A. PELAKU
DOSA BESAR
a. Aliran
Khawarij
Aliran ini memandang bahwa orang-orang yang terlibat dalam peristiwa tahkim
adalah kafir berdasarkan firman Allah pada surat Al-Mã’idah ayat 44.
“...
Barang siapa yang tidak memutuskan dengan apa yang diturunkan Allah, maka
mereka itulah orang-orang kafir.”
Pelaku dosa besar (mur-takib al-kabirah),
menurut Khawarij, kecuali subsekte Najdah, adalah kafir dan disiksa di neraka
selama-lamanya. Secara umum subsekte aliran Khawarij sependapat bahwa pelaku
dosa besar dianggap kafir, tetapi masing-masing berbeda pendapat tentang pelaku
dosa besar yang diberi predikat kafir.
Subsekte Khawarij yang sangat ekstrem, Azariqah, bahkan menggunakan
istilah yang lebih “mengerikan dari kafir, yaitu musyrik. Orang kafir menurut subsekte
Azariqah bukan hanya orang yang telah berbuat dosa besar seperti zina, membunuh
tanpa sebab, dan dosa besar lainnya, namun semua orang Islam yang sepaham dengannya
tetapi tidak mau hijrah ke dalam lingkungan mereka juga dipandang kafir, bahkan
musyrik.
Subsekte Nadjah bukan hanya menyandangkan
predikat musyrik dan kekal di dalam neraka pada umat yang tidak sepaham serta
tidak mau bergabung bersama mereka, tetapi juga pada orang yang melakukan dosa
kecil yang dilakukan secara kontinu sehingga akan menjadi musyrik. Jika
pengikutnya melakukan dosa besar maka akan mendapat siksaan di neraka tetapi
akhirnya akan masuk surga.
Menurut subsekte As-Sufriah, orang
yang melakukan dosa besar yang ada sanksinya di dunia, seperti membunuh dipandang
kafir, dan orang yang melakukan dosa besar yang tidak ada sanksinya di dunia disebut
musyrik.
b. Aliran
Murji’ah
Subsekte Murji’ah
dikategorikan ke dalam dua kategori, yaitu ekstrem dan moderat. Subsekte Murji’ah
ekstrem adalah mereka yang berpandangan bahwa iman terletak di dalam kalbu
karena ucapan dan perbuatan tidak selamanya merupakan refleksi dari apa yang ada
di dalam kalbu. Iman adalah tasdiq secara kalbu atau dengan kata lain ma’rifah
(mengetahui) Allah dengan kalbu; bukan secara demonstratif, baik dalam ucapan
maupun tindakan. Oleh karena itu, segala ucapan dan perbuatan seseorang yang
menyimpang dari kaidah agama tidak berarti telah menggeser atau merusak
keimanannya, bahkan keimanannya masih sempurna di hadapan Allah SWT. Hal ini
disebabkan keyakinan bahwa iqrar dan ‘amal bukan bagian dari
iman. Dapat disimpulkan bahwa Murji’ah ekstrem memandang pelaku dosa besar
tidak akan disiksa di neraka.
Menurut Murji’ah moderat,
pelaku dosa besar tidak menjadi kafir meski akan disiksa di neraka tetapi tidak
kekal dan bergantung pada ukuran dosa yang dilakukan. Serta masih terbuka
kemungkinan Tuhan akan mengampuni dosanya sehingga terbebas dari siksa neraka.
Kesimpulannya, pelaku dosa besar tetap mukmin namun bukan berarti perbuatannya
tidak berimplikasi karena semuanya tergantung pada Allah SWT. Salah satu
tokohnya adalah Abu Hanifah.
c.
Aliran
Mu’tazilah
Mengenai
status dosa besar, Mu’tazilah tidak menentukan status dan predikat secara pasti,
kecuali dengan sebutan yang sangat terkenal al-manzilah bain al-manzi-latain
yang berarti berada di posisi tengah di antar posisi mukmin dan posisi kafir. Jika
meninggal dan belum sempat bertobat, akan masuk neraka dengan siksaan yang
lebih ringan dari orang kafir. Secara lebih konseptual, Mu’tazilah merumuskan
bahwa dosa besar adalah segala perbuatan yang ancamannya disebutkan secara
tegas dalam nash. Dosa kecil adalah segala ketidakpatuhan yang ancamannya tidak
tegas dalam nash. Kesimpulannya, aliran ini menjadikan ancaman sebagai kriteria
pembagian dosa.
d.
Aliran Asy’ariah
Al-Asy’ari tidak
mengkafirkan pelaku dosa besar yang sujud ke Baitullah (Ahl Al-Qiblah)
karena tetap bagian orang yang beriman dengan keimanan yang dimiliki
masing-masing. Tetapi jika dosa besar tersebut dilakukan dengan keyakinan bahwa
hal tersebut dibolehkan (halal) maka ia dipandang telah kafir. Sedangkan untuk
balasan di akhirat tergantung kehendak Tuhan Yang Maha Berkehendak Mutlak,
namun jika disiksa di neraka pun tidak akan kekal seperti orang kafir lainnya.
e.
