Langsung ke konten utama

[BOOK REVIEW] Saat Badai Menerpa, Masihkah Ketulusan Bertahan?

بِسْــــــــــــــــــمِ اﷲِالرَّحْمَنِ اارَّحِيم









Judul: Test Pack
Penulis: Ninit Yunita
Penerbit: GagasMedia
Tebal: 202 halaman
Harga:
Rilis: Cetakan pertama, 2005. Cetakan ke lima belas, 2012.
ISBN: 978-979-3600-96-3


Sebagian dari kita mungkin ada yang mencintai seseorang karena keadaan sesaat. Karena dia baik, karena dia pintar, even mungkin karena dia kaya. Tidak pernah terpikir apa jadinya, kalau dia mendadak jahat, mendadak tidak sepintar dahulu, atau mendadak miskin.
Will you still love them, then?
That,s why you need commitment.
Don’t love someone because of what/how/who they are.
From now on, start loving someone,
because you want to.







Meski ini adalah novel lama, sudah ada filmnya pula, tapi aku tetep greget mau nulis resume iniii hehe.
Komitmen. Ya, buku ini benar-benar telah berhasil menohokku. Novel ini sungguh telah sukses menyadarkanku bagaimana cara mencintai yang seharusnya. Meski cinta yang dimaksud dalam cerita adalah cinta kepada pasangan, tetapi makna itu bisa diperluas menjadi cinta pada siapa pun yang ada di hidup kita. Sahabat, teman, saudara, pacar, atau bahkan orang tua. Serius.
Fokus utamanya adalah masalah rumah tangga yang dihadapi oleh Arista Natadiningrat dan Rahmat Natadiningrat. Di usia pernikahan yang sudah tujuh tahun mereka tak kunjung dikarunia buah hati. Arista sangat sedih dan kecewa karena sebagai seorang istri yang sangat mencintai suaminya, ia ingin sekali bisa menghadirkan seorang anak untuk Rahmat. Berbagai macam cara sudah ia coba. Berlembar-lembar rupiah sudah ia kuras. Namun apa daya, manusia hanya bisa berencana dan berusaha semampunya, sementara keputusan akhir adalah hak prerogatif Sang Mahakuasa. Meski begitu, ia tetap tak gentar, tak pernah menyerah, tak pernah berhenti untuk mencari jalan agar ia bisa memberikan buah cintanya pada sang suami. Di sini aku tahu, ternyata kehadiran anak begitu sangat dinantikan dalam sebuah pernikahan. Padahal yang ada di pikiranku sih, ada atau tidaknya anak kayaknya gak masalah deh -_- *plakk soktau -_-*
Lain halnya dengan Rahmat. Bukan tak ingin ia mendapatkan anak dari sang istri. Bukan tak mau ia mendengarkan tangisan bayi di rumahnya. Bukan. Bukan ia tak peduli dengan kerisauan sang istri. Ia seorang psikolog. Pasien selalu ia bantu agar bisa tenang dalam menghadapi persoalan hidup. Pasien selalu ia bantu agar bisa dengan kepala dingin menyelesaikan perkara yang dihadapi. Pasien selalu ia bimbing untuk memecahkan permasalahan hidupnya. Dan jika pasien saja ia perlakukan seperti itu, ia harus bisa menjadi sosok yang lebih baik yang bisa menenangkan, menghibur, menguatkan Arista. Jika ia turut larut dalam kesedihan, siapa lagi yang akan menjadi sandaran istrinya selain dirinya? Siapa sih yang lama-lama tahan melihat orang yang dicinta sedih dan sering menangis? Lagipula, Rahmat sungguh tak terlalu mempermasalahkan ada atau tidaknya bayi. Sungguh. Dan sungguh, sekali lagi, bukan karena ia tak menginginkannya, tapi karena baginya menikahi Arista adalah keputusan terbaiknya. Ia melabuhkan hatinya pada Arista karena ia memang ingin mencintai dan menyayangi Arista sebagaimana mestinya, bukan karena hal lain. Bukan karena ada apanya. Dia benar-benar mencintai Arista apa adanya. Kehadiran anak bagi Tata adalah penting. Bagi gue, kehadiran Tata dalam hidup gue adalah jauh lebih penting dari segalanya. Sungguh. Dan ya, aku jatuh cinta sama pribadi Rahmat yang ketulusannya tak diragukan ini :3 *plakk :v*
