Langsung ke konten utama

[BOOK REVIEW] MENJADI PENULIS DAN PENYUNTING SUKSES (BAG. I)


Judul: MENJADI PENULIS DAN PENYUNTING SUKSES
Penulis: Wahyu Wibowo
Penerbit: Bumi Aksara
Tebal Buku:
174 halaman
Cetakan Pertama:
November 2007
ISBN: 978-979-010-309-2









            Mau tahu langkah jitu merangkai kata agar komunikatif, hidup, dan memikat? Bener mau tahu? Serius mau tahu? Mau tahu aja atau mau tahu banget? (Duh, author nyebelin -_-). Aku kasih tahu yaaa, caranya simple kok, –(Iya, ngetiknya sih simple -_-)– selain harus jadi penulis yang rajin, gemar menabung, dan tidak sombooong eiiitt mulai ngaco, kita juga harus mempunyai etos atau jiwa swasunting yang tinggi.
            “Apa? Swasunting? Edit? Editor? Harus jadi kayak persyaratan di atas dong? Kita harus ngedit sendiri? Terus buat apa ada profesi editor kalo kita sendiri yang harus ngedit?”
            “Baik. Tenang-tenang. Biar aku jelasin yang dibilang buku ini ya. Mau dengerin kan?”
            “Nggak.”
            “Yasyudah aku pulang -_-“
            “Aduh ini author sensitif banget ya. ‘Mendengarkan tulisan’ emang ada? ._. Kalo ‘membaca tulisan’ baru ada kan ._.z”
            *author ngubur diri -____-*
            Swasunting atau mengedit tulisan sendiri mungkin agak ganjil untuk dipahami. Sebab, urusan edit-mengedit tulisan masih dianggap bukan urusan penulisnya, padahal sama sekali tidak dapat dilepaskan dari pertaliannya dengan si penulis.
            Seorang penulis harus menguasai kiat berswasunting agar tidak terlihat pasrah begitu saja terhadap editor. Tapi, apa bisa? Persyaratan di atas kayaknya berat sekali ya? Memaaang bagi seorang editor yang berkiprah di dunia penerbitan maupun dunia masa, wajib menguasai medan kerjanya, karena seorang editor merupakan salah satu penyokong keberlangsungan hidup media masa.
            Lantas, bagaimana dengan editor yang “bekerja” untuk menyunting tulisan sendiri? Haruskah “seruwet” persyaratan itu agar tulisan yang kita produksi dapat hadir ke hadapan para pembaca dalam penampilan yang indah, yaitu wajar, simpatik, elegan, rapi dan tidak norak?
            Buku ini menyadarkan kita bahwa sebuah tulisan, apa pun bentuknya, hendaklah hadir ke hadapan khalayak ramai dalam sosok yang rapi, ramah, wajar, adab, dan elegan. Ada enam langkah jitu tulis-menulis yang dipangkalkan dari prinsip dasar aliran Filsafat Bahasa Biasa bahwa penggunaan bahasa tidak dapat dilepaskan dari situasi konkret ketika ungkapan dikemukakan dari fenomena yang bertalian dengan bahasa tersebut. Apa itu Filsafat Bahasa Biasa? Mari kita simak ringkasan isi bukunya :D
Langkah 1
Bahasa Error, Bahasa Bello, dan Tata Permainan Bahasa
Memiliki informasi terbaik berarti menggenggam dunia~Benjamin Disraeli
            Ken Dedes, pasti pada tahu kan? Itu loooh, janda Tunggul Ametung yang diperistri Ken Angrok? Pasti pada tahu lah. Ada yang belum tahu? Mau tahu? Bener penasaraaaan? Serius gak tahu? Padahal kisah ini udah lama loh, udah hidup dari generasi ke generasi, langgeng sepanjang hayat alias evergreen.
            Nah ini nih yang perlu kita ambil. Kisah kebesaran raja pertama Singosari ini tidak akan dijumpai di dalam sejumlah prasasti seperti halnya karya-karya besar yang lain. Kisah ini justru mencuat melalui kitab Pararaton yang dianggap hanya semata-mata mitos tentang Ken Angrok yang dibalut dengan kejadian-kejadian gaib.
            Namun terlepas dari anggapan tersebut, kisah ini tetaplah melejit mengalahkan karya-karya besar lain karena ... karena apa? Karena temanya menampilkankan eksistensi kemanusiaan yang polanya hingga kini masih dapat ditemukan dalam kehidupan sehari-hari, seperti pergulatan antara dendam, cinta, kekuasaan, dan sepak terjang penghalalan segala cara untuk meraih ambisi. Udah gitu aja? Ada lagi nih yang jadi nilai tambahnya, ... yaitu karena kepiawaian penulis kitab Pararaton dalam menjalin kata-kata yang sukses menghidupkan keindahan kisahnya, dan menghadirkan jalinan peristiwa ke dalam benak pembaca atau pun pendengar sehingga bisa merasakan denyut-denyut kehidupan dalam kisah. Ada satu lagi yang menjadi kelebihannya, yaitu tema sentralnya yang berlaku universal yang membuat kisah itu senantiasa segar diceritakan pada dan oleh antargenerasi.
