بِسْــــــــــــــــــمِ اﷲِالرَّحْمَنِ اارَّحِيم
“Itu semuanya riba.”
Begitulah dia mengakihiri percakapannya
dengan seseorang di seberang sana. Setelah dia menutup flip ponselnya,
langsung saja aku menukas, “Apanya yang riba?”
Lantas dia menjawab, “Iya itu, berbagai
macam transaksi di bank. Seperti KPR, asuransi, bahkan haji dengan dana
talangan pun riba.”
Belum sempat aku menimpali, dia lebih
dahulu melanjutkan kalimatnya, “Kemarin aku baca di facebook, katanya semua
itu riba. Dan siapa saja yang berurusan dengan riba, Allah akan menimpakan
kekurangan kepada dirinya.”
Aku mengangguk kecil mendengarnya. Memoriku
seakan terbang ke dalam kelas. Memutar kembali diskusi tentang tema serupa yang
telah berulang-kali menggema di sana. Bukan hanya itu, ingatanku turut berhenti
di surat Al-Baqarah ayat 275 dan beberapa ayat ke depan. (Ayat tentang riba
juga bisa ditemukan di surat lain, seperti surat An-Nisa, Ali-Imran, tapi baru
itu yang paling aku hafal ._.). Lalu dengan nada ragu aku berkata, “Bahkan,
riba yang paling ringan dosanya dapat dimisalkan seperti mencampuri ibu kandung
sendiri ._.” (Maaf ._. Untuk lebih pasti, kalian bisa baca di sini).
Serta-merta dia mengerjap, “Astaghfirullah.”
Dia lalu menegakkan posisi duduknya seraya berkata, “Mulai sekarang aku akan
meminimalisir urusan pribadi dengan perbankan. Aku akan segera menyelesaikan
semua yang belum selesai. Dan menjauhi riba.”
Meski sudah dapat menduga respon yang
akan didapat, aku tetap mencoba mengeluarkan pertanyaan serupa, “Kenapa nggak pindah
aja ke bank syariah?”
“Bank
syariah itu hanya pelabelan. Begitu pula dengan produk-produknya. Murabahah,
mudharabah, semuanya sama aja. Di dalamnya juga didominasi orang-orang
yang background-nya bukan dari ekonomi syariah.“
Bingo!
Dua
istilah yang sudah mulai akrab di telinga itu seakan menyentil kawan-kawannya
yang lain. Refleks aku meneruskan ucapannya, “Iya. Di bank syariah itu ada mudharabah,
murabahah, musyarakah, wadiah, salam, istishna....”
STOP! Aku bersyukur karena kesadaranku dengan cepat kembali. Kalau nggak, nanti
jadinya malah presentasi, gimana coba? :V
“Sama
aja. Mau di bank mana pun, yang namanya tambahan pasti ada.”
Sedetik
setelahnya aku memuji otakku yang dengan kooperatifnya menahan agar mulut ini
tak bersuara. Tadinya aku ingin menimpali, ‘Secara bulat sih emang terlihat
sama. Apalagi perbankan yang memang notabenenya produk dari barat. Tapi bank
konvensional sama syariah beda, kok. Sudah jelas kalau tambahan di bank konvensional
itu bunga, yang identik dengan riba. Dan
jika ada kemiripan, kita tidak bisa menjustifikasi begitu saja kalau bank
syariah sama dengan bank konvensional ._.’ Kalau perlu, tadinya aku juga
ingin menceritakan tentang siomay syariah yang aku baca di blognya salah satu
dosen aku.
Namun
kalimat panjang lebar itu berhasil aku simpan di belakang kepala rapat-rapat. Hingga
akhirnya baru aku keluarkan dalam tulisan ini. Dan rasanya benar-benar lega -_-
Aku
tidak mengatakannya pada dia, karena:
1. Aku sadar. Aku baru mahasiswa semester
tiga._. Masih banyak sekali yang belum aku tahu ._.
2. Sedangkan dia, meski bukan bekerja di
bank, tapi telah bertahun-tahun ia menggeluti profesinya yang dapat dikatakan
cukup akrab dengan konteks perbankan. Jadi, meski secara teoritis mungkin dia
tidak tahu tentang perbankan syariah, tapi secara lapangan dia jauh lebih
matang dari aku.
