Langsung ke konten utama

[CREATE IT] Berubah? Sangat Mungkin!

بِسْــــــــــــــــــمِ اﷲِالرَّحْمَنِ اارَّحِيم


“Eh eh, kok bungkusnya dibuang sembarangan?”
“Buat apa bayar petugas kebersihan?”

“Jajan bakso yuk.”
“Tunggu. Aku ambil mangkok dulu.”
“Kamu ribet amat sih. Tukang bakso juga nyediain plastik kan?”
“Gerakan Indonesia Diet Kantong Plastik. Kamu gak tahu emang?”
“Diet? Plastik harganya nggak sampe satu milyar kan?”

“Semua belanjaannya jadi berapa Bu?”
“Lima belas ribu Dek. Ini kreseknya.
“Ah tidak usah Bu.”
“Tapi itu belanjaannya banyak Dek. Nanti kamu kerepotan.”
“Tidak perlu Bu. Aku sudah bawa kantong sendiri kok.”

            Bungkus? Mangkok? Plastik? Kresek? Kantong? Jajan? Mungkin itu adalah beberapa kata yang terlintas di benak setelah membaca beberapa petikan dialog di atas. Satu istilah akan didapat jika makna dari obrolan-oboral singkat di atas dikerucutkan. Sampah. Apa itu sampah? Sampah merupakan material sisa yang tidak diinginkan setelah berakhirnya suatu proses[1]. Sementara menurut KBBI, sampah adalah barang atau benda yang dibuang karena tidak terpakai lagi. Namun, ini bukanlah saatnya untuk beradu definisi, bukan pula ajang untuk bercuap-cuap menghafal kisi-kisi. Lalu? Sebut saja ini adalah tulisan sederhana yang akan mengupas tentang pentingnya memutus mata rantai dari permasalahan sampah yang mengungkung kehidupan. Dan, adalah manusia yang menjadi mata rantai atas persoalan lingkungan ini. Tidak percaya?
            Seandainya dalam satu hari “diproduksi” sampah sebanyak satu kilogram yang berarti tiga puluh kilogram untuk satu bulan, dan akan menjadi 360 kilogram jika diakumulasikan selama satu tahun. Bukankah itu angka yang sangat fantatis untuk ukuran “output” sampah yang dihasilkan olah satu orang? Belum lagi jika dilakukan penghitungan agregat dalam lingkup nasional atau bahkan dunia? Luar biasa bukan?
            Namun sesungguhnya angka tersebut bisa dikikis bahkan sampai tingkat paling rendah sekalipun. Tidak ada yang tak mungkin selama hal itu dimungkinkan untuk ada atau bahkan menjadi ada. Masalah sampah salah satunya. Masalah yang dalam keseharian masih dianggap sepele oleh segelintir orang. Ya, hal sepele yang pada akhirnya menjadi sangat bertele-tele untuk dibenahi karena tak ada yang mau ambil peduli. Pemikiran harus segera dikerahkan dan disatukan untuk menumpas peliknya persoalan ini. Kekuatan mesti cepat dikeluarkan dan dikumpulkan untuk memutus mata rantai problema kehidupan ini. Tapi ... saya bukan seseorang dengan otoritas kuat yang bisa dengan mudah melakukan berbagai macam pergerakan. Tapi ... saya juga bukan aktifis yang senang berkecimpung dengan banyak orang untuk bekerja sama mencapai suatu tujuan. Tapi ... relasi saya tidak terlalu luas untuk mencari dan mengajak banyak orang. Tapi ... tapi .... Berhenti! Tolong. Tolong berhenti mengorek-ngorek alasan yang hanya akan menjadi penghambat jalan menuju kebaikan.
Coba renungkan. Kenapa membuang sampah sembarangan bisa menjadi kebiasaan buruk yang sangat membudaya di negeri ini? Haruskah terlebih dahulu menjadi seseorang berotoritas agar bisa melempar kulit pisang ke sembarang tempat? Lalu, wajibkah terlebih dahulu menjadi aktifis untuk dapat dengan seenaknya menyimpan kemasan makanan di bawah kursi angkutan umum? Kemudian, perlukah memiliki relasi ketika dengan gampangnya mencemari lingkungan dengan limbah industri?
