بِسْــــــــــــــــــمِ اﷲِالرَّحْمَنِ
اارَّحِيم
Cerita
ini hanya karangan dan fiktif belaka
Semua
berasal dari khayalan semata
Jika ada
kesamaan nama, tokoh, dan semacamnya
Mungkin
itu sudah menjadi kehendak semesta
Selamat
membaca dan semoga suka
“Kalian pacaran?”
Pertanyaan
itu menghentikan gerakan jari-jemarinya. Dengan ekspresi yang sulit diterka,
Gita melirik Ina yang duduk di sampingnya. Bibirnya bergerak tak kentara.
Tampak bingung untuk berucap. Dan akhirnya, gadis itu hanya mengedikkan bahu.
Ina
mengernyitkan kening tak mengerti. “Maksud lo?”
Gita
mendesah pendek seraya berkata, “Well, sejauh ini gue sama dia nggak
pernah membahas masalah perasaan.”
Ina
menutup toples di meja. Gadis berkerudung cokelat itu lalu beringsut. Duduk
menghadap karibnya yang kini tertunduk murung. “Sedikit pun?”
Gita
turut meletakkan ponselnya di atas meja. Ia meraih bantal sofa dan sambil
memeluknya ia menggeleng. “Lagian, gue nggak mengharapkan sesuatu yang lebih
dari hubungan ini.”
“Lo
yakin?” Tandas Ina mengintimidasi. Mata sipitnya memicing ke arah Gita. Mencari
gelagat kebohongan di sana.
“Oke
kalau lo maksa gue buat jujur.” Delikan sebal dari Gita langsung dibalas tawa
kemenangan oleh Ina. Jeda beberapa detik sebelum kemudian gadis berkacamata itu
membuka suara, “Suka atau nggak, gue nggak berani menyimpulkan. Mungkin
perasaan ini ada karena komunikasi yang terlampau intens. Kalau keadaannya
dibalik, mungkin perasaan ini nggak akan pernah ada.”
Kalimat
panjang lebar itu membuat Ina rekfleks menepuk keningnya. “Biasanya juga kayak
gitu, kan? Suka karena terbiasa. Kalau lo tiba-tiba suka tanpa ada pembiasaan, kan
aneh?”
“Kalau
asumsinya begitu, berarti orang yang jatuh cinta pada pandangan pertama aneh
dong? Nggak masuk akal? Berarti---“ Kalimat itu lantas terhenti begitu Gita
menyadari tatapan galak Ina sudah siap menyerangnya.
“Git!
Gue tahu kalau lo lagi mengalihkan pembicaraan.”
“Gue
yang salah.”
“Maksud
lo?” Kini giliran Ina yang tampak kaget karena awan mendung seketika menyelimuti
sahabatnya.
“Harusnya
gue membatasi komunikasi sebelum malah jadi terbiasa sama kehadiran dia. Dan
....”
Ina
cepat-cepat menggeleng. “Nggak-nggak-nggak. Semuanya nggak akan jadi seperti
ini kalau nggak ada interaksi yang sama dari dia.”
Gita
memandang Ina tak mengerti. Bertanya tanpa berucap.
“Dia
juga terbiasa sama kehadiran lo. Dan menurut gue, sebenarnya dia peka. Tapi
mungkin dia sedang menunggu saat yang tepat untuk mengungkapkan perasaannya.
Dan juga---“
“INAAA!”
Kali ini Gita yang memutus teori konyol Ina dengan geram. “Lo emang sahabat
gue, tapi gue nggak suka cara lo menghibur gue.”
Mata
sipit Ina terbelalak kaget. Ia meraih segelas air mineral di meja lalu
mengangsurkannya pada Gita. “Lo minun dulu deh, Git.” Ia memberenggut memandang
gadis mungil yang baru saja membentaknya itu. “Gue nggak lagi menghibur lo.
Apalagi dengan kebohongan. Gue cuma bilang kemungkinan yang bisa saja terjadi
di balik kenyataan.”
Gita
menangkup gelas dengan kedua telapak tangannya. Dingin dari gelas itu menjalari
tubuhnya. Gilanya, ia berharap suhu itu mampu menghancurkan partikel-partikel
asing yang beberapa bulan ini bermukim di hatinya. Hal asing yang sering kali
menggelitik perutnya. Seakan banyak kupu-kupu beterbangan di sana. “Nggak akan
pernah ada yang namanya pengungkapan perasaan, Na.”
