Surga juga ada di telapak kaki ayah –pada setiap langkah yang ia ambil untuk terus menyambung nafas dan menumbuhkanmu, ada surga. (Seribu Wajah Ayah – hlm. 16)
Ayah, salah satu bilah tervital
dalam hidup yang dikatakan Rasulullah setelah penyebutan Ibu yang diulang
sebanyak tiga kali.
Ibu, ibu, ibu, baru ayah.
Repetisi yang menomorempatkan
ayah bukan berarti kita harus menomorsekiankan pula sosok itu dalam
hidup. Tidak sama sekali.
Memang, kebanyakan figur ayah tidak sama dengan ibu. Jika ibu seakan tak
pernah kehabisan agenda kata yang berlalu lalang di telinga kita, beda halnya
dengan ayah yang bahkan seolah enggan untuk bersuara walau hanya sekecap. Pun, sering
kali kita lebih nyaman bersandar di punggung ibu yang ekspresif dibanding harus
bercengkrama dengan sosok ayah yang cenderung defensif.
Meski tidak menutup
kemungkinan tidak semua ayah berkarakter begitu, tapi itu juga tak dapat
dipungkiri, kan?
Cinta ayah kerap tak terlihat. Saking tak kasat matanya, tak sedikit
anak yang beranggapan kalau mereka tak merasakan kehadiran ayah dalam hari.
Bahkan mungkin sosok itu sama sekali tak melekat dalam hati. Sekali-kali
tidak. Itu sama sekali tidak benar. Jika ibu bisa dengan mudah mengurai air
mata untuk kita, maka tengoklah, dengan wajah datarnya ayah akan berbalik dan
menunduk di pojok yang tak mata kita jangkau. Saat itulah, getaran punggung
yang dengan susah payah ayah tahan akan bertransformasi menjadi guncangan. Ayah
terisak. Tanpa terpapar pandangan siapa pun. Terlebih anaknya.
Setelah ayahnya
meninggal, dalam tangisannya Jisuk menapak tilas ke ingatan tepat saat ia hendak
berangkat ke Seoul untuk kuliah. Tampak ibunya menangis tersedu saat kereta itu
melaju. Sementara, ayah tetap di posisi. Begitu kereta itu melaju, ayah lantas
berbalik. Perlahan, raut wajahnya berubah. Berawal dari ekspresi tanpa emosi, berganti
menjadi senyum haru, sampai akhirnya titik-titik air di kelopak tak lagi mampu
ia tindak.
Tak banyak emosi yang menggurat tatkala Jisuk memutar satu demi satu kenangan
dengan ayahnya. Tapi tiga kalimat inilah yang kemudian membenak dan membuat Jisuk
kian terisak:
“Aku kira aku tidak menyukai ayahku. Aku kira aku membenci ayahku. Aku kira aku tidak punya kenangan tentang dia dan aku tak merindukannya.”
Dalam dua buku ini pun, kita akan diajak untuk memandang sosok ayah
seutuhnya. Sebagaimana, semestinya, dan memang begitulah ia. Ayah yang punya
cara berbeda dan luar biasa dalam mencurahkan cinta dan kasih sayang pada
anaknya.
source from azharologia |
Judul : Seribu Wajah Ayah
Penulis : Azhar Nurun Ala
Penerbit : Azharologia
Terbit : Cetakan ketiga, April 2016
Tebal
buku : 148 halaman
Harga : Rp. 49.000,-
Tak banyak yang berubah di sana. Letak jam dinding, lemari tua berbahan kayu jati yang sudah terlalu penuh oleh buku, foto ibumu ketika muda –ah iya, ia memang tak sempat tua. Di meja baca ayahmu, tergeletak sebuah benda berbentuk buku dengan sampul biru yang tidak terlalu tebal, usang, tapi tampak sangat terawat. Kamu, sebelumnya tak mengira bahwa itu adalah album foto.
Sejak kecil, salah satu kegemaranmu adalah melihat album foto berulang-ulang sampai kamu hampir hafal semua foto di dalamnya. Tapi, album foto ini seperti tidak pernah kamu lihat. Tak banyak gambar di dalamnya, hanya ada sepuluh. Dan hampir semua foto punya karakteristik yang sama: hanya ada kamu dan ayahmu di dalam foto itu. Hanya kalian berdua.
Malam itu, kau dipaksa untuk menengok ke belakang sampai lehermu pegal. Kau dipaksa untuk berkejar-kejaran dengan waktu untuk kembali memunguti potongan-potongan masa lalu. Ada sesal di sana, tentang ketulusan yang kau campakkan. Tentang rindu yang dibawa pergi. Tentang budi yang tak sempat –dan memang tak akan pernah– terbalas.
Seribu wajah ayah sekalipun yang kau kenang dan ratapi malam itu, tak ‘kan pernah mengembalikannya.
Ah, buku ini luar biasa. Bukan hanya membuat kita
terharu, tergugu, bahkan –seperti pada blurb, membuat leher kita pegal
karena kisah ini memaksa kita untuk menengok menapaki masa lalu. Saat kita
masih lugu dan oleh ayah dipangku.
