source from here |
“Halo, La?”
Suara
bariton terdengar di seberang sana. Seulas senyum tanpa sadar menggurat di
kedua sudut bibir Laras. “Ada apa?”
Uap
ragu menjeda kata sejenak. Dua detik kemudian terdengar embusan napas panjang
yang disusul nada bicara khas Remi. “Tolong kirimin alamat lengkap rumah kamu
ya.”
Laras
kontan mengernyit. Tak mengerti arah pembicaraan yang dilempar tanpa tedeng
aling-aling itu. “Maksud kamu?” Meski belum sempurna mencerna, pertanyaan itu
terlontar begitu saja.
“Buku
kamu yang aku pinjam mau aku kembalikan lewat paket, La.”
Pernyataan
itu sukses membuatnya terbelalak. Kalimat itu bukannya memperjelas, melainkan
malah makin menggiring Laras ke dalam sekubang ketidakmengertian. “Maksud kamu?
Maksud aku ... kenapa harus lewat paket segala? Kamu kan bisa---“
Lidah
Laras mengelu. “Maksud kamu?” Perbendaharaan kata dalam kotak memorinya seakan
menyusut. Dihisap suara bariton yang dihantarkan ponsel yang terasa panas di
telinga kanannya.
“Lebih
tepatnya nggak mau.”
Palu
jatuh dan menimpa pundak. Seketika Laras tersedak karenanya. “Ng ... gak mau?” Sial.
Laras memaki suaranya yang malah ikut-ikutan terseret lenyap.
“Aku
mau undur diri dari kehidupan kamu, La.”
Palu
tadi sukses menembus ubun-ubun. Mengagetkan ulu hati yang kini jatuh dan
berdebam di lantai. Sesuatu yang dinamakan tanda tanya mulai menganak di benak.
Namun Laras masih bungkam. Terlampau kaget, bahkan sekadar untuk mengecap kata kenapa.
“Aku
pamit ya, La.”
Hanya
dari mendengar suaranya, Laras tahu kalau Remi sedang tersenyum. Cepat-cepat
Laras menampar selengkung bibir yang membayang di pelupuk mata itu. Ia menghela
napas sebelum kemudian menimpali dengan nada bergurau, “Undur diri? Pamit? Memangnya
sejak kapan, sih, kamu datang? Aku nggak ingat tuh pernah bukain pintu buat
kamu.”
“Iya
sih, La. Tapi---“
“Remi-Remi-Remi,
dengarkan aku ya.” Laras berdeham sebentar. Mengusir ludah yang mengental di
tenggorokan. “Kamu kenapa jadi awkward gini, sih? Kaku banget tahu, Mas.”
Laras mencoba tertawa di ujung kalimat yang sayangnya, terasa sangat garing.
“Aku
sering menggiring kamu ke obrolan yang riskan. Aku takut ke depannya akan ada
yang mematahkan dan dipatahkan ... hati.”
“Begitu?”
Laras mengucapkannya dengan nada seolah sedang berpikir. “Ingatanmu payah
ternyata Mi.”
“Mm?”
Mau
tak mau, Laras tersenyum jeri mendengar gumaman pendek di sana. Pertanda bahwa
Remi tak mengerti dan sedang menunggu jawab. Remi yang tanpa basa-basi. Setidakbasabasi
beberapa bulan lalu. Saat tanpa ragu, pemuda itu menyapanya yang seketika
menggagu.
“La?”
Suara
bariton itu membuyarkan lamunan Laras. Sama seperti sekarang. Telepon
tiba-tiba dari Remi seakan memecah gelembung lamunan yang mengawang di kepala. Seketika
Laras sangsi. Mungkinkah setiap jengkal yang berlalu selama beberapa bulan ini
hanya ilusinya semata?
Bisa saja Laras sebenarnya sedang terpekur di meja
kerja. Larut dalam selaksa lamunan yang terasa lama dan nyata. Menciptakan
adegan pertemuan Remi dan Laras. Membuat dua orang yang sempat berjauhan itu
kembali dekat. Sampai akhirnya, jerit nyaring ponsel akan menguraikan setiap
titik lamunannya. Kesadarannya kembali. Laras lalu akan mengangkat telepon. Meneruskan
pekerjaan yang sempat terjeda. Semua akan berjalan seperti biasa dan baik-baik
saja, seharusnya. Tak ada Remi yang kembali. Pun, tak akan pernah ada
Remi yang pamit undur diri. Lagi.
