source from here |
Ada cukup banyak dalil yang dijadikan landasan
mengenai pelaksanaan asuransi syariah, baik dalam Al-Quran maupun melalui
hadits Rasulullah saw. Uniknya, nyaris semua dari dalil yang dijadikan titik
pangkal itu seakan menunjukkan bahwa konsep asuransi dalam Islam sebenarnya
sudah dikenal bahkan diterapkan sejak zaman dahulu kala, hanya saja, tataran
penerapannya yang masih begitu sederhana.
Al-Quran bahkan menunjukkan bahwa konsep asuransi
sudah dikenal jauh pada masa sebelum Masehi dulu. Salah satu yang bisa
dijadikan contoh adalah kisah yang terekam dalam Surat Yusuf ayat 42 sampai 49.
Adalah Nabi Yusuf yang menakwilkan mimpi sang raja bahwa akan ada panen yang
berlimpah selama tujuh tahun lamanya, namun akan disusul masa paceklik di tujuh
tahun berikutnya. Untuk berjaga-jaga terhadap bencana kelaparan yang mungkin
terjadi, raja mengikuti saran Nabi Yusuf untuk mencadangkan hasil panen yang
berlimpah di tujuh tahun pertama agar bisa menunjang kebutuhan pangan di masa
paceklik tujuh tahun berikutnya.
Selain itu, terdapat juga satu hadits yang paling
sering dijadikan landasan yang menguatkan konsep asuransi dalam konteks Islam.
Hadits yang mengangkat aspek historis ini, bukan hanya menggambarkan konsep
awal asuransi yang dipraktikkan dalam Islam, melainkan sekaligus pula menunjukkan
bahwa terdapat perbedaan paradigma antara pelaksanaan asuransi konvensional
dengan asuransi syariah.
Artinya:
“Diriwayatkan oleh Abu Hurairah ra, dia berkata:
Berselisih dua orang wanita dari suku Huzail, kemudian salah satu wanita
tersebut melempar batu ke wanita yang lain sehingga mengakibatkan kematian
wanita tersebut beserta janin yang dikandungnya. Maka ahli waris dari wanita
yang meninggal tersebut mengadukan peristiwa tersebut kepada Rasulullah SAW.,
maka Rasulullah SAW. memutuskan ganti rugi dari pembunuhan terhadap janin
tersebut dengan pembebasan seorang budak laki-laki atau perempuan, dan memutuskan
ganti rugi kematian wanita tersebut dengan uang darah (diyat) yang dibayarkan
oleh ‘aqilahnya (kerabat dari orangtua laki-laki)." (HR. Bukhari)
Secara
harfiah ‘aqilah dapat diartikan sebagai kerabat dari orangtua laki-laki.
Adapun Murtadha Mutahhari mengemukakan salah satu ungkapan masyhur yang
berbunyi al-diyat ‘ala al-‘aqilah. Di dalam bahasa Arab, al-‘aqil adalah
orang yang membayar denda, atau jika dikaitkan pada hadits di atas, yang
menjadi ‘aqil atau pembayar denda adalah kerabat orangtua laki-laki si
pembunuh. Dalam beberapa kasus, Islam membebankan denda asuransi kepada orang
lain yang bukan merupakan pelaku pelanggaran. Namun yang menjadi sebab dalam al-diyah
harus berupa kekeliruan tanpa unsur kesengajaan. Sebab, apabila ada
kesengajaan, maka tidak ada tanggung jawab untuk memikul asuransi.
Namun
ternyata terdapat beberapa tanggapan yang berbeda berkenaan digunakannya hadits
di atas untuk dijadikan landasan asuransi. Ada satu pihak yang menyetujui, pun
sebelah pihak menyuarakan reaksi sebaliknya.