Cerita dalam buku ini disusun oleh sepuluh foto yang dibelam album usang
berwarna biru.
Sepuluh foto itu sama. Menampilkan wajahmu dan wajah ayahmu. Ya, kalian
berdua. Dan selalu ada cerita luar biasa di balik satu per satu gambar itu. Satu
potret, satu kisah. Tentu saja.
Satu demi satu, foto itu diceritakan. Penceritaan kesepuluh foto itu
membentuk alur maju mundur yang membuat penasaran. Bukan hanya itu, orang
kedua-lah sudut pandang yang digunakan. Kamu-an. Otomatis, pembaca
menjadi pemeran utama di sini. Si kamu.
Kamu. Anak lelaki sang ayah yang diceritakan di awal, didera
sesal yang teramat sangat. Sesal yang bercokol dan tertanam sangat kuat di
benak.
Ayahmu dipilih untuk pergi lebih dulu –meninggalkanmu bersama penyesalan yang dalam. (SWA – hlm. 138)
Jadi penasaran, kan? Apa sih yang aku (re: pembaca) lakukan sebagai kamu
terhadap sang ayah? Sampai bisa-bisanya dibuat begitu tergugu oleh album usang
berwarna biru? Apa sih kesalahan yang kamu perbuat hingga bukan hanya
dicekam sesak yang beranak pinak di benak, tapi juga dihantui rasa bersalah
karena telah mendurhaka pada sang ayah yang telah tiada.
Padahal, selalu ada kisah mengharukan di balik potret kamu dengan sang
ayah di sana.
Foto hanyalah gambar yang beku sebelum kenangan mencairkannya menjadi sungai rindu yang mengalir di dalam nadi. (Hlm. 137)
Kamu yang baru menyapa dunia menjadi foto pembuka di
album itu. Tentu saja dalam gendongan ayah yang tetap tersenyum cerah meski
keringat membuat seragamnya basah. Senyum haru yang sebentar kemudian berganti
menjadi tangis gugu karena ibumu, ternyata harus gugur tatkala melahirkanmu ke
dunia.
Tanpa didampingi istrinya yang tak lain dan tak bukan adalah ibumu, ayah
yang melankolik membesarkanmu dengan cerita. Ia, adalah ayah yang sekaligus
juga menjadi ibu. Bahkan kamu mendeklamasikannya dalam sebuah foto di mana kamu
berdiri berdampingan dengan ayah di atas panggung. Itu adalah saat kamu membaca
puisi untuk perayaan hari ibu. Meski tak sempat mengenal ibu, kamu tetap bisa tampil
di sana. Membaca puisi yang salah satu lariknya berbunyi, ‘Ibuku adalah
ayahku’.
“Hidup ndak bisa dijalani dengan kata ‘kalau’, ‘seandainya’, dan ‘sejenisnya’. Sudah sepuluh tahun Ayah hidup tanpa ibumu, Alhamdulillah, Allah masih menyayangi kita. Kita, Nak. Kita akan menyusul ibumu.” (Hlm. 81-82)
Satu demi satu foto berlalu. Kamu semakin tumbuh dan mendewasa. Bukan
lagi anak yang setiap saat berbagi cerita tentang keseharian di sekolah, namun
mulai berubah menjadi lelaki yang semakin enggan untuk berbagi cerita dengan
ayah. Percakapan hanya sesekali.
Sampai kemudian, penasaranku terjawab di halaman-halaman akhir.
Kamu yang dibesarkan dengan kelembutan oleh ayah, untuk pertama kalinya berbicara
dengan nada tinggi. Pada ayahmu pula. Sosok yang telah membesarkanmu dengan
kelembutan. Untuk pertama kalinya kamu bersikap keras pada ayah, hanya karena ia
meminta agar kamu tetap tinggal di dekatnya.
“Kenapa Ayah jadi kekanak-kanakan gini?!”
“Mungkin memang begitu, Ayah sekarang jadi kekanak-kanakkan.” (Hlm. 122)
Membaca buku ini, aku seakan diajak untuk menelusuri dan memaknai hubungan
orangtua-anak dalam realitas kehidupan. Orangtua yang dengan sepenuh hati merawat,
mendidik, membesarkan, menjaga, sampai mengantarkan sang anak untuk sampai di
ambang kesuksesan. Kesuksesan yang melenakan. Yang dengan
mengatasnamakan kesuksesan, tak sedikit anak mengabaikan orangtua. Meninggalkan
orangtua yang bahkan hanya ingin berdekatan dengan anak. Ya, sejatinya mereka
tak pernah ingin lebih. Hanya kita, anak, ada di sampingnya itu sudah sangat
cukup. Sampai kemudian, tuntutan untuk sukses membuatnya terlambat dan
didera sesal yang tak terkira.
Kebanyakan memang seperti itu, kan?
Ah, itulah kita. Kita yang terlalu suka menunda dan terlalu terbiasa mewajarka penyesalan. (Hlm. 145)
Begitu kurang lebih yang dihaturkan dalam novel ini.
