Langsung ke konten utama

[CREATE IT] Ngobrol Jodoh di Kedai Kopi

Source: Google



Aroma kopi menguar di sudut ruangan. Kamu menekuri layar laptop. Pada bangku di sudut yang sama. Sesekali kamu menutup hidung. Batuk dari suara kecilmu pun senantiasa mengiringi.
Kala detik silih berganti, gurat wajahmu turut bertransformasi. Adalah raut sedih pada detik pertama. Detik kedua senyum samar melengkung di tipis bibirmu. Detik berikutnya, bulir bening sempurna menyeruak dari kelopak. Kacamata berbingkai hitam kamu lepas. Mengusap manik sipitmu yang sembab. Menggunakan saputangan yang terbelam dalam genggaman.
Derit kursi yang ditarik tiba-tiba, membuatmu tersentak kaget.
“Kamu nekat, Git!”
Kamu lantas menoleh pada Wini yang baru datang.
“Bukan nekat. Tapi bunuh diri. Kenapa kamu ada di sini, sih?” Karin yang menempati kursi di hadapanmu ikut menimpali.
Kamu meringis jemu pada dua temanmu. Berusaha memungkiri. Namun sayang, perkataan Karin dan Wini benar adanya. “Lama banget kalian. Kebiasaan ngaret udah seharusnya dibuang.” Ucapmu, mencoba berkilah dari topik yang mereka permasalahkan.
“Kamu kenapa, Git?”
Di atas keyboard, kamu biarkan lentik jemarimu berhenti menari. Lalu kamu menggerakkan kepala ke arah jendela. Warna kelabu merayapi sekujur tubuh langit. Matahari seakan enggan memamerkan cahaya teriknya siang itu. Kamu melepas napas berat. Sekaligus menendang lesakan beban yang membuat penat. “Abah sama Ambu ngenalin aku lagi sama anak rekan mereka.”
“Dan lagi-lagi-lagi, kamu nolak cowok itu?”
Tak berani menoleh, kamu menatap dua temanmu dengan ekor mata. “Karena aku belum ketemu sama orang yang pas.” Kamu meneguk ludah. Cemas menunggu tanggapan pedas yang kerap kali mereka lontarkan.
Karin bersedekap dan merundukkan badan. Agar kalian bertiga dapat berbisik lebih dekat. “Kamu lihat cowok di belakang aku.”
Refleks, kamu dan Wini menengok ke arah yang dimaksud. “Kenapa cowok itu?” Wini bertanya penasaran.
“Lihat almamaternya. Salah satu universitas favorit di luar kota. Kemungkinan besarnya adalah, dia pintar. Salah satu tipe cowok yang jadi impian. Tapi, apa wajahnya bisa dikategorikan sebagai cowok impian?”
Matamu dan Wini bergerak lagi ke arah yang sama. Memastikan perkataan Karin.
“Hus! Jangan ngeledek kamu! Kualat, tau!” Kesal, cepat-cepat Wini melotot ke arah Karin.
Karin tak ambil peduli. Pelototan itu dibalasnya dengan kerlingan sebal. “Coba lihat cowok di belakang kamu, Win. Lihat stelannya. Tajir banget pasti dia. Tipe cowok idaman. Tapi, apa setelah lihat kelakuannya dia masih bisa disebut cowok idaman?”
Kamu dan Wini mengernyitkan kening. Atas dasar rasa penasaran, kalian mencuri pandang pada pria yang dimaksud Karin. Selama beberapa detik kalian meneliti gerak-gerik orang itu. Sadar maksud ucapan Karin, serta merta kalian bergumam, “Astaghfirullah. “
“Dan sekarang---“
“Udah-udah. Jadi maksud kamu minta kita merhatiin mereka, apa?” Gemas, Wini memotong kalimat Karin. Diseduhnya secangkir kopi yang belum tersentuh.
“Denger dulu. Aku belum selesai.” Karin tak mampu menahan ekspresi kesalnya. Pun, diseruputnya secangkir kopi untuk mengusir rasa kecut. “Kentara sekali kalau cowok di belakang Gita itu alim banget. Tipe cowok yang kayaknya bakal jadi imam yang baik. Tapi apa penampilannya masih bisa membuat kalian tertarik?”
