Langsung ke konten utama

[CREATE IT] PERMINTAAN KARIN (?)

بِسْــــــــــــــــــمِ اﷲِالرَّحْمَنِ اارَّحِيم



(BELUM ADA JUDUL)
(Karin Request :v)



Sorot teduh seorang gadis berambut sepunggung tak henti-henti menelanjangi setiap inci ruangan berukuran raksasa itu hingga membuat lehernya terasa pegal. Gerakan kepalanya sontak terhenti begitu dua angka yang membuatnya kelimpungan mencegat pandangannya. Dengan tenaga yang masih tersisa, cepat ia menghentakkan langkah menerobos kumpulan orang yang membuat ruangan luas itu terasa sangat sesak. “Kelompok 27?” Refleks ia menyungkurkan kedua kaki yang gemetar di hadapan teman-teman baru yang langsung memandanginya dengan kernyitan dahi.
            Pemuda bermata sipit dan berwajah oval mengikuti gerakan gadis yang tampak sangat kelelahan itu seraya berucap, “Dia aja yang jadi ketua.”
            “Nina. Lo mau jadi ketua?”
            Merasa namanya disebut, gadis yang tengah mengatur helaan napasnya yang merusuh itu seketika menengadahkan kepala, “Maksudnya?”
            “Gue aja yang jadi ketua, biar Nina jadi wakil ketua.” Timpal seorang pemuda dengan kacamata bertengger di wajahnya. Kemudian ia mulai menulis sesuatu pada buku catatan kecil yang dipegangnya.
            Tanpa aba-aba, pemuda berwajah oval merebut mininote dan pulpen yang kontan membuat Dimas kaget setengah mati karenanya. “Lo jadi ketua. Gue jadi wakil ketua. Beres kan?”
            Kesal, gadis berkerudung biru turut merebut benda yang kini berada di tangan Joe seraya berkata, “Dimas! Joe! Kalian kenapa? Dari tadi aja gak ada satupun yang mau maju, tapi sekarang malah rebutan. Kalian bukan anak SMA lagi, ngerti?”
            “Gue kesel aja. Si Joe malah nunjuk Nina yang baru dateng buat jadi ketua. Kasian kan dia.”
        Mata Joe terbelalak mendengar perkataan karibnya itu, dan dengan nada tak terima ia menimpali, “Sejak kapan lo perhatian sama cewek?”
            Saat Dimas hendak membalas retorika Joe, dengan cepat Gita melerai, “Oke! Dimas jadi ketua, dan Joe jadi wakil ketua.”
Peluh yang merayapi setiap titik kulit arinya, membuat ia sedikitpun tak berselera untuk turut mengomentari persoalan yang diributkan teman-temannya itu. Lari maraton di tengah tingginya tensi matahari di langit Purwokerto membuatnya bermandikan keringat. Yang ia inginkan saat ini hanyalah air. Ya, air. Nina perlu air agar dapat berkompromi dengan napas dan degup jantungnya yang merusuh tak menentu.
            “Nih.”
            Saputangan cokelat yang diangsurkan seseorang bersuara berat berhasil membuat kepala Nina menengadah. Seketika matanya bersilobok dengan sosok Kyuhyun Super Junior yang kentara terlukis di wajah Dimas. Cho Kyuhyun? Selama beberapa saat pandangan Nina seakan tertahan dan bermain bersama kharisma yang memancar dari pemuda berkacamata itu. Meski seulas pun evil smile tak tersungging di kedua sudut bibir Dimas, namun saputangan cokleat yang kini ada ia genggam berhasil membuat perasaannya terenyuh.
            “Ketua kelompok kumpul tuh.”
            Dimas mengangguk mengerti pada Joe dan langsung berlalu tanpa berucap.
            Bersama dua botol air mineral di tangannya, Joe melangkah dan duduk di samping Nina.  Ia mendecakkan lidah memperhatikan gadis yang tengah mengusap peluh di pelipis dengan saputangan tadi. “Minum ini.”
            Nina hanya melirik Joe sekilas. Ia mengangguk samar kemudian melanjutkan gerakannya.      
            Reaksi Nina membuat Joe mendengus kesal. Kemudian ia membuka botol air mineral itu lalu berkata, “Minum ini.”
            Mata Nina dibuat terbelalak oleh botol terbuka yang kini ada di hadapannya. Kontan ia membawa pandangannya ke arah Joe. Dengan gerakan enggan ia menyambut sang botol yang telah lama menunggu seraya berkata, “Makasih.”
            “Kenapa telat?”
            Hening.
