بِسْــــــــــــــــــمِ اﷲِالرَّحْمَنِ اارَّحِيم
sumber: blognutrisi.wordpress.com |
Tempe?
Apa yang pertama kali terbersit di
kepala saat mendengar salah satu jenis penganan itu?
Kacang kedelai?
Atau jangan-jangan jadi inget temannya?
Tahu?
Sejauh
ini, di tengah-tengah masyarakat Indonesia khususnya, tempe dikenal sebagai
salah satu makanan sederhana, yang tentunya berharga murah, akan tetapi sangat kaya
akan kandungan gizi yang baik bagi kesehatan tubuh.
Namun
di balik semua itu, ternyata telah banyak sepak-terjang yang dilalui sang tempe
hingga kini ia bisa menjadi salah satu makanan yang diakui dalam kancah kuliner
tingkat dunia.
Coba
ulangi sekali lagi?
Iya,
dunia. Tempe adalah salah satu penganan asli Indonesia yang sudah melesat di
dunia internasional. Buktinya? Buktinya, hingga saat ini sudah ada tidak kurang
dari 2.500 buku ditulis secara internasional yang membangun riset tentang produk
kultural dari Indonesia itu.
Asli
Indonesia?
Iya.
Hebat, kan? Aku baru tahu kalau tempe itu orisinal dari sini ._. Masya Allah,
kemana aja sih, Astiii X_X
Malah
Onghokham mengatakan kalau tempe juga menjadi pahlawan bagi kesehatan puluhan
juta jiwa orang Jawa yang miskin pada masa kolonialisme Jepang, lho ._. Selain
itu, para tawanan perang yang diberi makan tempe bahkan terhindar dari disentri
dan busung lapar ._.
Orang
miskin? Para tawanan perang? Memang, duluuu tempe sangat identik dengan rakyat
kalangan menengah ke bawah. Seperti yang sudah disebut di atas, ini karena
tempe dibandrol dengan harga yang terbilang murah, dan yang paling membuat
tempe dipandang sebelah mata adalah karena ia merupakan makanan busuk yang dibuat
dari hasil peragian.
Makanan
busuk, wah? Seperti dikatakan oleh Andreas Maryoto, seorang wartawan spesialis
sejarah pangan, bahwa tempe muncul dari kedelai buangan pabrik tahu yang
kemudian dihinggapi kapang[1].
Kemudian jadi tempe kedelai. Penyebutan tempe kedelai dikarenakan ternyata ada
juga tempe dengan bahan yang berbeda, yaitu limbah ._. seperti tempe gembus
dari limbah kacang, dan tempe bongkrek dari limbah kelapa.
Tempe
semakin berkembang seiring dengan semakin meningkatnya kepadatan penduduk di
tanah Jawa. Peningkatan jumlah penduduk tersebut mengakibatkan terjadinya
persaingan ruang antara manusia dan hewan yang memerlukan ladang-ladang rumput
yang luas untuk memenuhi hidupnya. Di pekarangan, orang-orang Jawa biasa
mendapatkan bahan baku makanan seperti ayam, kambing, sayur-sayuran, pohon
kelapa, dan lain-lain. Hingga kemudian pada abad ke-19, menu hewani akhirnya
berubah menjadi tempe.
Faktor
lain yang menjadi salah satu pendukung berkembangnya tempe adalah semakin
meluasnya perkebunan kolonial yang membuat wilayah hutan turut menciut. Hal ini
jelas mengurangi kegiatan para petani untuk berburu, beternak, maupun
memancing, karena mereka harus bekerja menjadi kuli di perkebunan para kolonial
itu. Dampaknya, daging tidak lagi menjadi menu makanan orang Jawa. Pemberlakuan
tanam paksa yang sangat marak saat itu menjadikan tempe satu-satunya alternatif
vital untuk menyelamatkan kesehatan penduduk di Jawa.