3. Nah, aku? Aku baru sampai tahap pencekokkan
teori. Belum sampai menyentuh lapangan. Aku khawatir argumentasiku kurang kuat -_-
Padahal menurutku, kalau saja ada kesediaan
di kedua belah pihak –antara aku dengan dia–untuk menyamaratakan pandangan, percakapan
ringan itu bisa menjadi sebuah diskusi terarah di mana aku dengan dia melakukan
crosscheck antara perbankan secara teoritis dengan di lapangan. Terlepas
dari konvensional atau syariahnya perbankan itu. Iya, nggak? ._.
Obrolannya
masih lanjut, nih. Kembali dulu ke laptop, yuk. Hehehe.
Karena
aku tak menimpali, beberapa detik berlalu dalam hening tanpa arti. Bukan hening
secara harfiah sih, karena waktu itu lagi nonton Stand Up Comedy -_- Hening di
sini dalam artian tidak ada sahutan yang tertuju ke topik obrolan. Sebelum
kemudian akhirnya dia kembali bersuara. “Sulit, ya. Nyaris semua yang
berhubungan dengan perbankan ada kaitannya dengan riba.”
“Iya.
Kapitalisme yang sudah mengakar sih ._. Untuk cari aman sih, selama masih bisa
dan mungkin untuk ditinggalkan, tinggalkan sebisa mungkin si yang namanya riba
itu. Dan aku pun hijrah lho, ke salah satu bank syariah. Ngeri juga kalau ngobrolin
balasan bagi orang-orang yang memakan riba ._.”
Tak
lama setelah itu, obrolan berakhir tanpa penarikan kesimpulan. Kita berdua
memutuskan untuk membeli ayam bakar karena lapar -_-
Oke.
Percakapan singkat dengan dia begitu
membekas hingga aku benar-benar ingin menuangkannya ke dalam tulisan. Siapa sih
dia itu? :V
Bukan hanya itu, dialog itu membuahkan
satu pertanyaan yang mengawang di kepala, “Seperti inikah kegelisahan yang
dirasakan oleh para penggiat ekonomi islam yang aku baca dari jurnal, artikel,
dan bahkan buku mereka?”
Banyak dari mereka yang menyayangkan realita
ini. Kenyataan masih diragukannya kesyariahan lembaga keuangan syariah di Indonesia
yang bahkan penduduknya didominasi oleh umat muslim.
Dan sekarang pun, aku mulai merasakan semacam
kegelisahan serupa ._. Rasa tidak terima seakan terbit tatkala ada yang
mengatakan bahwa bank syariah hanya pelabelan semata. Kenapa ya? Padahal dulu,
lebih tepatnya sih, semester sebelumnya, aku masih lempeng-lempeng aja
kalau ada yang mengatakan hal yang sama.
Tak kenal maka tak sayang.
Peribahasa itu adalah satu kesimpulan
yang aku dapat setelah berkali-kali memutar ingatan dan merenungkannya dalam
dalam.
Begini ....
Semester
sebelumnya aku masih belum terlalu mengakrabi ranah ekonomi syariah. Dari sisi literatur
pun aku masih jarang meliriknya. Mungkin ini juga dikarenakan mata kuliah di dua
semester sebelumnya masih terkait ilmu ekonomi yang bersifat umum. Yang
sebagian sudah dipelajari di jenjang sebelumnya jika memang lulusan SMA jurusan
IPS. Aku kan bukan -_-
Seiring
bergulirnya waktu, bergantinya pula mata kuliah, di semester tiga ini mulai
bermunculan mata kuliah yang benar-benar langsung tertuju pada ekonomi syariah.
Dimulai sejarahnya, lembaga-lembaga keuangan syariah, hingga dari segi fiqih
untuk setiap produknya, dan lain-lain ._. Pada awalnya mungkin karena tuntutan untuk
mempelajari mata kuliah aku mulai menyentuh berbagai macam buku ekonomi
syariah. Akan tetapi, semakin jauh diarungi dan semakin dalam diselami *Lebay? Biar-_-*,
aku mulai merasakan semacam perasaan ‘jatuh cinta’ ._.