            Kesimpulannya, yang harus kita perhatikan adalah tata permainan bahasa dan tema. Terkait dengan tema, aku pernah baca salah satu buku yang bilang, sebisa mungkiiiin kita harus bisa membuat tulisan dengan mengangkat tema yang orisinal yang berarti menuntut agar kita lebih meningkatkan daya imajinatif yang senantiasa baru. Namun jika dikaitkan dengan kisah Ken Dedes di atas, tidak masalah jika tema yang diangkat merupakan tema umum apalagi jika temanya dapat diterima secara universal, tapiiii kita harus piawai memainkan tata permainan bahasa sehingga pembaca tetap tertarik berhadapan dengan tema ceritanya. Dua-duanya sama aja sih, apa pun temanya, sebagai penulis harus dapat mewujudkan keindahan tulisan dalam permainan tata bahasanya. Bagaimana caranya mewujudkan keindahan tulisan atau menggunakan bahasa bello[1]?
            Pertama. Sesuatu dikatakan indah bila keanekaragaman unsurnya terlihat saling menopang menjadi satu kesatuan yang utuh yang didapat dengan jalan berpikir jernih dimana kita menimbang segala sesuatunya secara objektif, matang, dan logis.
Kedua, otomatis, dengan elegan, wajar, dan rapi, akan menonjolkan satu pikiran utama yang jelas yang akan membawa pembaca pada keseluruhan cerita. Ingat loh, tulisan berbeda dengan lukisan yang mencuatkan banyak hal yang ditonjolkan, sehingga orang bebas memilih salah satu dari sejumlah hal yang menonjol itu sebagai titik landas dalam memahami makna sesuai sudut pikir masing-masing. Dengan menyuguhkan satu pikiran utama yang jelas berarti juga menghargai pembaca. Cara untuk mewujudkannya yaitu dengan meningkatkan daya empati penulis, sehingga tulisan akan menimbulkan simpati pembaca.
Belum berhenti sampai di situ, karena yang ketiga, tulisan yang indah adalah tulisan yang mengandung prinsip perkembangan yang mencerminkan mata rantai sebab-akibat yang jalin-menjalin. Hal ini dapat dibangun dengan diksi dan kalimat yang baik serta penggunaan ejaan yang santun. Menurut perspektif Filsafat Bahasa Biasa yang dicetuskan oleh Ludwig Wittgenstein, sebuah tulisan tak lain tak bukan merupakan perwujudan dari bahasa yang dipakai dalam kehidupan sehari-hari yang tidak dapat dilepaskan dari pengalaman estetik seorang penulis ketika memilih bentuk tulisan. Apa itu pengalaman estetik? Pengalaman estetik menurut The (1983) adalah pengalaman yang sudah lengkap dalam diri tanpa sedikit pun mengaitkan dengan sesuatu yang berhubungan di luarnya yang didapat dengan cara memusatkan kesadaran pancaindra secara sungguh-sungguh. Misalnya nih, aku nangis nangis waktu nonton film A Were Wolf Boy, itu loooh yang diperanin sama Song Joong Kiiiii :D. Kalo aku nangis karena cerita di film mirip sama cerita hidup aku, itu namanya bukan pengalaman estetik. Kenapa? Karena aku mengaitkan film tersebut dengan hidup aku yang justru tak ada kaitannya dengan film tersebut. Tapiii kalo aku nangis karena terhanyut sama jalan ceritanya yang super nyesek, itu baru namanya pengalaman estetik (y). Iya lah, siapa yang gak sedih nunggu orang yang dicintai yang baru kembali 47 tahun kemudian T~~~T. Dapat disimpulkan, berarti curhatan harian kita misalnya, meski gaya kita dalam menuturkan kehidupan kita penuh dengan muatan kata-kata indah atau bisa disebut juga bahasa bello tapi tulisan itu tidak dapat disebut pengalaman estetik. Namuuuun, macam-macam konteks kehidupan penulis dapat mempengaruhi penggunaan bahasa yang digunakan untuk mengeksperesikan tulisannya, karena apa yang bergolak di dalam dunia batin penulis akan tercermin melalui bahasa yang digunakannya. Akan tetapi, penulis juga harus memperhatikan konteks tulisan yang digarapnya, karena penggunaan bahasa tidak dapat dicampuradukkan. Setiap bentuk tulisan memiliki aturan yang berbeda, misalnya dalam menulis skripsi dan sebuah karya fiksi, tentu penulis harus menyesuaikan pergolakan batinnya dengan tulisan yang dihadapinya. Gak mungkin kan nulis skripsi pake gaya bahasa fiksi? Hihi bisa-bisa nanti skrisinya banyak dicoret sama pembibing XD (sok tahu amat ini author -_- emang udah pernah skripsi?) Yah, ini reader gak suka kayaknya liat author bahagia -..- (?).
Nah, ketiga langkah untuk mewujudkan tulisan yang indah di atas dapat dihasilkan melalui kepiawaian dalam aktitifitas swasunting. Jadi, swasunting itu teramat penting dan tidak dapat dilepaskan dalam proses tulis-menulis. Pemahaman kita terhadap eksistensi swasunting, berimplikasi pada mengerti-tidaknya kita pada persoalan yang tengah ditulis. Semakin banyak pemahaman terhadap konteks tulisan tersebut, maka akan semakin terarah pula jalan pembaca untuk memahami maksud yang terkandung dalam tulisan. Jadi, semakin kita memahami pentingnya swasunting, semakin kita mengerti akan tulisan yang tengah digarap, dan jika itu sudah tertanam dalam diri seorang penulis, maka akan terciptalah produk pemikiran yang wajar dan proporsional untuk mencapai kesetaraan informasi antara penulis dan khalayak pembaca.