“Dia kelewat zuhud kali.”
Celotehan Wini membuatmu dan Karin terkekeh. Sebentar kemudian Karin menegakkan posisi tubuhnya. Seraya memasang wajah serius ia berkata, “Mengorek cela memang mudah. Nggak akan pernah berujung. Jadi, kamu mau yang kayak gimana, sih, Git? Alim, pintar, dan kaya jadi satu? Kamu mau yang sempurna?”
Pertanyaan itu berhasil menohokmu tepat di dada. Kamu menatap Karin tepat di mata. Tepatnya karena tak terima.
           “Kalau kamu mau yang sempurna, selamanya kamu nggak akan pernah ketemu orang yang pas. Karena pada dasarnya, nggak akan pernah ada jodoh yang pas.”
            Wini memandang Karin tak mengerti. Bertanya tanpa berucap.
            “Cinta selalu membutuhkan ketidaksempurnaan untuk membuktikan kesempurnaannya.”
            “Dan kekurangan mereka yang kita korek tadi adalah ketidaksempurnaannya?”
            Karin mengedikkan bahu. “Nggak menutup kemungkinan.” Ditangkupnya cangkir berwarna cokelat itu. Sisa hangat kopi perlahan merayapi suhu tubuhnya. “Tapi cinta nggak sesempit dan sedangkal itu. Cinta tidak melulu bicara tentang bahagia. Dalam cinta ada hati yang senantiasa luka. Pun, cinta kerap didera rindu yang tebalnya tak terkira. Harus ada semacam pergumulan yang menuntut ketidaksempurnaan di sana. Baru akan terbukti betapa sempurnanya cinta.”
            Pada Karin dan Wini, kamu hadapkan laptop merahmu. Sebentuk wajah yang tersenyum di situ membuat mereka terpaku. Sebelum mereka berseru, cepat-cepat kamu bicara lebih dulu. “Semua yang kamu katakan barusan, ada padanya. Dia selalu membuatku bahagia. Pun sempat menggoreskan luka. Bahkan meninggalkan rindu yang luar biasa. Pemahamanku tentang jodoh nggak sekacau yang kita permasalahkan barusan.” Lagi, kamu mengalihkan pandang ke arah jendela. Hujan tak lagi rintik. Namun menderas semakin berisik. Tirai hujan saling berbenturan di trotoar. Tiap titiknya serupa kerikil yang menghujani ubun-ubunmu. Lalu menembus dadamu. Kemudian melesat ke dasar hatimu. Dan melukaimu.
            “Kamu bener, Git. Pemahamanmu tentang jodoh nggak sekacau itu. Tapi jauh melampaui kekacauan yang ada di dunia ini.”
            “Git! Dia.udah.nggak.ada.”
           Dalam diam, kamu merasakan ruangan kedai bertambah ramai. Satu per satu pengunjung datang. Semakin banyak. Pun, pemesan kopi semakin membeludak. Aroma kopi terus menguar. Menguap menyelimuti seisi kedai. Bau yang kian menguat membuat napasmu tersendat. Batukmu tak lagi serupa senggukan kecil yang ringan. Kamu bersedekap. Menghalau udara yang membuatmu tak mampu bernapas. Sekaligus mengusir bayangan yang terus berkelebatan di pelupuk mata.
            “Git, kamu kenapa?”
            “Apa aku bilang. Ibarat percobaan bunuh diri. Belum sembuh trauma berat sama aroma kopi, masih aja nekat dateng ke sini.”
            “Salah besar kalau kamu mengartikan cinta dengan cara seperti ini.”
            “Ayo kita pulang.”
            Bersama dua temanmu, kamu berlalu. Bertolak dari tempat yang aromanya tak mampu lagi dengan mudah kamu nikmati. Karena tambatan hati yang tak lagi di sisi.


