source from goodreads |
Judul :
Kamu (Cerita yang Tidak Perlu Dipercaya)
Penulis :
Sabda Armandio
Penerbit :
Moka Media
Terbit :
Cetakan pertama, 2015
Tebal buku :
viii + 348 halaman
ISBN :
979-795-961-9
Harga :
Rp. 55.500,-
Ketika mantan pacarku pergi ke toilet, The Beatles tengan memainkan intro lagu Being for The Benefit of Mr. Kite. Aku tahu lagu ini, Kamu sering memutarnya di mobil. Beberapa saat kemudan, seorang lelaki berjenggot tebal masuk ke kafe. Lelaki itu mengnakan setelan jas hitam, topi model top-hat seperti pesulap klasik, dan menggenggam tongkat kayu yang mengilap. Dandanannya mengingatkanku kepada Abraham Lincoln. Atau, yang lebih dekat, mirip seorang pemandu reality show yang membagikan uang sepuluh juta dan harus dihabiskan dalam waktu tiga puluh menit. Kalau tak salah, acara itu sudah tidak tayang.
“Kau...” katanya sembari mengarahkan telunjuk ke wajahku. Aku seperti melihat Paman Sam di poster bentuk tiga dimensi. “Selamanya akan berperang melawan pikiran sendiri. Tak akan memulai apa pun, tak akan menyelesaikan apa pun. Tak mendapat apa-apa. Tidak memiliki apa-apa.”
Jatuh cinta pada buku ini, karena:
Pertama, perpaduan warna cover, font type, dan
bukunya yang berukuran mini. Begitu di-display di rak buku, novel ini
tampil begitu mempesona. Eye catching, pokoknya!
Kedua, keunikan judul buku yang ditambahi
embel-embel ‘cerita yang tidak perlu dipercaya’. Kan jadinya
penasaran?
Terakhir, setelah lihat rating dan baca review
di goodreads. Buku debut Sabda Armandio ini ternyata cukup ramai dan hangat
dibincangkan pembaca.
Seperti banyak diulas, buku ini benar-benar novel di
luar mainstream. Sangat layak untuk dijadikan reading list. Terlebih
bagi pembaca yang suka mengkritisi beragam permasalahan yang ada di realita. Di
sini Sabda Armandio mengemas kritikannya terhadap kehidupan dengan sangat
mengesankan!
“Aku ingin jadi pengarang, sebab kesimpulanku sejauh ini, menulis adalah satu-satunya cara untuk bisa memetakan perasaan dan pikiranku. Dan sepertinya, mengarang adalah cara meludahi seseorang dengan santun. Aku ingin sekali meludahi orang-orang sok tahu, kadang aku juga ingin meludahi diriku sendiri. Asyik sekali. Sebab buku nggak akan menyakiti pembaca seperti manusia menyakiti manusia lain. Ya, kan?” (Hal. 324)
Lewat tokoh ‘Aku’ dan ‘Kamu’, cukup banyak pihak yang ‘diludahi’ penulis. Mulai dari bobroknya demokrasi, omong kosong dari sebuah peperangan, pesatnya pembangunan di perkotaan yang merupakan suatu tanda kemajuan (atau bahkan kemunduran?), balada profesi sebagai petani, arus kehidupan yang makin lama kian menggerus si lemah, sampai sistem pendidikan yang jeratannya ‘membunuh’ tak sedikit siswa karena cemas akan Ujian Nasional. Pun masalah klasik khas remaja, tak lain dan tak bukan adalah jatuh cinta dan patah hati. Semua permasalahan itu disatir habis-habisan dalam dialog dan interaksi antar tokoh. Asyiknya, semua itu dibalut dalam suasana yang penuh kelakar dan santai. Sehingga –topik obrolan yang meski dapat disebut tak sederhana, dapat dengan mudah diikuti dan dipahami. Mungkin memang cukup membuat kening berkerut, namun absurditas antara dua bersahabat si ‘Aku’ dan ‘Kamu’ selalu berhasil mencairkan atmosfer. Bahkan pembaca akan cukup sering tergelak menyaksikan beragam kejadian yang dilalui mereka berdua selama membolos tiga hari.
Iya, membolos.
“Kita bolos justru gara-gara ada sekolah. Kalau sekolah nggak ada, konsep tentang bolos juga mustahil ada.”“Nah, mungkin itulah tujuan sekolah.” (Hal. 252)
Cerita dibuka oleh si ‘Aku’ yang melamun di kamar
kost-nya. Memutar kilas balik ke masa sepuluh tahun silam. Tepatnya saat ia duduk
di kelas tiga SMA. Saat itu, ia yang sama sekali tak pernah membolos, diajak
untuk mangkir oleh sahabatnya. Nama sahabatnya adalah Kamu. Sempat menolak,
namun akhirnya si Aku mengikut. Keabsurdan di sini adalah Kamu mengajak Aku
membolos untuk mencari sebuah sendok yang tertukar dengan milik seorang tukang
bakso keliling.