Kenapa kita menulis dan harus menyunting? Karena ada informasi yang ingin disampaikan kepada orang lain sehingga memerlukan simbol berupa tulisan yang dapat dimengerti dengan mudah oleh objek yang dituju, maka kita harus meningkatkan etos swasunting dengan meningkatkan kepekaan terhadap konteks.
Apa yang harus kita sunting?
Ya kesalahan berbahasa yang dituang dalam tulisan lah ._.
Bagaimana cara kita membedakan bahasa yang benar sama yang salah? Apalagi, kita kan bukan kaum profesional seperti para editor di sana, kayak persyaratan di lowongan kerja di atas.
Baiklah. Berpijak pada pembahasan tadi, memang bisa dikatakan ruwet untuk kalangan penulis yang belum profesional seperti mereka di sana. Namun, siapa saja dapat menjadi penyunting yang baik dan bertanggung jawab, jika memahami dan menghayati eksistensi profesionalisme kepenyuntingan, yang jika disimpulkan, hendaklah sungguh-sungguh menyadari bahwa aktifitas kepenulisan tidak lepas dari bahasa, sehingga, dengan otomatis kita akan memahami bagaimana memainkan tata bahasa sesuai penggunaannya, menyesuaikan teknik dan laras tulisan, serta lebih jernih dan objektif dalam menyikapi perbedaan serta perkembangan.
Kesalahan berbahasa sering terjadi karena pemakaian dalam komunikasi didominasi faktor nonlinguistik, tetapi oleh faktor kultural yang memandang bahwa bahasa adalah gejala sosial. Pakar bahasa mengatakan bahwa kita berbicara dengan alat bicara, tetapi berkomunikasi dengan seluruh tubuh –atau yang sering disebut tindak bahasa berdasarkan konteks dan situasi. Menurut Austin, ada tiga tindak bahasa yang selalu terjadi serentak.
Pertama, lokusi, yakni makna dasar atau ucapan seseorang yang didengar langsung oleh mitra bicara. Kedua, ilokusi, yakni maksud sesungguhnya dari orang yang mengatakan ucapan tersebut. Ketiga, perlokusi, yakni dampak dari maksud tersebut (ilokusi) bagi objek atau mitra bicara. Contoh, aku bilang kalau teman sekelas yang namanya Radit orangnya tampan sekaliiiii :3. Secara lokusi, memang benar Radit itu tampan. Ditinjau dari ilokusi, sebenarnya aku bermaksud memuji Radit karena aku suka sama dia, hehehe XD. Namun menurut Radit (perlokusi), aku terlalu berlebihan karena Radit merasa wajahnya tidak ganteng ganteng amat -_____-.
Terlepas dari faktor yang mendominasi komunikasi tersebut, dari segi sintagmatik penyebab kesalahan berbahasa (languange errors) bisa dipangkalkan pada dua hal. Pertama, kesalahan karena berkurangnya konsentrasi atau perhatian yang disebut kesalahan performansi (performance errors) alias kesalahan kinerja (kesalahan tampilan), seperti “jangan” dibunyikan “zangan”. Kedua, kesalahan karena kurangnya pengetahuan teoritis kebahasaan atau disebut kesalahan kompetensi (competence errors) alias kesalahan kecakapan (kesalahan keterampilan), seperti keliru dalam menyusun kalimat. Jadi, kesalahan bahasa merupakan ketidakpahaman akan tata permainan bahasa yang disebabkan oleh sebuah lingkaran setan.
Interferensi (pencampuran bahasa) yang timbul karena terpengaruh bentuk bahasa lain yang disebabkan oleh bilingualisme (kedwibahasaan) yang merupakan kemampuan seseorang untuk menggunakan dua bahasa atau lebih. Seorang Jawa berbicara bahasa Indonesia dan terselip bahasa Jawa, berarti ia mengalami interferensi. Namun, jika salah satunya dominan atau alih kode, berarti kinerja berbahasanya salah. Tetapi, dalam Filsafat Bahasa Biasa, tidak ada kesalahan berbahasa sejauh dipahami sesuai dengan konteks. Ini timbul karena pemerolehan bahasa, baik secara formal maupun informal. Sebagian penduduk dunia adalah dwibahasawan karena luas dan bermacam-macamnya wilayah yang menyebabkan bervariasinya pemerolehan bahasa. Hal ini dipicu oleh pengajaran bahasa yang berlangsung di wilayah tersebut.
Menulis “tidak ada teorinya”, karena menulis adalah “seni”. Jadi, mari kita mulai jujur pada diri sendiri bahwa sering kali kita malas untuk menulis, sehingga harus lebih giat berlatih agar kemampuan semakin terasah dan membuka pikiran lebih lebar lagi. Lebih giat menulis dan menyunting sendiri yuk?