Saat mereka memutuskan untuk memeriksa keadaan masing-masing pada dokter, saat itulah masalah mulai memuncak. Arista dinyatakan normal, tidak infertil. Dan ya, ternyata yang bermasalah adalah Rahmat. Arista marah besar hingga memutuskan untuk pulang ke rumah orang tuanya saat tanpa sengaja menemukan hasil pemeriksaan yang disembunyikan oleh Rahmat. Ya, ia kecewa. Kecewa karena Rahmat menyembunyikannya. Ia kecewa karena ternyata, suaminyalah yang menjadi penghambat mimpinya untuk menggendong seorang bayi. Ia kecewa karena Rahmat infertil. Ia meninggalkan Rahmat karena keadaannya.
Benteng cinta yang selama ini Arista jaga untuk suaminya ternyata bisa dengan mudahnya runtuh saat ia tahu keadaan Rahmat yang sebenarnya. Jika seperti itu, benarkah selama tujuh tahun ia memang sangat menyayangi Rahmat? Benarkah keinginannya untuk memiliki anak adalah untuk Rahmat? Benarkah apa adanya ia mencintai Rahmat? Atau jangan-jangan perasaan yang selama ini disimpan hanyalah perasaan sementara? Di sinilah komitmen mulai dipertanyakan.
Kehadiran anak yang belum tiba sampai saat ini membuat Tata cemas tapi gue lebih cemas kalau tidak ada Tata dalam kehidupan gue. Gue membutuhkan Tata. Gue nggak bisa membayangkan kalau nggak ada Tata.
Di bagian-bagian ini, aku super-super-super kesel sama Arista yang meninggalkan Rahmat begitu saja. Arista yang meninggalkan suami yang sungguh-sungguh padanya. Di bagian ini pula aku bener-bener salut sama sosok Rahmat yang tak pernah berhenti mengupayakan agar Arista kembali padanya. Agar Arista kembali ke rumah mereka berdua. Agar Arista kembali lagi menghidupkan hidupnya. Karena Rahmat tidak bisa hidup tanpa Arista. Karena Rahmat kacau tanpa ada Arista di sampingnya. Karena Arista adalah segalanya bagi Rahmat. GREAT! Ah, aslinya orang kayak Rahmat ada gak ya? -_-
I chose to be with her. I was the one who kissed herforehead after ijab kabul. I have made my commitment.
Hingga akhirnya, setelah dua bulan berlalu yang terasa sangat panjang. Setelah melewati banyak pula kesalahpahaman di antara mereka. Arista kembali. Arista kembali pulang ke rumahnya dan Rahmat. Arista kembali setelah menyadari keegoisannya yang meninggalkan Rahmat hanya karena keadaannya. Arista kembali. Dan bersama Rahmat ia memutuskan untuk mengadopsi seorang anak.
Ya, sering kali hakikat cinta, sayang, ketulusan, kesungguhan, kepercayaan baru benar-benar bisa ditemukan setelah banyak hal pahit, pilu, perih yang harus bersama-sama dilewati. Seperti ketulusan dan kesungguhan Rahmat yang tak goyah sedikit pun meski telah ditinggalkan begitu saja oleh sang istri, justru perasaannya semakin bertambah kuat. Begitu juga dengan Arista, meski harus terlebih dahulu menjadi tega dengan mencampakkan suaminya, namun hal itu ternyata adalah sebuah jalan pintas di mana ia akhirnya benar-benar mengerti perasaan yang sesungguhnya pada Rahmat.
Dan, sudahkah kita mencintai orang-orang di sekeliling kita apa adanya? Sudahkah kita mencintai mereka karena kita memang ingin mencintai mereka sebagaimana mestinya?
Yang berbeda dari medis dan psikologis adalah bahwa dalam mediss, setelah badan mati, nyawa tidak merasa sakit lagi. Dalam psikologis, ketika nyawa terluka, dia masih harus hidup dan merasakannya. (halaman 15)
Kehilangan seseorang yang dicintai adalah salah satu hal yang berat untuk dijalani seseorang. (halaman 29)


