Judul: Ayah
Penulis: Andrea Hirata
Penerbit: Bentang Pustaka
Tebal: 412 halaman
Harga: Rp. 74.000,-
Rilis: Mei 2015
ISBN: 978-602-291-102-9
Sumber Gambar: goodreads
Betapa Sabari menyayangi Zorro. Ingin dia memeluknya sepanjang waktu.
Dia terpesona melihat makhluk kecil yang sangat indah dan seluruh kebaikan yang
terpancar darinya.
Diciuminya anak itu dari kepala sampai ke jari-jemari kakinya yang mungil.
Kalau malam Sabari susah tidur lantaran membayangkan bermacam rencana yang akan
dia lalui dengan anaknya jika besar nanti.
Dia ingin mengajaknya melihat pawai 17 Agustus, mengunjungi pasar malam,
membelikannya mainan, menggandengnya ke masjid, mengajarinya berpuasa dan
mengaji, dan memboncengnya naik sepeda saban sore ke taman kota.
Novel ini aku
selesaikan sekitar beberapa bulan yang lalu. Reviewnya baru kutulis
sekarang dikarenakan faktor bingung untuk memulainya dari mana (?) yang paling
utama sih karena males -_- Penyakit yang satu ini memang sering sekali datang. Dan
kerap sulit untuk dihalau x_x mungkin ini ya, yang dimakan perang melawan hawa
nafsu ._. Di mana secara hakiki kita melawan energi-energi negatif yang bersemayam
dalam diri (?) tuh jadi ngelantur, kan ._.
Oke, back to topic.
Begitu mataku
mendarat di halaman 396, di situlah Andrea Hirata mengakhiri penuturannya. Salah
satu pertanyaan dari sekian banyak kebingungan yang berkubang di kepala adalah,
“Kenapa judulnya ‘Ayah’?” Padahal menurutku, novel ini lebih didominasi kisah
luar biasa gilanya cinta si Sabati yang terus tercurah untuk Marlena yang
mempesona.
Novel ini tersusun
dari judul-judul dengan volume cerita yang cukup singkat pada masing-masingnya.
Di awal, aku masih merasa kesulitan untuk mengikuti dan memahami jalan cerita. Sempat
bosan juga. Hal ini karena penggunaan alur yang benar-benar twist, seolah
tokoh yang terdapat pada setiap judul tidak memiliki korelasi yang berpengaruh
dalam cerita. Ditambah lagi, jumlah toko yang cukup banyak dengan penamaan yang
mungkin terasa aneh tapi sebenarnya unik, sih. Ada Sabari si tokoh utama, Zorro,
Ukun, Tamat, Amirza, Amiru, Amirta, Amirna, dan lain-lain.
Nama adalah doa.
Adalah keputusan
yang mungkin sangat tepat saat orangtuanya memberi nama Sabari. Berharap anak
lelakinya itu tumbuh menjadi seseorang yang berjiwa sabar, sesuai namanya. Memang
benar. Sabari sabar. Sangat sabar. Bahkan saking sabarnya, kesabaran itu nyaris
membuatnya gila. Benar-benar gila.
Bagaimana tidak? Lelaki
berwajah tupai dan bergigi rusa itu tak pernah menyerah untuk mendapatkah hati seorang
gadis. Cinta pertamanya. Marlena yang mempesona. Yang menolaknya mentah-mentah.
Ratusan penolakan ia terima. Pun ribuan alternatif cara ia kerahkan untuk menggapai
Marlena. “Aih, Kawan, apa yang kualami ini belum
apa-apa. Kalian tahu? Florentino Ariza menunggu cinta Fermina Daza hampir 52
tahun! Aku, Sabari bin Insyafi mencintai Marlena binti Markoni baru sebentar
saja, belumlah seberapa.”
Soal cinta? Sabari tak kenal dan tak suka. Cinta
adalah kata asing. Cinta adalah racun manis penuh tipu muslihat. Cinta adalah
burung merpati dalam topi pesulap. Cinta adalah tempat yang jauh, sangat jauh,
dan urusan konyol orang dewasa. Padahal sebelum jatuh cinta kepada
Marlena, Sabari adalah orang yang paling tidak suka terhadap segala sesuatu
yang berhubungan dengan cinta. Apalagi jika melihat dua sahabatnya –Ukun dan
Tamat, yang terus-menerus membicarakan nama gadis yang berbeda-beda. Dia
selalu bertanya, mengapa tak ada hukum yang menjerat orang-orang yang suka
main-main dengan cinta macam Ukun, Tamat, dan sepupu-sepupunya itu? Baginya
cinta adalah perbuatan buruk yang dilindungi hukum.
Singkat cerita, karena suatu hal yang tak diduga, pada
akhirnya Sabari bersanding dengan Marlena. Gadis yang telah memenati hatinya sekian
lama. Namun, realita tak sesuai cita-cita. Lagi, singkat cerita, Sabari yang
tak pernah sedikitpun tertambat di hati perempuan pecinta kebebasan itu, ditinggalkan
begitu saja.