Langkah 2
Bacalah Keseluruhan, Lalu Lihat Relasi Kalimatnya
Segala sesuatu pasti ada batasnya~Horaitus
A: Temanya kurang fokus dan kurang terasa koherensi antar kalimat. Kamu baru boleh menyerahkannya kembali jika telah melakukan penyuntingan.
B: Edit? Harus pake editorkah?
A: Apa aku berkata seperti itu? Sekarang kamu baca ulang naskahmu dan revisi pada bagian-bagian yang tidak tepat.
B: Aku males kalau harus baca ulang setebal ini.
A: Eh loooooh, terus yang bikin tulisan ini jadi setebal gini siapa?
B: Iya emang aku yang nulis, tapi kalo harus baca ulang sih ya malees.
A: Kemampuan menulis harus diimbangi sama kebiasaan membaca. Kalau baca aja males, gimana hasil tulisannya?
            Dan kenyataannya memang benar, orang Indonesia tidak terkategori ke dalam bangsa yang berbudaya membaca. Wah, maaf niiiih bukan aku yang bilang yaaa ._.V tapi emang iya sih, jujur aja, susah banget nanamin sama nularin kebiasaan membaca, apalagi sama adek adek di rumah, duuuuh >_< (author kayak yang suka baca aja -..- |  ini reader ngajak ribut terus ya -___-). Padahal, dengan membaca, selain meningkatkan kepekaan perasaan terhadap persoalan manusia dan kemanusiaan, juga memperkaya tulisan akan imajinasi yang akan memperluas wawasan serta diksi yang menambah hidup tulisan. (kalo pacar aku gak peka, disuruh rajin baca bakal jadi peka gak? bakal jadi perhatian gak sama aku? |  reader parah X_X). Oleh karena itu, dalam swasunting kita mesti membaca karangan secara keseluruhan untuk membuktikan bahwa kita telah jujur pada diri sendiri mengenai karya tulis dan membuka diri terhadap pemikiran orang lain.
            Menurut Filsafat Bahasa Biasa, pada dasarnya membaca keseluruhan adalah langkah melihat rangkaian kalimat dalam posisinya sebagai pembentuk alinea. Membaca keseluruhan mesti dijadikan prinsip umum dalam swasunting untuk mewujudkan tulisan yang terfokus dan komprehensif dengan cara mencermati lalu memperbaiki kejanggalan atau pun kesalahan dalam tulisan. Pokok pikiran yang terfokus dan komprehensif dalam suatu wacana tidak saja ditandai oleh tekstur (peralatan formal kalimat), tetapi juga dipengaruhi oleh penalaran (reasoning) yang mencuat akibat faktor-faktor tradisi, sosial, dan budaya. Untuk mewujudkan wacana yang terfokus dan komprehensif, kita harus menghubungkan sejumlah unsur tiap kalimat secara kohesif. Lalu, bagaimana caranya menciptakan kalimat yang kohesif?
Dikatakan kohesif apabila antarkalimat dalam wacana bisa dihubungkan secara erat, padu, dan sinergis dengan menggunakan unsur-unsur penghubung yang bukan hanya dapat menjadi penghubung antarklausa, tetapi juga antarkalimat.
a.      Referensial
Ia mengibaratkan keberhasilan menembak mati Panglima GAM itu seperti pemain sepakbola.
Sebagai penulis, jangan sampai kita menerangkan sesuatu yang membingungkan pembaca karena tidak memiliki referens, sehingga berpotensi menyesatkan pemahamam pembaca. Contoh kalimat di atas, karena tak ada keterangan apa pun sebelumnya, hanya penulis yang tahu mengenai referensi kata-kata dalam kalimat, sedangkan pembaca hanya dapat menebak-nebak maksud atau yang direferensikan penulis. Maka dari itu, hendaknya kita mampu menciptakan hubungan makna antara kata dan benda atau sesuatunya yang disebut hubungan referensial yang juga disebut hubungan kontekstual.
Menghubungkan kalimat secara referensial atau konteksnya juga dapat diwujudkan dengan cara melakukan perujukan, yaitu mempertalikan kalimat satu dengan lainnya dengan meminjam kata petunjuk ini dan itu, serta kata ganti ia, dia, -nya, atau mereka.
Pangkostrad mengibaratkan keberhasilan menembak mati Abdullah Syafii yang merupakan Panglima GAM itu seperti pemain sepakbola.
b.      Substitusi
Perekonomian kita sudah diambang kehancuran. Sejak pemerintah menaikkan harga BBM, semua harga barang dan jasa naik. Lambat atau cepat, akan berdampak pada masalah sosial.
Keselarasan hubungan patut dijaga baik-baik, agar pembaca tidak bingung dengan cara penggantian unsur kata atau frase. Apa maksudnya? Dalam mengungkapkan suatu pemikiran, kita harus dapat membumikan kata atau kalimat yang diungkapkan, jangan biarkan gagasan itu melayang di awang-awang sehingga membuat pembaca kebingungan. Salah satu kiatnya adalah dengan memberi contoh pada gagasan yang diungkapkan, atau dapat juga menggunakan cara kesejajaran (paralelisme), di mana kita menyusun kata-kata yang setiap unsur dan fungsinya mirip atau sejajar.