Aliran Maturidiah
Aliran Maturidiah, baik Samarkand
maupun Bukhara menyatakan bahwa pelaku dosa besar masih tetap sebagai mukmin
karena adanya keimanan dalam dirinya dengan balasan tergantung pada keputusan
Allah serta segala sesuatu yang dilakukannya di dunia. Sekalipun disiksa di
neraka, ia tidak akan kekal di neraka karena Tuhan telah menjanjikan akan
memberi balasan kepada manusia sesuai perbuatannya. Kekal di dalam neraka
adalah balasan bagi mereka yang berbuat dosa syirik sehingga dosa besar selain
syirik tidak menjadikan seseorang kafir atau murtad.
Menurut Al-Maturidi,
peletak dasar aliran ini, iman itu tidak cukup dengan tashdiq dan iqrar,
sedangkan amal adalah penyempurnaan iman. Oleh karena itu, amal tidak akan
menambah atau mengurangi esensi iman, kecuali menambah atau mengurangi pada
sifatnya.
B.
IMAN DAN KUFUR
Menurut
Hasan Hanafi (l. 1935 M), setidaknya ada empat istilah kunci yang biasanya
dipergunakan oleh para teolog muslim dalam membicarakan konsep iman, yaitu: (1)
marifah bil al-aql, mengetahui dengan akal; (2) amal, perbuatan
baik atau patuh; (3) iqrar, pengakuan secara lisan; dan (4) tashdiq,
membenarkan dengan hati, termasuk di dalamnya marifah bi al-qaib
(mengetahui dengan hati).
a.
Aliran Khawarij
Menurut Khawarij, iman
tidak semata-mata percaya pada Allah, tetapi juga mengerjakan segala perintah kewajiban
agama. Oleh karena itu, segala perbuatan yang religius, termasuk masalah
kekuasaan merupakan bagian dari iman (al-‘amal juz’ al-iman). Siapa pun
yang menyatakan dirinya beriman pad Allah dan Rasul-Nya, tetapi tidak
melaksanakan kewajiban agama, bahkan melakukan perbuatan dosa, oleh Khawarij
dipandang kafir.
Lain halnya dengan subsekte
Khawarij yang sangat moderat, yaitu Ibadiyah. Subsekte ini memiliki pandangan
bahwa setiap pelaku dosa besar tetap sebagai muwahhid (yang mengesakan Tuhan),
tetapi bukan mukmin. Ia tetap disebut kafir tapi hanya merupakan kafir nikmat
dan bukan kafir billah (agama). Siksaan yang akan diterima di akhirat
nanti adalah kekal di dalam neraka bersama orang-orang kafir lainnya.
b.
Aliran Murji’ah
Iman menurut Abu Hanifah
adalah iqrar dan tashdiq. Iman tidak bertambah dan tidak
berkurang yang merupakan sikap umum dari Murji’ah baik ekstrem maupun moderat.
Seluruh umat Islam sama dalam tauhid dan keimanan meski berbeda dari segi intensitas
amal perbuatannya.
Seluruh subsekte Murji’ah kecuali
As-Saubaniah, At-Tuminiah, dan Al-Karramiah memasukkan unsur ma’rifah (pengetahuan)
dalam konsep iman dengan anggapan yang dimaksud ma’rifah adalah cinta
kepada Tuhan dan tunduk kepada-Nya (al-mahabbah wa al-khudhu’).
c.
Aliran Mu’tazilah
Sebagai pandangan yang
bercorak rasional, aliran ini mengidentifikasikan ma’rifah (pengetahuan
dengan akal) sebagai aspek penting tentang iman yang berimplikasi pada sikap
penolakan keimanan berdasarkan otoritas orang lain (al-iman bi at-taqlid).
Di sini Mu’tazilah sangat menekankan pentingnya pemikiran logis atau penggunaan
akal bagi keimanan karena segala pengetahuan dapat diperoleh dengan perantaraan
akal, dan kewajiban-kewajiban dapat diketahui dengan pemikiran yang mendalam
sehingga menurut aliran ini, iman seseorang dikatakan benar jika didasarkan
pada akal, bukan taqlid.
Menurut Toshihiko Izutsu,
pandangan tersebut sangat sarat dengan konsekuensi dan implikasi yang cukup
fatal karena hanya para mutakallim (teolog) yang benar-benar dapat
menjadi orang yang beriman. Sama halnya masyarakat awam yang mayoritas umat
biasa dengan pemikiran teologis menurut konsepsi Mu’tazilah tidak dipandang memenuhi
sebagai orang yang benar-benar beriman (mukmin).
Mengenai masalah fluktuasi
iman, karena aliran ini memasukkna unsur amal sebagai unsur penting, Mu’tazilah
berpendapat bahwa seorang manusia meningkatkan dan melaksanakan amal
kebaikannya, imannya semakin bertambah. Sebaliknya, apabila setiap kali berbuat
maksiat, imannya semakin berkurang.
d.
Aliran Asy’ariah
‘Mukmin’ seperti dijumpai
dalam Al-Quran surat Yûsuf ayat 17 memiliki hubungan makna dengan kata shadiqin
dalam ayat itu. Dengan demikian menurut Al-Asy’ari, iman adalah tashdiq bi
al-qalb (membenarkan dengan hati).