            Karena tak ada jawaban dari Nina, kontan Joe menoleh dan langsung terperanjat kaget begitu mendapati gadis itu tengah menenggak air sampai habis. Bersama decakan lidahnya, ia menggelengkan kepala ovalnya dan berujar, “Haus apa rakus?”
            Nina menghela napas lega meski kini tangannya kembali sibuk menyeka keringat yang tak kunjung surut. “Tadi aku nyasar ke gedung fakultas ekonomi. Dan karena takut telat, aku lari-lari nyari aula ini. Purwokerto panas banget yaaa.”
Joe terkekeh geli melihat raut memelas Nina yang menurutnya lucu. “Emang kamu dari mana?”
“Bandung.”
“Nanti juga kamu bakal terbiasa sama suasana di sini, terbiasa sama gue juga.”
Ucapan Joe membuat otak Nina otomatis memerintahkan kepalanya untuk melirik pemuda sipit itu dan berseru, “Oh?”
Selama beberapa saat Joe bertahan dalam diam. Otaknya berputar mencari jawaban yang akan terdengar masuk akal. “Kalo lo udah terbiasa di Purwokerto, pasti bakal terbiasa gue juga karena gue asli Purwokerto.” Glek! Sedetik setelahnya, ia menyesali pernyataan tak nyambung yang terlontar dari mulutnya.
Nina menatap Joe dengan kening bergulung-gulung dalam. “Pantesan logat bicaranya Jawa banget.” Timpalnya kemudian meski belum sepenuhnya dapat mencerna ucapan Joe.
Hening. Baik Nina maupun Joe, tak ada satupun yang bersuara. Dalam keramaian aula kampus itu, mereka sibuk dengan isi pikiran masing-masing. Dan di tengah paradoks itu, teman mereka yang lain, termasuk Dimas berjalan mendekat menghampiri dan memecahkan gelembung yang mengudara di atas kepala Nina dan Joe. “Ada yang perlu pita hitam buat ospek nanti?”
Tanpa disadari, Nina dan Joe sama-sama menatap Dimas dengan sebelah alis terangkat. Bertanya tanpa berucap.
Bukan menjawab, Dimas malah memicingkan mata menatap kedua temannya dengan tatapan super aneh.
“Kalian ada yang punya riwayat sakit nggak? Kalo ada, harus pake pita hitam biar kepantau selama ospek berlangsung. Kamu kenapa sih malah diem?” Kesal Gita menyikut lengan Dimas yang malah beranjak menyambar tasn dan larut dengan ponsel di tangannya.
“Dimas juga asli sini?” Tanya Nina dengan nada sedikit berbisik. Ia berusaha menautkan pita hitam di baju bagian tangan kanannya.
Sigap Joe menyambar pita itu dan menempelkannya di baju Nina begitu menyadari gadis itu tampak kesusahan melakukannya. ”Dia teman SMA gue. Tapi lo gak boleh terbiasa juga sama dia.”
“Maksudnya?”
“Joe, kamu bisa bantuin aku nggak?”
            “Cepat semuanya kumpul sini. Kita harus diskusi buat persiapan peralatan ospek nanti.” Tanpa beringsut dari tempatnya, Dimas sang ketua kelompok berteriak yang langsung diiyakan teman-temannya. Dengan cepat pula ia menyergah Joe dan Sofi yang hendak melangkah menuju arah berlawanan, “Joe, Sofi, mau kemana kalian?” Ada sorot tak suka di matanya dan tergurat sorot tak terima di wajahnya. Entahlah.
            “Aku mau minta bantuan Joe minta pitah hitam buat aku.”
            Kontan mata Dimas dan Gita terbelalak. “Lo tadi nggak denger gue sama Gita ngomong? Atau tadi lo ketiduran?” Tukas Dimas kesal dengan logat Jawa yang sama kentalnya dengan Joe.
            “Tadi gue lupa.”
            Alasan konyol yang diucapkan Sofi dengan enteng itu membuat Dimas mengepalkan kedua tangannya gemas.
            Tanpa dosa gadis berambut sebahu itu menggamit lengan Joe dengan genit seraya berucap, “Yuk Joe.”
            Namun lagi-lagi, gerak mereka berdua tertahan begitu Gita merogoh plastik kecil dari saku bajunya dan berkata, “Gak perlu. Nih, masih ada sisa. Kamu kan wakil ketua kelompok, jadi kamu aja yang pegang ini.”
            Joe kemudian memberikannya pada Sofi yang menerimanya dengan enggan disertai raut kecewa di wajahnya.
            “Modus tuh. Alesan.”
            “Cantik-cantik kok modus.”
            “Ada apa sih? Maksudnya modus apaan?” Heran Nina mendekati Gita dan Diki yang tengah membisikkan sesuatu.
            “Itu tuh, si Sofi kan naksir Joe, jadi dia nyari-nyari alesan buat deket-deket sama Joe.”