“Kenapa?”
“Karena---“
Detik
berikutnya, percakapan disalip oleh ponsel Gita yang berdering tiba-tiba.
Kedua
sudut bibirnya terangkat begitu melihat lima huruf yang berderet di layar. “Iya,
Daf? Assalamualaikum.” Ia membuka pembicaraan dengan nada riang. Rasa
senang seolah menelan topik obrolannya dengan Ina bulat-bulat.
“Waalaikumsalam.
Lagi sibuk, Git?”
“Nggak.”
Gita menggeleng meski sadar kalau Daffa tak mungkin melihatnya. “Memangnya
kenapa?”
“Kamu
nggak bales SMS aku.”
Gita
kontan menepuk keningnya seraya menukas, “Masya Allah aku lupa, Daf.
Tadi aku lagi tanggung, maaf.”
“Aku
mau curhat, Git.”
What
did you say? Kalimat di seberang sana sukses membuat Gita terbelalak. Adalah
Daffa, laki-laki yang sangat irit berbicara, ingin berbagi cerita dengannya. Tidakkah
telinganya salah mendengar? “Dengan senang hati.” Jawab Gita cepat. Bahkan
terlalu cepat saking bersemangat.
“Orang
yang aku suka, baru aja punya pacar. Dan aku nggak rela.”
JLEB!
Prolog itu bagai kerikil yang menghujani
ubun-ubunnya. Detik itu pula, ia berharap sesuatu yang salah memang terjadi
pada telinganya. Mungkinkah kemarin ia berenang terlalu lama? Atau adakah ujung
cotton bud yang terselip di sana? Jika harus lebih gila lagi, ia
berharap ini adalah efek dari operasi ringan belasan tahun lalu di telinganya.
Siapa
pun, tolong bantu Gita menemukan alasan yang lebih logis. Agar setidaknya ia
memiliki setitik harapan. Diagonalnya memang nol, ia tahu. Terpenting baginya
kini adalah kemungkinan bahwa fakta yang baru saja menerpanya hanya sebentuk
kekeliruan. Meski kemungkinan itu hanya sebesar titik.
“Aku
nggak pernah mencoba mendekati dia. SMS, chat di berbagai media sosial,
apalagi telepon. Sama sekali nggak ada keberanian. Menurut kamu, perasaan nggak
rela itu wajar nggak?”
Kalimat
di seberang sana seolah menghisap pita suaranya. Butuh beberapa detik baginya
untuk mendapatkan suaranya kembali. “Wajar, sih. Tapi kamu juga salah. Kamu
harus lebih berani kalau nggak mau kisah percintaamu terus seperti itu.” Sekuat
tenaga ia mengendalikan agar nada bicaranya terdengar normal.
“Aku
takut, Git.”
“Takut
kenapa?”
“Ditolak.
Atau bahkan nggak ada respon sama sekali. Pasti sakit.”
“Sekarang
kamu juga sakit, kan? Apa bedanya?”
“Oke,
aku emang nggak pernah mencoba. Tapi setidaknya, nggak sesakit kalau ditolak.”
Gita
tak menimpali. Ia merasakan jantungnya terlepas dan berdebam menghantam lantai.
Untuk beberapa menit ke depan, hening membentang dalam jarak.
“Git?”
“Hmm?”
“Baru
sama kamu aku bisa terus komunikasi kayak gini. Bukan hanya di sms, bahkan
sampai ngobrol sepanjang ini. Ini pertama kalinya.”
Gita
meneguk ludah. Siapa yang tak akan tersanjung mendengar pernyataan seperti itu?
Namun kenyataan yang ada justru membuatnya menjadi kontradiktif! Daffa benar-benar
tengah menyanjung gadis itu dengan sembilu yang mengiris hati. “Kalau kamu bisa
berani sama aku, kenapa sama dia nggak?” Pertanyaan itu meluncur begitu saja
dari mulutnya.
“Karena
aku suka sama dia.”
Tanpa
sadar Gita menahan napas. Menyaksikan jantungnya bertransformasi menjadi kepingan-kepingan
yang berserakan di lantai. “Terus ke depannya kamu mau gimana? Kalau kamu ketemu
orang baru, apa kamu mau nulis cerita yang sama? Lagi?”
Terdengar
desah berat Daffa di sana. “Aku belum tahu.”