Benar juga yang dikatakan oleh Isa
Alamsyah, bahwa segala sesuatu sebenarnya berpeluang untuk dicintai. Hanya saja
kita tidak boleh terlalu membatasi diri berada di bidang mana. Atau bahasa
kerennya sih, love what you do, bukannya do what you love. Bener
nggak, sih? ._. Hehehe.
Aku semakin tertarik untuk mengkaji
lebih banyak lagi tentang ekonomi syariah ._.
Mungkin perasaan tak terima mendengar
pernyataan keliru dari mereka timbul karena sedikit demi sedikit aku mulai mengetahu
dan mengenal bagaimana sebenarnya ekonomi syariah. Dan jika sudah kenal, berarti
aku sayang dong ._. (?)
Analoginya sih begini ....
Jika kita mengenal A. Lalu orang lain yang
sama sekali tidak mengenal A, tiba-tiba mengeluarkan pernyataan yang
bertentangan tentang si A. Perasaan ingin menyanggah pasti timbul dalam diri
kita karena justru kita yang lebih mengenal A. Tapi ingat lho, kita tidak bisa
menghujat begitu saja orang itu. Pernyataan yang bertentangan tersebut
sebenarnya berangkat dari ketidatahuan dia terhadap si A.
Mungkin saja hal serupa akan terjadi
pada diri kita jika saja keadaannya dibalik. Dia yang lebih mengenal si A,
sementara kita tidak. Bisa saja kita pun menyatakan hal serupa tentang sesuatu
yang tidak kita kenal itu.
Mungkin ini pula yang terjadi pada mereka
yang tidak mengenal bagaimana perbankan syariah. Mereka hanya menarik
kesimpulan secara bulat dan kasar berdasarkan pengalaman. Dan pada akhirnya,
bertebaranlah pernyataan bahwa bank syariah itu hanya pelabelan saja.
Apa yang harus dilakukan?
Haruskah langsung menghujat mereka?
Menurutku, yang harus dilakukan adalah mengajak
mereka untuk berkenalan dengan ekonomi syariah. Dan dalam konteks ini, proses
perkenalan itu nantinya dikerucutkan pada kajian perbankan syariah.
Kenapa tidak langsung saja kita membawa
mereka pada pemahaman mengenai perbankan syariah?
Menurutku, secara empiris di lapangan, saat
masyarakat mendengar kata ekonomi syariah atau ekonomi Islam, mayoritas dari
mereka langsung menjatuhkan pikirannya di bank syariah. Hal ini dikarenakan fenomena
perbankan syariah yang dapat dikatakan sedang booming di ranah
perekonomian Indonesia saat ini. Paradigma tersebut tidak seluruhnya salah,
tetapi ada yang perlu diluruskan di dalamnya[1].
Padahal bank syariah hanya salah satu
cara yang sekaligus menjadi jawaban atas pertanyaan yang sudah lama terpendam.
Karena jauh sebelum itu ekonomi Islam atau ekonomi syariah masih berbentuk
kajian teoritis semata. Adalah bank syariah menjadi manifestasi nyata untuk
melembagakan nilai-nilai yang terkandung dalam kajian ekonomi syariah itu dalam
tataran makro.
Berpijak dari realita tersebut, yang
harus dilakukan adalah menguatkan pemahaman masyarakat tentang dasar dari
ekonomi syariah itu sendiri. Mereka harus tahu bahwa ekonomi syariah merupakan
penjabaran dari ajaran Islam yang
bersumber dari Al-Quran dan As-Sunnah.[2]
Sama halnya ekonomi pada umumnya, ruang lingkupnya pun bukan hanya pada tataran
makro, seperti adanya bank syariah. Akan tetapi, prinsip dasar ekonomi syariah
juga harus menjadi landasan dalam tataran mikro, seperti pada kehidupan rumah
tangga.
Realita
di masyarakat kita, umat Islam Indonesia sebenarnya sudah memberikan perhatian
yang serius terhadap konsistensi melaksanakan ajaran Islam walau masih belum
sempurna. Khusus dalam masalah ekonomi, praktek kehidupan yang sederhana dan
tidak berlebihan sudah menjadi pemandangan yang khas dalam kehidupan
masyarakat, terutama di pedesaan. Potret kehidupan tersebut merupakan salah satu
serpihan dari pelaksanaan ajaran ekonomi Islam yang sudah terlembagakan dalam
kehidupan berkeluarga dan bermasyarakat.[3]
Ketidaksempurnaannya baru terasa jika sudah dikaitkan dengan konteks perbankan
syariah yang sekaligus menunjukkan masih parsialnya pemahaman religius
masyarakat dari segi ekonomi.
