source from here. |
Asuransi,
baik dari perspektif dunia Barat maupun Timur (atau dalam konteks Islam) sama-sama
sejenis lembaga keuangan yang bergerak dalam bidang pertanggungan. Namun
keduanya berdiri di atas paradigma yang jelas berbeda satu sama lain. Dasar
yang menjadi semangat operasional asuransi modern adalah berorientasikan pada
sistem kapitalis yang intinya hanya bermain dalam pengumpulan modal dan kurang
mempunyai akar untuk pengembangan ekonomi pada tataran yang lebih komprehensif.
Lain halnya dengan asuransi pada konteks Islam yang lebih cenderung bernuansa
sosial. Hal tersebut dikarenakan ada aspek tolong-menolong yang menjadi dasar
utama penegakkan asuransi dalam Islam.
Perbedaan paradigma pembangun tersebut semakin kentara jika turut ditinjau dari segi historis, yang pun, keduanya sangat berseberangan.Asuransi konvensional berangkat dari kebiasaan para pelaut yang membayar kas sebagai upaya berjaga-jaga atas berbagai kemungkinan tak diinginkan yang bisa saja terjadi selama berlayar. Bayaran tersebut merupakan upaya pengalihan yang bisa menutupi risiko kerugian yang mungkin terjadi. Sedangkan lain halnya dengan asuransi Islam yang bermula dari konsep aqilah yang bahkan sudah menjadi kebiasaan suku Arab jauh sebelum Islam datang. Terdapatnya pemberlakuan aqilah pada salah satu poin Piagam Madinah menjadi bukti bahwa Rasulullah Saw. pun mengakui kebiasaan tersebut.
Aqilah mengandung
pengertian saling memikul dan bertanggung jawab bagi keluarga. Praktik yang
biasa terjadi pada suku Arab kuno ini berlaku jika seorang anggota suku
melakukan pembunuhan terhadap anggota suku yang lain, maka ahli waris korban
akan mendapatkan bayaran sejumlah uang darah sebagai penggantian kerugian dalam
hal finansial dari sanak keluarga pembunuh. Penggantian kerugian yang dilakukan
oleh keluarga pembunuh itu disebut sebagai aqilah.
Praktik aqilah ini terus dikembangkan pada pemerintahan Khulafa’ al-Rasyidin, khususnya pada masa Umar bin Khattab. Pada waktu
itu, pemerintah mendorong para penduduk untuk melakukan aqilah secara nasional. Pada masa pemerintahannya, Umar r.a.
memerintahkan didirikannya sebuah Diwan al-Mujahidin di beberapa distrik. Siapa
saja yang namanya tercatat dalam Diwan al-Mujahidin harus membayar aqilah akibat melakukan pembunuhan yang
dilakukan oleh seseorang di dalam suku mereka.
Pengadopsian
aqilah ke dalam kebijakan pemerintah
itu tak hanya sebagai bentuk hukuman bagi para pelaku pembunuhan semata,
melainkan titiknya lebih terfokus pada asas taawun
terhadap keluarga yang ditinggalkan. Apalagi tolong menolong dalam Islam
menempati posisi yang cukup urgen. Salah satunya dinyatakan dalam potongan
surat Al-Maidah ayat dua yang artinya:
“... Dan tolong menolonglah kamu dalam
(mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat
dosa dan permusuhan. Bertakwalah kepada Allah, sungguh, Allah sangat berat
siksa-Nya.” (QS. Al-Maidah: 2)
Sikap
tolong-menolong adalah ciri khas umat muslim sejak zaman Rasulullah Saw. Pada
masa itu tak ada seorang muslim pun membiarkan muslim lainnya kesusahan. Hal
ini tergambar jelas ketika terjadinya hijrah umat muslim Mekkah ke Madinah, di
mana kaum Anshar atau muslim Madinah menerima dengan baik kedatangan mereka yang
seiman dengan sambutan meriah, kemudian mempersilakan segalanya bagi para
muhajirin.
