Langsung ke konten utama

[CREATE IT] Jangan Lama, Pak.



source from google




Bebek merah itu berhenti menderu. Fayad lantas menghambur ke ambang pintu. Dengan ekspresi lugu, menyambut sosok yang baru saja turun dari motor itu.
            Rahman tersenyum menyadari kehadiran Fayad di sana. Ia menghampiri putra bungsunya itu dan bersimpuh. “Tebak, Bapak bawa apa buat Fayad?” Ia mengedikkan kepalanya ke belakang, seolah menunjuk kedua tangan yang tersembunyi di sana.
            Kening Fayad mengenyit dalam. Meski sudah tahu dan akan selalu tahu jawaban atas pertanyaan itu, ia menatap bapaknya dengan ekspresi berpikir. Menikmati teka-teki yang diajukan Rahman. “Sekallang mobil-mobillannya wallna apa, Pak?”
            Tawa Rahman berderai saat Fayad langsung mendorongnya ke inti pembicaraan. Gaya bicara Fayad yang sedikit terbata membuatnya semakin merasa geli. Dengan nada jahil ia balik bertanya, “Fayad yakin Bapak bawa mobil-mobilan?”
            Fayad mengangguk mantap.
            “Bapak kalah lagi, deh.” Rahman mengacak-acak rambut Fayad gemas.
            Wajah Fayad kontan berbinar begitu mobil yang sedari tadi terparkir di persembunyiannya, melaju, dan berhenti tepat di depan matanya. Dalam sepersekian detik mobil baru itu beralih ke dalam dekapannya. “Waaah, mellah, Pak.” Fayad berjingkrak girang. Senang menerima kejutan yang ke sekian-sekian-sekian kalinya dari Rahman. “Warnanya sama kayak motol Bapak.”
            “Eh, Bapak udah di sini aja.”
            Ia melirik sekilas ke arah Lia. Mengulurkan tangan pada istrinya yang hendak mencium tangan. Namun matanya tetap berfokus pada pemandangan indah di sana.
            Lia mengikuti arah pandang Rahman dan menggeleng setelahnya. “Ya ampun, Pak. Mobil-mobilan lagi. Sebulan ini Bapak udah beli lima, lho.”
            Masih tanpa menatap Lia, Rahman menggeleng seraya berujar, “Nggak apa-apa. Bapak suka sekali lihat wajah senang Fayad kayak begitu.”
            Sebentar, Lia mendecak kesal. Ia lalu menggandeng lengan suaminya seraya berujar, “Kalau begitu kita makan siang dulu. Menu masakan hari ini, semuanya kesukaan Bapak. Ada---“ Kalimatnya terhenti karena Rahman tiba-tiba menghentikan langkah.
            “Hari ini luar biasa.”
            Tak mengerti arah pembicaraan, kening Lia berkerut. Bertanya tanpa berucap
            “Setelah lihat pemandangan indah di wajah Fayad, sekarang dijamu sama chef favorit dengan menu favorit pula.”
            Tak ada reaksi berarti dari Lia. Ia hanya mengangkat bahu dan berkilah, “Jangan berlebihan deh, Pak. Itu adalah mobil-mobilan ke sekian puluh yang Bapak kasih buat Fayad. Dan bukan pertama kalinya juga Ibu masak buat Bapak.”
            Rahman tidak menanggapi. Ia malah menghampiri Fayad dan menggendongnya. “Ayo, kita makan dulu.”
            “Fayad nggak lapal.”
Rahman memberenggut kecewa. Ia lalu memasang raut berpikir. Mencari alternatif lain untuk membujuk si bungsu. Sebentar kemudian ia berujar, “Kalau begitu, Fayad mau nggak, nganterin Bapak sama Ibu ke meja makan?”
            Mata bulat Fayad bergerak, bergantian dari wajah Rahman ke mainan barunya. “Pake mobil mellah ini?”
            Rahman cepat-cepat mengangguk.