Perekonomian kita sudah diambang kehancuran. Sejak pemerintah menaikkan harga BBM, semua harga barang dan jasa naik. Lambat atau cepat, akan berdampak pada masalah sosial, seperti pengangguran dan kriminalitas.
c.       Elipsis
Dini seharusnya sudah dapat melupakan Ardhi yang telah memutuskannya. Sosok jangkung itu merasa bosan dengan kesehariannya bersama gadis penyuka pisang itu, sehingga lebih memilih mengganti hati setelah menemukan yang baru.
Elipsis adalah penghilangan satu bagian dari unsur kalimat yang wujud asalnya dapat diramalkan dari konteks kalimat itu sendiri untuk menjaga keutuhan maksud kalimat yang sebelumnya disajikan panjang lebar. Elipsis bersifat anaforistik atau menunjuk ke makna sebelumnya.
Dini seharusnya sudah dapat melupakan Ardhi yang telah memutuskannya. Begitulah lelaki, mengganti hati setelah menemukan yang baru. (author paraaah -_- | kenapa? ada yang salah? hihi :v)
d.      Konjungsi
Konjungsi (kata sambung) digunakan untuk mempertegas serta memperpadu makna. Konjungsi termasuk ke dalam kata tugas yang hanya memiliki makna gramatikal dan tidak memiliki makna leksikal. (Tau kan makna leksikal sama gramatikal apa? -_- | iya lah thor, kita juga belajar kaliii -,-). Konjungsi diklasifikasikan menjadi konjungsi koordinatif, yaitu penghubung yang menggabungkan dua kalimat atau lebih yang berkedudukan setara atau tidak, seperti biarpun demikian, oleh karena itu, sekalipun demikian, seakan-akan, sebagaimana (akibat), kemudian, dengan, setelah itu, selanjutnya, andaikan, sementara itu (waktu, cara, penjelasan), lagi pula, selain itu, itu pun, sekalipun, apalagi (menguatkan atau menegaskan), sebaliknya, sesungguhnya, malahan, namun (pertentangan), jadi, maka, manakala, bila, begitulah (simpulan).
Sementara konjungsi idiomatik merupakan konjungsi yang terdiri atas pasangan kata yang utuh dan tak terpisahkan. Kenapa namanya idiomatik? Karena tidak memiliki makna leksikal dan gramatikal. Tahu idiom? Naaaah, ini semacam bentuk perumpamaan yang biasanya dipakai penutur asli, dan tidak mungkin dijelaskan secara harfiah. Secara denotatif, meja hijau adalah meja yang berwarna hijau, tapi secara konotatif atau idiomnya pengadilan. Sedangkan idiom dalam bentuk konjungsi, yaitu baik...maupun, tidak hanya...tetapi (juga), bukan...melainkan, dan lain-lain.
e.       Kecermatan Diksi
A: Kamu nangis gak waktu baca novel Sunshine Becomes You?
B: Nggak tuh, biasa aja. Menurut aku, jalan ceritanya biasa, kayak pepatah Jawa itu looh, witing tresno jalaran soko kulino.
A: Dari segi jalan cerita sih emang iya gitu, tapi tetep sedih bangeeeet T~T
B: Kalo baca Autumn in Paris aku nangis sih. Aku udah berubah jadi tegar kayaknya, karena keseringan baca novel sedih XD
A: -________-
Penulis yang baik mampu memberdayakan diksi (pilihan kata) secara cermat karena kecermatan diksi akan menimbulkan gagasan yang tepat pada imajinasi pembaca. Jadi, ini tentang cara penulis membawa pembaca agar hanyut pada tulisan karena adanya kesetaraan pikiran dan perasaan antara keduanya. Kayak Ilana Tan tuh, dia hebat banget meramu kata-katanya, bikin pembaca selalu penasaran sama kelanjutan dari setiap cerita dalam novelnya. Kalian udah baca novel-novelnya belum? ._. Kalo belum, aku rekomendasiin deh kalian harus baca enam enamnyanya (?) novel Ilana Tan, dimulai dari Summer in Seoul, Autumn in Paris, Winter in Tokyo, Spring in London, Sunshine Becomes You, dan In a Blue Moob, baca deh ^_^9 eh kok malah jadi promosi kan -___-. Pertanyaannya sekarang, gimana caranya meramu diksi agar dapat menciptakan tulisan yang tampil baik?
Radit harus pergi ke Jakarta. Sosok jangkung itu benar-benar harus mengejarnya. Lelaki berkacamata itu sungguh harus menemui Bela, cinta pertamanya.
Pengulangan kata seperti pada kata bertanda hijau dilakukan untuk menonjolkan gagasan utama dalam kalimat. Menegaskan kepada pembaca bahwa Radit sungguh harus melakukan sesuatu yang disebutkan dalam narasi pendek tersebut. Sedangkan penggantian kata Radit pada kata lain yang bermakna sama atau sinonim digunakan untuk menjaga kesegaran kalimat sehingga pembaca tidak merasa bosan. Memang benar, pengulangan kata dilakukan untuk mempertegas kalimat, tapi, bayangkan jika dalam narasi pendek terdapat banyak kata yang diulang? Bukan penegasan yang didapat, justru secara tidak langsung kita akan membuat pembaca bosan dengan tulisan kita. Intinya, kita harus dapat memilih dan menentukan antara kata yang harus diulang dan diganti dengan variasi lain yang sepadan. Namun kita juga harus pandai membaca konteks tulisan untuk menghindari kesalahan dalam mesubstitusikan kata. Cara terakhir, kesamaan topik juga dapat lakukan untuk menyegarkan kalimat, seperti pada kata  bertanda biru.
