Adanya dua akad utama adalah salah satu aspek yang
membedakan asuransi syariah dengan konvensional. Tak lain dan tak bukan adalah
akad tabarru dan akad tijarah. Seperti diputuskan dalam Fatwa DSN-MUI No. 21
tentang Pedoman Umum Asuransi Syariah, bahwa akad tijarah adalah semua bentuk
akad yang dilakukan untuk tujuan komersial, sedangkan sebaliknya, akad tabarru
ditujukan untuk tujuan yang bersifat kebajikan dan tolong-menolong.
Perlu
diperjelas terlebih dahulu, bahwa pembagian akad tabarru’ dan tijarah bukanlah akad
dalam konteks produk yang ditawarkan kepada nasabah, melainkan lebih menekankan
pada pembagian dua pos rekening yang nantinya harus diperlakukan dengan cara
berbeda. Oleh karena itu, berangkat dari hal ini, maka akan ada dua jenis dana
yang dikelola dalam operasional asuransi syariah, Adalah dana tabarru’ dan dana
tijarah.
Selain itu, seperti yang telah disinggung di
beberapa tulisan ke belakang, bahwa perbedaan penekanan pada segi normatif pun
menempati posisi yang sangat penting untuk diperhatikan. Asas taawun yang
menjadi pijakan utama asuransi syariah harus mendapat perhatian yang maksimal
karena efektivitas keberjalanan aspek ini yang akan menentukan citra asuransi
syariah di masyarakat umum. Salah satu upaya dari para ulama untuk memperkokoh nilai
spiritual dalam operasional asuransi syariah adalah dengan dirumuskannya Fatwa
DSN-MUI No. 53 yang secara khusus menguraikan akad tabarru’ pada asuransi
syariah.
Akad tabarru’ harus diperlakukan dengan
sebenar-benarnya pengelolaan. Bukan sekadar baik. Hal ini karena dana pada
rekening tabarru’ ini adalah milik umat. Pun, pan perusahaan asuransi sebagai
pengelola terikat janji bukan hanya secara horizontal dengan nasabah, sekaligus
mencakup aspek transendental yang mana sangat diharuskan untuk memenuhi setiap
akad yang telah saling disepakati.
Oleh karena itu, agar tidak bercampur dengan –khususnya,
dana pada rekening tijarah yang diorientasikan pada keuntungan material, maka
pembukuan antara keduanya harus dicatat secara terpisah. Agar dana pada
rekening tabarru’ produktif, tak ada pelarangan dalam fatwa untuk menginvestasikan
dana tabarru’ tersebut. Pembolehan tersebut tentu saja diiringi dengan rentetan
catatan yang pada esensinya harus disepakati kedua belah pihak –yakni pihak
asuransi dan nasabah, agar tak ada salah satu yang merasa dirugikan.
Itu berarti ada dua sumber aliran yang mengisi rekening
dana tabarru’, yakni pemasukan dari pembayaran premi yang telah terlebih dahulu
dipecahkan dengan dana tijarah sesuai prosentasenya masing-masing, serta hasil
dari investasi dana tabarru’. Nominal pada rekening tabarru’ tersebut adalah
sejumlah dana yang nantinya akan disalurkan kepada nasabah yang mengajukan
klaim. Jika klaim masuk seimbang dengan datangnya pembayaran premi, maka
kondisi dana pada rekening tabarru’ dapat dipastikan baik-baik saja.
Namun akan menjadi berbeda jika terjadi
ketidakseimbangan cash-flow antara keduanya. Baik surplus klaim masuk
maupun minimnya nasabah yang mengajukan klaim, sama-sama akan menimbulkan
persoalan jika tak disikapi dengan tepat.
Ada dua kemungkinan kondisi yang melekat pada pengelolaan
dana asuransi syariah, yaitu surplus underwriting dan defisit
underwriting.
Surplus underwriting adalah kondisi di mana pembayaran premi yang terus
berdatangan disertai hasil investasi yang melimpah, sementara hanya sedikit
nasabah yang mengajukan klaim sehingga terdapat kelebihan sisa dana pada
rekening tabarru’. Sampai titik ini sebenarnya tak menjadi masalah. Kelebihan dana
lebih baik dibanding harus bergelung dengan masalah likuiditas yang terhambat
karena minimnya dana. Namun jika menilik pada flow concept terhadap
uang, banyaknya dana yang menganggur tersebut tentu menjadi masalah. Pun, jika
harus merunut pada salah satu nilai ekonomi Islam yang tidak menghendaki adanya
harta yang bergelimang di kalangan tertentu saja –dengan kata lain seperti
halnya flow concept, bahwa harta yang idle tersebut harus
diproduktifkan, maka ada tiga opsi yang ditawarkan fatwa ini untuk memperlakukan
kelebihan dana tabarru’ tersebut dengan tepat. Tiga alternetif jika terdapat
surplus underwriting atas dana tabarru’ tersebut meliputi:
a. Diperlakukan seluruhnya sebagai dana
cadangan dalam akun tabarru’;
b. Disimpan sebagian sebagai dana cadangan
dan dibagikan sebagian lainnya kepada para peserta yang memenuhi syrat
aktuaria/manajemen risiko; dan
c. Disimpan sebagian sebagai dana cadangan
dan dapat dibagikan sebagian lainnya kepada perusahaan asuransi dan para peserta
sepanjang disepakati oleh para peserta.
Sementara sebaliknya, defisit underwriting adalah
kondisi saat dana pada rekening tabarru’ tak mampu mencukupi penarikan klaim
yang over atau di luar dugaan. Dalam hal ini perusahaan asuransi sebagai
pengelola harus mampu mencari sumber dana untuk menutupi semua penarikan klaim.
Ada dua pilihan dalam fatwa yang bisa dipertimbangkan saat menghadapi kondisi deficit
underwriting, yakni:
a.
Jika terjadi deficit underwriting atas dana tabarru’ maka
perusahaan asuransi wajin menanggulangi kekurangan tersebut dalam bentuk Qardh;
dan
b.
Pengembalian dana qardh kepada perusahaan asuransi disisihkan
dari dana tabarru’.
Selain dari nilai filosifis dan pembagian pos
rekening yang berbeda, asuransi syariah dan konvensional berbeda pula dalam
segi pemberlakuan akad yang disuguhkan kepada nasabah. Jika pada asuransi
konvensional tak ada pilihan jenis akad, maka asuransi konvensional hadir
dengan produk jasa yang lebih bervariatif dengan hasil yang tak kalah menarik
pula. Beberapa akad atas produk yang bisa menjadi pilihan nasabah di asuransi
syariah diantaranya adalah mudharabah, mudharabah musyarakah, wakalah
bil ujrah, dan qardh. Tak sama akan produk yang dipilih, akan
menjadi membedakan pula skema yang akan berlangsung selama transaksi tersebut
berlangsung.
Pada intinya, keberadaan asuransi syariah dalam
perekonomian Indonesia diiringi pula oleh regulasi yang makin hari kian
mendukung keberjalanan operasional asuransi syariah di Indonesia. Hadirnya
fatwa-fatwa dari MUI pun sebagai upaya untuk menyeimbangkan antara das
sollen dan das sein asuransi syariah dalam tataran teoritis dengan
lapangan praktis.
Alih wahana dari Fatwa DSN-MUI No. 53 Tahun 2006 tentang Akad Tabarru' pada Asuransi Syariah
Komentar
Posting Komentar