            Kepala Fayad ikut turun naik mengerti. Seketika itu juga ia mengacungkan mobil di tangan kanannya tinggi-tinggi. Menggerak-gerakkannya seakan mobil itu tengah diparkirkan. “Brummm ....”
            “Lho, bukannya itu suara mobil yang warna hitam?” Lia yang sedari tadi menjadi penonton, tak kuasa menahan gemas. Saat hendak menghampiri dua lelaki itu, Rahman buru-buru mencegah dengan isyarat mata. Akhirnya, Lia hanya terpaku di tempat dengan perasaan dongkol sekaligus heran.
            “Mobillan hitam yang itu lussak. Keinjek sama motollnya Kak Opall.”
            “Ooohhh.” Rahman dan Lia menyahut bersamaan. “Jadi suaranya dikasih ke mobil yang baru aja, begitu?”
            “Motor Kak Naufal hebat juga ya, Bu. Bisa nginjek mobil. Sampai rusak pula.”
            Dengan polosnya, Fayad memandang Rahman dan Lia bergantian. Ia tak  memahami gurauan kedua orangtuanya itu. “Diantellin ke meja makan sama mobillan ballunya jadi nggak?”
            Rahman lantas beralih pada Fayad seraya berseru, “Berangkaaat!”
            “Brummm ... brummm.”
Mobil merah itu melayang-layang di udara. Dikendalikan oleh Fayad sang driver. Bersama Fayad yang erat dalam gendongannya, Rahman berjalan berkelok-kelok. Pun, mobil melesat di tangan Fayad dengan irama serupa. Hingga kemudian, Rahman menjeda gerakan solid itu di hadapan Lia. “Fayad, ayo kita jemput Ibu duluuu.”
            Lia menggeleng tak habis pikir. Terlampau sering Rahman memancingnya untuk melekuk senyum geli. Sebagai reaksi atas sikap suaminya yang kerap kali tak terduga. Usia kebersamaan mereka bahkan sudah tak lagi muda. Namun Rahman selalu berhasil membuatnya merasa seperti pengantin yang baru selesai menikah kemarin sore.
            “Sampaiii.”
            “Fayad duduknya mau sama Bapak.”
            “Fayad mau makan sama sayul sopp.”
            Serta-merta Lia mencubit pipi bulat Fayad. Gemas karena baru saja anak itu mengatakan bahwa dirinya tidak lapar. Setelah selesai menyendokkan nasi ke beberapa piring di sana, ia berseru, “Makan dulu, Kak.”
             Tak berselang lama, Naufal muncul di balik tangga. Ia menempati kursi di samping Lia setelah sebentar menyapa bapaknya.
            “Ujiannya beres, Kak?” Tanya Rahman, meneruskan percakapan dengan si sulung.
            “Alhamdulillah, Pak. Doain lulus, ya.”
            “Pasti lulus lah. Jadi kan ke SMA itu?”
            Naufal mengangguk. Pemuda berwajah oval itu lalu menceritakan beberapa prosedur pendaftaran yang masih belum selesai.
            Jawaban Naufal membuat Rahman mengangguk puas. Ia menatap Naufal dan tersenyum yakin. “Ke SMA itu juga pasti lulus, Nak.” Rahman lalu beralih pada Lia dan meneruskan, “Bantu Kakak ya, Bu.”
            “Oh ya, Dek. Ini mobil-mobilan yang kemarin. Udah Kakak benerin.”
            Perhatian Fayad kontan teralihkan begitu mendengar mainan favoritnya disebut. Ia mengabaikan sayur sop untuk menyambut mobil berukuran mini itu. “Jadi bagus lagi mobillannya. Lihat nih, Pak.” Fayad memperlihatkannya pada Rahman. Ban depannya yang ringsek telah diperbaiki oleh tangan terampil Naufal.
            “Bilang apa sama Kakak?”
            Fayad mengangkat mobil itu tinggi-tinggi. Namun saking bersemangatnya, saat hendak mengucap terima kasih, mainan itu jatuh tergeletak di lantai. “Yahhh, Pak. Jatuhhh.”