Sadar atau tidak, keadaan tersebut
sebenarnya dapat dijadikan celah untuk mengenalkan sekaligus memperkuat
pemahaman masyarakat terhadap ekonomi dan perbankan syariah. Menurutku, salah
satu caranya adalah mencoba menyelami dan menjadi bagian di dalam pemahaman
yang sudah terbentuk di masyarakat. Lalu menegaskan bahwa manusia adalah makhluk
sosial yang pastinya selalu saling membutuhkan satu sama lain dalam keseharian,
termasuk dalam kehidupan berekonomi. Dan agar nilai religius yang sudah mereka
tanamkan dalam keseharian dapat diterapkan serta dirasakan manfaatnya dalam
jangkauan yang lebih luas, adalah perbankan syariah dengan berbagai macam
produk derivatifnya hadir mewadahi kegiatan ekonomi makro yang tetap berada di
koridor agama Islam.
Untuk memperkuat, rombak pula persepsi
keliru mereka terhadap bank syariah. Bank syariah memang produk zaman yang
diperoleh melalui jalan islamisasi dari berbagai lembaga keuangan yang identik
dengan kaum barat. Islamisasi dilakukan melalui remake dengan menghilangkan
nilai-nilai yang bertentangan dengan syariah untuk kemudian diganti dengan nilai
yang sesuai dengan syariah. (Lebih lengkapnya baca di sini). Secara kasar
bentuknya tetap terlihat sama. Akan tetapi, perbedaan nilai yang menyokong
tegaknya bangunan bank tersebut akan menjadi penentu keberlangsungan hidup aspek
yang lain secara sistemik. Apalagi jika ditinjau dari orientasi umat muslim
yang menghendaki adanya kemaslahatan di dunia dan akhirat.
Maka keberadaan bank syariah sama sekali
tidak pantas untuk dipandang sebelah mata. Karena bank syariah hadir sebagai
lembaga yang mempermudah melaksanakan kebutuhan primer (dharuri) dan
menghilangkan kesulitan yang dihadapi dalam melaksanakannya. Berdasarkan skala
prioritas maslahah, bank syariah ini dapat digolongkan ke dalam kebutuhan
sekunder (al-hajiyyah), yaitu kebutuhan yang diperlukan untuk
mempermudah melaksanakan kebutuhan primer (dharuri) dan
menghilangkan kesulitan yang dihadapi dalam melaksanakannya[4].
Pelaksanaan kebutuhan dharuri apa
yang dipermudah? Bank syariah menjadi alternatif solusi yang mewadahi
masyarakat untuk tetap melakukan kegiatan ekonomi yang merupakan kebutuhan
primer untuk menjaga keimanan (din), jiwa (nafs), akal (aql),
keturunan (nasl), dan kekayaan (mal), dengan tetap berpegang pada
nilai-nilai Islam. Hal ini sekaligus menghilangkan kesulitan di mana masyarakat
tetap bisa berkiprah dalam perekonomian dengan cara yang halal dan terhindar
dari praktik riba yang bertebaran di bank konvensional.
Sampai
sini, menurutku sebenarnya kita sudah mendapat jawaban dari petikan percakapan
di atas.
Jika
dia mengatakan, “Mulai sekarang aku akan meminimalisir urusan pribadi dengan
perbankan. Aku akan segera menyelesaikan semua yang belum selesai. Dan menjauhi
riba.”, apa benar-benar bisa? Apalagi pekerjaannya sangat berkaitan erat
dengan dunia perbankan.
Meminimalisir mungkin bisa, tapi untuk
benar-benar terlepas, apa mungkin? Perlu juga untuk membuka mata dan menilik zaman
sekarang yang segala kemudahan dan kecepatan akan beragam kebutuhan tak dapat
kita sangkal. Dalam konteks ini, dapat dilihat dari fakta tingginya tingkat dependensi masyarakat
terhadap perbankan.
