بِسْــــــــــــــــــمِ اﷲِالرَّحْمَنِ
اارَّحِيم
Judul : Jodoh
Penulis : Fahd Pahdepie
Penerbit : Bentang
Tebal
Buku : x + 246 halaman
Cetakan Kedua : 2015
ISBN : 978-602-291-118-0
Harga : Rp.50,000,-
Sumber Gambar :
goodreads
Apa itu jodoh?
Barangkali imajinasimu tentang jodoh
dan belahan jiwa begitu sederhana: di tepi pantai, kau mengandaikan ada orang
di seberang sana, yang tengah menunggumu untuk berlayar.
Namun di saat yang sama, terkadang
kau justru meragu sehingga sering kali hanya bisa menunggu, mendambakan orang yang
kau nantikan itu akan lebih dulu merakit sampannya, mengayun dayungnya, dan
mengarahkan kompasnya untuk menjemputmu.
Tetapi di laut, ombak dan isinya,
selalu menjadi misteri yang tak terduga-duga, bukan? Orang yang kau sangka
belahan jiwa sering kali hanyalah perantara, atau justru pengalih perhatian
dari belahan jiwamu yang sesungguhnya.
Ini adalah kisah tentang seorang
laki-laki dan perempuan, yang memutuskan untuk berlayar –jauh sebelum mereka
mengenal ketakutan; jauh sebelum mereka bisa membaca arah atau menebak cuaca;
bahkan jauh sebelum mereka disibukkan dengan pertanyaan-pertanyaan tentang
waktu, takdir, cinta, dan jodoh itu sendiri.
Pernah nggak, ada keinginan untuk membaca pelan
pelan novel yang kamu baca? Pernah nggak, merasakan nggak mau dulu ngabisin sisa
halaman yang kamu baca, padahal sebelumnya gregeeet luar biasa sama isi cerita.
Nggak peduli seberapa besar rasa penasaranmu akan kelanjutan cerita. Dan nggak
peduli berapa sisa halaman yang akan mengantarkanmu ke akhir cerita. Pokoknya
kamu nggak mau cepet-cepet berpisah dengan tokoh atau kehidupan dalam cerita.
Lebih parahnya lagi, kamu berharap andaikan buku itu nggak akan pernah habis.
Kalau bisa, ada keajaiban di mana si buku tiba-tiba bertransformasi mempertebal
diri menjadi dua kali lipat lebih banyak.
Kalian tahu, itu adalah yang aku rasakan saat
membaca novel ini >,<
Aku belum mau berpisah dengan Sena dan Keara! T~T
Kisah mereka berdua terlalu manis untuk berakhir di
halaman 245. Kenapa nggak sedikit lebih tebel coba? Mau berapa? 400 kayak
Perahu Kertas? Atau 600 halaman kayak Api Tauhid? Yakin? Nanti malah makin
greget mau cepet habis -_- See? Beginilah pembaca. Seringkali bahkan ‘puas’
jika penulis berhasil ‘mengecewakannya’ dengan menyajikan guliran cerita di
luar ekspektasi si pembaca.
Buku ini membuatku meyakini satu kesimpulan
mengenai pribadi Fhad Pahdepie. Aku yakin, Fahd adalah sosok romantis. Romantis
dengan caranya sendiriii >,< Bukan romatis yang udah mainstream :V
Aku setuju sama yang dibilang Dee Lestari tentang
buku ini! >,<
: MANIS
Lalu?
Pilu? Memang. Buktinya? Tak sedikit pembaca dibuat
menangis oleh buku ini. Bahkan Rizqa Abidin pun menangis, si pembaca pertama,
yang tak lain dan tak bukan adalah istri sang penulis.
Sesak? Iya. Menyaksikan sepasang insan dimabuk
cinta yang terus-menerus ‘dikerjai’ Tuhan dengan satu demi satu takdir di luar
dugaan yang berdatangan.
Tapi, aku nggak nangis ._. Mungkin karena aku sudah
terlanjur menangkap dan menyimpan semua hal-hal manis pada kisah Sena dan
Keara. Bahkan saat membaca part Sena berada di puncak patah hati pun,
aku nggak nangis. Cuma berkaca-kaca aja (?) Merinding aja, sih, ngebayangin if
i were him ._.
Ah, haruskan aku memberi lima bintang untuk novel
ini?
Ada beberapa keunikan yang dengan terampilnya Fahd
meramu semua itu di sini.