“Aku
yakin, akan ada saatnya kamu memiliki keberanian untuk itu.”
“Lagi
apa itu, Git?”
“Lagi
ngobrol sama Ina.”
“Terusin,
gih. Assalamualaikum.”
Setelah
menjawab salam, Gita meletakkan kembali ponselnya dengan gerakan lesu. Ia
menuangkan air ke dalam gelas. Bak air garam, teguk demi teguknya terasa menyejukkan
namun sekaligus meninggalkan sensasi perih yang menyembilu.
“Lo
kenapa?” Ina, yang terus meneliti setiap ekspresi Gita selama bertelepon,
langsung melempar karibnya itu dengan pertanyaan.
“Kenapa
apanya?” Gita malah menendang balik pertanyaan tanpa berani memandang Ina. Kini
ia tengah mengisi kembali gelasnya dengan air.
“Gue
bukan orang yang baru kenal lo kemarin sore.”
Sindiran
itu berhasil membuat Gita terkesiap. “Masya Allah, Na. Lo punya seribu
cara buat maksa gue jujur.”
Ina
menyeringai penuh kemenangan karena telah berhasil memainkan pikiran Gita. “Dan
lo juga selalu punya jutaan cara buat nipu gue. Yang sayangnya nggak akan pernah
bisa mempan buat gue. Camkan itu, Git.”
Gita
tak menimpali. Percakapan beberapa menit lalu terus terngiang di
pendengarannya. Ia mendesah pendek dan berkata, “Nggak akan pernah ada yang
namanya pengungkapan perasaan, Na. Karena perasaan Daffa buat orang lain di
luar gue.”
“Maksud
lo? Barusan lo ngobrol apa sih sama dia? Lo harus ceritain semuanya sama gue.” Tandas
Ina dengan nada tidak sabar.
“Santai,
Mbak, santai.” Gita mencoba menertawakan reaksi berlebihan itu. Tawa yang
sialnya terasa garing.
Lebih
sialnya lagi, ajaibnya Ina mampu membaca percobaan pengalihan keadaan itu. “Akting
lo gagal, Git.”
Gita tak
bisa mengelak lagi. Mau tak mau, ia harus menceritakan semuanya.
“You
don’t say! Daffa suka sama orang lain? Terus, selama ini, komunikasi kalian
itu, artinya apa? Dari cara dia ngesms lo, ngasih kabar tentang dia sama lo, seolah
lo penting buat dia, dan ... ah gue nggak ngerti, Git.”
Omelan
sahabatnya itu membuat Gita meringis. Setelah Ina selesai menumpahkan
kekesalannya, serta-merta ia membuka mulut, “Sekarang udah jelas, semua asumsi
lo salah. Fatal. Untuk yang lo permasalahkan, menurut gue, itu karena dia
orangnya emang kayak gitu. Apa adanya. Dan kesimpulannya, mungkin ini memang
gue yang terlalu antusias. Gue yang terlalu nyambut dia.”
Kata-kata
Gita membuat Ina tercenung. Seakan turut merasakan kegalauan yang menerpa sang
karib. “Are you okay, Git?” Tanyanya kemudian dengan wajah simpati.
Sejenak
Gita terdiam. Lalu dengan perlahan ia mengangguk seraya berucap, “Gue yakin,
segala sesuatu akan netral pada waktunya. Dan---“
“Gue juga
yakin kalau lo mau bilang kalau cinta bisa kadaluwarsa. Seperti kata Raditya
Dika.”
“Dan lo
juga, Na, kalau gue curhat, lo bilang aja apa adanya. Gue nggak suka dan nggak
mau kalau harus dihibur dengan ketidajujuran hanya karena lo nggak enak sama
gue. Sahabat nggak kayak gitu.”
Gadis
bermata sipit itu memberenggut. “Sori, deh. Tapi gue sama sekali nggak
bermaksud kayak gitu.”
Ekspresi
di hadapannya membuat Gita terkekeh geli. “Gue ngerti. Lo cuma berasumsi dengan
teori-teori konyol lo itu.”
Lagi,
ponsel Gita bergetar memotong pembicaraan. Serta-merta gadis berkacamata itu
meraihnya. Dan lagi, lekuk yang sama tersungging di wajahnya.
“Aku maen game dulu ya, Git J”
Sender:
Daffa
Komentar
Posting Komentar