            “Biar Bapak yang ambilin.” Rahman memeluk Fayad yang duduk di pangkuan dengan lengan kirinya. Sementara tubuh bagian kanannya merunduk, mencoba menggapai benda mungil tadi di bawah meja. Sesuatu yang mengejutkan terjadi di detik ketiga.  Saat serangan mendadak tiba-tiba mendarat di jantungnya. “Astaghfirullah! Allah! Jantung Bapak, Bu. Astaghfirullah.” Rahman terus meracau. Sampai kemudian, karena tak mampu menopang beban, tubuhnya melayu dan meluruh di lantai. Lengkap dengan tubuh mungil Fayad yang terbelam dalam dekapan.
***
Mobil-mobil berjejeran. Bukan hanya jenisnya yang beragam, pun ukuran yang bervarian. Ruangan itu semakin indah dibalut warna-warninya mainan. Si mungil berwarna hitam seolah menempati posisi teristimewa di sana. Kotak kaca yang membalutnya, paling mengkilap dibanding yang lain. Pun, kotak itu diletakkan di tempat yang menjadi pucuk bagi yang lain.
Fayad mengitari ruangan. Meneliti satu demi satu dari sekian banyak benda kesayangannya di sana. Mengerahkan seluruh tenaga untuk mendapat setitik gambaran. Sedalam mungkin menggali butiran memori yang berceceran. Namun, nihil. Sebab tak ada sekelebat pun yang berkenan untuk membayang di pelupuk mata. Dan untuk hari ini, tak terhitung berapa kali ia menghela napas berat.
           “De,” Naufal tiba-tiba melangkah ke dalam ruangan. Memecah lamunan Fayad yang menggelembung di sana.
            Fayad sempat terkesiap. Ia melirik seadanya. Seakan tak peduli, ia kembali bergelung dengan mainannya.
            Naufal berdiri di samping Fayad. Turut meneliti puluhan mobil mainan itu dengan tatapan mata. Bedanya, Naufal bisa melihat dengan jelas kenangan yang terpantul di sana. Nyeri menyeruak tatkala desah berat Fayad berkali-kali menelusupi rongga telinganya.
            “Kak, sosok Bapak itu gimana, sih?”
            Naufal meneguk ludah. Sesak, ia turut menghela napas berat. “Dia itu bijak, ceria, dan selalu menebar kebahagiaan di rumah ini.”
            Fayad tak bereaksi. Pandangannya tertancap kuat pada mobil hitam itu. Jangankan sosok Bapak, kejadian hari itu saja ia tak ingat. Yang ia tahu hanyalah kenyataan bahwa mobil hitam itu adalah satu-satunya mainan yang tak pernah lepas dari genggamannya.
            “Setelah ada kamu, bertambahlah satu hal yang menjadi kesukaan Bapak.”
            Fayad mengangguk. Terlampau hapal akan lanjutan kalimat yang pasti diucapkan Naufal. Secercah pun ia tak bisa mengingat binar bahagia yang menyemburat di wajah lugunya dulu. Binar bahagia yang sangat disukai sang bapak. Dan ia dibuat tergugu karenanya.
            Fayad meremas bahu Fayad. Bibirnya bergerak tak kentara. Namun kata yang ingin ia kecap menguap dengan cepat.
            “Aku kangen Bapak. Cuma itu yang aku tahu.”
            “Ibu udah bilang berkali-kali, kan? Kalau sosok Bapak ada dalam dirimu, Fay.”
            Naufal dan Fayad serta-merta berbalik. Mereka lantas menghampiri dan menuntun sang ibu.
            Tingkah kedua pemuda itu membuatnya tersenyum geli. “Kalian ini. Berlebihan sekali.”
            Naufal melipat kedua tangannya di dada. Berlagak kesal akan ucapan ibunya. Lalu dengan tegas ia berujar, “Seberlebihan apapun, tetap nggak akan bisa membalas semuanya. Jadi, Bu, biarin aku dan Fayad berlebihan sama Ibu.” Ia langsung meringis begitu cubitan ringan dari Lia mendarat di pinggangnya. Dan dengan nada jahil ia memelas, “Sakit, Bu. Obatin dong, Bu.”