Pihak
yang sepakat mengatakan bahwa tradisi ‘aqilah sudah sejalan dengan
konsep asuransi syariah. Menurut Muhammad Muhsin Khan, redaksi ‘aqilah yang
berarti ashaabah menunjukkan hubungan ayah dengan pelaku pembunuhan. Meski
secara harfiah begitu, namun ide pokok dari ‘aqilah sebenarnya adalah
suku Arab pada zaman dahulu harus siap untuk melakukan kontribusi finansial
atas nama pembunuh untuk membayar kepada pewaris korban. Hal ini diperkuat pula
oleh pasal khusus dalam Konstitusi Madinah yang memuat semangat untuk saling
menanggung bersama, yakni pasal 3 yang isinya sebagai berikut:
“Orang Quraisy yang melakukan perpindahan (ke
Madinah) melakukan pertanggungan bersama dan akan saling bekerja sama membayar
uang darah di antara mereka.”
Kesediaan
untuk membayar uang darah (diyat) itu dapat dipersamakan dengan
pembayaran premi pada praktik asuransi hari ini. Sementara itu pembayaran di
bawah ‘aqilah dapat disamakan dengan penggantian kerugian (indemnity)
seperti praktik asuransi hari ini. Penggantian kerugian itu merupakan bentuk perlindungan
dalam bidang keuangan bagi ahli waris dari sebuah kematian yang tidak
diharapkan (insurable interest), dan jika penggantian tersebut tidak
dipenuhi, kemungkinan besar ahli waris yang ditinggalkan akan menderita.
Selain
itu, pihak yang sepakat juga melandaskan pada ayat yang menjadi paradigma dasar
penerapan asuransi syariah, yakni petikan surat al-Maidah ayat 2 yang artinya:
“Dan
tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan
toong-menolonglah dalam berbuat dosa dan permusuhan. Bertakwalah kepada Allah,
sungguh, Allah sangat berat siksa-Nya.”
Sedangkan
mereka yang tak sepakat berpedoman pada pendapat yang dikemukakan oleh Ibn
Battal. Maksudnya, diyat perempuan yang terbunuh menjadi tanggungan ayah
dan ashabah dari perempuan yang membunuh. Karena itulah saudara seibu
tidak turut menanggung diyat-nya, karena diyat hanya menjadi
tanggungan ashabah. Konotasi hadits tersebut adalah bahwa orang yang
mewarisinya tidak menanggung diyat jika tidak termasuk dari ashabah
si perempuan pembunuh. Ibn al-Mundzir mengatakan bahwa pernyataan tersebut
telah disepakati oleh para ulama.
Oleh
karena itu, hadits tersebut belum tepat jika diterapkan dalam konteks asuransi
karena maksud ‘aqilah di sana adalah jika ada salah satu anggota suku
yang melakukan pembunuhan terhadap anggota suku yang lain, maka yang harus
bertanggungjawab membayar diyat adalah kerabat orangtua laki-laki atau ashabah
si pembunuh. Dengan kata lain, ini sama saja bahwa orang yang membunuhlah yang
menanggung diyat atas perbuatannya, hanya saja diwakili oleh pihak asahabah.
Tentu saja hal ini berbeda dengan sistem asuransi yang dipraktikkan saat ini, yang
mana, pihak penanggung kerugian adalah anggota asuransi dengan mengambil iuran
anggota yang mereka bayarkan pada perusahaan asuransi. Anggota asuransi, yang
bahkan, sama sekali tak memiliki hubungan kekerabatan dengan tertanggung yang
mengajukan klaim.
Bagaimanapun,
perbedaan pendapat akan selalu ada. Hal ini dikarenakan interpretasi setiap
individu yang tak mungkin lepas dari keberagaman. Terpenting adalah bukan
menghakimi ini benar dan itu salah, tetapi bagaimana bisa berpendapat dengan
merangkun argumentasi yang tepat serta berterima.
Wallahu
a’lam bishawab.
Sumber rujukan:
Hasan, Ali. Asuransi dalam Perspektif
Hukum Islam: Suatu Tinjauan Analisis Historis, Teoritis, dan Praktis.
Jakarta: Kencana, 2004.
Komentar
Posting Komentar