بِسْــــــــــــــــــمِ اﷲِالرَّحْمَنِ
اارَّحِيم
Judul : Ketika Ibu Melupakanku
Penulis : DY Suharya & Dian Purnomo
Penerbit : Gramedia Pustaka Utama
Tebal
Buku : 183 halaman
Cetakan Pertama : November 2014
Cetakan Pertama : November 2014
ISBN : 978-602-03-0943-9
Harga : Rp.45,000,-
Sumber Gambar : covesia.com
Sumber Gambar : covesia.com
Buku dengan judul menyentuh Ketika Ibu
Melupakanku ini menarik untuk dibaca oleh siapa saja. Buku ini mengisahkan
tentang seorang anak yang berada dalam ketidaktahuan tentang penyakit ibunya. Saya
menyambut baik terbitnya buku ini diiringi ucapan selamat dan apresiasi kepada
penulis buku ini D.Y. Suharya yang juga seoranhg penggiat Alzheimer. Buku ini
bagus, inspritatif, layak dibaca, dan memuat pesan moral.
-dr. Nafsiah Mboi, Sp.A.MPH, Menteri Kesehatan Ri
Tak ada anak yang ingin dilupakan orangtuanya. Mungkin
lebih banyak anak yang melupakan orangtuanya. DY Suharya mempunyai pengalaman
hidup yang indah bagaimana ia lebih mengerti ibunya justru pada saat sang ibu ‘melupakan’
dirinya akibat Alzheimer. Kesadaran yang menggugahnya untuk membuat bermacam
gerakan memerangi pikun seperti diderita sang ibu. Buku yang menyentuh hati
saya.
-Petty S Fatiah, Editor in Chief/Chief Community
Officer Femina Magazine
Saya mengenal DY Suharya sudah lama, waktu itu dia
bekerja di radio paling hits d Jakarta bernama Prambors dan saya bekerja di
majalah paling hits di Indonesia, majalah HAI. Sempat lama tak berjumpa,
lantaran DY pindah ke Amerika. Blessing in disguise, kami bertemu secara
tidak sengaja di Pacific Place dan saya langsung tertarik mendengar cerita DY
tentang ibunya yang terkena Alzheimer. Menurut saya cerita ini harus dijadikan
buku, sehingga membantu lebih banyak anak yang seperti DY tahu lebih dini
tentang penyakit ini. Sekarang saya sangat senang karena ceritanya sudah
rampung dan sangat berharap uku inibisa memberikan inspirasi positif bagi
banyak orang.
-Yoris Sebastian, Founder OMG Consulting dan Penulis
Buku Creative Junkies
Kisah ini seperti drama kehidupan, tapi nyata!
Menggugah apalagi menyangkut soal ibu, sosok terpenting di dunia ini. Buku ini
sangat dalam, kaya pembelajaran tentang hidup, kasih sayang, dan inspiratif.
-Erwin Parengkuan, Public Speaker & Entrepreneur
Berbagai alunan cerita di dalamnya sangat menarik. Menampilkan
sebuah pencarian makna hidup bersama ibunda dengan demensia dan kita bisa
belajar banyak darinya. Buku ini memberikan warna yang berbeda pada pembaca,
khususnya pada mereka yang hidup berdampingan dengan demensia Alzheimer dengan
masalah gangguan memori dan perilaku. Seperti mata ar di tengah musim kemarau
pada mereka yang “mencari jawaban atas kegelisahan dan keputusasaan” menghadapi
demensia Alzheimer. Dengan kapasitas penulis yang mengalami sendiri dalam
merawat ibunda tercinta dan sebagai aktifis dalam membantu menganggulangi demensia
Alzheimer, lengkaplah buku ini menjadi sumber inspiratif uang memberikan
pencerahan pada semua orang yang ingin mengenal lebih lanjut maupun yang
menghadapi langsung demensia Alzheimer.
