”
“Fayad
mau makan sama sayul sopp.”
Serta-merta
Lia mencubit pipi bulat Fayad. Gemas karena baru saja anak itu mengatakan bahwa
dirinya tidak lapar. Setelah selesai menyendokkan nasi ke beberapa piring di
sana, ia berseru, “Makan dulu, Kak.”
Tak berselang lama, Naufal muncul di balik
tangga. Ia menempati kursi di samping Lia setelah sebentar menyapa bapaknya.
“Ujiannya
beres, Kak?” Tanya Rahman, meneruskan percakapan dengan si sulung.
“Alhamdulillah,
Pak. Doain lulus, ya.”
“Pasti
lulus lah. Jadi kan ke SMA itu?”
Naufal
mengangguk. Pemuda berwajah oval itu lalu menceritakan beberapa prosedur
pendaftaran yang masih belum selesai.
Jawaban
Naufal membuat Rahman mengangguk puas. Ia menatap Naufal dan tersenyum yakin. “Ke
SMA itu juga pasti lulus, Nak.” Rahman lalu beralih pada Lia dan meneruskan, “Bantu
Kakak ya, Bu.”
“Oh
ya, Dek. Ini mobil-mobilan yang kemarin. Udah Kakak benerin.”
Perhatian
Fayad kontan teralihkan begitu mendengar mainan favoritnya disebut. Ia mengabaikan
sayur sop untuk menyambut mobil berukuran mini itu. “Jadi bagus lagi
mobillannya. Lihat nih, Pak.” Fayad memperlihatkannya pada Rahman. Ban depannya
yang ringsek telah diperbaiki oleh tangan terampil Naufal.
“Bilang
apa sama Kakak?”
Fayad
mengangkat mobil itu tinggi-tinggi. Namun saking bersemangatnya, saat hendak
mengucap terima kasih, mainan itu jatuh tergeletak di lantai. “Yahhh, Pak. Jatuhhh.”
“Biar
Bapak yang ambilin.” Rahman memeluk Fayad yang duduk di pangkuan dengan lengan
kirinya. Sementara tubuh bagian kanannya merunduk, mencoba menggapai benda
mungil tadi di bawah meja. Sesuatu yang mengejutkan terjadi di detik ketiga. Saat serangan mendadak tiba-tiba mendarat di
jantungnya. “Astaghfirullah! Allah! Jantung Bapak, Bu. Astaghfirullah.”
Rahman terus meracau. Sampai kemudian, karena tak mampu menopang beban,
tubuhnya melayu dan meluruh di lantai. Lengkap dengan tubuh mungil Fayad yang
terbelam dalam dekapan.
***
Mobil-mobil berjejeran. Bukan hanya
jenisnya yang beragam, pun ukuran yang bervarian. Ruangan itu semakin indah
dibalut warna-warninya mainan. Si mungil berwarna hitam seolah menempati posisi
teristimewa di sana. Kotak kaca yang membalutnya, paling mengkilap dibanding
yang lain. Pun, kotak itu diletakkan di tempat yang menjadi pucuk bagi yang
lain.
Fayad mengitari ruangan. Meneliti satu demi satu dari sekian banyak
benda kesayangannya di sana. Mengerahkan seluruh tenaga untuk mendapat setitik
gambaran. Sedalam mungkin menggali butiran memori yang berceceran. Namun,
nihil. Sebab tak ada sekelebat pun yang berkenan untuk membayang di pelupuk
mata. Dan untuk hari ini, tak terhitung berapa kali ia menghela napas berat.
“De,”
Naufal tiba-tiba melangkah ke dalam ruangan. Memecah lamunan Fayad yang
menggelembung di sana.
Fayad
sempat terkesiap. Ia melirik seadanya. Seakan tak peduli, ia kembali bergelung
dengan mainannya.
Naufal
berdiri di samping Fayad. Turut meneliti puluhan mobil mainan itu dengan tatapan
mata. Bedanya, Naufal bisa melihat dengan jelas kenangan yang terpantul di
sana. Nyeri menyeruak tatkala desah berat Fayad berkali-kali menelusupi rongga
telinganya.
“Kak,
sosok Bapak itu gimana, sih?”
Naufal
meneguk ludah. Sesak, ia turut menghela napas berat. “Dia itu bijak, ceria, dan
selalu menebar kebahagiaan di rumah ini.”
Fayad
tak bereaksi. Pandangannya tertancap kuat pada mobil hitam itu. Jangankan sosok
Bapak, kejadian hari itu saja ia tak ingat. Yang ia tahu hanyalah kenyataan
bahwa mobil hitam itu adalah satu-satunya mainan yang tak pernah lepas dari
genggamannya.
