source from azharologia |
Judul :
Tuhan Maha Romantis
Penulis :
Azhar Nurun Ala
Penerbit :
azharologia
Terbit :
Cetakan pertama, Februari 2014
Tebal buku :
208 halaman
Harga :
Rp. 59.000
Aku
masih duduk dalam kedai itu, ditemani dua cangkir kopi dingin yang bahkan
nampaknya lebih setia untuk terus denganku daripada kamu yang telah beranjak. Keegoisanku
mulai hadir mendramatisasi setiap hal yang terjadi. Bagaimanapun, aku tak pernah
membayangkan kita kembali dipertemukan dalam situasi sepelik ini –setidaknya bagiku.
Kulihat arloji di tanganku: 14:32. Sementara telah
bertahun-tahun aku merindukan jumpa ini, rupanya tak sampai dua jam kita bersua
dan duduk berdua. Hidup terkadang memang lucu, dagelan dengan skenario tak
tertebak yang terus menggelitik kta dengan kesenangan dan kesedihan, dengan
kebahagiaan juga kepedihan.
Bagaimana rasanya dipertemukan, jatuh cinta,
dipisahkan bertahun-tahun tanpa kejelasan apa-apa, lalu dipertemukan kembali
dalam ruang ketakberdayaan? Di ruang itu kita bisa saling menyapa, tapi kita
masing-masing terpaksa menjadi orang lain. Karena menjadi diri sendiri hanya
akan menabur garam pada tiap inchi luka yang kita rasa –luka yang kita ciptakan
sendiri.
Aku tertawa: hidup ini memang lucu.
Cerita dibuka oleh si aku dan kamu. Bercakap-cakap
di sebuah kedai kopi di Depok. Tergambar jelas atmosfer awkward yang
menyelimuti aku dan kamu. Aku dan kamu yang tampaknya masih menggagu setelah
didera tebalnya rindu yang selama lima tahun menggebu.
Belum ada kata ‘apa kabar’ atau sekadar ‘hai’ yang terucap dari kamu maupun aku, yang menandakan bahwa percakapan kita harus segera dimulai. (Hlm. 11)
Penyandingan antara POV ‘aku’-an dan POV orang
kedua si kamu itu sempat membuatku bingung. Bahkan beberapa halaman awal aku
baca dua kali. Baru paham begitu akhirnya nangkep kalau orang pertama
ternyata ditokohi oleh laki-laki, dan si kamu yang dipanggil kakak adalah perempuan.
Jadi inget Jodoh. Hihi
Begitu memasuki bab kedua, penulis mengajak pembaca
untuk napak tilas. Tepatnya terbang ke enam tahun yang lalu. Saat si tokoh aku
yang bernama Rijal Rafsanjani datang ke rumah dengan tergesa. Bukan hanya
membuat bapaknya kaget sekaligus haru, namun disusul sang ibu yang pingsan
setelah membaca secarik kertas yang diangsurkan Rijal.
Inikah rasanya menggenggam mimpi yang dulu kurasa terlalu tinggi bahkan untuk sekadar kusentuh tepinya saja? Inikah rasanya menunaikan janji pada diri sendiri sementara semua orang takut berjanji? Inikah rasanya membuat bangga orangtua? (Hlm. 28)
Singkat cerita, Rijal merantau ke Jakarta. Menuntut
ilmu sastra di Universitas Indonesia. Berjauhan dengan bapak-ibu, dan bertemu
orang-orang baru di sana. Mulai dari dijemput anak teman bapaknya, yakni A Nda’.
Pertemuan tak sengaja dengan Syaweli Saputra yang kemudian menjadi karibnya di
kampus. Kenal dengan kakak kelas ramah bernama Kak Aldi. Satu yang kemudian
terjadi di luar kendali Rijal, adalah tertawan pada seorang gadis bernama
Laras. Kakak kelas yang pertama kali ia melihatnya adalah saat Laras tengah melantunkan salah satu puisi Sapardi Djoko Damono.
Sedetik kemudian, hati Rijal resmi tertawan.
Hari demi hari, perasaan yang dipupuknya itu tumbuh
kian mekar. Sampai kemudian rasa itu harus dibungkam begitu Laras tiba-tiba
menghilang. Di tahun ketiga Rijal menyimpan perasaannya, tepat saat ia berniat
untuk menyatakannya dan mengajak Laras untuk meneruskannya ke institusi yang
halal.
Dalam novel setebal 208 halaman ini, pembaca akan
menyaksikan bagaimana seorang Rijal Rafsanjani susah-payah menjaga hatinya. Meredam
perasaan yang menggebu agar tetap berada di jalan yang Allah ridho. Bagaimana Rijal
menyampaikan setiap jengkal perasaanya pada Laras ke dalam larik demi larik
kata sampai akhirnya bisa meluncurkan tiga buah buku. Tiga buah buku. Dan semuanya
adalah untuk Laras yang tidak ia ketahui keberadannya.
Adalah merekam, satu hal yang paling menyenangkan dalam hidup ini. adalah memutar ulang dan menertawakan segala kebodohan yang terekam di dalamnya, hal paling menyenangkan nomor dua.
Sebab itu kita suka menulis. Sebab itu kita suka memotret –atau dipotret.
Barangkali karena sebagian kebahagiaan tak bisa diulang, kita menjadi pecinta rekaman-rekaman –menjadi pengagum kenangan-kenangan. Barangkali karena kita tak punya kuasa untuk memaku waktu, kita mengenang keindahan yang kita jumpai dalam gambar-gambar, dalam kata-kata –rentetan aksara yang bisa kapan saja kita baca.
Maka jangan salahkan siapa-siapa bila diam-diam aku menyimpan gambarmu. Jangan salahkan siapa-siapa bila terlalu banyak sirat namamu dalam puisi-puisiku. (Hlm. 175-176)
Dan
ada dua inti permasalahan yang kemudian bercabang dari perasaan itu. Pertama,
adalah Laras yang menghilang tiba-tiba. Kedua, pertemuan Laras dengan Rijal
lima tahun kemudian dalam situasi yang sangat pelik. Membimbangkan Rijal
akan kenyataan yang sudah ada di depan.
Keegoisanku mulai hadir mendramatisasi setiap hal yang terjadi. (Hlm. 152)
Novel dengan sudut pandang orang pertama ini
sebenarnya mempunyai alur yang sederhana. Tapi penulis berhasil mengeksekusinya
dengan manis. Aku suka permainan katanya. Selain puitis dan manis, penulis juga
banyak bereksperimen dengan menggabungkan beberapa kata sehingga menjadi klausa
yang baru.
Alur maju-mundur yang dibubuhi tanggal dan tempat
adegan tersebut berlangsung membuat pembaca jadi mudah mengikuti. Hanya saja,
yang kurang menurutku adalah, penyebab awal kepergian Laras yang tidak terlalu
digali. Tapi sebenarnya tidak masalah sih. Mungkin penulis hanya ingin
menyederhanakan cerita agar tidak melebar kemana-mana. Agar cerita tetap
berfokus pada Rijal, Laras, dan redaman perasaan masing-masing.
Poin plus, ada unsur puisinya pula di sini. Sapardi
Djoko Damono pula.
Jadi
ingat Sena dan Keara dalam Jodoh-nya Fahd Pahdepie.
Oke,
keseluruhan, buku ini aku rekomendasikan untuk kamu yang ingin tahu bagaimana
caranya menjaga hati. Bagaimana meredam sejumput rasa yang belum saatnya tumbuh
kala kita belum sampai di batas waktu yang membolehkan untuk melabuh.
Komentar
Posting Komentar