TIDAK. Fenomena itu terjadi karena kebiasaan buruk yang tanpa sadar ditanam hingga akhirnya mengakar sangat kuat dalam diri setiap individu. Awalnya bisa saja hanya sebuah ketidaksengajaan, ketidaksadaran, kelupaan, yang kemudian menjadi kebiasaan.
Di atas disinggung bahwa tidak ada yang tak mungkin selama hal itu dimungkinkan untuk ada atau bahkan menjadi ada. Jika kenyataan yang saat ini dihadapi dimungkinkan untuk diputarbalikkan, apa bisa menjadi ada? Kalau alasan-alasan yang menjadi penghambat dimungkinkan untuk dihilangkan, apa mungkin menjadi berubah?
Sekarang coba putar balikkan. Kenapa membuang sampah ke tempatnya bisa menjadi kebiasaan baik yang sangat membudaya di negeri ini. Tidak harus terlebih dahulu menjadi seseorang berotoritas untuk mulai melempar kulit pisang ke tempatnya. Tidak wajib terlebih dahulu menjadi seorang aktifis untuk tidak menyimpan kemasan makanan di bawah kursi angkutan umum. Tidak perlu memiliki relasi agar dengan gampang tidak mencemari lingkungan dengan limbah industri.
Bukankah pola perumpamaan di atas serupa dengan kebiasaan membuang sampah sembarangan? Mulai dari diri sendiri. Mulai dari diri sendiri untuk memutar kebiasaan buruk menjadi baik. Mulai dari diri sendiri untuk mengubah kebiasaan membuang sampah sembarangan menjadi membuang sampah tidak sembarangan. Antonim bukan? Jika satu sisi yang buruk saja bisa dengan mudah dijalani, tidak menutup kemungkinan pula satu sisi yang baik tak akan sukar dilewati.
Selain menerapkan prinsip antonim –dengan tidak membuang sampah sembarangan–, banyak cara yang bisa ditempuh, bukan hanya untuk meminimalisir volume sampah yang berserakan di sembarang tempat, tetapi juga mengurangi jumlah “produksi” sampah di lingkungan. Caranya? Seperti ilustrasi pada dialog singkat di atas, “diet”.
Jika tadinya setiap kepala “memproduksi” sampah sebanyak satu kilogram per hari kemudian melakukan “diet” menjadi setengah kilogram per hari, dan akan menjadi lima belas kilogram dalam satu bulan. Angka itu akan menjadi sangat luar biasa jika dilakukan penghitungan secara menyeluruh dalam lingkup dunia. Seperti contoh sebelumnya, sama-sama luar biasa bukan? Perbedaannya? Antonim.
Diet kantong plastik. Diet sisa olahan makanan. Hingga diet limbah industri. Jangan bilang tidak mungkin dengan dalih karena hal-hal tersebut tidak bisa lepas dari aktifitas keseharian manusia. Tidak ada yang tidak mungkin bukan? Pasti sudah mendengar zero waste lifestyle bukan? Pola hidup yang berusaha meminimalisir, menekan penggunaan barang-barang yang kemudian hanya akan menjadi buangan dan berkontribusi dalam peningkatan jumlah sampah di lingkungan. Nol sampah.
Kebiasaan baik ini dapat diaplikasikan dalam keanekaragaman kehidupan sehari-hari yang sarat dengan rutinitas. Kegiatan apa pun dapat dilekati dengan prinsip nol sampah ini. Serupa seperti tadi, jika “menghamburkan” sampah saja bisa, bukan tidak mungkin “menghemat sampah” akan lebih bisa bukan?
Kerahkan dan satukan pikiran. Keluarkan dan kumpulkan kekuatan. Putus mata rantai permasalahan. Berhenti mengorek-ngorek alasan. Prinsip antonim. Gaya hidup nol sampah. Mulai dari sendiri. Mudah bukan? Berubah? Sangat mungkin!