-Dr.dr.Yuda Turana, Sp.S,Dept Neurologi, FK UNIKA
Atma Jaya dan Penulis Stop Pikun di Usia Muda
Apakah itu suatu kehidupan manusia, apabila dirinya
sudah tidak mampu lagi mengingat,
berpikir, berbuat, berbicara, bersikap?
Ini kisah nyata.
Cerita dalam buku ini dibuka oleh berbagai kejadian
di dalam rumah yang membuat si ‘aku’, tokoh utama bernama DY (dibaca Diway)
yang sangat-sangat-sangat tidak betah berada di rumahnya sendiri. Karena di
sana, DY sama sekali tidak merasakan makna rumah yang sebenarnya. Kehangatan,
sama sekali tak ada. Canda tawa apalagi. Bahkan sepetik obrolan ringan pun tak pernah
ia dapati di sana. Di rumahnya. Bukan. Ini bukan tentang rumah yang setiap
harinya dibuat ramai oleh pertengkaran kedua orangtua –yang biasanya menjadikan
barang-barang dapur sebagai sasaran. Sama sekali bukan. Justru sebaliknya. Sama
sekali, ayah dan ibu si penulis tak pernah bercengkrama sedikit pun. Seperti
perang dingin antara Rusia dan Amerika. Memang tak ada letusan perang, tapi
semua orang tahu bahwa ada sesuatu yang tak beres diantara kedua negara itu,
dan siap meletus kapan saja. Entah sejak kapan hal itu bermulai di dalam
rumahnya.
Hal itu juga yang mungkin membuat keempat kakak DY
memutuskan langsung menikah setelah lulus. Mereka ingin keluar dari kebekuan
ini. Lain halnya, DY justru lebih memilih tinggal di Amerika selama
bertahun-tahun lamanya. Hingga akhirnya ia terpaksa ‘pulang’ setelah kejadian 11
September di WTC silam. Ya, terpaksa ‘pulang’. Bukankah pulang adalah sebuah
perjalanan spiritual setelah sebuah pencapaian atau proses mencapai sesuatu dan
akan mendapati orang-orang yang dicintai di rumah? Tapi, setelah berkali-kali
pulang pergi ke luar negeri, DY tak kunjung menemukan makna pulang yang
sesungguhnya.
Teriakan, bentakan, makian dengan nada marah ibunya
adalah sarapan paginya. Setiap pagi, selama beberapa jam ia pasti mendapati
sang ibu tengah marah-marah dengan telepon menempel di telinganya. Entah sejak
kapan ibunya berubah menjadi orang yang sangat menyebalkan seperti itu. Ditambah
lagi, tak jalannya komunikasi kedua orangtuanya membuatnya semakin jengah. Berulang
kali ia memaksa mereka berdua untuk berbicara dan menyelesaikan hal-hal yang
tak beres diantara keduanya, tapi tak pernah berhasil karena keduanya selalu
mengatakan hal yang sama, -‘tidak ada apa-apa’.
Namun siapa yang menyangka, bahwa segala perilaku
aneh ibunya, termasuk sikap sering marah-marah adalah salah satu tanda penyakit
yang akan merenggut banyak keindahan. Dan tak ada yang mengira bahwa ‘lupa’
yang sering menyerang ibunya, bukanlah lupa dalam definisi biasa. Ya, siapa
yang tahu bahwa selama hampir dua puluh tahun ibunya telah tersiksa oleh satu
per satu gejala Alzheimer yang menggerogoti segalanya. Dan yang lebih
menyakitkan, tak ada yang tahu tentang hal ini. Mereka tidak tahu gejala dini
Alzheimer, the silent killer. Mereka tidak tahu bahwa selama ini ibunya
tidaklah menjadi dirinya sendiri. Mereka tidak tahu bahwa sekian lama, ibunya berusaha
keras untuk mengendalikan emosinya namun tak bisa. Mereka benar-benar tidak
tahu. Alzheimerlah yang telah mengubah suasana rumahnya menjadi dingin,
-terlepas dari sifat lahiriah ayahnya DY yang memang sangat efisien dalam
segala hal.