Setelah pemaparan panjang lebar di atas,
tidak salahnya kan bagi kita untuk mulai melirik bank syariah jika memang ingin
menjauhi riba dan selamat dunia akhirat?
._.
Dari percakapan di atas ada petikan
pernyataan, “Di dalamnya juga didominasi orang-orang yang background-nya
bukan dari ekonomi syariah.”
Tak dapat dipungkiri, masih minimnya
sumber daya linier yang berkiprah di bank syariah memang menjadi salah satu dari
sekelumit permasalahan yang mengitari upaya penegakkan ekonomi syariah. Namun seiring
berjalannya waktu, bukankah gerakan-gerakan ekonoi syariah sudah semakin
digalakkan oleh banyak pihak? Seperti adanya FoSSEI, MES, dan lain-lain.
Di sektor pendidikan pun sudah mulai banyak yang membuka jurusan terkait.
Tapi ....
Tapi ....
Kalau terus-menerus mencari kesalahan dan
kekurangan sih nggak kan berujung ._.
Dan jika sampai titik ini masih
meragukan kesyariahan bank syariah, yuk kita buka al-Quran surat al-Maidah ayat
tiga.
“Hari ini
telah aku sempurnakan bagi kamu agamamu (Islam) dan telah aku sempurnakan
segala nikmatku kepadamu dan aku pun ridha Islam sebagai agamamu.”
Terlepas dari persoalan yang mengungkung
ranah perekonomian syariah di Indonesia, aku yakin kok bahwa perekonomian yang
sesuai syariah memang benar-benar ada dan dapat ditegakkan. Bukan hal utopis
seperti yang dikatakan oleh para ekonom barat. Bukankah Islam adalah agama yang sempurna? Dan dengan sifat kesempurnaan yang dimilikinya, Islam mampu menjawab
segala tantangan dan persoalan hidup yang dihadapi oleh manusia.Di mana setiap
aspek dalam kehidupan, bahkan hal-hal yang sangat kecil dan cenderung dianggap
sepele sekali pun, semuanya memiliki aturan-aturan tersendiri di dalam ajaran
Islam.
Mau bukti yang lebih akurat dan paling
akurat?
Kembali lagi, yuk, ke surat al-Maidah
ayat tiga ._. untuk sekadar mengafirmasi diri ._.
“Hari ini
telah aku sempurnakan bagi kamu agamamu (Islam) dan telah aku sempurnakan
segala nikmatku kepadamu dan aku pun ridha Islam sebagai agamamu.”
Jadi,
masih mau bertahan di bank konvensional?
Mau
hijrah ke bank syariah tapi masih meragukan kesyariahannya?
Setidaknya
ada upaya yang kita lakukan untuk meninggalkan riba, kan? ._.
Atau
mau menarik diri dari keterlibatan dengan dunia perbankan? Yakin bisa?
“Wahai
orang-orang yang beriman! Masuklah ke dalam Islam secara keseluruhan, dan
janganlah kamu ikuti langkah-langkah setan. Sungguh, ia musuh yang nyata
bagimu.
Apapun
itu, mudah-mudahan kita bisa menjadi pribadi yang sesuai dengan surat
al-Baqarah ayat 208 tersebut. Di mana kita bukan sekadar tunduk pada agama
Islam, tetapi secara konsisten dan komprehensif menjadikan nilai-nilai yang
terkandung dalam ajaran Islam sebagai way of life yang akan menuntun kita
pada kemaslahatan dunia dan akhirat.
“Orang-orang yang memakan riba tidak
dapat berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan setan karena
gila.
Tadinya tulisan ini mau aku beri judul ‘Riba
Bikin Gerah, Nih!’, tapi setelah berkali-kali aku baca ulang, kayaknya kurang
ngena ke si ribanya ._. Jadinya begini deh ._.
Mohon maaf. Tulisan ini tidak
dimaksudkan untuk menggurui. Tetapi sebagai sarana untuk mengakrabkan diri
dengan dunia ekonomi syariah sekaligus mengevaluasi seberapa jauh yang aku tahu
dengan menuangkannya kembali ke dalam tulisan.
Akhirul kalam mudah-mudahan ada manfaat yang bisa
dipetik^^/
Komentar
Posting Komentar