source from google |
Judul :
Hujan
Penulis :
Tere Liye
Penerbit :
Gramedia Pustaka Utama
Terbit :
Cetakan pertama, Januari 2016
Cetakan kedelapan belas, Juli 2016
Tebal buku :
320 halaman
ISBN :
978-602-03-2478-4
Harga :
Rp. 68.000,-
Tentang persahabatan.
Tentang cinta.
Tentang perpisahan.
Tentang melupakan.
Tentang hujan.
Beberapa poin yang membuatku jatuh cinta pada novel
ini:
Adalah
label Tere Liye. Siapa sih yang nggak selalu dibuat penasaran sama
penulis super produktif ini?
Kedua
adalah, warna birunya yang eye catching. Entahlah, akhir-akhir ini lagi
suka banget sama warna biru. Selain novel ini, salah satu buku yang juga jadi korban
adalah Kamu-nya Sabda Armandio.
Terakhir.
Jatuh cinta yang kemudian menumbuhkan rasa penasaran. Yap! Lihat deh back
cover-nya. Blurb-nya itu loh. Cuma lima kalimat yang tercetak di
sana. Tentang persahabatan. Tentang cinta. Tentang perpisahan. Tentang melupakan.
Tentang hujan.
Dan
memang benar, di pembuka tahun, ‘Hujan’ menggebrak pembaca dengan
membawa kisah romansa antara Lail dengan Esok. Menariknya, cerita cinta itu disandingkan
dengan nuansa science fiction. Jadi, selain akan dibuat baper
pembaca juga akan turut berfantasi membayangkan setting tahun 2050-an
dengan segala teknologinya yang super dan serba canggih.
Oke,
deh. Lengkapnya simak saja, yuk~
“Lail, kamu tahu kenapa kita mengenang banyak hal saat hujan turun?”
“Karena kenangan sama seperti hujan. Ketika dia datang, kita tidak bisa menghentikannya. Bagaimana kita akan menghentikan tetes air yang turun dari langit? Hanya bisa ditunggu, hingga selesai dengan sendirinya.” (Hlm. 201)
Yap! Hujan selalu menyuguhkan melankoli tersendiri
bagi setiap orang.
Pun Lail.
Gadis yang selalu suka saat hujan turun itu,
tiba-tiba membulatkan tekad untuk mendatangi pusat terapi saraf. Meminta paramedis
untuk membantunya menghapus ingatan tentang hujan. Terkhusus tentang Esok.
Buku setebal 320 halaman ini merupakan novel
romantis dengan balutan science fiction. Imajinasi pembaca akan bermain
dalam setting waktu 2050-an. Masa dimana sangat menonjolnya penggunaan
teknologi yang sangat dan super canggih. Bukan hanya ada mobil terbang dan
pembayaran autodebet tanpa alat, bahkan modifikasi ingatan pun bisa
dilakukan. Dengan salah satu penemuan tercanggih pada masa itu, manusia
benar-benar bisa memodifikasi ingatan mereka. Apa pun. Termasuk menghapus
memori yang tak ingin lagi diingat.
“Modifikasi ingatan adalah terapi paling menjanjikan. Kita tidak perlu obat, tidak perlu pendekatan psikologis, tidak perlu semua itu. Cukup dengan memetakan saraf pasien, lantas tekan tombol hapus, memori menyakitkan itu terhapus.” (Hlm. 194)
Termasuk Lail yang ingin melupakan hujan dan juga
Esok. Oh ya, Esok adalah sosok yang menjadi sangat penting bagi Lail setelah
statusnya berganti yatim piatu. Tepatnya sesudah Esok dan Lail dipertemukan
oleh bencana alam mahadahsyat di kereta bawah tanah. Gempa besar yang bukan
hanya menghancurkan dua benua dalam sekali tepuk. Pun menelan Ibu Lail di balik
reruntuhan tangga, serta empat kakak Esok yang terkoyak luluhlantaknya kereta
komuter.
Setelah
bencana itu terjadi, guliran cerita menampilkan keseharian Esok dan Lail di
pengungsian. Jika ada Esok, Lail pasti ada di sana. Pun di mana Lail dijumpai, Esok
selalu ada di dekatnya. Kedekatan gadis berusia tiga belas tahun dan anak lelaki
berusia lima belas itu sudah sangat diketahui pengungsi dan petugas di area
mereka mengungsi.