Jangan pernah kehilangan harapan dan percayalah
bahwa segala sesuatu terjadi untuk sebuah alasan.
Ibunya pikun. Sulit bagi sang ibu untuk mengingat
apa pun. Jangankan jumlah anak dan nama-namanya, saat satu per satu dari mereka
menemuinya pun, tak ada satu pun dari mereka yang dikenali oleh sang ibu. Kecuali
DY. Si anak bungsu yang selalu pergi jauh meninggalkannya. Si anak bungsu yang
selalu mencoba menghindari kemarahannya yang membuat suasana rumah tak menjadi ‘rumah’.
Namun, setelah ibunya divonis terserang
demensia Alzheimer, segala sesuatu di dalamnya benar-benar berubah. Rumah menjadi
terasa hangat. Juga, ayahnya berubah menjadi orang yang hangat. Semuanya terasa
hangat. Kasih sayang semakin terasa di rumah yang setelah sekian lama seakan
bertransformasi menjadi kulkas yang penuh dengan es itu.
Demensia Alzheimer adalah penyakit yang
menghancurkan saraf-saraf di segala sendi kehidupan, tetapi TIDAK BISA
MENGHANCURKAN KASIH SAYANG.
Hal itu terasa getir. Kenapa tidak
sejak dulu? Namun, selalu lebih baik terlambat daripada tidak sama sekali,
bukan? Dan mungkin, inilah cara Allah mengembalikan kebersamaan yang
berpuluh-puluh tahun tak pernah menginjakkan kaki di rumah mereka.
Betapa indahnya dan betapa halusnya Allah Yang Maha
Pengasih Maha Penyayang telah merekat di hati kami, memperbarui kasih sayang
kami dalam keadaan dia sakit tidak berdaya.
Dan di usianya yang ke-40 tahunlah DY
menemukan makna ‘pulang’ yang sesungguhnya, meski harus mendapati ibunya dalam
kondisi yang sangat jauh berbeda. Dia memutuskan untuk mengundurkan diri dari
program doctoral yang telah satu setengah tahun dijalaninya di Australia. Untuk
sang ibu.
Ini mengingatkanku pada Santiago-nya the Alchemist
maha karya Paulo Coelho. Setelah perjalanan jauh yang ditempuhnya, melalui begitu
banyak bahaya dan tantangan, menjauhi orang-orang yang dikasihinya, dia tidak menemukan
harta karunnya di negeri seberang. Harta karunnya tepat berada di tempatnya
pertama kali bermimpi, di bawah pohon di mana selama ini dia menunggu ternaknya
di gembalakan.
Untuk sang ibu, DY tak lagi
pulang-pergi ke luar negeri dan mencoba mencari ‘rumah-rumah’ yang lain di luar
sana. DY benar-benar ‘pulang ke rumah’. Karena perjalanan panjang DY di negeri
otang ternyata bermuara di rumahnya sendiri.
“Dan tiadalah Kami mengutus kamu, melainkan untuk
(menjadi) rahmat bagi semesta alam.” (QS. Al-Anbiyaa’: 107)
Dulu,
bersama temannya dia sering memperdebatkan, mengejar mimpi atau menemani
orangtua? Jelas sekali, yang sering dia pertahankan adalah mengejar mimpi
dengan argumentasi bahwa jika mimpinya terwujud, kedua orangtua juga akan
berbahagia. Namun hal itu tak selamanya benar, karena saat ini orangtuanya sangat-sangat-sangat
membutuhkan kehadirannya. Dan di saat yang sama pula ia mendapat jawaban atas
pertanyaan yang sering kali mengawang di pikirannya, kenapa aku belajar komunikasi
kesehatan? Karena orang terdekat dalam hidupku, perempuan yang paling kucintai di
muka bumi ini, perempuan yang melahirkanku, dia akan membutuhkan ilmu yang
kupelajari. Dan, orangtua adalah semesta kita, bukan?