“Setelah
ada kamu, bertambahlah satu hal yang menjadi kesukaan Bapak.”
Fayad
mengangguk. Terlampau hapal akan lanjutan kalimat yang pasti diucapkan Naufal. Secercah
pun ia tak bisa mengingat binar bahagia yang menyemburat di wajah lugunya dulu.
Binar bahagia yang sangat disukai sang bapak. Dan ia dibuat tergugu karenanya.
Fayad
meremas bahu Fayad. Bibirnya bergerak tak kentara. Namun kata yang ingin ia
kecap menguap dengan cepat.
“Aku
kangen Bapak. Cuma itu yang aku tahu.”
“Ibu
udah bilang berkali-kali, kan? Kalau sosok Bapak ada dalam dirimu, Fay.”
Naufal
dan Fayad serta-merta berbalik. Mereka lantas menghampiri dan menuntun sang ibu.
Tingkah
kedua pemuda itu membuatnya tersenyum geli. “Kalian ini. Berlebihan sekali.”
Naufal
melipat kedua tangannya di dada. Berlagak kesal akan ucapan ibunya. Lalu dengan
tegas ia berujar, “Seberlebihan apapun, tetap nggak akan bisa membalas
semuanya. Jadi, Bu, biarin aku dan Fayad berlebihan sama Ibu.” Ia langsung
meringis begitu cubitan ringan dari Lia mendarat di pinggangnya. Dan dengan
nada jahil ia memelas, “Sakit, Bu. Obatin dong, Bu.”
“Kak! Resepsi tinggal seminggu lagi, masih kayak begitu juga?” Kali ini
giliran Fayad yang dibuat sebal oleh tingkah manja sang Kakak. “Gimana dong, Bu?
Apa pernikahannya dibatalin aja?” Fayad beralih menatap Lia. Memasang ekspresi
wajah yang sama memelasnya dengan Naufal.
Lia menoleh pada Naufal dan Fayad bergantian. Detik berikutnya, ia
termangu di tempat. Tingkah manja mereka selalu menggemaskan. Namun, menjadi
tidak, jika berbicara soal usia. Lia jadi bingung untuk bereaksi. Haruskah ia
marah, atau tertawa saja? “Ibu mau ajak kalian ke makam Bapak. Kalian mau---“
Kalimat Lia terpotong oleh Fayad dan Naufal yang dengan kompaknya menukas.
“Oke, Bu. Aku siapin mobil sekarang.”
“Kalau gitu, Fay bantu Ibu siap-siap.”
Begitu
mereka beranjak untuk menjalankan tugasnya masing-masing, Lia lantas mencegat,
“Kalian mau kemana?”
Langkah
Fayad dan Naufal terhenti. Kening Fayad mengernyit. Menjawab tanpa mengucap.
Lia
menggeleng. Senyum puas terbit di wajahnya yang mulai dihiasi kerutan. “Mobil
udah siap. Ibu juga udah siap-siap. Jadi---“
“Berangkaaattt!”
Dua
tangan Lia sudah digamit erat oleh keduanya. Pada akhirnya, Naufal dan Fayad
memaksa Lia untuk memilih tertawa. Tak ada reaksi lain yang lebih tepat atas sikap
menggemaskan anak-anak, bukan?
***
“Seminggu lagi aku nikah, Pak.” Naufal menghela
napas sejenak. Menyeka bulir bening yang menganak di ekor matanya. “Mudah-mudahan
aku bisa jadi sosok suami seperti Bapak.” Hangat yang tiba-tiba menyergap
membuat Naufal menoleh. Senyum yakin menular ke wajahnya saat mendapati Lia
menatapnya. Perempuan itu berbisik lembut di telinganya. Naufal mengangguk dan balas
menggenggam tangan Lia yang tertanam di pundaknya.
“Pasti
bisa, Nak.”
Fayad
bersimpuh di sisi lain pusara. Mata bulatnya tertancap kuat pada batu nisan.
Varian rasa terpancar kentara dari tatapan itu. Bibirnya gemetar. Menyeleksi
banyak kata yang berjejalan ingin keluar. “Bentar lagi seragam Fay juga
putih-abu, Pak.” Setelah dengan paraunya kalimat itu meluncur, Fayad tertunduk
lesu. Rindu yang mengungkung membuat hatinya semakin lebam membiru. Rindu yang
mendera kerap kali membuat hatinya mati rasa.
“Iya,
Pak. Putra bungsu kita sekarang udah gede, lho. Ganteng pula. Kayak Bapak.”