[1] Id.m.wikipedia.org/wiki/Sampah

Komentar

Postingan populer dari blog ini

[TASK] Proposal Usaha (Kewirausahaan)

Ini tugas bikin proposal waktu kelas sebelas hihi :3 Gak tau bener gak tau nggak soalnya dulu gak sempet direview sama gurunya -,- Disusun oleh: Asti Nurhayati Sri Isdianti Kelas XI-AP4 SMK Negeri 1 Garut 2012-2013 BAB 1 PENDAHULUAN A. Nama dan Alamat Perusahaan Toko Buku   “27 RADAR” Jl.   Radar   No. 27 Garut B. Nama dan Alamat Penanggung Jawab Usaha Ø     Penanggung jawab 1: Nama : Asti Nurhayati Nurjaman   TTL : Garut, 19 Agustus 1996   Ø      Penanggung jawab 2: Nama : Sri Isdianti TTL : Garut, 12 September 1996   C. Informasi Usaha          Usaha toko buku yang kami kelola ini berada di Jl.   Radar   No. 27, merupakan lokasi yang sangat strategis yang berada di pusat kota Garut ini, bisa dengan mudah dijangkau oleh kendaraan apapun. Juga terletak di antara banyaknya pusat perkantoran serta sekolah-sekolah sehingga menjadi suatu keuntungan tersendiri bagi kami karena berdekatan dengan banyak

[BOOK REVIEW] Sejarah Ekonomi Dalam Islam

بِسْــــــــــــــــــمِ اﷲِالرَّحْمَنِ اارَّحِيم Judul: Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam Penulis:DR. Euis Amalia, M.Ag Penerbit: Gramata Publishing Tebal Buku: xiv + 322 halaman ISBN: 978-602-96565-1-0 Harga: Rp. 69.000,- Sumber gambar: goodreads Ada kesenjangan epistemologi yang mengemuka lebar tatkala ingin menampilkan literatur sejarah pemikiran ekonomi. Nilai fairness dan transparansi seolah sulit untuk dibuka ketika dihadapkan pada siapa menemukan apa karena bermuara pada “otoritas klaim.” Fakta-fakta ironis menyebutkan bahwa seringkali hasil karya ilmuwan muslim kita diabaikan oleh sarjana barat, padahal mereka sendiri secara implisist mengakui banyak karyanya telah diilhami oleh  pemikir Islam atau karya mereka tidak pure lagi karena sebelumnya sudah diketemukan teori oleh sarjana muslim. Hanya bisa dihitung dengan jari penulis-penulis barat yang mengakui bahwa konsep-konsep atau teorinya berasal dari pemikir Islam. Secara simplistis saja,

[BOOK REVIEW] AYAH Tanpa Tapi

Surga juga ada di telapak kaki ayah – pada setiap langkah yang ia ambil untuk terus menyambung nafas dan menumbuhkanmu, ada surga. (Seribu Wajah Ayah – hlm. 16)             Ayah, salah satu bilah tervital dalam hidup yang dikatakan Rasulullah setelah penyebutan Ibu yang diulang sebanyak tiga kali.             Ibu, ibu, ibu, baru ayah .            Repetisi yang menomorempatkan ayah bukan berarti kita harus menomorsekiankan pula sosok itu dalam hidup. Tidak sama sekali.           Memang, kebanyakan figur ayah tidak sama dengan ibu. Jika ibu seakan tak pernah kehabisan agenda kata yang berlalu lalang di telinga kita, beda halnya dengan ayah yang bahkan seolah enggan untuk bersuara walau hanya sekecap. Pun, sering kali kita lebih nyaman bersandar di punggung ibu yang ekspresif dibanding harus bercengkrama dengan sosok ayah yang cenderung defensif.            Meski tidak menutup kemungkinan tidak semua ayah berkarakter begitu, tapi itu juga tak dapat dipungkiri, kan?