Waktu
berjalan. Sedikit demi sedikit denyut kehidupan memulih. Meski tidak seluruh
kota mengalami perkembangan yang sama. Namun kota tempat tinggal Esok dan Lail
merupakan area yang termasuk kelompok sektor 6. Adalah sektor yang pemenuhan
kebutuhan daerahnya sudah dapat disebut mandiri.
Membaiknya keadaan itu justru mengantarkan pada
perpisahan Esok dan Lail. Tidak berpisah, sebenarnya. Hanya saja mereka berdua
akan kehilangan intensitas kebersamaan yang selama ini sangat rapat. Halaman
demi halaman berjalan. Berjauhan dengan Esok, Lail malah bertemu Maryam. Gadis
berambut kribo dan berwajah jerawatan yang kemudian menjadi karibnya.
Salah
satu yang aku suka adalah, Tere Liye selalu meninggalkan jejak dalam
setiap pergantian adegan. Sehingga mau tak mau, pembaca harus terus membuka halaman
untuk segera menemukan jawab atau sekadar penghubung dari jejak
sebelumnya. Contohnya seperti ini, ya:
Lail menatap punggung Esok. Punggung anak laki-laki yang kelak amat dia sayangi. (Hlm. 61)
Usianya saat itu baru empat belas tahun, Esok enam belas. Lail belum tahu perasaannya, masih beberapa tahun lagi. tapi saat itu dia sudah tahu, Esok akan selalu penting baginya. (Hlm. 91)
Saat itu usia Lail hampir tujuh belas, dan dia belum mengerti perasaannya dengan utuh. Baru beberapa tahun lagi dia mulai paham. (Hlm. 137)
Selain memikat pembaca dengan alur maju-mundurnya,
Tere Liye menyajikan satu per satu poin yang menjadi blurb pada back
cover dengan eksekusi yang cantik dan mengesankan. Mengikat pembaca agar
tak beranjak dari halaman demi halaman untuk menguak semuanya. Perasaan akan
dibuat naik-turun pokoknya!
Bersama Lail, Esok, Maryam –dan beberapa tokoh
sentral lain yang sebenarnya tak terlalu banyak, pembaca akan belajar
tentang persahabatan, tentang cinta, tentang perpisahan, tentang melupakan, dan
tentang hujan.
Di sini akan dijumpai luarbiasanya kisah
persahabatan antara Lail dengan Maryam.
Mereka teman dekat, ada banyak hal yang bisa saling dipahami oleh dua sahabat sejati tanpa harus bicara apa pun. (Hlm. 271)
Pun menyaksikan romansa antara Lail dengan Esok. Menunggu,
menunggu, dan menunggu akhir cerita mereka berdua. Cinta yang penuh
pengorbanan. Belenggu rasa yang kemudian menggiring Lail untuk menemui Elijah
dengan keputusan bulatnya. Ingin melupakan hujan dan Esok.
Greget serius! Apakah Esok dan Lail akan bernasib
sama seperti arti nama mereka? Esok dan Lail. Pagi dan malam. Dua hal
yang memang, tak pernah dirancang untuk menjadi bersama. Esok dan Lail,
begitupulakah?
Saat tak sanggup lagi memikul jatuhan kenangan yang
tak bisa dihentikan seperti titik-titik air hujan, kemana pilihan harus
dijatuhkan? Tentu, setiap orang memiliki kenangan tersendiri tatkala hujan
turun. Namun yang menjadi soal adalah, pilihan antara menerima untuk melepaskan
atau mendekap semuanya erat-erat.
“Bukan melupakan yang jadi masalahnya. Tapi menerima. Barangsiapa yang bisa menerima, maka dia akan bisa melupakan, hidup bahagia. Tapi jika ia tidak bisa menerima, dia tidak akan pernah bisa melupakan.” (Hlm. 318)
Review ini juga dipublish di sini, loh.
Mampir juga, yuk. Sekalian shopping buku juga. Hehehe :D
Komentar
Posting Komentar