Lebih tegasnya, Allah berfirman
dalam Surat At-Taubah ayat 71 yang artinya:
“Dan orang-orang yang beriman, laki-laki dan
perempuan, sebagian mereka menjadi penolong bagi sebagian yang lain. Mereka
menyuruh (berbuat) yang makruf, dan mencegah dari yang mungkar, melaksanakan
salat, menunaikan zakat, dan taat kepada Allah dan Rasul-Nya. Mereka akan
diberi rahmat oleh Allah. Sungguh, Allah Mahaperkasa, Mahabijaksana.”
Fakta
tersebutmenjadi salah satu alasan pentingnya praktik asuransi syariah. Asuransi
syariah dalam wujud institusi keuangan resmi menjadi perangkat yang merangkul
dan mewadahi umat muslim untuk saling tolong-menolong.Terlebih jika pihak yang
memerlukan pertolongan berada pada ruang lingkup yang cakupannya luas, padat,
bahkan kompleks, hadirnya asuransi syariah dalam bentuk lembaga legal bisa
menjadi salah satu oase yang menyejukkan.Sehingga, umat muslim tetap bisa
menolong muslim lainnya tanpa terkendala ruang lingkup jarak bahkan nominal
karena kehadiran asuransi syariah yang mengorganisirupaya taawun agar tetap
terwujud.
Jadi,
titik tekan asuransi syariah bukan pada pengalihan risiko seperti halnya
asuransi konvensional, melainkan pada konsep taawun yang urgensi pengaplikasiannya dikatakan oleh Surat
Al-Maidah ayat dua. Paradigma tersebut juga sesuai dengan jejak historis yang
melatarbelakanginya.
Meski
begitu, perwujudan lembaga asuransi syariah masih terus diwarnai pro-kontra di
masyarakat. Mayoritas pihak kontra beranggapan bahwa terlibat dalam asuransi sama dengan mendahului takdir
Allah dan mengingkari rahmat-Nya sebab menjadikan hidup-mati (ketetapan) manusia
sebagai objek bisnis. Padahal segalanya telah ditentukan oleh Allah, seperti
dalam QS. Huud ayat 6 yang artinya: “Dan tidak ada satu pun makhluk bergerak
(bernyawa) di bumi melainkan semuanya dijamin Allah rezekinya.”
Selain itu, penolakan tersebut juga
dikarenakan mereka menyamaratakan sudut pandang pada asuransi syariah dengan
asuransi konvensional yang mengusung upaya pengalihan risiko. Bukan pada sudut
pandang taawun seperti yang dibahas
dalam literatur Islam kebanyakan.
Jika
perbedaan paradigma tersebut dikaitkan pada pelaksanaan asuransi di tataran
empiris, maka perilaku para pelakunya pun akan berbeda pula. Seorang yang masuk
sebagai nasabah di asuransi konvensional, akan mempunyai pemikiran bagaimana
dia mendapatkan keuntungan dari perusahaan asuransi tersebut. Logika ini
sejalan dengan nilai dasar operasional asuransi konvensional itu sendiri. Beda
halnya dengan asuransi syariah yang berasaskan taawun sehingga tak mengiming-imingi perihal tersebut. Kesyariahan sebuah lembaga asuransi
syariah bahkan harus dipertanyakan jika ditemui transaksi serupa di sana.
Di luar perbedaan itu, lagi pula asuransi merupakan bagian dari wilayah
muamalah yang hukum atas segala sesuatunya adalah mubah selama tidak ada
dalil yang melarang. Pun sejauh pengaplikasiannya tidak menyalahi batas koridor
ekonomi Islam, apalagi jika pelaksanaannya malah mendatangkan kemaslahatan bagi
tak sedikit umat.
Last but not least, semuanya bergantung pada niat, sebenarnya. Hanya
saja, aspek niat kerap terasa terlalu abstrak dan normatif jika harus
disandingkan dengan pembahasan yang lebih bersifat operasional.
Sumber:
Al-Quran Al-Karim
Ali, Hasan. Asuransi dalam Perspektif Hukum Islam. Jakarta: Prenada Media, 2003.
Sumber:
Al-Quran Al-Karim
Ali, Hasan. Asuransi dalam Perspektif Hukum Islam. Jakarta: Prenada Media, 2003.
Komentar
Posting Komentar