Langkah 3
Memelototi Ejaan, Kata Klise, dan Kontaminasi
Jangan percaya pada penampilan lahir~Dewi Soemarti
            A: Udah diedit? Udah dibaca ulang semuanya?
            B: Udaaaaah niiiih. Gimana sekarang tulisannya?
            A: Looooh kok ini bagian puisinya kok gini? Ini diksinyaaa, yang ini kontaminasi, yang itu redundasi, yang ini klise. Kamu jangan berlebihan pake diksi dong ._. diksi harus diramu seapik mungkin.
            B: Itu kan puisi? Setahu aku puisi itu bebas. Anonimous gitu kalo gak salah.
            A: Anomali, bukan anonimous -_- tuh kan, kamu ternyata salah satu orang yang terkecoh sama bentuk puisi.
            B: Emang kenapa?
          A: Eh, eh, ini kata-kata ini bukannya ada di novel Asti yang judulnya Our Destiny? (ih author maksudnya apa? -_-)
            B: Iya, emang kenapa?
            A: Kalo nyadur tulisan orang lain harusnya disertain sumber -____-
            B:  Caranya?
Gak ada yang bisa nyangkal kalau ragam tulisan itu banyaaaak banget, dan salah satu yang sangat populer adalah puisi. Pasti kalian suka nulis puisi kaaaan? Gak suka? Ah aku gak percaya. Semua orang secara tidak sadar pasti pernah nulis puisi. Gak percaya? Coba inget-inget, kalo kalian lagi coret-coret gitu di kertas atau curhat di buku harian atau apa lah, pasti hasil tulisannya gak jauh dari bentuk puisi. Apa lagi sekarang kan zamannya lebay-lebayan gitu (?), malah kalo ada yang sok puitis disebutnya lebay bin alay kan? Ih aku suka sebel sama orang yang suka nyamain antara alay sama puitis, padahal beda -_- (bedanya dimana thor? | gak tau -_- | ah itu mah alesan author gak mau disebut alay XD)
Karena eksistensinya itu, puisi sering kali subjektif dan bahkan tidak santun dalam pemakaian bahasa. Ya itu tadi, banyak orang yang terkecoh sama bentuk puisi yang merupakan anomali berbahasa. Apa itu anomali? Menurut KBBI, anomali adalah penyimpangan atau kelainan, dipandang dari sudut konvensi gramatikal atau semantis bahasa. Tampaknya dalam puisi kita bebas mau mainin diksi gimana aja, tapi sebenarnya dalam kebebasannya itu puisi justru sangat terikat oleh “hukum keteraturan”. Bebas tapi gagasannya malah tak bisa ditangkap pembaca buat apa kan? Maka dari itu, agar dunia intuisi penyair bisa nyambung dengan pembacanya, selain bertugas memunguti kata-kata, si penyair juga mesti berkutat mencari makna yang terbaik di balik kata-kata tersebut (Sayuti, 2001).
Nah, kita lagi ngomongin tulisan secara umum kan, bukan hanya puisi. Jadi sebenarnya, tugas yang dibilang Sayuti itu bukan hanya bagi penyair saja, tapi harus diterapkan juga oleh semua penulis dalam bentuk apa pun. Tulisan apa pun membutuhkan aksentuasi dan konteks. Aksentuasi adalah upaya pemusatan perhatian si penulis pada salah satu unsur atau bagian kalimat agar lebih menarik perhatian pembaca. Konteks bertalian dengan wawasan pengetahuan, jalan pikiran, pengalaman pribadi, dan latar belakang sosial-kultural pembacanya. Jadi, kita harus menyesuaikan tulisan dengan aspek luar yang dituju yang akan menjadi pembaca tulisan kita sehingga tulisan akan tampil komunikatif.
            Bagaimana seharusnya tulisan yang komunikaif itu? Coba perhatikan baris demi baris tulisan kita, apakah kita sudah tunduk pada ejaan? Sebenarnya ejaan itu apan ya? *vlak :v Ejaan memiliki beberapa fungsi, yaitu:
a.       Sebagai landasan pembakuan tata bahasa
b.      Sebagai landasan pembakuan kosakata dan peristilahan
c.       Sebagai penyaring penetrasi unsur bahasa asing
“Rapim dikantor dprd ricuh saat para anggota mengambing hitamkan satu sama lain, karena tak mau disalahkan dalam penyalahgunaan pengingat kesepakatan.”
Banyak kekacauan dalam ejaan yang masiiiih saja dilakukan hingga detik ini, misalnya nih ya, penulisan kata depan harusnya dipisah, bukan digabung, di kantor yaa, jangan dikantor. DPRD, bukan dprd, ini salah satu kesalahan dalam penulisan singkatan atau akronim, kalau singkatan semuanya harus memakai huruf kapital, sedangkan akronim seperti Rapim awal hurufnya saja yang memakai huruf kapital. Perlu diingat, jangan berlebihan dalam membuat akronim, karena ada syarat-syarat yang harus dipenuhi, yaitu harus terdengar lazim dan ada keserasian antara vokal dan konsonan. Contohnya, apa menkimpraswil sudah pantas? Mengambinghitamkan, jika kata majemuk mendapat awalan dan akhiran sekaligus maka penulisannya harus digabung, namun jika hanya mendapat imbuhan salah satunya, baruu itu dipisah.