Komentar

Postingan populer dari blog ini

[TASK] Proposal Usaha (Kewirausahaan)

Ini tugas bikin proposal waktu kelas sebelas hihi :3 Gak tau bener gak tau nggak soalnya dulu gak sempet direview sama gurunya -,- Disusun oleh: Asti Nurhayati Sri Isdianti Kelas XI-AP4 SMK Negeri 1 Garut 2012-2013 BAB 1 PENDAHULUAN A. Nama dan Alamat Perusahaan Toko Buku   “27 RADAR” Jl.   Radar   No. 27 Garut B. Nama dan Alamat Penanggung Jawab Usaha Ø     Penanggung jawab 1: Nama : Asti Nurhayati Nurjaman   TTL : Garut, 19 Agustus 1996   Ø      Penanggung jawab 2: Nama : Sri Isdianti TTL : Garut, 12 September 1996   C. Informasi Usaha          Usaha toko buku yang kami kelola ini berada di Jl.   Radar   No. 27, merupakan lokasi yang sangat strategis yang berada di pusat kota Garut ini, bisa dengan mudah dijangkau oleh kendaraan apapun. Juga terletak di antara banyaknya pusat perkantoran serta sekolah-sekolah sehingga menjadi suatu keuntungan tersendiri bagi kami karena berdekatan dengan banyak

[BOOK REVIEW] Sejarah Ekonomi Dalam Islam

بِسْــــــــــــــــــمِ اﷲِالرَّحْمَنِ اارَّحِيم Judul: Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam Penulis:DR. Euis Amalia, M.Ag Penerbit: Gramata Publishing Tebal Buku: xiv + 322 halaman ISBN: 978-602-96565-1-0 Harga: Rp. 69.000,- Sumber gambar: goodreads Ada kesenjangan epistemologi yang mengemuka lebar tatkala ingin menampilkan literatur sejarah pemikiran ekonomi. Nilai fairness dan transparansi seolah sulit untuk dibuka ketika dihadapkan pada siapa menemukan apa karena bermuara pada “otoritas klaim.” Fakta-fakta ironis menyebutkan bahwa seringkali hasil karya ilmuwan muslim kita diabaikan oleh sarjana barat, padahal mereka sendiri secara implisist mengakui banyak karyanya telah diilhami oleh  pemikir Islam atau karya mereka tidak pure lagi karena sebelumnya sudah diketemukan teori oleh sarjana muslim. Hanya bisa dihitung dengan jari penulis-penulis barat yang mengakui bahwa konsep-konsep atau teorinya berasal dari pemikir Islam. Secara simplistis saja,

[BOOK REVIEW] AYAH Tanpa Tapi

Surga juga ada di telapak kaki ayah – pada setiap langkah yang ia ambil untuk terus menyambung nafas dan menumbuhkanmu, ada surga. (Seribu Wajah Ayah – hlm. 16)             Ayah, salah satu bilah tervital dalam hidup yang dikatakan Rasulullah setelah penyebutan Ibu yang diulang sebanyak tiga kali.             Ibu, ibu, ibu, baru ayah .            Repetisi yang menomorempatkan ayah bukan berarti kita harus menomorsekiankan pula sosok itu dalam hidup. Tidak sama sekali.           Memang, kebanyakan figur ayah tidak sama dengan ibu. Jika ibu seakan tak pernah kehabisan agenda kata yang berlalu lalang di telinga kita, beda halnya dengan ayah yang bahkan seolah enggan untuk bersuara walau hanya sekecap. Pun, sering kali kita lebih nyaman bersandar di punggung ibu yang ekspresif dibanding harus bercengkrama dengan sosok ayah yang cenderung defensif.            Meski tidak menutup kemungkinan tidak semua ayah berkarakter begitu, tapi itu juga tak dapat dipungkiri, kan?