“Kak! Resepsi tinggal seminggu lagi, masih kayak begitu juga?” Kali ini giliran Fayad yang dibuat sebal oleh tingkah manja sang Kakak. “Gimana dong, Bu? Apa pernikahannya dibatalin aja?” Fayad beralih menatap Lia. Memasang ekspresi wajah yang sama memelasnya dengan Naufal.
Lia menoleh pada Naufal dan Fayad bergantian. Detik berikutnya, ia termangu di tempat. Tingkah manja mereka selalu menggemaskan. Namun, menjadi tidak, jika berbicara soal usia. Lia jadi bingung untuk bereaksi. Haruskah ia marah, atau tertawa saja? “Ibu mau ajak kalian ke makam Bapak. Kalian mau---“
Kalimat Lia terpotong oleh Fayad dan Naufal yang dengan kompaknya menukas.
“Oke, Bu. Aku siapin mobil sekarang.”
“Kalau gitu, Fay bantu Ibu siap-siap.”
            Begitu mereka beranjak untuk menjalankan tugasnya masing-masing, Lia lantas mencegat, “Kalian mau kemana?”
            Langkah Fayad dan Naufal terhenti. Kening Fayad mengernyit. Menjawab tanpa mengucap.
            Lia menggeleng. Senyum puas terbit di wajahnya yang mulai dihiasi kerutan. “Mobil udah siap. Ibu juga udah siap-siap. Jadi---“
            “Berangkaaattt!”
            Dua tangan Lia sudah digamit erat oleh keduanya. Pada akhirnya, Naufal dan Fayad memaksa Lia untuk memilih tertawa. Tak ada reaksi lain yang lebih tepat atas sikap menggemaskan anak-anak, bukan?
***
“Seminggu lagi aku nikah, Pak.” Naufal menghela napas sejenak. Menyeka bulir bening yang menganak di ekor matanya. “Mudah-mudahan aku bisa jadi sosok suami seperti Bapak.” Hangat yang tiba-tiba menyergap membuat Naufal menoleh. Senyum yakin menular ke wajahnya saat mendapati Lia menatapnya. Perempuan itu berbisik lembut di telinganya. Naufal mengangguk dan balas menggenggam tangan Lia yang tertanam di pundaknya.
            “Pasti bisa, Nak.”
            Fayad bersimpuh di sisi lain pusara. Mata bulatnya tertancap kuat pada batu nisan. Varian rasa terpancar kentara dari tatapan itu. Bibirnya gemetar. Menyeleksi banyak kata yang berjejalan ingin keluar. “Bentar lagi seragam Fay juga putih-abu, Pak.” Setelah dengan paraunya kalimat itu meluncur, Fayad tertunduk lesu. Rindu yang mengungkung membuat hatinya semakin lebam membiru. Rindu yang mendera kerap kali membuat hatinya mati rasa.
            “Iya, Pak. Putra bungsu kita sekarang udah gede, lho. Ganteng pula. Kayak Bapak.”
            Mau tak mau, Fayad mendongak. Memperhatikan Lia yang ternyata berbicara menyahuti ucapannya. Setiap perkataan Lia membuatnya semakin termangu dan membisu.
            “Dari mulai marah sampai banyol, pokoknya Fayad itu Bapak banget. Tapi dia sering banget sedih, katanya mau tahu sosok Bapak itu kayak gimana. Padahal Ibu sama Kakak udah bilang beratus-kali, kalau jawaban itu ada dalam dirinya sendiri.”
            “Maafin Fayad kalau dia sering nangis, Pak. Maklum lah, dia kan ade kecil aku. Tapi sebagai Kakak, aku pasti bisa tenangin dia.”