Salah seorang teolog Asy’ariah
menulis:
Al-Asy’ari berkata, “... Iman (secara
esensial) adalah tashdiq bi al-janan (membenarkan dengan kalbu). Sedangkan ‘mengatakan’
(qawl) dengan lisan dan melakukan berbagai kewajuban utama (amal bi al-arkan)
sekadar merupakan furu’ (cabang-cabang) iman. Oleh sebab itu, siapa pun yang
membenarkan keesaan Tuhan dengan kalbunya dan membenarkan utusan-utusan-Nya
beserta yang mereka bawa darinya, iman orang semacam itu merupakan iman yang
sahih .... Dan seseorang tidak akan tanggal keimanannya kecuali jika mengingkari
salah satu dari hal-hal tersebut.
Keterangan
Asy-Syahrastani tersebut menempatkan ketiga unsur iman (tashdiq, qawl, dan amal)
pada posisinya masing-masing. Jadi, bagi Al-Asy’ari juga Asy’ariah, persyaratan
minimal untuk adanya iman hanyalah tashdiq, yang diekspresikan secara
verbal akan berbentuk syahadatain.
e.
Aliran Maturidiah
Aliran Maturidiah Samarkand
berpendapat bahwa iman adalah tashdiq bi al-qalb bukan
semata-mata iqrar bi al-lisan yang dikemukakan sebagai bantahan terhadap
Al-Karamiah, salah satu subsekte Murji’ah. Ia berargumentasi dengan Al-Quran surat
Al-Hujurãt 14.
Menurut Al-Maturidi sebagai
suatu penegawsan bahwa iman tidak cukup hanya dengan perkataan, sementara kalbu
tidak beriman. Apa yang diucapkan oleh lidah dalam bentuk pernyataan iman
menjadi batal apabila hati tidak mengakui ucapan lidah. Tashdiq hasil ma’rifah
yang menurut Al-Maturidi didapatkan hasil penalaran akal, bukan sekedar wahyu. Lebih
lanjut, pandangannya didasari dengan dalil naqli surat Al-Baqarah ayat 260.
Menurut aliran ini, iman
adalah tashdiq yang berdasarkan ma’rifah. Meski demikian, ma’rifah
bukan esensi iman, melainkan faktor penyebab kehadiran iman. Seperti halnya
pada saat Nabi Ibrahim meminta kepada Tuhan untuk memperlihatkan bukti dengan menghidupkan
orang yang sudah mati. Permintaan ini bukan berarti Ibrahim tidak beriman
tetapi agar iman yang dimilikinya meningkat menjadi iman hasil ma’rifah.
Adapun pengertian iman
menurut Maturidiah Bukhara adalah tashdiq bi al-qalb dan tashdiq bi
al-lisan. Tashdiq bi al-qalb adalah meyakini dan membenarkan dalam
hati akan keesaan Allah dan rasul-rasul yang diutus-Nya beserta risalah yang
dibawa dari-Nya. Tashdiq bi al-lisan adalah mengakui kebenaran seluruh pokok-pokok
ajaran Islam secara verbal. Jadi, iman adalah tashdiq yang berisikan
pembenaran dengan kalbu dan pengakuan secara verbal.
Al-Maturidi tidak mengakui adanya
fluktuasi iman. Al-Maturidi berbeda dengan Abu Hanifah dalam hal menerima adanya
perbedaan individual dalam iman. Dibuktikan dengan sikap penerimaannya terhadap
hadits Nabi Muhammad SAW. yang menyatakan bahwa skala iman Abu Bakar lebih
berat dan lebih besar dari skala iman seluruh manusia.
Pendapat yang berbeda di
atas dikembangkan dengan pernyataan bahwa iman tidak dapat berkurang, tetapi
bisa bertambah dengan ibadah-ibadah yang dilakukan. Al-Bazdawi menegaskannya
dengan membuat analogi bahwa ibadah-ibadah yang dilakukan tidak lebih sebagai
bayangan dari iman. Jika bayangan itu hilang, yang digambarkan oleh bayangan
itu tidak akan berkurang esensinya. Sebaliknya, dengan kehadiran bayang-bayang (ibadah),
iman menjadi bertambah.
C.
PERBUATAN TUHAN
DAN PERBUATAN MANUSIA
1.
Perbuatan Tuhan
a.
Aliran Mu’tazilah
Aliran bercorak rasional
ini berpendapat bahwa perbuatan Tuhan hanya terbatas pada hal-hal yang dikatakan
baik. Bukan berarti Tuhan tidak mampu melakukan perbuatan buruk, tetapi Ia
mengetahui keburukan perbuatan itu. Bahkan, di dalam Al-Quran dikatakan bahwa Tuhan
tidak berbuat zalim seperti dalam surat Al-Anbiya’ ayat 23 dan surat Ar-Rûm
ayat 8. Ayat tersebut memberi petunjuk bahwa Tuhan tidak akan ditanya mengenai perbuatan-Nya,
tetapi manusia yang ditanya tentang yang mereka perbuat. Al-Jabbai menjelaskan
bahwa Tuhan hanya berbuat yang baik dan Mahasuci dari perbuatan buruk. Jika
seseorang yang dikenal baik, apabila secara nyata berbuat baik, sebenarnya
tidak perlu ditanya kenapa perbuatan itu dilakukan. Sementara ayat dalam surat
Ar-Rûm mengandung petunjuk bahwa Tuhan tidak pernah dan tidak akan melakukan
perbuatan-perbuatan buruk karena jika Tuhan melakukannya, pernyataan bahwa Ia
menciptakan langit dan bumi serta segala isinya dengan hak, tentu tidak benar
atau merupakan berita bohong.