Pertama, kehadiran sajak-sajak Hujan Bulan
Juni-nya Sapardi Djoko Damono semakin menambah manis kisah Sena dan Keara. Keberadaan
kata demi kata yang berkoloni dalam bait itu semakin menambah puitisnya
penuturan Fahd di baris demi barisnya.
Aku
memperhatikanmu yang sedang membetulkan kerudungmu. Tanganmu gemetar.
Lalu, dua kalimat di paragraf awal cerita itu kontan
membuatku heran. Aku bahkan sampai mengulang bacaan sambil bergumam, “Kerudungmu?
Tanganmu? Mu? Ini narasi, kok. Bukan dialog.” Kali berikutnya bola
mataku kembali menyapu paragraf pertama di halaman satu itu. Lagi-lagi aku bergumam,
“Bener, kok. Ini narasi. Bukan dialog. Buktinya nggak ada tanda petik, kan?”
Perjalanan aku lanjutkan ke paragraf dua. Mataku
sukses melongo begitu sadar baru saja mendapatkan jawaban. “Waaah, sudut
pandang orang keduaaa?._.”
Dan yaaa, sudut pandang yang digunakan Fahd untuk pelaku
kedua di sini adalah sudut pandang orang ke-2. Dengan sudut pandang orang ke-1 untuk pelaku
utama. Jadi, pembaca seakan menjadi pendamping tokoh utama dalam cerita. Jika biasanya,
dengan POV ke-3, pembaca hanya menjadi penonton, maka di sini Fahd membawa
pembaca untuk terlibat dalam cerita. Dari awal sampai akhir, aku seakan menjadi
Keara bersama Sena –yang dalam bayanganku adalah Fahd sendiri-_-V.
“Aku ingin menerbitkan sebuah buku
yang ketika pembaca membacanya, mereka bisa mendekati tulisanku sebagai diri
mereka sendiri. Mereka bisa menjadi tokoh utama dalam cerita yang aku tuliskan!”(hlm.206)
“Aku menuliskan semuanya dalam sudut
pandang orang kedua. Aku tak memberi deskripsi mendetail dalam kisah yang
kutuliskan. Sebab, aku percaya pembacanya akan punya imajinasi tersendiri
tentang hal-hal yang sedang kuceritakan di sana.... Membentuk semacam
pergumulan pikiran dan perasaan di dalam diri mereka sendiri.”(hlm.206)
Untuk penulis sekelas dia ini biasa, mungkin sangat
mudah, tapi menurutku ini luar biasa ._. Sejauh ini, baru Jodoh-nya Fahd, novel
pertama dengan sudut pandang orang ke-2 yang aku baca. Aku memang sempat
beberapa kali membaca tulisan dengan POV serupa, tapi paling itu di cerpen. Dan
untuk novel, it’s the first time. Aku jadi ingat yang dikatakan Isa
Alamsyah dalam buku 101 Dosa Penulis Pemula, katanya, jarang ada novel yang
bisa sukses dengan POV orang kedua, karena memang membingungkan saat memindahkan
titik fokus tokoh. Dibutuhkan keterampilan dan kejelian si penulis. Dan
menurutku, di sini Fahd berhasil membangun setiap rangkaian cerita dengan POV
keduanya. Tanpa sedikit pun mengganggu unsur lain yang menyusun cerita.
Oke, lalu novel berjudul Jodoh ini menceritakan
apa, sih?
Adalah Sena yang jatuh cinta pada pandangan pertama.
Kepada Keara. Di kelas satu SD. Sekali lagi? Sekolah Dasar. Atau lebih
spesifiknya pada usia enam setengah tahun! Anak laki-laki yang tumbuh
dewasa tentang cinta tidak pada waktunya, seperti itulah Sena menyebut
dirinya sendiri.
Bayangkan!
Aku terkikik geli begitu cerita ini dibuka. Membayangkan
kebanyakan anak SD yang hari ini memang sudah sangat akrab dengan kata cinta. Beda
dengan zaman aku SD dulu. Atau dulu emang cuma aku yang nggak tahu-menahu
tentang persoalan itu? Entahlah -_-
Namun ternyata, cinta monyet kali ini tak bisa
dipandang sebelah mata. Cinta Sena pada Keara bukan cinta monyet biasa. Hingga
kemudian, perpisahan kelas 6 SD mengantarkan mereka ke tempat yang sama. Sebuah
pesantren di pelosok Kabupaten Garut. Mungkin takdir sudah bekerja sejak
lama untuk kisah kita.