Mau
tak mau, Fayad mendongak. Memperhatikan Lia yang ternyata berbicara menyahuti
ucapannya. Setiap perkataan Lia membuatnya semakin termangu dan membisu.
“Dari
mulai marah sampai banyol, pokoknya Fayad itu Bapak banget. Tapi dia sering
banget sedih, katanya mau tahu sosok Bapak itu kayak gimana. Padahal Ibu sama
Kakak udah bilang beratus-kali, kalau jawaban itu ada dalam dirinya sendiri.”
“Maafin
Fayad kalau dia sering nangis, Pak. Maklum lah, dia kan ade kecil aku. Tapi
sebagai Kakak, aku pasti bisa tenangin dia.”
Dari
Lia, Fayad menggeser mata pada Naufal. Ia tahu, kalau dua orang di hadapannya
tengah berpura-pura fokus pada bunga yang menggunduk di sana. Dan Fayad
memberenggut kesal karenanya. “Aku kangen Bapak. Tapi nggak kayak Kak Nopal,
aku nggak tahu ....”
Naufal
akhirnya menatap Fayad. Pemuda berwajah oval itu mengangguk dan
tersenyum maklum pada sang adik. “Jadi ke SMA itu, kan?” Tanyanya kemudian, sekaligus
berusaha mengalihkan obrolan.
Fayad
turut mengangguk. Ia menceritakan beberapa prosedur pendaftaran yang belum
selesai.
Naufal
termangu sejenak. Percakapan yang sama seketika bersahutan di telinga. Ia
meneguk ludah lalu berujar, “Pasti lulus lah.”
“Ibu
pasti bantu Fay, kok.”
Sahutan dari Lia membuat Naufal
sekali lagi menelan ludah. Kali ini, ada pahit yang menyeruak ke permukaan.
***
“Sepulang dari kantor tadi, saya sama
Pak Rahman ke toko mainan.”
Pelayat terus berdatangan. Tak sedikit dari mereka tiba dengan ekspresi
kaget. Wajah itu kemudian berubah menjadi raut merenung setelah kronologis
diceritakan. Satu demi satu dari mereka turut membacakan ayat suci Al-Quran
untuk almarhum Rahman. Mereka juga bergantian memeluk Lia yang sedari tadi
tenang dalam dekapan Naufal.
Tikaman mendadak itu jelas
membuat Naufal limbung. Namun tangisan Lia membuatnya mau tak mau meredam
semuanya. Ia harus membebat air matanya agar dapat merengkuh Lia ke dalam
dekapan. Ia harus mengubur wajah terlukanya agar dapat mengusap lembut punggung
Lia yang terus berguncang.
“Kak, mobillannya lussak lagi.”
Saat Naufal menoleh, rundungan luka semakin dalam menelusupi dirinya. Hatinya
semakin berkecamuk kala mata bulat itu memandangnya lugu. Hatinya sukses remuk ketika
Fayad mengangsurkan benda mungil itu padanya. Naufal mendesah frustrasi. Ia
mengeratkan dekapan pada tubuh Lia. Si kecil itu telah berhasil meruntuhkan
pertahanannya. Dan akhirnya, Naufal memilih untuk tergugu di bahu ibunya.
Naufal terjaga di balik matanya yang terpejam. Memutar detik demi detik
adegan. Membuka lembar demi lembar kenangan. Hingga kemudian, serangan jantung
mendarat dan memungkas semuanya. Keadaan macam apa ini? Bukankah sedetik sebelumya
ia tengah membicarakan rancangan masa depan dengan sang Bapak? Lalu bagaimana
dengan Fayad? Masih banyak sekali waktu yang belum Fayad lewatkan dengan
Rahman.
Fayad dipangku oleh seseorang. Didudukkan dengan nyaman di sofa dekat
kursi kerja Rahman. Setiap orang yang melaluinya pasti memeluk tubuh mungil itu
dan mengusap puncak kepalanya dengan sayang. Sementara, Fayad hanya membalas
mereka dengan wajah polos. Mata bulat yang berbinar itu berhasil membuat mereka
tak kuasa menahan isak.
Beberapa
kerabat mencoba mengajak Fayad bermain atau sekadar berbincang. Namun Fayad
yang biasanya bersemangat bahkan tak memberi reaksi berarti. Ia bertahan di
posisinya. Terus berkutat dengan mobil-mobilan hitamnya. Tangan mungilnya bergerak-gerak
lentik memperbaiki ban yang kembali lepas. “Mau minum.” Fayad berujar tanpa menggerakkan
pandangannya.