Dasar pemikiran tersebut
serta konsep tentang keadilan Tuhan yang berjalan sejajar dengan paham adanya
batasan-batasan bagi kekuasaan dan kehendak Tuhan, mendorong kelompok Mu’tazilah
untuk berpendapat bahwa Tuhan mempunyai kewajiban berbuat baik bahkan yang
terbaik bagi manusia (ash-shalah wa al-ashlah) yang kemudian
mengonsekuensikan aliran Mu’tazilah memunculkan paham kewjiban-kewajiban Allah
berikut ini.
a.
Kewajiban tidak
memberikan beban di luar kemampuan manusia (taklif ma la yutaq).
b.
Kewajiban
mengirimkan rasul karena meski mereka percaya bahwa akal dapat mengetahu
hal-hal gaib, namun ada suatu kondisi dimana akan tidak dapat mengetahui yang
harus diketahui manusia tentang Tuhan dan alam gaib.
c.
Kewajiban
menepati janji (al-wa’d) dan ancaman (al-wa’id) yang merupakan
salah satu dari lima dasar kepercayaan aliran Mu’tazilah.
b.
Aliran Asy’ariah
Aliran Asy’ariah tidak
menerima paham Tuhan mempunyai kewajiban karena bertentangan dengan paham
kekuasaan dan kehendak mutlak Tuhan. Aliran ini memiliki paham Tuhan dapat
berbuat sekehendak hati-Nya terhadap makhluk sebagaimana dikatakan Al-Ghazali
bahwa perbuatan-perbuatan Tuhan bersifat tidak wajib (ja’iz) dan tidak
satu pun darinya yang mempunyai sifat wajib. Karena pahamnya itulah aliran ini menerima
paham pemberian beban yang di luar kemampuan manusia.
Meski pengiriman Rasul
mempunyai arti penting dalam teologi, aliran Asy’ariah menolaknya sebagai
kewajiban Tuhan karena bertentangan dengan keyakinan mereka bahwa Tuhan tidak
mempunyai kewajiban terhadap manusia. Paham serupa ini membawa akibat yang
tidak baik. Sekiranya Tuhan tidak mengutus Rasul, hidup manusia akan mengalami
kekacauan karena tanpa wahyu manusia tidak dapat membedakan perbuatan baik dan
buruk. Sesuai dengan pahamnya tentang kekuasaan dan kehendak Tuhan, hal ini
tidak menjadi permasalahan menurut aliran Al-Asy’ari karena Tuhan berbuat yang
dikehendaki karena Tuhan dalam paham ini tidak berbuat untuk kepentingan
manusia.
Karena tidak mengakui
kewajiban-kewajiban Tuhan, mereka berpendapat bahwa Tuhan tidak mempunyai
kewajiban menepati janji dan menjalankan ancaman yang tersebut dalam Al-Quran
dan Hadits. Sementara untuk mengatasi arti ayat Al-Quran yang menegaskan bahwa
siapa yang berbuat baik akan masuk surga dan siapa yang berbuat jahat akan
masuk neraka, kata-kata Arab man, alladzina, dan sebagainya diberi
interpretasi “bukan semua orang, tetapi sebagian”. Dengan demikian, yang
diancam akan mendapat hukuman bukan semua orang, melainkan sebagian, sedangkan
sebagian lagi akan terlepas dari siksaan atas dasar kekuasaan dan kehendak
mutlak Tuhan, begitu pula sebaliknya dengan janji berupa pahala.
c.
Aliran
Maturidiah
Aliran Maturidiah Samarkand
yang memberikan batas pada kekuasaan dan kehendak mutlak Tuhan berpendapat
bahwa Tuhan hanya menyangkut hal-hal yang baik. Sehingga Tuhan mempunyai
kewajiban melakukan yang baik bagi manusia, termasuk pengiriman Rasul.
Maturidiah Bukhara sejalan
dengan Asy’ariah mengenai paham bahwa Tuhan tidak mempunyai kewajiban. Tetapi,
Tuhan harus menepati janji-Nya, seperti memberi upah kepada orang yang berbuat
baik, meski membatalkan ancaman bagi orang yang berdosa besar. Sementara pandangan
Maturidiah Bukhara terhadap pengiriman Rasul tidak bersifat wajib, tetapi
mungkin.
Aliran
Samarkand memberi batasan pada kekuasaan dan kehendak mutlak Tuhan sehingga
menerima paham adanya kewajiban-kewajiban bagi Tuhan minimal kewajiban menepati
janji tentang pemberian upah dan hukuman.