“Sendok saya tertukar dengan sendok Pak Nurdin,”
“Kalau begitu cari saja, Dik. Siapa tahu ketemu. Tapi sebaiknya yang sudah tidak ada, ya dilupakan saja.”
“Masalahnya, sendok yang hilang itu bukan milik saya, Pak.”
“Bukan hilang, mungkin lebih tepat disebut berpindah tempat. Di dunia ini tidak ada yang hilang. Segala sesuatu yang tidak ada di tempat semula, kan, hanya perbindah tempat.”
“Tadinya ada, lalu tidak ada. Seperti mimpi. Orang-orang lahir dan mati, benda-benda diciptakan, lalu rusak, dan dibuang. Tak perlu disesali. Biar saja. Segalanya baik dan tidak ada yang terluka.” (Hal. 152-153)
Membaca penggalan dialog tersebut, aku jadi teringat Heraclitos, si gelap yang terkenal dengan filsafat menjadi-nya. Percakapan di atas terasa ringan. Bahkan terkesan seperti obrolan yang dibicarakan sambil lalu. Dan memang di sinilah keunikan novel ini. Perbincangan yang, sebenarnya, sarat makna, dibawakan dengan santai sebagaimana anak SMA saling melempar guyon satu sama lain.
Alur tidak hanya dibentuk oleh interaksi antara si
Aku dan Kamu. Kejadian aneh yang terjadi di dalam lamunan si Aku juga mendapat
porsi cukup besar. Ya, diceritakan di sini, si Aku adalah sosok berwawasan luas
dan daya analisis tajam. Berbeda dengan Kamu yang ceplas-ceplos, si Aku sangat
hemat berbicara. Si Aku lebih suka memainkan pikirannya dalam lamunan,
sampai-sampai lamunan itu terasa begitu nyata. Bahkan, si Aku sering merasakan deja
vu karena lamunan yang kerap kali tervisualisasi dalam kenyataan. Meski dalam
konteks yang berbeda tentunya.
Terdapat sedikit penamaan ‘yang benar-benar nama’
dalam novel ini. Di luar si Aku dan Kamu, ada ‘mantan pacar si Aku’, juga ada ‘perempuan
teman sekelas si Aku’. Dua orang pemikul masalah yang cukup pelik itu tak dilekati
nama. Penyebutan dua tokoh perempuan itu, ya seperti itu saja, cukup dengan kedudukan
mereka dalam cerita. Sekalinya ada, namanya unik. Gadis bernama Permen yang
dicintai Kamu.
Tak memiliki banyak teman. Jatuh cinta namun takut
patah hati dan mematahkan hati. Dihamili selingkuhan. Jatuh cinta pada ayah
sendiri. Ditinggal teman yang bunuh diri karena mencemaskan Ujian Nasional.
Seperti halnya pemikiran Heraclitos yang terkesan memandang
manusia dari sisi kebodohan dan kejahatan, seperti itulah semua problema
tersebut dikupas. Bukan untuk menggali sisi negatif. Tapi merombak tabir yang
jarang diungkap agar pikir semakin terbuka. Bahwa absurditas kehidupan bisa
disikapi dengan santai. Bahkan penuh kelakar. Sesantai Aku saat diberi tahu
bahwa makanan favoritnya, yakni mi goreng, adalah makanan tak sehat. Meski sadar
bahwa mi goreng bisa saja membunuhnya secara perahan, si Aku tetap dengan
santai berkelakar.
“Kenapa sih kau suka mi goreng instan? Kan nggak sehat.”
“Ya, karena nggak repot. Sehat atau nggak, belakangan aja. Tiap habis makan mi goreng, aku merasa semua hal akan baik-baik saja.”
“Ih, tapi mi instan itu mengandung lilin!”
“Kalau begitu, ternyata lilin itu enak.” (Hal. 206-207)
Satu kekurangan dari novel ini, adalah cerita pembuka yang tak digali lebih dalam. Hanya diakhiri dengan kefrustrasian si Aku terhadap kehidupan yang seakan tak pernah mencapai titik puas. Seperti filsafat Heraclitos, bahwa segala yang ada sedang berubah dan menjadi.Ia berpikir bahwa jika kelak ia menjadi seorang dokter, benarkah si Aku sudah ada dan berhenti menjadi? Kalau ya, maka tak ada lagi rasa sakit karena kecewa atas cita-cita yang tak terpenuhi. Tapi jika iya begitu, lantas apa gunanya terus hidup? Toh proses sudah selesai dan si Aku sudah menjadi.
Begitu.
Padahal aku penasaran dan menunggu-nunggu tentang ‘hantu’
yang mengetuk jendela kamar si ‘Aku.’
Kamu, benar-benar cerita yang tidak perlu dipercaya.
Komentar
Posting Komentar