Novel? Seperti yang penulisnya katakan, aku setuju kalau ini bukan
sekadar novel. Sebab kontennya tidak sekadar cerita yang memainkan dialog dan
narasi secara bergantian. Melainkan tak sedikit pula dijumpai kritik-kritik
akan banyak hal yang begitu dekat dengan keseharian. Nilai plusnya lagi, penyertaan
sumber akan fakta-fakta yang dipaparkan penulis. Eksekusinya yang rapi dan apik
membuatnya tetap menyatu dengan alur cerita. Jadi nggak melebar kemana-mana
juga.
Seperti kata penulis pula, bahwa buku ini adalah buah kontemplasi.
Sebab membacanya membuat kita merenungkan banyak hal. Terkhusus merenungkan
status kita sebagai anak dan bagaimanaharusnya kita pada
orangtua.
Foto ke sepuluh yang menjadi gambar penutup di sini sangat mengejutkan. Makin
nyesek serius. Adalah foto ayahmu yang hanya seorang diri. Di sampingnya
ditempelkan cermin yang seukuran dengan foto ayahmu. Dan saat album itu
dihadapkan ke arahmu, wajahmu tampil di sana berdampingan dengan foto ayahmu. Di
bawah foto itu tertulis pesan yang membuat dadamu semakin sesak.
Mau tahu pesannya apa?
Baca :) hihiii
Kedua adalah bukunya Boy Candra. Berjudul Surat Kecil
untuk Ayah.
gambar dari blog penulis (rasalelaki.blogspot.co.id) |
Judul :
Surat Kecil untuk Ayah
Penulis :
Boy Candra
Penerbit :
Bukune
Terbit :
2015
Tebal buku :
viii + 188 halaman
ISBN :
978-602-220-170-0
Harga :
Rp. 48.000,-
Dear, Ayah
Apa kabar? Kuharap kau selalu dalam keadaan baik dan sehat. Tak terasa waktu bergulir dan aku beranjak dewasa. Tapi, semangat dan tenagamu untuk kami sekeluarga tak pernah pudar sedikit pun.
‘Kagum’ setidaknya hanya kata kecil yang bisa kuucapkan. Ayah, sungguh kuingin membuatmu bahagia juga bangga. Di relung hati kusematkan namamu dalam doa. Aku sayang Auah. Maaf, aku tak pernah mengatakannya ....
Surat Kecil untuk Ayah adalah kumpulan cerita dari Boy Candra yang mengambil tema sosok ayah. Tentang laki-laki yang selalu menyisihkan waktu demi anaknya, bekerja kerasa seolah tanpa balas, dan dipenuhi cinta untuk keluarganya. Namun, Ayah juga tetap manusia yang punya ceritanya sendiri. Dia mungkin tidak selalu tegap dan jalannya sesekali meragu.Memang, ketegaran seorang ayah kadang membuat kita lupa: bahwa dia juga seorang manusia.
Cover buku ini cute
sekaliii. Tadinya aku pikir ini adalah novel utuh. Tapi ternyata, ini
adalah kumpulan cerita. Wahh, aku kurang jeli. Padahal sudah jelas-jelas di blurb-nya
dikatakan kalau ‘Surat Kecil untuk Ayah adalah kumpulan cerita dari
Boy Candra’. Hemz, tapi nggak apa-apa, sih. Kisah-kisah di dalamnya sangat
inspiratif, kok.
Di dalam buku ini, terdapat delapan belas judul cerita pendek yang
datang dari berbagai penjuru berbeda. Semua penceritaan dibawakan oleh sang
anak dengan latar belakang ayah yang beragam. Mulai dari ayah yang pekerja
kasar sampai yang duduk di kantoran. Ada yang ayahnya single parent, pun
yang masih lengkap dengan sosok ibu. Perasaan pembaca saat beranjak dari satu
kisah ke halaman lain pun turut berganti. Ayah yang terbaring sakit, ayah
kesepian yang kemudian memutuskan menghadirkan sosok ibu tiri, pun ayah yang
beranjak pergi.
Semua cerita pendek di sini berkisah tentang sosok ayah. Plus-minus apa
pun yang melekat padanya, tetap ia adalah ayah yang merupakan bagian penting di
hati.
Hidupkanlah lagi ayahmu di dalam hatimu –panjangkan umurnya dengan doa-doa setelah shalat khusyukmu. (Seribu Wajah Ayah - Hlm. 146)
Meski ayahmu kini tak di sampingmu, bukan Tuhan begitu dekat dan selalu ada?
Jadi bertahanlah. (Seribu Wajah Ayah - Hlm. 147)
Jadi, melangkahlah –bahwa memang selalu ada hal lain yang lebih bijak dari mengenang: membuat cerita baru yang lebih indah. (Seribu Wajah Ayah - Hlm. 148)
Sands Casino Hotel, Las Vegas | Play Slots Games
BalasHapusA modern addition to Vegas' famous หาเงินออนไลน์ Las 카지노 Vegas Strip, Sands Casino Hotel is a premier gaming and entertainment destination 샌즈카지노 located in Las Vegas, Nevada.