            Dari Lia, Fayad menggeser mata pada Naufal. Ia tahu, kalau dua orang di hadapannya tengah berpura-pura fokus pada bunga yang menggunduk di sana. Dan Fayad memberenggut kesal karenanya. “Aku kangen Bapak. Tapi nggak kayak Kak Nopal, aku nggak tahu ....”
            Naufal akhirnya menatap Fayad. Pemuda berwajah oval itu mengangguk dan tersenyum maklum pada sang adik. “Jadi ke SMA itu, kan?” Tanyanya kemudian, sekaligus berusaha mengalihkan obrolan.
            Fayad turut mengangguk. Ia menceritakan beberapa prosedur pendaftaran yang belum selesai.
            Naufal termangu sejenak. Percakapan yang sama seketika bersahutan di telinga. Ia meneguk ludah lalu berujar, “Pasti lulus lah.”
            “Ibu pasti bantu Fay, kok.”
Sahutan dari Lia  membuat Naufal sekali lagi menelan ludah. Kali ini, ada pahit yang menyeruak ke permukaan.
***
“Sepulang dari kantor tadi, saya sama Pak Rahman ke toko mainan.”
Pelayat terus berdatangan. Tak sedikit dari mereka tiba dengan ekspresi kaget. Wajah itu kemudian berubah menjadi raut merenung setelah kronologis diceritakan. Satu demi satu dari mereka turut membacakan ayat suci Al-Quran untuk almarhum Rahman. Mereka juga bergantian memeluk Lia yang sedari tadi tenang dalam dekapan Naufal.
 Tikaman mendadak itu jelas membuat Naufal limbung. Namun tangisan Lia membuatnya mau tak mau meredam semuanya. Ia harus membebat air matanya agar dapat merengkuh Lia ke dalam dekapan. Ia harus mengubur wajah terlukanya agar dapat mengusap lembut punggung Lia yang terus berguncang.
“Kak, mobillannya lussak lagi.”
Saat Naufal menoleh, rundungan luka semakin dalam menelusupi dirinya. Hatinya semakin berkecamuk kala mata bulat itu memandangnya lugu. Hatinya sukses remuk ketika Fayad mengangsurkan benda mungil itu padanya. Naufal mendesah frustrasi. Ia mengeratkan dekapan pada tubuh Lia. Si kecil itu telah berhasil meruntuhkan pertahanannya. Dan akhirnya, Naufal memilih untuk tergugu di bahu ibunya.
Naufal terjaga di balik matanya yang terpejam. Memutar detik demi detik adegan. Membuka lembar demi lembar kenangan. Hingga kemudian, serangan jantung mendarat dan memungkas semuanya. Keadaan macam apa ini? Bukankah sedetik sebelumya ia tengah membicarakan rancangan masa depan dengan sang Bapak? Lalu bagaimana dengan Fayad? Masih banyak sekali waktu yang belum Fayad lewatkan dengan Rahman.
Fayad dipangku oleh seseorang. Didudukkan dengan nyaman di sofa dekat kursi kerja Rahman. Setiap orang yang melaluinya pasti memeluk tubuh mungil itu dan mengusap puncak kepalanya dengan sayang. Sementara, Fayad hanya membalas mereka dengan wajah polos. Mata bulat yang berbinar itu berhasil membuat mereka tak kuasa menahan isak.
            Beberapa kerabat mencoba mengajak Fayad bermain atau sekadar berbincang. Namun Fayad yang biasanya bersemangat bahkan tak memberi reaksi berarti. Ia bertahan di posisinya. Terus berkutat dengan mobil-mobilan hitamnya. Tangan mungilnya bergerak-gerak lentik memperbaiki ban yang kembali lepas. “Mau minum.” Fayad berujar tanpa menggerakkan pandangannya.
            Satu dari kerabat yang mengerumuninya langsung bangkit. Tak berselang lama, gadis itu kembali dengan segelas air. “Ini, De Fay.”