Untuk meringkas panjangnya sepak terjang perjalanan
Sena mendapatkan cinta Keara, perasaan mereka akhirnya bertaut, di pondok Darul
Arqam. Coba ulangi sekali lagi? Iya, di pesantren. Bisa dibayangkan bagaimana
sebenarnya mereka terbilang nekat untuk mengenal yang namanya pacaran di tengah
lingkungan yang sudah jelas akan menentang semuanya.
Kita tahu “pacaran” tak pernah
diajarkan dalam agama kita. Tapi kita tetap melakukannya, atas nama cinta.
Dimarahi pembina. Perlakuan sinis dari kawan-kawan.
Bahkan hingga skorsing yang tak disangka akan membentangkan jarak Sena dengan
Keara. Karena hal di luar dugaan pula, tanpa Keara, Sena harus menghabiskan
sisa waktu dua tahun terakhirnya di pondok. Mungkin kita tak seharusnya
saling jatuh cinta.
Cinta sejati perlu menunggu, Key.
Perpisahan tak menyedihkan. Yang menyedihkan adalah
bila habis itu kita saling lupa, kan? Lagi, untuk meringkas cerita, setelah
berjauhan dengan Sena di pesantren dan Keara yang kembali ke Bandung, –lagi,
mereka harus berjauhan karena Sena yang melanjutkan kuliah di Yogyakarta. Sekuat
tenaga Keara memaksa agar lelaki itu tak pergi dari sisinya. Agar Sena melanjutkan
studi di kota yang sama dengannya. Namun sekuat itu pula Sena menolak. Aku
tidak akan sepenuhnya pergi, hanya tidak lagi menjadi bagian dari
peristiwa-peristiwa yang kamu alami dalam hidup milikmu.
Sena merasa bahwa dirinya tak boleh terus menerus
berada di dekat Keara. Meski pada saat yang sama, sebenarnya sebagian besar
dari dirinya memang menginginkan agar mereka tetap bersama. Selalu bersama. Selalu
berdua. Maka dengan perlahan namun pasti, sedikit demi sedikit Sena menghindari
Keara. Ia menjauh dan menarik diri dari segala sesuatu yang berkaitan dengan
Keara. Itu ia lakukan untuk membatasi perasaannya yang sebenarnya tak
terbendung. “Aku bisa mengukur diriki sendiri, Key. Seberapa besar rasa
cintaku kepadamu. Seberapa besar keinginanku untuk selalu berada di dekatmu. Dekat-dekat
denganmu. Aku tak mau terjadi sesuatu yang tidak kita inginkan di antara kita
berdua. Selalu ada semacam tarik-menarik yang begitu kuat dalam diriku, Key. Di
satu sisi aku begitu menginginkanmu, di sisi lain ada nilai-nilai dalam diriku
yang membuatku tak mungkin menjamahmu. Kita berdua tahu itu.”
Hingga akhirnya, setelah Sena di Yogyakarta, mereka
berdua benar-benar kehilangan kontak. Empat tahun lamanya.
Lalu, apa yang terjadi empat tahun
kemudian? Kalian baca aja. Baca sambil kita menunggu seberapa serius Tuhan
sedang ngerjain dua orang manusia yang saling jatuh cinta.
Masya Allah, aku menaruh perkiraan
yang jelas-jelas salah tentang novel ini. Aku kira novel ini bercerita tentang
sepasang kekasih yang nekat menikah muda -_- Ini gara-gara paragraf terakhir di
blurbsnya, sih: Ini adalah kisah tentang seorang laki-laki dan
perempuan, yang memutuskan untuk berlayar –jauh sebelum mereka mengenal
ketakutan; jauh sebelum mereka bisa membaca arah atau menebak cuaca; bahkan
jauh sebelum mereka disibukkan dengan pertanyaan-pertanyaan tentang waktu,
takdir, cinta, dan jodoh itu sendiri.
Novel ini, setidaknya memberiku
gambaran tentang salah satu kepastian hidup
yang ketidakpastiannya sering kali membuat banyak pasang manusia
bertanya-tanya, apakah kamu dan aku berjodoh? Apakah kita berjodoh?