Aliran
Maturidiah Bukhara menerima paham mengenai memberikan beban kepada manusia di
luar batas kemampuan karena menurut Al-Bazdawi, Tuhan tidak mustahil meletakkan
atas diri manusia kewajiban-kewajiban yang tidak dapat dipikulnya. Sementara Maturidiah
Samarkand tidak menerima paham tersebut karena menurut Al-Quran Tuhan tidak
membenani manusia dengan kewajiban-kewajiban yang tidak terpikul, sejalan
dengan paham bahwa manusia sebenarnya yang mewujudkan perbuatannya, bukan
Tuhan.
Pengiriman
Rasul menurut aliran Maturidiah Bukhara tidak bersifat wajib, dan hanya
bersifat mungkin, sementara Maturidiah Samarkand, dalam Isyarat Al-Maram,
Al-Bayadi menjelaskan bahwa keumuman Maturidiah sepaham dengan Mu’tazilah
mengenai kewajiban mengirim Rasul.
Tuhan
dalam paham Maturidiah Bukhara mempunyai kewajiban terhadap manusia, berlawanan
dengan pendapat bahwa Tuhan tidak mempunyai kewajiban terhadap manusia. Menurut
paham Al-Bazdawi, kekuasaan dan kehendak Tuhan tidak mutlak, seperti yang
dianut oleh aliran Asy’ariah. Bagi aliran Asy’ariah, Tuhan boleh melanggar
janji-janji-Nya. Bagi Maturidiah golongan Bukhara, Tuhan tidak mungkin
melanggar janji-Nya untuk memberi upah kepada orang yang berbuat baik.
Golongan
Samarkand dalam hal ini mempunyai pendapat yang sama dengan aliran Mu’tazilah
sebagaimana dilihat bahwa upah dan hukuman Tuhan tidak boleh terjadi kelak.
2.
Perbuatan
Manusia
a.
Aliran Jabariah
Jabariah ekstrem
berpendapat bahwa segala perbuatan manusia bukan merupakan perbuatan yang
timbul dari kemauannya, melainkan perbuatan yang dipaksakan atas dirinya. Bahkan
Jabariah ekstrem mengatakan bahwa manusia tidak mampu berbuat, tidak mempunyai
daya, kehendak sendiri, dan pilihan.
Sementara
Jabariah moderat mengatakan bahwa Tuhan menciptakan perbuatan manusia, baik
maupun jahat, tetapi manusia mempunyai bagian di dalamnya. Tenaga yang
diciptakan dalam diri manusia mempunyai efek untuk mewujudkan perbuatannya yang
dimaksud kasab (acquistion). Menurut paham kasab, manusia
tidak majbur (dipaksa Tuhan), tidak seperti wayang yang dikendalikan dalang
dan tidak pula menjadi pencipta perbuatan, tetapi manusia memperoleh perbuatan
yang diciptakan Tuhan.
b.
Aliran Qadariah
Aliran Qadariah menyatakan
bahwa setiap perilaku manusia dilakukan atas kehendaknya sendiri karena manusia
mempunyai kewenangan untuk melakukan segala perbuatan. Oleh karena itu, ia
berhak mendapat pahala atas kebaikan yang dilakukan dan mendapat hukuman atas
kejahatan yang diperbuat. Sehingga mendapat balasan surga atau pun neraka
merupakan pilihan pribadi manusia karena tidak pantas jika manusia mendapat balasan
atas perbuatan yang tidak ingin dilakukannya.
Paham takdir menurut
Qadariah adalah ketentuan Allah yang diciptakan-Nya berlaku untuk alam semesta beserta
isinya, semenjak ajal, yaitu hukum yang dalam Al-Quran dikenal dengan sunatullah.
Qadariah berpendapat bahwa
tidak ada alasan yang tepat menyandarkan segala perbuatan manusia pada perbuatan
Tuhan. Banyak ayat Al-Quran yang dapat mendukung pendapat ini, seperti surat
Al-Kahf ayat 29, Ãli ‘Imrãn ayat 165, Ar-Ra’d ayat 11, An-Nisã ayat 111.
c.
Aliran Mu’tazilah
Aliran Mu’tazilah memandang
manusia mempunyai daya yang besar dan bebas sehingga menganut paham Qadariah
atau free will karena manusia yang menciptakan perbuatan-perbuatannya.
Daya (al-istitha’ah) untuk mewujudkan kehendak telah terdapat dalam diri
manusia sebelum ada perbuatan.
Perbuatan
manusia bukan diciptakan Tuhan pada diri manusia, tetapi manusia yang
mewujudkannya, dan daya berasal dari manusia sebagai tempat terciptanya
perbuatan. Jadi, Tuhan tidak dilibatkan dalam perbuatan manusia karena
menurutnya dalam satu perbuatan tidak mungkin ada dua daya yang menentukan.
Aliran
Mu’tazilah mengakui bahwa Tuhan sebagai penciptan awal, sedangkan manusia
berperan sebagai pihak yang mempunyai kreasi mengubah bentuknya. Sebagai
konsekuensi, Mu’tazilah berpendapat bahwa manusia terlibat dalam penentuan ajal
karena ajal ada dua macam. Pertama, al-ajal ath-thabi’i merupakan
kekuasaan mutlah Tuhan untuk menentukannya. Kedua, ajal yang dibuat
manusia, misalnya bunuh diri.
a.