Karena
asal-muasalnya itulah, di daerah perkotaan Jawa, terutama Jawa Tengah sempat
meluas istilah “manusia tempe”. Stigma negatif yang dapat dikatakan terasa
mengejek mereka yang mengkonsumsi tempe. Makanan produk lokal yang dianggap
rendah, murahan, bahkan menjijikan. Nada peyoratif terhadap tempe itu bahkan
kerap kali diucapkan oleh presiden Soekarno saat memperingatkan rakyat
Indonesia dengan mengatakan, “Jangan menjadi bangsa tempe.”
Don’t judge book by it’s cover.
Tapi,
ternyata eh ternyata, di balik tak sedikitnya pandangan negatif yang tertuju
pada si tempe, ia bahkan membalasnya dengan kehebatan yang melekat pada
dirinya. Menyelamatkan puluhan juta jiwa dengan kandungan gizi yang dimilikinya.
Mereka, atau kalangan atas yang memandang rendah tempe jelas tidak tahu serta
tidak mengerti khasiat luar biasa yang dibawa sang tempe, karena, jangankan
mencoba mengkonsumsinya, baru tahu cara pembuatannya pun mereka pasti sudah
bergidik ngeri. Karena tempe adalah makanan rakyat, bukan untuk kalangan
istana.
Hingga
kemudian, setelah seorang ilmuwan Belanda Prinsen Geeling melakukan penelitian
ilmiah tentang tempe, disusul oleh observasi dari pemerintah Jepang pada tahun
1926, dan pada 1946 ditulis dalam jurnal Amerika yang terkenal berwibawa, yaitu
The Clinical Nutrition[2],
tanpa keraguan pamor tempe melesat dalam sekejap ke hampir seluruh belahan
dunia. Dari Belanda, tempe meluncur ke sebagian besar daratan Eropa, lalu ia terbang
ke Jepang, dan akhirnya bisa sampai di Amerika Serikat.[3]
Setelah
semua deretan panjang khasiat tempe terbukti secara medis, makanan dari kacang
kedelai yang dihinggapi kapang itu tak lagi minor bahkan hina. Jika di rumahnya
sendiri, Indonesia, tempe lebih diasosiasikan dengan makanan masyarakat tingkat
bawah, lain halnya di negara maju, justru di sana tempe dibandrol dengan harga
mahal dan sangat dicintai kaum vegetarian di seluruh dunia karena merupakan
penganan pengganti daging.
Setelah
selama ribuan tahun menjadi penganan yang mewarnai kultur kuliner di Indonesia,
khususnya kalangan bawah, kini tempe sudah tercatat sebagai salah satu makanan
asli Indonesia yang berhasil mendunia. Hebat, kan? Fakta tersebut menunjukkan
bahwa betapa budaya kuliner di Indonesia bukanlah budaya adab kemarin sore.[4]
Lalu
pertanyaannya sekarang, bangsa tempe itu yang seperti apa?
Masih haruskah malu disebut “bangsa
tempe”? Sementara si olahan kedelai itu bahkan telah meroket menjadi salah satu
penyumbang pada seni masak dunia. Kalau kata Radhar Panca Dahana sih, kita
harus yakin bahwa kita adalah bangsa dan manusia tempe. Adalah bangsa yang
dalam proses pemberadabannya akan menghasilkan produk-produk budaya yang
bernilai tinggi.