            Kini Fayad mendongak dan meneguk air sampai habis. Saat hendak kembali pada mobil-mobilannya, gerakan kepalanya tiba-tiba berhenti. Tertancap dan tertahan oleh kursi kerja Rahman. Cukup lama mata Fayad tertanam di sana. Detik berikutnya, secercah senyum cerah terbit di sana. Namun dalam hitungan singkat, lekuk itu berubah menjadi renggutan kecewa. “Bapak mau kemana?” Tapi di hitungan berikutnya, senyum terulas lagi di wajahnya. Mainan di tangannya ia angkat tinggi-tinggi, dan seraya mengangguk ia berkata, “Jangan lama, Pak.”
***
“Bebek mellahnya ada kok.”
            Hari ini, untuk ke sekian kali Fayad meneliti motor itu dengan kernyitan dalam. Anak itu heran. Motor itu terparkir manis di garasi. Namun sama sekali ia tak merasakan kehadiran sosok jangkung yang selalu dengan cepat menghampiri. Berkali-kali pula ia mendengar deru yang sama. Namun irama suaranya tak beralun seperti biasa. Sebab gemuruh itu tak pernah berhenti di tempatnya, melainkan sering kali berjalan menjauh dan menghilang.
            Akhirnya, Fayad hanya bisa mematung di ambang pintu. Menanti si bebek merah menghentikan gaungan lembutnya. Menanti pelukan dari sang bapak, terkadang dilengkapi kejutan yang harus dipecahkan dengan teka-teki yang selalu ia nikmati.
            Sekali waktu, Naufal mencoba melakukan hal serupa. Ia menyengajakan pergi ke sekolah bersama motor bapaknya. Sepulangnya, saat memarkirkan motor di garasi, terdengar langkah rusuh Fayad. Berlari kecil namun dengan ritme cepat ke arahnya. Seakan tak ingin kalah, jantung Naufal turut bertalu-talu rusuh. Dan jantung itu sukses jatuh menghantam lantai begitu Fayad muncul dan berteriak, “Bapaaakkk!”
            Fayad menghentikan langkah. Mendongak dan termangu ke arah kakaknya. Kernyitan khas di wajah lugu itu seakan menuntut penjelasan.
            Naufal meneguk ludah. Perlahan ia menghampiri adiknya itu. Tak lupa, kedua tangan tersembunyi di balik punggung seraya berucap lirih, “Tebak, Kakak bawa apa buat Fayad?”
            Masih dengan gulungan di kening, Fayad memperhatikan Naufal yang bersimpuh di hadapannya. “Apa?”
            Naufal memberenggut kecewa. “Tebak, dong.”
            Fayad menggeleng cepat dan menegaskan, “Nggak mauuu.”
            “Nggak mau?”
            Fayad mengangguk yakin.
            Naufal menghela napas. Meredam kecewa yang menyeruak. “Kakak bawa ini buat Fayad.” Kedua tangan ia keluarkan dari persembunyian dan ia ulurkan pada adiknya itu.
            “Mobill?”
            Naufal mengangguk senang. “Kamu suka, kan?” Ia menunggu raut serupa turut terbit di wajah Fayad.
            Kini Fayad menggeleng.
            “Kenapa?” Perlahan, senyum Naufal luruh tak bersisa. Kecewa yang sedari tadi mendesak, akhirnya terbit menggurat di wajahnya.
            “Fayad sukanya mobillan dari Bapak. Kemallin Bapak billang mau beli mobillan tapi lama padahall Fayad bilang jangan lama.” Setelah mengatakannya, Fayad berbalik meninggalkan Naufal dengan mainan baru itu begitu saja.
            Kata-kata itu bertolak dari suara mungil adiknya. Tiap huruf serupa kerikil yang menghujani ubun-ubunnya. Lalu menembus ke dadanya. Kemudian melesat berbenturan di dasar hatinya. Dan semua itu berhasil melukai Naufal yang kini tergugu di tempatnya.


Fayad. Anak berusia empat tahun itu bukan menunggu mobil-mobilan baru datang.