Aliran Asy’ariah
Asy’ariah menempatkan
manusia di posisi yang lemah, tidak mempunyai pilihan dalam hidup sehingga
lebih dekat dengan aliran Jabariah. Asy’ari menggunakan teori al-kasb (acquistion,
perolehan) bahwa segala sesuatu terjadi dengan perantara daya yang diciptakan,
dan menjadi perolehan bagi orang muktasib (yang memperoleh kasab)
sehingga perbuatan itu timbul. Konsekuensinya, manusia kehilangan keaktifan. Argumennya
terdapat dalam surat Ash-Shãffãt ayat 96.
Artinya: “Padahal Allah-lah yang
menciptakan kamu dan apa yang kamu perbuat itu.”
Aliran
ini berpendapat bahwa perbuatan manusia diciptakan Allah. Daya manusia tidak
mempunyai efek untuk mewujudkannya. Allah menciptakan perbuatan untuk manusia
dan menciptakan pula –pada diri manusia– daya untuk melahirkan perbuatan tersebut.
Jadi, perbuatan adalah ciptaan Allah dan kasab (perolehan) bagi manusia.
Dengan begitu, kasab mempunyai pengertian pernyertaan perbuatan dengan
daya manusia yang baru.
b.
Aliran
Maturidiah
Menurut Maturidiah Samarkand,
perbuatan manusia adalah kehendak dan daya manusia dalam arti sebenarnya, bukan
kiasan. Daya untuk berbuat diciptakan tidak sebelumnya, tetapi bersama-sama
dengan perbuatan bersangkutan sehingga porsinya lebih kecil daripada daya dalam
paham Mu’tazilah.
Maturidiah Bukhara juga
sependapat, namun aliran ini memberi tambahan dalam masalah daya bahwa untuk
perwujudan perbuatan perlu ada dua daya. Manusia tidak mempunyai daya untuk melakukan
perbuatan, dan manusia hanya dapat melakukan perbuatan yang telah diciptakan
Tuhan baginya.
D.
SIFAT-SIFAT
TUHAN
a.
Aliran Mu’tazilah
Jika Tuhan mempunyai
sifat-sifat itu,seharusnya kekal seperti halnya dzat Tuhan. Jika sifat-sifat
itu kekal, yang bersifat kekal tidak satu, tetapi banyak. Kekalnya sifat-sifat
akan membawa pada paham banyak yang kekal (ta’addud al-qudama’ atau multiplicity
of eternals). Ini membawa pada paham syirk atau politeisme. Washil bin ‘Atha’
menegaskan bahwa siapa saja menetapkan adanya sifat qadim bagi Allah, ia
telah menetapkan adanya dua Tuhan.
Kaum Mu’tazilah mengatakan
bahwa Tuhan tidak mempunyai sifat karena definisi mereka tentang Tuhan bersifat
negatif. Tuhan tidak mempunyai pengetahuan, tidak mempunyai kekuasaan, tidak
mempunyai hajat, dan sebagainya. Tidak berarti bahwa Tuhan tidak mengetahui,
tidak berkuasa, tidak hidup. Tuhan bagi mereka tetap mengetahui, berkuasa,
tetapi bukan dengan sifat dalam arti sebenarnya. Artinya, Tuhan mengetahui
dengan pengetahuan, dan pengetahuan itu adalah Tuhan. Pengetahuan Tuhan adalah
Tuhan, yaitu dzat dan esensi Tuhan.
Meski terdapat perbedaan paham
antara para pemuka Mu’tazilah, mereka sepakat mengatakan bahwa Tuhan tidak
mempunyai sifat. Termasuk Mu’tazilah beraliran akal daya yang besar, mereka
menolak adanya sifat jasmani. Karena Tuhan tentu akan mempunyai panjang, lebar,
dan dalam sehingga Mu’tazilah menafsirkan ayat-ayat yang terkesan Tuhan bersifat
jasmani secara metaforis. Dengan kata lain, ayat-ayat Al-Quran yang
menggambarkan bahwa Tuhan bersifat jasmani diberi takwil oleh Mu’tazilah dengan
pengertian yang layak bagi kebesaran dan keagungan Allah. Misalnya, kata istawa
dalam surat Tãhã ayat 5 ditakwil dengan al-istila’ wa al-ghalabah
(menguasai dan mengalahkan).
Mu’tazilah berpendapat
bahwa Tuhan bersifat immateri sehingga tidak dapat dilihat dengan mata jasmani.
Pertama, Tuhan tidak mengambil tempat sehingga tidak dapat dilihat. Kedua,
apabila Tuhan dapat dilihat dengan mata kepala berarti Tuhan dapat dilihat
sekarang di dunia ini. Ayat-ayat Al-Quran yang dijadikan sandaran yaitu surat
Al-an’ãm ayat 103, Al-Qiyãmah ayat 22-23, Al-A’rãf ayat 143, Al-Kahf ayat 110,
dan ayat 51 surat Asy-Syûrã.
b.