Apa itu pengingat kesepekatan? MoU? Aduuuh iya iya, memang ada anjuran jika suatu kata masih terdapat padanan yang sama dalam bahasa Indonesia, sebaiknya kita menggunakan kata dalam bahasa Indonesia tersebut. Tapi, tidak semua kata dapat diterjemahkan seenaknya ke dalam bahasa Indonesia karena berkaitan dengan diksi dan konteks. Bahasa Indonesia kan bahasa yang modern, terbuka dengan istilah dari bahasa lain untuk digunakan dalam komunikasi? Jadi jangan maksain lah -_- Jika dipaksakan seperti itu, maknanya malah jadi terganggu. (itu yang nulis contoh kalimatnya siapa? | aku ._. | jadi siapa yang maksa? -..-)
Nah, itu baru sampe masalah ejaan. Sekarang kita masuk ke perihal aksentuasi yang tadi sempat aku bilang. Sederhananya yaaa, aksentuasi adalah penegasan. Nah, aksentuasi ini dipercaya mampu memfokuskan perhatian pembaca terhadap pokok pembicaraan. Kaitannya dengan swasunting, kita dapat melakukan aksentusi dengan beberapa cara. Pertama, kita bisa menggunakan salah satu kelompok kata tugas yang selalu dilekatkan pada kata yang mendahuluinya, yap! Partikel, seperti partikel –lah, -kah. Kedua, kata keterangan juga mampu mempertegas subjek, apalagi jika menggunakan partikel dan konjungsi “apalagi”, misalnya. Waaah kalimat sebelumnya menurutku udah nampak penegasannya ya hehehe :D, dan akan semakin tegas jika kita mampu mengontraskan makna, dengan bentuk sinonim atau bahkan antonim, contohnya. Dan yang terakhir adalah, coba kita tekankan sesuatu dengan membentuk kalimat pasif, namun jangan sembarangan membentuk kalimat pasif terutama jika berkaitan dengan pernyataan batin, seperti kata suka misalnya, akan menjadi janggal jika kalimat “Sugeng suka memandangi Dea” diubah menjadi “Dea suka dipandangi Sugeng”, hehehe aneh kan, jadi terkesan ambigu gitu, itu si Dea nya yang emang seneng kalo dilihatin Sugeng atau malah Dea yang geer hihi xD
Ironi memang, ketika penduduk pemukiman kumuh berbondong-bondong menuju pengungsian, sejumlah penghuni kawasan mewah juga menyerbu hotel berbintang lima, dan banjirlah yang sama-sama menjadi penyebabnya. Peran pemerintah dalam menganggulangi banjir pun semakin dipertanyakan.
            Teruuuus, apa itu konteks? Konteks bisa dikatakan pertautan dengan unsur di luar bahasa, iya tadi, berhubungan dengan pengetahuan kita sebagai penulis dalam membaca calon pembaca tulisan nanti. Akan jadi percuma jika rantai pertalian antar kalimat yang kita susun sudah sangat bagus, tapiii kita bahkan salah dalam membaca pangsa pasar yang dituju. Bisa jadi tulisan kita malah gak dibaca, atau lebih parah lagi dibaca tapi gak bisa ngasih manfaat karena informasi yang tidak setara. Konteks dipengaruhi beberapa hal, seperti sutuasi, pembicara, pendengar, waktu, tempat, peristiwa, kode, dan saluran (Depdikbud, 1998). Jika konteks berubah, maka makna pun akan berubah. Contoh nih yaa, misalnya Mama kalian memuji. habis-habisan setelah melihat kertas hasil ulangan kalian, namun maknanya jadi berbeda karena ternyata Mama lihat nilai kalian yang superkecil atau mengecewakan x_x itu bukan memuji ya, tapi nyindir atau ngeledek -___- atau bahkan marah O.O *kabuuurr*.
            Kita juga harus dapat menjangkau jagat imajinasi pembaca secara keseluruhan dari berbagai kalangan, jangan parsial karena yang akan menerima tulisan kita nanti akan separuh juga. Karena jagat imajinasi itu sangat berbeda-beda, tergantung subjektivitas, relativitas, dan bahkan faktor psikologis. Misalnya nih yaa, ada kalimat “Grup rock asal Inggris, The Rolling Stones, merupakan grup paling hebat.” Akan ada beragam reaksi atas kalimat pendek itu, jika yang membacanya adalah kelompok remaja mereka belum tentu akan menerima pernyataan ini, namun pembaca dewasa yang pernah hidup di zamannya bisa jadi sependapat dengan pernyataan tersebut meski tidak menutup kemungkinan akan ada juga yang menolak, bagi orang yang tidak suka musik rock misalnya.
            Sering mendengar kata klise? Untuk menghindari kesalahan seperti itu, salah satu yang harus dikembangkan adalah kekayaan kita akan diksi sehingga kita akan dengan mudah membedakan kata yang fresh dan yang sudah jarang digunakan karena rohnya yang sudah memudar. Karena diksi yang sangat beragam, kita juga harus berhati-hati dan mampu menempatkan sebuah kata dengan tepat, memilih dengan benar penggunaan kata bermakna sama, kapan kita harus memakai “mondialisasi” atau “globalisasi”, hal ini menurutku bertalian dengan konteks tulisannya. Asal jangan digunakan dua-duanya ajaaa, niatnya mau meminimalisir kata klise, eehhh jadinya malah kena redundansi dan kontaminasi X_X.