Akan tetapi, kali ini berbeda. Karena, di sisi
Sabari ada si kecil yang memberi harinya warna. Meski tanpa Marlena. Konon,
hari paling penting dalam hidup manusia adalah hari saat manusia itu tahu untuk
apa dia dilahirkan. Kehadiran Zorro setelah pernikahannya dengan Marlena
membuatnya sadar bahwa ia dilahirkan untuk menjadi seorang Ayah. Bahwa semua
yang melekat pada dirinya, semua yang dianugerahkan Tuhan padanya adalah untuk seorang
anak yang selalu ia peluk di setiap malam menjelang. Kehadiran Zorro membuat
cintanya semakin gila. Hingga kemudian terjadilah hal yang tak pernah terbersit
di pikiran Sabari. Yaitu saat Marlena datang dan mengambil si kecil itu
darinya. Dari Ayahnya. Bertahun-tahun tak mendapati Zorro di pelupuk matanya,
Sabari gila. Bahkan tak lagi gila secara konteks, ia nyaris dapat dikatakan
gila secara harfiah.
Dalam buku ini, aku menyaksikan guliran cerita sederhana
namun bermakna luar biasa. Betapa menawannya kasih sayang antara ayah dan anak,
Sabari dengan Zorro. Juga, betapa puitisnya kebersamaan ayah dengan anak, Insyafi
dengan Sabari. Di sini aku melihat betapa seorang ayah adalah figur yang luar
biasa bagi anaknya. Hal itu dapat dilihat dari Sabari yang begitu lihainya merangkai
kata, membingkainya menjadi balutan puisi yang indah. Kemampuan Sabari itu serupa
dengan ayahnya, yang merupakan seorang guru bahasa Indonesia *kalo nggak salah
._. lupa lagi ._.V*. Di narasi selalu dikatakan kalau Sabari sangat megagumi
ayahnya yang seolah memiliki ladang puisi di mulutnya. Pun, Sabari mewariskan hal
yang sama kepada Zorro. Meski sayangnya, Sabari tak dapat menyaksikan si
kecilnya itu tumbuh dengan puisi-puisi yang selalu membuat orang terpukau.
Like father like son, rite? Jika pewarisan sifat dapat terjadi
secara fisik berdasarkan gen, tampaknya demikian pula secara kecerdasan. Kasus
ini tidak begitu mengherankan jika kita melihatnya dari Insyafi dengan Sabari. Mereka
jelas-jelas memilik hubungan darah. Lha, kalau Sabari dengan Zorro baru luar
biasa lho ._. karena tak ada hubungan darah diantara mereka ._. dengan kata
lain, Zorro adalah anak yang Marlena kandung namun bukan karena perbuatan
Sabari ._.
Benar-benar cinta yang gila, kan?
Seberapa besan cinta Sabari untuk Marlena, jangan
tanya. Seberapa banyak cinta Sabari untuk Zorro, sama-sama luar biasa. Meski si
kecil itu bukan anak kandungnya. Di sini aku jadi bertanya-tanya, kalau misalnya
si Zorro itu bukan anak Marlena, akankah Sabari memiliki perasaan yang sama
kepada Zorro? Mungkin saja kan, rasa sayang Sabari kepada Zorro merupakan
bagian dari sangat luar biasanya perasaan yang bertahun-tahun ia jaga untuk
Marlena? *bikin aja ceritanya sendiri -_-*
Tapi unek-unekku di atas sesungguhnya tidak
terbukti. Semakin diselami, semakin aku menemukan ketulusan yang luar biasa
dalam diri Sabari –terlepas dari ada-tidaknya hubungan darah di antara mereka. Dengan
menempatkan diri sebagai seorang Ayah, betapa Sabari sangat menyayangi Zorro. Tak
kepalang rasa bahagianya saat si kecil itu memanggilnya dengan sebutan “Aya”.
Aku jadi ingat pernyataan Ihsan Baihaqi Ibnu
Bukhari, katanya, “Jualan darah tidak secara otomatis akan mendekatkan anak
secara emosional”. Di sini Sabari yang sama sekali tak memiliki hubungan darah
dengan Zorro justru memiliki ikatan emosional yang jauh lebih kental dibanding
antara Zorro dengan Marlena. Jelas saja, Sabari bukan hanya selalu berada di
dekat Zorro, tapi benar-benar selalu bersama Zorro. Melakukan banyak hal
bersama Zorro. Aku suka banget kisah keluarga langit yang selalu diceritakan
oleh Sabari kepada Zorro :3 Berbeda dengan Marlena yang baru bersama Zorro
setelah ia dengan tiba-tiba ‘menculik’nya dari Sabari. Bukti dari kentalnya
kedekatan emosional itu adalah Zorro yang selalu berhenti menangis jika Marlena
menunjukkan kemeja Sabari yang ada di dalam tas Zorro sewaktu Marlena membawanya
pergi.