Aliran Asy’ariah
Mereka dengan tegas
menyatakan bahwa Tuhan memiliki sifat karena perbuatan-perbuatannya. Tuhan
mengetahui, menghendaki, berkuasa, di samping mempunyai pengetahuan, kemauan,
dan daya. Allah juga memiliki sifat-sifat seperti tangan dan kaki, tidak boleh diartikan
secara harfiah, namun secara simbolis. Mereka berpendapat bahwa Allah itu unik
dan tidak dapat dibandingkan dengan sifat-sifat manusia yang tampaknya mirip. Sifat-sifat
Allah berbeda dengan Allah, tetapi tidak terpisah dari esensi-Nya. Dengan
demikian, tidak berbeda dengan-Nya. Asy’ariah mengatakan bahwa sifat-sifat itu
bukan Tuhan, melainkan dari Tuhan sehingga tidak membawa pada paham banyak yang
kekal.
Asy’ariah
sebagai aliran kalam tradisional yang memberikan daya pada akal menolak paham
Tuhan mempunyai sifat jasmani apabila dipandang sama dengan sifat manusia. Akan
tetapi, ayat-ayat Al-Quran meskipun menggambarkan Tuhan mempunyai sifat jasmani
tidak boleh ditakwilkan dan harus diterima sebagaimana makna harfinya namun
dikatakan la yukayyaf wa la yuhadd (tanpa diketahui cara dan batasnya).
Asy’ariah
berpendapat bahwa Tuhan dapat dilihat di akhirat dengan mata kepala karena memiliki
wujud. Tuhan melihat apa yang ada sehingga Tuhan melihat diri-Nya juga yang
tentu dapat membuat manusia mempunyai kemampuan melihat-Nya dengan sandaran
pada ayat Al-Quran surat Al-Qiyãmah ayat 22-23,
Al-A’rãf ayat 143, dan surat Yûnus ayat 26.
c.
Aliran Maturidiah
Aliran ini meyakini bahwa
Tuhan mempunyai sifat-sifat seperti sama’, bashar, namun sebagai sesuatu
yang bukan dzat, melainkan melekat pada dzat itu. Sifat tidak dikatakan
esensi-Nya, dan bukan pula lain dari esensi-Nya. Menetapkan sifat pada Allah tidak
harus membawa pada pengertian antropomorpisme karena sifat tidak berwujud yang
tersendiri dari dzat, sehingga sifat tidak akan membawa pada berbilangnya yang qadim.
Maturidiah
Bukhara berpendapat bahwa Tuhan mempunyai sifat-sifat dan Tuhan bersama
sifat-sifat-Nya kekal, tetapi sifat-sifat itu tidak kekal sehingga terhindar
dari paham banyak yang kekal. Tapi Tuhan tidak mempunyai sifat jasmani dan
ayat-ayat yang menyebutkannya harus diberi takwil dan yang dimaksud jasmani di
sana adalah kekuasaan Tuhan, sependapat dengan goongan Samarkand. Golongan
Samarkand mengatakan bahwa sifat bukanlah Tuhan melainkan dari Tuhan.
Menurut Samarkand, Tuhan
dapat dilihat karena merupakan hal yang seharusnya dan benar tetapi tidak dapat
dijelaskan cara melihatnya, seperti halnya menurut Bukhara yang menambahkan kelak
Tuhan akan memperlihatkan diri-Nya.
d.
Aliran Syi’ah Rafidhah
Aliran ini menolak Allah
bersifat tahu karena pengetahuan bersifat baru. Allah tidak bersifat tahu terhadap
sesuatu sebelum Ia menghendakinya. Ketika Ia menghendaki sesuatu, Ia pun
bersifat tahu, begitu sebaliknya. Allah berkehendak adalah mengeluarkan gerakan
dan ketika bergerak Allah bersifat tahu terhadap sesuatu, begitu juga
sebaliknya.
Mayoritas tokoh ini
menyifati Tuhan dengan bada’ (perubahan) di mana Tuha mengalami banyak
perubahan. Perubahan ini bukan dalam artian nash, tetapi dalam arti
bahwa pada waktu yang pertama ia tidak tahu apa yang akan terjadi pada waktu
yang kedua.
E.
KEHENDAK MUTLAK
TUHAN DAN KEADILAN TUHAN
a.
Aliran Mu’tazilah
Mu’tazilah mengatakan bahwa
Tuhan adi dan tidak mungkin berbuat zalim dengan memaksakan kehendak-Nya
sehingga manusia memiliki kebebasan untuk berbuat. Ini berimplikasi pada bahwa
kekuasaan tidak mutlak lagi karena kebebasan yang diberikan Tuhan kepada
manusia serta adanya hukum alam (sunatullah) yang menurut Al-Quran tidak
pernah berubah. Sehingga kekuasaan dan kehendak mutlak Tuhan berlaku dalam
jalur hukum di alam semesta seperti dalam surat Al-Ahzãb ayat 62.
Keadilan Tuhan mengandung
arti Tuhan tidak berbuat dan tidak memilih yang buruk, tidak melalaikan
kewajiban-Nya kepada manusia, dan segala perbuatan-Nya adalah baik. Pikiran ini
mengharuskan ketidakbolehan bersifat zalim dalam menghukum pada yang tidak
patuh karena Tuhan mempunyai kewajiban untuk-Nya. Ayat yang dijadikan sandaran,
yaitu surat Al-Anbiyã ayat 47, ayat 54 surat Yãsin.