Satu
dari kerabat yang mengerumuninya langsung bangkit. Tak berselang lama, gadis
itu kembali dengan segelas air. “Ini, De Fay.”
Kini
Fayad mendongak dan meneguk air sampai habis. Saat hendak kembali pada
mobil-mobilannya, gerakan kepalanya tiba-tiba berhenti. Tertancap dan tertahan
oleh kursi kerja Rahman. Cukup lama mata Fayad tertanam di sana. Detik
berikutnya, secercah senyum cerah terbit di sana. Namun dalam hitungan singkat,
lekuk itu berubah menjadi renggutan kecewa. “Bapak mau kemana?” Tapi di hitungan
berikutnya, senyum terulas lagi di wajahnya. Mainan di tangannya ia angkat
tinggi-tinggi, dan seraya mengangguk ia berkata, “Jangan lama, Pak.”
***
“Bebek mellahnya ada kok.”
Hari
ini, untuk ke sekian kali Fayad meneliti motor itu dengan kernyitan dalam. Anak
itu heran. Motor itu terparkir manis di garasi. Namun sama sekali ia tak
merasakan kehadiran sosok jangkung yang selalu dengan cepat menghampiri. Berkali-kali
pula ia mendengar deru yang sama. Namun irama suaranya tak beralun seperti
biasa. Sebab gemuruh itu tak pernah berhenti di tempatnya, melainkan sering
kali berjalan menjauh dan menghilang.
Akhirnya,
Fayad hanya bisa mematung di ambang pintu. Menanti si bebek merah menghentikan
gaungan lembutnya. Menanti pelukan dari sang bapak, terkadang dilengkapi kejutan
yang harus dipecahkan dengan teka-teki yang selalu ia nikmati.
Sekali
waktu, Naufal mencoba melakukan hal serupa. Ia menyengajakan pergi ke sekolah
bersama motor bapaknya. Sepulangnya, saat memarkirkan motor di garasi, terdengar
langkah rusuh Fayad. Berlari kecil namun dengan ritme cepat ke arahnya. Seakan
tak ingin kalah, jantung Naufal turut bertalu-talu rusuh. Dan jantung itu sukses
jatuh menghantam lantai begitu Fayad muncul dan berteriak, “Bapaaakkk!”
Fayad
menghentikan langkah. Mendongak dan termangu ke arah kakaknya. Kernyitan khas
di wajah lugu itu seakan menuntut penjelasan.
Naufal
meneguk ludah. Perlahan ia menghampiri adiknya itu. Tak lupa, kedua tangan
tersembunyi di balik punggung seraya berucap lirih, “Tebak, Kakak bawa apa buat
Fayad?”
Masih
dengan gulungan di kening, Fayad memperhatikan Naufal yang bersimpuh di
hadapannya. “Apa?”
Naufal
memberenggut kecewa. “Tebak, dong.”
Fayad
menggeleng cepat dan menegaskan, “Nggak mauuu.”
“Nggak
mau?”
Fayad
mengangguk yakin.
Naufal
menghela napas. Meredam kecewa yang menyeruak. “Kakak bawa ini buat Fayad.” Kedua
tangan ia keluarkan dari persembunyian dan ia ulurkan pada adiknya itu.
“Mobill?”
Naufal
mengangguk senang. “Kamu suka, kan?” Ia menunggu raut serupa turut terbit di
wajah Fayad.
Kini
Fayad menggeleng.
“Kenapa?”
Perlahan, senyum Naufal luruh tak bersisa. Kecewa yang sedari tadi mendesak,
akhirnya terbit menggurat di wajahnya.
“Fayad
sukanya mobillan dari Bapak. Kemallin Bapak billang mau beli mobillan tapi lama
padahall Fayad bilang jangan lama.” Setelah mengatakannya, Fayad berbalik
meninggalkan Naufal dengan mainan baru itu begitu saja.
Kata-kata
itu bertolak dari suara mungil adiknya. Tiap huruf serupa kerikil yang menghujani
ubun-ubunnya. Lalu menembus ke dadanya. Kemudian melesat berbenturan di dasar
hatinya. Dan semua itu berhasil melukai Naufal yang kini tergugu di tempatnya.
Fayad. Anak berusia empat tahun itu
bukan menunggu mobil-mobilan baru datang.
Melainkan:
Menunggu bebek merah berhenti menderu
saat ke garasi mininya harus pulang. Menunggu sosok jangkung datang dengan
pelukan, kejutan, hingga tebakan yang lengkap dengan mainan. Menunggu momen bapak
dan anak yang penuh keceriaan.
Komentar
Posting Komentar