Komentar

Postingan populer dari blog ini

[TASK] Proposal Usaha (Kewirausahaan)

Ini tugas bikin proposal waktu kelas sebelas hihi :3 Gak tau bener gak tau nggak soalnya dulu gak sempet direview sama gurunya -,- Disusun oleh: Asti Nurhayati Sri Isdianti Kelas XI-AP4 SMK Negeri 1 Garut 2012-2013 BAB 1 PENDAHULUAN A. Nama dan Alamat Perusahaan Toko Buku   “27 RADAR” Jl.   Radar   No. 27 Garut B. Nama dan Alamat Penanggung Jawab Usaha Ø     Penanggung jawab 1: Nama : Asti Nurhayati Nurjaman   TTL : Garut, 19 Agustus 1996   Ø      Penanggung jawab 2: Nama : Sri Isdianti TTL : Garut, 12 September 1996   C. Informasi Usaha          Usaha toko buku yang kami kelola ini berada di Jl.   Radar   No. 27, merupakan lokasi yang sangat strategis yang berada di pusat kota Garut ini, bisa dengan mudah dijangkau oleh kendaraan apapun. Juga terletak di antara banyaknya pusat perkantoran serta sekolah-sekolah sehingga menjadi suatu keuntungan tersendiri bagi kami karena berdekatan dengan banyak

[BOOK REVIEW] AYAH Tanpa Tapi

Surga juga ada di telapak kaki ayah – pada setiap langkah yang ia ambil untuk terus menyambung nafas dan menumbuhkanmu, ada surga. (Seribu Wajah Ayah – hlm. 16)             Ayah, salah satu bilah tervital dalam hidup yang dikatakan Rasulullah setelah penyebutan Ibu yang diulang sebanyak tiga kali.             Ibu, ibu, ibu, baru ayah .            Repetisi yang menomorempatkan ayah bukan berarti kita harus menomorsekiankan pula sosok itu dalam hidup. Tidak sama sekali.           Memang, kebanyakan figur ayah tidak sama dengan ibu. Jika ibu seakan tak pernah kehabisan agenda kata yang berlalu lalang di telinga kita, beda halnya dengan ayah yang bahkan seolah enggan untuk bersuara walau hanya sekecap. Pun, sering kali kita lebih nyaman bersandar di punggung ibu yang ekspresif dibanding harus bercengkrama dengan sosok ayah yang cenderung defensif.            Meski tidak menutup kemungkinan tidak semua ayah berkarakter begitu, tapi itu juga tak dapat dipungkiri, kan?         

[BOOK REVIEW] Sejarah Ekonomi Dalam Islam

بِسْــــــــــــــــــمِ اﷲِالرَّحْمَنِ اارَّحِيم Judul: Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam Penulis:DR. Euis Amalia, M.Ag Penerbit: Gramata Publishing Tebal Buku: xiv + 322 halaman ISBN: 978-602-96565-1-0 Harga: Rp. 69.000,- Sumber gambar: goodreads Ada kesenjangan epistemologi yang mengemuka lebar tatkala ingin menampilkan literatur sejarah pemikiran ekonomi. Nilai fairness dan transparansi seolah sulit untuk dibuka ketika dihadapkan pada siapa menemukan apa karena bermuara pada “otoritas klaim.” Fakta-fakta ironis menyebutkan bahwa seringkali hasil karya ilmuwan muslim kita diabaikan oleh sarjana barat, padahal mereka sendiri secara implisist mengakui banyak karyanya telah diilhami oleh  pemikir Islam atau karya mereka tidak pure lagi karena sebelumnya sudah diketemukan teori oleh sarjana muslim. Hanya bisa dihitung dengan jari penulis-penulis barat yang mengakui bahwa konsep-konsep atau teorinya berasal dari pemikir Islam. Secara simplistis saja,