Semua perbuatan yang timbul
dari Tuhan dalam hubungannya dengan hamba ditentukan dengan kebijakan atas
dasar kemaslahatan. Perbuatan Tuhan mempunyai tujuan tidak untuk kepentingan
diri-Nya, tetapi untuk makhluk da perbuatan-Nya selalu baik di mana Tuhan tidak
menzalimi manusia dengan memberikan beban di luar pikulan dan menyiksa dengan
memaksa. Keadilan Tuhan terletak pada keharusan adanya tujua dalam
perbuatan-Nya.
b.
Aliran Asy’ariah
Kaum ini percaya pada
kemutlakan Tuhan sehingga berpendapat bahwa Tuhan tidak mempunyai tujuan. Sebab
yang mendorong Tuhan untuk melakukan sesuatu karena kekuasaan dan kehendak
mutlak-Nya, bukan karena kepentingan manusia atau tujuan lain. Mereka
mengartikan keadilan dengan menempatkan sesuatu di tempat yang sebenarnya. Dengan
demikian keadilan Tuhan berarti Tuhan mempunyai kekuasaan mutlak terhadap
makhluk-Nya dan dapat berbuat sekehendak-Nya, Tuhan dapat memberi pahala atau
siksa, berbuat dan membuat hukum dengan kehendak-Nya, karena itu adil bagi Tuhan. Jika Tuhan tidak
lagi berkuasa mutlak, hak tersebut dikatakan ketidakadilan.
Aliran ini berpendapat
bahwa akal mempunyai daya yang kecil dan manusia tidak mempunyai kebebasan atas
kehendak dan perbuatannya, kekuasaan dan kehendak mutlak Tuhan harus berlaku
semutlak-mutlaknya, jika menghendaki Ia dapat memberi beban yang tidak terpikul
oleh manusia.
Ayat-ayat yang dijadikan
sandaran yaitu surat Al-Bursurat Al-Burûj ayat 16, surat Yûnus ayat 99 yang
dipahami sebagi pernyataan tentang kekuasaan dan kehendak mutlak Tuhan.
Kehendak Tuhan harus berlaku, jika tidak berarti Tuhan lupa, lalai, lemah untuk
melaksanakan kehendak-Nya. Manusia berkehendak setelah dikehendaki oleh Tuhan, jika
tidak maka tidak bisa.
c.
Aliran Maturidiah
Kehendak mutlak Tuhan menurut
Maturidiah Samarkand dibatasi keadilan Tuhan yang berarti segala perbuatan-Nya
adalah baik dan tidak mampu untuk berbuat buruk serta tidak mengabaikan kewajiban-Nya
terhadap manusia. Sehingga Tuhan tidak akan memberi beban yang terlalu berat
kepad manusia dan tidak sewenang-ernang dalam menghukum karena tidak dapat
berbuat zalim. Tuhan akan memberi upah atau hukuman sesuai perbuatan manusia.
Maturidiah Bukhara
berpendapat Tuhan mempunyai kekuasaan mutlak. Tidak ada yang dapat menentang
atau memaksa dan tidak ada larangan bagi Tuhan. Sehingga keadilan Tuhan terletak
pada kehendak mutlak-Nya. Konsep keadilan Tuhan bukan diletakkan pada
kepentingan manusia, tetapi sebagai pemilik mutlak.
BAB 3
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Beragamnya aliran-aliran kalam dengan doktrin serta
pemahaman yang bervariasi pula dalam memandang suatu permasalahan memperkaya pengetahuan
kita tentang banyaknya perbedaan dalam tubuh agama Islam. Bahkan di dalam
perbedaan itu terklasifikasi lagi paham-paham yang lain. Hal ini terjadi karena
banyak faktor baik ekstern dan atau intern. Namun runcingnya perbedaan jangan
sampai meruncingkan kehidupan yang akan menyebabkan banyak keributan terjadi
karena mempertahankan pendapat masing-masing. Benar atau salah, iya atau tidak,
hal tersebut kembali pada diri kita masing-masing. Yang terpenting kita harus
mampu menjaga kesatuan kita sebagai umat muslim.
Pelaku dosa besar kafir atau tidak? Iman dan kufur fluktuatif
atau tidak? Perbuatan Tuhan dan perbuatan manusia seimbang atau tidak? Sifat-sifat
Tuhan ada atau tidak? Kehendak mutlak Tuhan dan keadilan Tuhan besar atau
tidak? Mari kita satukan kesamaan dan jadikan perbedaan sebagai rahmat untuk menjadi
muslim beradab yang mampu menjaga nama baik agama Islam itu sendiri.
DAFTAR
PUSTAKA
Hamdani. Maslani. Ratu, Suntiah. Ilmu Kalam. Bandung: Sega Arsy.
2009.
Rozak, Abdul. Rosihon, Anwar. Ilmu Kalam. Bandung: Pustaka Setia.
2012.
Komentar
Posting Komentar