Melainkan:


Menunggu bebek merah berhenti menderu saat ke garasi mininya harus pulang. Menunggu sosok jangkung datang dengan pelukan, kejutan, hingga tebakan yang lengkap dengan mainan. Menunggu momen bapak dan anak yang penuh keceriaan.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

[TASK] Proposal Usaha (Kewirausahaan)

Ini tugas bikin proposal waktu kelas sebelas hihi :3 Gak tau bener gak tau nggak soalnya dulu gak sempet direview sama gurunya -,- Disusun oleh: Asti Nurhayati Sri Isdianti Kelas XI-AP4 SMK Negeri 1 Garut 2012-2013 BAB 1 PENDAHULUAN A. Nama dan Alamat Perusahaan Toko Buku   “27 RADAR” Jl.   Radar   No. 27 Garut B. Nama dan Alamat Penanggung Jawab Usaha Ø     Penanggung jawab 1: Nama : Asti Nurhayati Nurjaman   TTL : Garut, 19 Agustus 1996   Ø      Penanggung jawab 2: Nama : Sri Isdianti TTL : Garut, 12 September 1996   C. Informasi Usaha          Usaha toko buku yang kami kelola ini berada di Jl.   Radar   No. 27, merupakan lokasi yang sangat strategis yang berada di pusat kota Garut ini, bisa dengan mudah dijangkau oleh kendaraan apapun. Juga terletak di antara banyaknya pusat perkantoran serta sekolah-sekolah sehingga menjadi suatu keuntungan tersendiri bagi kami karena berdekatan dengan banyak

[BOOK REVIEW] Sejarah Ekonomi Dalam Islam

بِسْــــــــــــــــــمِ اﷲِالرَّحْمَنِ اارَّحِيم Judul: Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam Penulis:DR. Euis Amalia, M.Ag Penerbit: Gramata Publishing Tebal Buku: xiv + 322 halaman ISBN: 978-602-96565-1-0 Harga: Rp. 69.000,- Sumber gambar: goodreads Ada kesenjangan epistemologi yang mengemuka lebar tatkala ingin menampilkan literatur sejarah pemikiran ekonomi. Nilai fairness dan transparansi seolah sulit untuk dibuka ketika dihadapkan pada siapa menemukan apa karena bermuara pada “otoritas klaim.” Fakta-fakta ironis menyebutkan bahwa seringkali hasil karya ilmuwan muslim kita diabaikan oleh sarjana barat, padahal mereka sendiri secara implisist mengakui banyak karyanya telah diilhami oleh  pemikir Islam atau karya mereka tidak pure lagi karena sebelumnya sudah diketemukan teori oleh sarjana muslim. Hanya bisa dihitung dengan jari penulis-penulis barat yang mengakui bahwa konsep-konsep atau teorinya berasal dari pemikir Islam. Secara simplistis saja,

[BOOK REVIEW] AYAH Tanpa Tapi

Surga juga ada di telapak kaki ayah – pada setiap langkah yang ia ambil untuk terus menyambung nafas dan menumbuhkanmu, ada surga. (Seribu Wajah Ayah – hlm. 16)             Ayah, salah satu bilah tervital dalam hidup yang dikatakan Rasulullah setelah penyebutan Ibu yang diulang sebanyak tiga kali.             Ibu, ibu, ibu, baru ayah .            Repetisi yang menomorempatkan ayah bukan berarti kita harus menomorsekiankan pula sosok itu dalam hidup. Tidak sama sekali.           Memang, kebanyakan figur ayah tidak sama dengan ibu. Jika ibu seakan tak pernah kehabisan agenda kata yang berlalu lalang di telinga kita, beda halnya dengan ayah yang bahkan seolah enggan untuk bersuara walau hanya sekecap. Pun, sering kali kita lebih nyaman bersandar di punggung ibu yang ekspresif dibanding harus bercengkrama dengan sosok ayah yang cenderung defensif.            Meski tidak menutup kemungkinan tidak semua ayah berkarakter begitu, tapi itu juga tak dapat dipungkiri, kan?