Ia tak ingin orang lain merasakan pengalaman pahit
yang menimpanya. Ia tak ingin orang lain terlambat mengetahui penyakit yang
akan merenggut keindahannya. Hingga akhirnya, ia menggagas untuk membentuk komunitas
Alzheimer Indonesia yang sering disebut ALZI. Yang sangat disambut oleh tak
sedikit masyarakat, terutama mereka yang juga mengalami hal yang menimpa DY dan
keluarganya.
Tapi
sampai akhir cerita aku tak membaca di mana DY menikah. Mungkin penulis belum
menikah atau tak diceritakan di dalam buku ini. Hanya ada satu lelaki yang
diceritakan olehnya, yang tak lagi datang ke rumahnya setelah diinterogasi
tentang kepemilikan harta oleh ibunya yang sudah mengidap gejala Alzheimer.
Ditambah
lagi, kenyataan bahwa tidak ada kehangatan di antara kedua orangtuanya membuat
DY semakin ragu untuk memasuki jenjang tersebut.
Jika perkawinan membunuh perasaan hangat dan indah
yang kurasakan pada orang yang kucintai, maka aku memilh tidak pernah
menikahinya.
Namun
pandangan itu berubah setelah Alzheimer bersemayam dalam diri sang ibu. Ia
sadar bahwa ternyata, bagaimanapun, komitmen dan cinta sejati takkan pernah
mati.
Buku ini menyentuh. Sangat-sangat-sangat menyentuh.
Bahkan, aku nangis bacanya (Ini nggak tahu karena bukunya yang memang menyentuh
atau aku yang lebay :v hihi :3). Kosakata si penulis buku ini
sangat-sangat-sangat luas. Bahkan aku menemukan banyak kata dalam bahasa
Indonesia yang menurutku baru. (Hehehe mungkin ini karena kosakata aku yang
masih terbatas :v). Kedua penulis ini bahkan berhasil menahan pembaca agar tak
beranjak dari lembar demi lembar kisah oleh permainan katanya yang menakjubkan
dan luar biasa!
Banyak sekali pelajaran yang akan kita dapat dari
buku ini, -sudah jelas kita akan mendapati informasi-informasi penting seputar pemyakit
Alzheimer. Tentang pentingnya kita mengartikulasikan perasaan pada orangtua. Tentang
pentingnya menjaga kualitas hidupnya komunikasi dalam keluarga. Tentang hidup
dan kasih sayang. Tentang kesabaran. Tentang segalanya. Tentang rahmat Allah
yang meliputi segala sesuatu. Rahmat Allah sungguh meliputi semesta alam.
Buktinya, penyakit sekelas Alzheimer mampu merekatkan kebersamaan yang selama
berpuluh-puluh tahun pecah. Ya, kan? Allahu akbar.
Aku kehilangan Mama sebelum dia benar-benar
menghilang dariku. Mama ada tapi tidak benar-benar ada. Terbayang tidak, kita
kehilangan seseorang yang masih ada secara fisik di depan kita. Rasa dukanya
sudah menyusup ke tulangku sebelum kepergiannya yang sesungguhnya suatu saat
nanti. Aku tersenyum di depan Mama setiap saat mata kami bersitatap, tapi jauh
di dalam hatiku, ada air mata yang belum saatnya tumpah.
Sedih
nggak sih bacanya? Pilu.
Al-Quran
memang tak pernah salah, bahwa kita akan kembali menjadi seperti saat pertama
kali datang ke bumi, seperti bayi. Yuk, untuk yang orangtuanya masih lengkap,
perbaiki segala bentuk komunikasi dengan mereka. Sebelum diantara kita saling
melupakan satu sama lain. Sebelum waktunya tiba.
Mudah-mudahan banyak manfaat dari
postingan ini. Terima kasih^^ *deep bow*
Komentar
Posting Komentar