Justru, dengan kenyataan yang ada saat
ini, malah kita seharusnya khawatir karena mulai banyak pihak yang ingin mengakui
si tempe ini ._. Semakin meningkatnya keberadaan tempe yang seiring juga dengan
perkembangan teknologi, semakin beragam pula teknik-teknik pembuatan tempe dengan
cara yang lebih modern. Mungkin karena mereka merasa menemukan teknologi baru
untuk pembuatan tempe, mereka jadi ingin mematenkan tempe pula. Ih kok gitu -_-
padahal menurut seorang pakar makanan tradisional yang aku lupa namanya siapa,
pokoknya aku nonton di Trans TV atau Trans7 X_X, dia bilang katanya hal
tersebut sangatlah tidak beretika, karena si yang ingin mematenkan itu bukanlah
orang yang menciptakan tempe pertama kali. Sementara, penemu tempe kan anonim. Iya
lah, dulu kan belum masanya ada pendaftaran hak paten seperti itu -_- Lagian, dari
sejarah tempe yang sudah dipaparkan di atas, dapat dikatakan kalau tempe muncul
dari sebuah ketidasengajaan karena saat itu masyarakat terhimpit dan kesulitan
mendapat bahan pengan. Siapa yang nyangka tempe akan menjadi sefenomenal ini
._.
Masih ada lagi serangan yang seakan
mengancam eksistensi tempe di dunia nyata ini.
Adalah kenyataan bahwa Indonesia
merupakan pangsa pasar terbesar di dunia yang mengkonsumsi kedelai. Lebih dari
50% untuk tempe, 40% tahu, dan sisanya adalah kecap. Tapi ironisnya Indonesia
yang juga negara agraris malah harus mengimpor kedelai untuk memenuhi kebutuhan
tersebut. Jika kita abai dari kenyataan bahwa sebagian besar kebutuhan kedelai
untuk bahan baku tempe didapat dari impor, itu sama dengan kita membiarkan
tempe dikendalikan oleh bangsa asing. Hal tersebut menurut Radhar, bukan lagi
sekadar dosa kebudayaan karena tempe merupakan salah satu produk kultural
masyarakat Jawa, tetapi sekaligus sebagai ancaman bagi masa depan salah satu
kekuatan terbaik yang dimiliki oleh bumi pertiwi ini.
Kutunjukkan siapa kamu dari apa yang
kamu makan. Masakan menunjukkan bangsa. Dan tempe hanya salah satu saja dari
ribuan produk kultural yang ditemukan, dikembangkan dan dipergunakan bangsa ini
selama ribuan tahun. Jangan sampai tempe bernasib serupa seperti banyak produk
budaya lain yang sempat diklaim oleh negara-negara tetangga. Kalaupun elite
atau pemerintah tidak bisa sehat dan keras dalam mengendalikan eksistensi tempe
karena belum mendukungnya regulasi yang berlaku saat ini, rakyat yang “tempe”
dapat terus berjuang, bergerak, membuktikan kekuatan tempe dalam produk lokal,
dan kekuatan lokalnya sendiri-sendiri.[5]
Waaah. Kayaknya sampai sini dulu deh ._. Mungkin teman-teman semua sudah dari jauh-jauh hari tahu tentang tempe ini, tapi aku benar-benar baru tahu dan langsung ingin menuangkannya kembali dengan caraku sendiri ._.
Dan aku juga sadar, tulisan ini masih terasa sempit. Masih dapat diperluas jika aku mencari referensi yang lebih banyak pula. Tapi untuk sementara ini, aku cukupkan dulu sampai di sini. Setelah informasi tambahan terkumpul, pasti aku revisi lagi tulisan ini :D
Akhirul kalam. Mudah-mudahan ada yang bisa dipetik setelah menutup halaman ini. Terima kasih ^^
Sumber-sumber rujukan:
https://id.wikipedia.org/wiki/Tempe
http://historia.id/kuliner/sejarah-tempe
Acara yang nggak tahu di TransTV atau di Trans7 X_X
Buku Ekonomi Cukup: Radhar Panca Dahana
[1] Sejenis jamur ._.
[2] Radhar Panca Dahana, Ekonomi Cukup,
hlm. 53.
[3] Acara yang ada di TransTV nggak tahu Trans7
._. Lupa lagi -_-
[4] Radhar Panca Dahana, Ekonomi Cukup,
hlm. 54.
[5] Ibid.
Komentar
Posting Komentar