Pemaknaanku tentang jodoh juga berubah. Salah satu
kisah yang diceritakan Sena kepada Keara seakan mematahkan banyak persepsi yang
berkembang di masyarakat tentang jodoh. Apalagi jika jodoh itu dilihat dari
sisi seorang perempuan. Fahd seolah meluruskan bagaimana seharusnya kita
menyikapi satu kata itu. Haruskah menunggu? Atau bahkan lebih dahulu menjemput?
Masing-masing dari kita adalah pengelana yang mencari belahan jiwanya. Sebagian
orang berhasil mengikuti panggilan yang dibisikkan hati setiap mereka,
sementara sebagian lainnya memilih untuk menunda atau terpaksa mengabaikannya!
Dan juga, ternyata memang benar adanya,
bahwa selama apa pun dua insan bersama, sekuat apa pun mereka mempertahankan
kebersamaan itu, jika kata “Jodoh” tak Allah sematkan, maka berpisahlah mereka.
Orang yang kau sangka belahan jiwa sering kali hanyalah perantara, atau
justru pengalih perhatian dari belahan jiwamu yang sesungguhnya.
Pergumulan dalam batin Sena membuatku
kagum luar biasa. Perang dalam hati karena kenyataan yang kadung tak bisa
dihindari, sementara di hadapan sudah sangat jelas ada ketetapan yang seolah
menentang. Pacaran itu haram. Tidak diajarkan dalam Islam.
Di satu sisi, ia ingin menjadi hamba yang taat. Terbukti
dengan rasa bersalahnya dalam petikan ini: Kali pertama jalan berdua
denganmu, Key, ada rasa bersalah begitu besar yang mengganjal dalam hatiku. Dosa
yang terasa begitu berat membebani timbangan imanku. Akan tetapi di sisi
lain, ia terlanjur tak ingin, bahkan tak mampu melepas begitu saja perasaan yang
telah lama mengendap di dada. Aku setuju soal “pacaran tak diajarkan dalam
Islam”. Tapi, rasa cinta memang tak perlu pelajaran khusus dalam agama, kan?
Aku mencintaimu begitu saja.
Oke, ini adalah novel ke sekian yang
aku baca, yang lagi-lagi seakan mengkritisi budaya yang bernama pacaran. Di sini,
dengan manisnya Fahd berhasil menjadikan problem yang kerap kali mengemuka di keseharian,
yang sekaligus selalu menjadi dilema, terutama bagi mereka, kalangan yang dapat
disebut masih dalam tahap pencarian pasangan hidup.
Dan mungkin bagi yang tengah
merasakan kegalauan serupa seperti Sena, kisah di sini bisa menjadi pencerahan.
Oh, ya. Ternyata sebagian besar cerita
di sini itu memang pengalaman pribadinya Fahd. Fahd memang jatuh cinta pada pandangan
pertama kepada istrinya sekarang, sejak SD. Udah jelas juga, Fahd dan istrinya –Rizqa
Abidin, pesantren di tempat yang sama. Berarti Keara itu, Rizqa Abidin? Iya,
sih. Tapi di sini ada semacam modifikasi tokoh dan ceritaaa. Aku stalking Fahd
abis-abisan, nih ._. Nggak tahu, tiba-tiba jadi penasaran dan tertarik aja sama
salah satu penulis ini. Dan yang dilakukan selanjutnya sepertinya adalah: mengincar
buku Fahd yang lain :3 Kenapa nggak dari dulu ya -_-
Dengan bahasanya yang ringan namun
manis dan sarat makna., selamat membaca dan memaknai jodoh! ^_^
Akhirul kalam.
Great Review, Asti! ����
BalasHapusTFR, Draaa :p
HapusAku udah baca buku-bukunya yang lain. Kcuali buku ini, belum hehe. Good review mbak :)
BalasHapusWaaah harus baca yang iniii :D
HapusKalau aku ini buku Fahd pertamaku. Dan langsung jatuh cinta hihi
Omong-omong, TFR dan makasih juga karena nggak jadi silent rider :D
setuju kak :) saya baru beli buku ini, baru baca sampe halaman 62. saya juga ngrasain kalo nggak pengen cepet2 selese baca buku ini. tapi penasaran bangett sama akhir ceritanya. oiya, saya tertarik baca buku bung Fahd Pahdepie krn kayaknya recommended bgt dr bung Azhar Nurun Ala :)
BalasHapusizin share ya kak :)
Hehehe sama berarti :D Emang iya, recommended banget :b
HapusShare aja :) dengan senang hati hihi
Makasih juga udah baca dan nggak jadi silent rider :)