“Kamu
oke kan, La?”
“Kamu
pernah bilang agar aku nggak pernah menganggap serius setiap obrolan kita. Perbincangan
seru dengan teman lama. Semua hanya kelakar, bukan?” Lidah Laras terasa
pahit tatkala mengeja kalimat terakhir.
Laras sadar betul bahwa dari awal, Remi tak pernah
memiliki maksud. Satu fakta yang kemudian memaku Laras agar sekuat
tenaga tak meraih daun pintu, mempersilakan pemuda itu menunggunya di ruang
tamu, untuk sekadar meneguk secangkir teh di sofanya yang berwarna biru.
Mana mungkin ia akan dengan lancang mengajak Remi
mampir ke ruang tamu? Sementara pemuda itu sudah jelas-jelas mendeklamasikannya
dari awal. Memasang ancang-ancang bahwa ia hanya akan menjejak di selasar.
“Tapi obrolan kita akhir-akhir ini berlebihan.”
Berlebihan?
Semilir
angin berlalu lalang. Membelai kata demi kata. Kelakar di selasar pun lambat
laun bertransformasi. Mewujud menjadi bincang beratmosferkan ruang tamu. Cicit
burung-burung gereja riuh bersahutan. Mendesau dari dahan pohon ke tanah lalu menampar
sudut dengar. Menyeret cakapan agar kembali ke titik awal. Sekadar cakapan
penuh kelakar di selasar. Bukan bincang yang melenakan di ruang tamu. Apalagi
ruang keluarga.
Jantung
Laras mencelos. Membenarkan ucapan Remi. Sekaligus menyesalkan keputusan pemuda
itu. Eh, atau bahkan keputusan Laras sendirilah yang sepatutnya dipersalahkan?
“Oke,
Mi. Nanti aku kirim ke WhatsApp aja, ya.”
Tak
ada sahutan dari seberang sana. Selama beberapa detik, hening menguap dalam
jarak. Merembeti jaringan yang mempertemukan suara mereka.
“Oke,
La. Aku tunggu ya. Aku kirim besok deh.”
Laras
meneguk ludah. Melesakkan napas sebelum kemudian berkata, “Tapi, Mi, satu hal
yang harus kamu tahu. Seperti permintaanmu, aku nggak pernah menganggap serius obrolan
yang memang biasanya serius. So, be calm. Adapun kalau kamu memang
mau pamit, pergi aja. Seperti kataku tadi, aku nggak pernah merasa
mempersilakan kamu masuk. Selama ini kamu hanya mampir di selasar, kan?”
Nada
serupa tertendang di sana. Remi turut mendesah. Memberai benang yang mengusut
di ruang kepala. “Iya, La. Dan akhir-akhir ini aku lupa batas itu. Padahal aku
sendiri yang memasangnya.”
Sebenarnya,
tak akan jadi masalah jika tak ada sekat yang Remi retas. Pun sesungguhnya, tak
akan jadi soal jikalau sapaan dulu hanya Laras anggap angin lalu.
Bagaimanalah
ini?
“La?
“Mm?”
“Bye.”
Sebentar
setelahnya, panggilan terputus. Bahkan sebelum Laras sempat membalas salam
perpisahan itu. Pada akhirnya, Laras hanya bisa menunduk. Nanar menatap layar
ponsel yang telah kembali menampilkan wallpaper-nya.
Jerit
ponsel malam itu bukan hanya menarik Remi dari hari. Alunan Crush-nya
David Archuletta kala itu, turut menampar kesadaran Laras. Bahwa mengunci pintu
utama saja, ternyata tidak cukup. Laras harus bersiap untuk menggembok gerbang depan. Agar
selasar tak sembarang dijejak bincang kelakar.
Garut, hari ke sembilan di bulan Agustus.
Di jam makan siang.
"Bahwa mengunci pintu utama saja, ternyata tidak cukup. Laras harus bersiap untuk menggembok gerbang depan. Agar selasar tak sembarang dijejak bincang kelakar."
BalasHapusNgena beud.. Jleb..
"Bahwa mengunci pintu utama saja, ternyata tidak cukup. Laras harus bersiap untuk menggembok gerbang depan. Agar selasar tak sembarang dijejak bincang kelakar."
BalasHapusNgena beud.. Jleb..