            Redundansi adalah susunan kalimat yang berlebihan akibat “keserakahan” dalam pemakaian kata-kata. Hal ini merujuk pada pemakaian kata-kata yang sama sekali tak berguna, berlebihan, dan mubazir yang mencuatkan ketidakcermatan penulis. Contohnya, penggunaan kata agar supaya. Bukannya itu kontaminasi? Oh itu beda lagiiii, emang kayaknya serupa sih, tapi tak sama ._. Kalau kontaminasi, adalah penggabungan beberapa kata atau frase, sehingga menimbulkan bentuk baru yang tidak lazim karena sebenarnya suatu ungkapan tak bisa digabungkan seenaknya, misalnya berulang-kali. Mau tahu cara biar gak terjangkit kesalahan seperti itu?
Ø  Jangan menggunakan dua kata sambung sekaligus dalam satu kalimat.
Ø  Jangan menggunakan kata depan yang berlebihan.
Ø  Jangan lalai terhadap unsur sintaksis (tata kalimat) dan pengeliruan makna suatu kalimat.



[1] Indah (Italia)

Komentar

Postingan populer dari blog ini

[TASK] Proposal Usaha (Kewirausahaan)

Ini tugas bikin proposal waktu kelas sebelas hihi :3 Gak tau bener gak tau nggak soalnya dulu gak sempet direview sama gurunya -,- Disusun oleh: Asti Nurhayati Sri Isdianti Kelas XI-AP4 SMK Negeri 1 Garut 2012-2013 BAB 1 PENDAHULUAN A. Nama dan Alamat Perusahaan Toko Buku   “27 RADAR” Jl.   Radar   No. 27 Garut B. Nama dan Alamat Penanggung Jawab Usaha Ø     Penanggung jawab 1: Nama : Asti Nurhayati Nurjaman   TTL : Garut, 19 Agustus 1996   Ø      Penanggung jawab 2: Nama : Sri Isdianti TTL : Garut, 12 September 1996   C. Informasi Usaha          Usaha toko buku yang kami kelola ini berada di Jl.   Radar   No. 27, merupakan lokasi yang sangat strategis yang berada di pusat kota Garut ini, bisa dengan mudah dijangkau oleh kendaraan apapun. Juga terletak di antara banyaknya pusat perkantoran serta sekolah-sekolah sehingga menjadi suatu keuntungan tersendiri bagi kami karena berdekatan dengan banyak

[BOOK REVIEW] AYAH Tanpa Tapi

Surga juga ada di telapak kaki ayah – pada setiap langkah yang ia ambil untuk terus menyambung nafas dan menumbuhkanmu, ada surga. (Seribu Wajah Ayah – hlm. 16)             Ayah, salah satu bilah tervital dalam hidup yang dikatakan Rasulullah setelah penyebutan Ibu yang diulang sebanyak tiga kali.             Ibu, ibu, ibu, baru ayah .            Repetisi yang menomorempatkan ayah bukan berarti kita harus menomorsekiankan pula sosok itu dalam hidup. Tidak sama sekali.           Memang, kebanyakan figur ayah tidak sama dengan ibu. Jika ibu seakan tak pernah kehabisan agenda kata yang berlalu lalang di telinga kita, beda halnya dengan ayah yang bahkan seolah enggan untuk bersuara walau hanya sekecap. Pun, sering kali kita lebih nyaman bersandar di punggung ibu yang ekspresif dibanding harus bercengkrama dengan sosok ayah yang cenderung defensif.            Meski tidak menutup kemungkinan tidak semua ayah berkarakter begitu, tapi itu juga tak dapat dipungkiri, kan?         

[BOOK REVIEW] Sejarah Ekonomi Dalam Islam

بِسْــــــــــــــــــمِ اﷲِالرَّحْمَنِ اارَّحِيم Judul: Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam Penulis:DR. Euis Amalia, M.Ag Penerbit: Gramata Publishing Tebal Buku: xiv + 322 halaman ISBN: 978-602-96565-1-0 Harga: Rp. 69.000,- Sumber gambar: goodreads Ada kesenjangan epistemologi yang mengemuka lebar tatkala ingin menampilkan literatur sejarah pemikiran ekonomi. Nilai fairness dan transparansi seolah sulit untuk dibuka ketika dihadapkan pada siapa menemukan apa karena bermuara pada “otoritas klaim.” Fakta-fakta ironis menyebutkan bahwa seringkali hasil karya ilmuwan muslim kita diabaikan oleh sarjana barat, padahal mereka sendiri secara implisist mengakui banyak karyanya telah diilhami oleh  pemikir Islam atau karya mereka tidak pure lagi karena sebelumnya sudah diketemukan teori oleh sarjana muslim. Hanya bisa dihitung dengan jari penulis-penulis barat yang mengakui bahwa konsep-konsep atau teorinya berasal dari pemikir Islam. Secara simplistis saja,