Komentar

Postingan populer dari blog ini

[TASK] Proposal Usaha (Kewirausahaan)

Ini tugas bikin proposal waktu kelas sebelas hihi :3 Gak tau bener gak tau nggak soalnya dulu gak sempet direview sama gurunya -,- Disusun oleh: Asti Nurhayati Sri Isdianti Kelas XI-AP4 SMK Negeri 1 Garut 2012-2013 BAB 1 PENDAHULUAN A. Nama dan Alamat Perusahaan Toko Buku   “27 RADAR” Jl.   Radar   No. 27 Garut B. Nama dan Alamat Penanggung Jawab Usaha Ø     Penanggung jawab 1: Nama : Asti Nurhayati Nurjaman   TTL : Garut, 19 Agustus 1996   Ø      Penanggung jawab 2: Nama : Sri Isdianti TTL : Garut, 12 September 1996   C. Informasi Usaha          Usaha toko buku yang kami kelola ini berada di Jl.   Radar   No. 27, merupakan lokasi yang sangat strategis yang berada di pusat kota Garut ini, bisa dengan mudah dijangkau oleh kendaraan apapun. Juga terletak di antara banyaknya pusat perkantoran serta sekolah-sekolah sehingga menjadi suatu keuntungan tersendiri bagi kami karena berdekatan dengan banyak

[BOOK REVIEW] Sejarah Ekonomi Dalam Islam

بِسْــــــــــــــــــمِ اﷲِالرَّحْمَنِ اارَّحِيم Judul: Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam Penulis:DR. Euis Amalia, M.Ag Penerbit: Gramata Publishing Tebal Buku: xiv + 322 halaman ISBN: 978-602-96565-1-0 Harga: Rp. 69.000,- Sumber gambar: goodreads Ada kesenjangan epistemologi yang mengemuka lebar tatkala ingin menampilkan literatur sejarah pemikiran ekonomi. Nilai fairness dan transparansi seolah sulit untuk dibuka ketika dihadapkan pada siapa menemukan apa karena bermuara pada “otoritas klaim.” Fakta-fakta ironis menyebutkan bahwa seringkali hasil karya ilmuwan muslim kita diabaikan oleh sarjana barat, padahal mereka sendiri secara implisist mengakui banyak karyanya telah diilhami oleh  pemikir Islam atau karya mereka tidak pure lagi karena sebelumnya sudah diketemukan teori oleh sarjana muslim. Hanya bisa dihitung dengan jari penulis-penulis barat yang mengakui bahwa konsep-konsep atau teorinya berasal dari pemikir Islam. Secara simplistis saja,

[BOOK REVIEW] AYAH Tanpa Tapi

Surga juga ada di telapak kaki ayah – pada setiap langkah yang ia ambil untuk terus menyambung nafas dan menumbuhkanmu, ada surga. (Seribu Wajah Ayah – hlm. 16)             Ayah, salah satu bilah tervital dalam hidup yang dikatakan Rasulullah setelah penyebutan Ibu yang diulang sebanyak tiga kali.             Ibu, ibu, ibu, baru ayah .            Repetisi yang menomorempatkan ayah bukan berarti kita harus menomorsekiankan pula sosok itu dalam hidup. Tidak sama sekali.           Memang, kebanyakan figur ayah tidak sama dengan ibu. Jika ibu seakan tak pernah kehabisan agenda kata yang berlalu lalang di telinga kita, beda halnya dengan ayah yang bahkan seolah enggan untuk bersuara walau hanya sekecap. Pun, sering kali kita lebih nyaman bersandar di punggung ibu yang ekspresif dibanding harus bercengkrama dengan sosok ayah yang cenderung defensif.            Meski tidak menutup kemungkinan tidak semua ayah berkarakter begitu, tapi itu juga tak dapat dipungkiri, kan?