Sabari, Ukun, dan Tamat juga berhasil membuatku
terpukau. Bagaimana bisa ada kisah persahabatan seperti mereka? T~T Aku luar
biasa terharu saat Ukun dan Tamat memutuskan untuk jauh-jauh mengembara untuk mencari
Lena dan Zorro. Apalagi saat si Ukun ngomong sama Sabari, “Karena itu,
Boi... tolong jangan gila dulu. Biarlah kami mencari Lena dan Zorro dulu. Kalau
kami gagal, silakan nanti kalau kau mau menjadi gila, tak ada keberatan dariku
dan Tamat sebagai kawan-kawanmu.” Di sini kegilaan Sabari bener-bener nggak
ketulungan -_- seperti yang kukatakan di atas tadi, bahwa si Sabari nyari dapat
dikatakan gila secara harfiah -_-
Kasihan, sih. Pilu banget hidupnya. Ditinggalin
Marlena. Kehilangan Zorro. Warungnya bangkrut kalo nggak salah. Terus, si
Marleni juga ikut-ikutan pergi kalau nggak salah ._. Marleni itu nama kucing
peliharaannya deh, ya? ._. Salah satu guru Sabari semasa SMA saja sampai bilang
“Kalau kita punya, yang kita punya bisa diambil orang, kalau kita tak punya,
tak ada yang bisa diambil orang. Maka, lebih baik jika kita tak punya.” Bener
juga sih, ya? ._. Setuju? Awalnya sih iya ._. tapi nggak deh, desperate banget
kayaknya orang yang bilang kayak gitu -_- Aku jadi inget pernyataan seperti ini
deh, “Banyak tahu banyak lupa. Sedikit tahu sedikit lupa. Jadi, mending nggak tahu
apa-apa, biar nggak ada yang lupa” ._. *terus hubungannya? -_-*
Oh ya, kembali ke perjalanan panjang Ukun dan Tamat.
Kisah petualangan mereka sangat menghibur XD mereka berangkat dengan pakaian
mencolok layaknya biduan orkes Melayu yang hendak naik panggung. Bahkan mereka
sempat disangka penjual minyak wangi XD Lebih uniknya lagi, Tamat membekali
dirinya dengan Kamus Bahasa Indonesia ._. Ajaibnya, aku seakan turut merasakan
kebahagiaan Tamat, menikmati perjalan yang menenggelamkannya ke dalam
kenikmatan berbahasa. Bahasa Indonesia.
Di akhir cerita, tepatnya begitu sampai di halaman
396, aku diam (?) lebih tepatnya nggak nyangka ._. Dari awal, sebenarnya aku udah
curiga dengan alur yang maju mundur itu. Dengan penceritaan tokoh yang seolah
tak memiliki kerterkaitan satu sama lain. Aku bahkan sempat bergumam, ‘wah,
jangan-jangan ada teknik foreshadow di sini ._. Dan memang iya ._.
kecurigaanku benar wahai reader ._. Tapi aku nggak nyangka kalau teknik foreshadow-nya
itu terletak di sana. Di antara mereka. Dua tokoh itu >_< Aku lengah masya
Allah -_- Mau tahu? Spoiler dong :V
Setelah terdiam lumayan lama. Mencoba menelan
bulat-bulat keseluruhan cerita. Dengan otak berputar-putar (?) aku buka kembali
halaman demi halaman. Mencari banyak benang merah yang aku lewatkan. Masya
Allah. Pengemasan alurnya luar biasa. Diksinya jangan tanya. Aku juga suka
sekali gaya hiperbolis Andrea dalam menyatir berbagai macam realita.
Namun ada bagian yang menurutku terlampau dongeng.
Saat Sabari menulis surat dalam lempeng tembaga. Dilempar ke laut. Hingga akhirnya
surat itu sampai ke Australia karena terbawa oleh seekor penyu -_- Ditambah
lagi orang Australia yang menemukannya, menaruh perhatian yang serius terhadap
surat itu. Mencari Marlena dan Zorro X_X Bahkan sampai-sampai si kakek itu
dianggap gila oleh keluarga besarnya -_- Tapi nggak apa-apa lah, mungkin Andrea
Hirata menjadikan ini sebagai bumbu cerita ._. Ini juga menurutku kok hehehe.
Kemudian, kenapa sih nggak ada blurbs di backcovernya.
Di backcover malah dipenuhi komentar pembaca mengenai buku-buku Andrea Hirata
yang sebelumnya. Promosi kali, ya? Padahal kan nggak perlu gitu juga bukunya
udah pasti laku, kok. Best sellet juga pasti. Kalau kayak gini kan
kesannya jadi kayak yang nggak percaya diri sama kehadiran novel Ayah ini ._. tapi
mungkin itu bagian dari strategi marketing kali, ya ._. *duh, asumsi apaan sih
ini?-_-*
Dan masya Allah, halaman-halaman belakangnya
bikin ngiriiii T~~~T Buku diterjemahkan ke dalam berbagai bahasa. Punya museum
kata pula. Kapan aku kayak Andrea Hirata? -_- Buku pertama pun belum kunjung
lahir ke dunia nyata. Dan masya Allah kenapa jadi curhat? Udah deh ya. Aku
mau ngerjain tugas fiqih dulu. *siapayangnanya-_-*
Komentar
Posting Komentar