بِسْــــــــــــــــــمِ
اﷲِالرَّحْمَنِ اارَّحِيم
Judul: Sabtu Bersama Bapak
Penulis: Adhitya Mulya
Penerbit: GagasMedia
Tebal Buku: 278 halaman
Cetakan Pertama: 2014
Tebal Buku: 278 halaman
Cetakan Pertama: 2014
Cetakan kelima belas, 2015
ISBN: 979-780-721-5
Harga: Rp. .48.000,-
Sumber Gambar: goodreads
Sumber Gambar: goodreads
Video mulai berputar.
“Hai, Satya! Hai, Cakra!” Sang Bapak
melambaikan tangan.
“Ini Bapak.
Iya, benar kok, ini Bapak.
Bapak Cuma pindh ke tempat lain. Gak
sakit. Alhamdulillah,
Berkat doa Satya dan Cakra.
...
Mungkin Bapak tidak dapat duduk dan bermain
di samping kalian.
Tapi, Bapak tetap ingin kalian tumbuh
dengan Bapak di samping kalian.
Ingin tetap dapat bercerita kepada
kalian.
Ingin tetap dapat mengajarkan kalian.
Bapak sudah siapkan.
Ketika kalian punya pertanyaan, kalian
tidak pernah perlu bingung
ke mana harus mencari jawaban.
I don’t let
death take these, away from us.
I dont’t give
death, a chance.
Bapak ada d sini. Di samping kalian.
Bapak sayang kalian.”
----
Ini adalah
sebuah cerita. Tentang seorang pemuda yang
belajar mencari cinta. Tentang seorang pria yang belajar menjadi bapak dan suami yang baik.
Tentang seorang ibu yang
membesarkan mereka dengan penuh kasih. Dan..., tentang seorang bapak yang meninggalkan pesan dan
berjanji selalu ada bersama mereka.
Apa yang ada di dalam benak seorang Ayah di detik
terakhir sebelum dia berpulang?
Ini adalah sebuah
cerita.
Ada
empat main cast dalam buku ini, Gunawan Garnida, Itje Garnida, Satya,
dan Cakra dengan nama kecil Saka. Mereka adalah keluarga kecil yang hidup
bahagia. Gunawan dan Itje adalah sosok orangtua yang mampu mendidik kedua anak
lelaki mereka dengan cara yang luar biasa.
Dan..., tentang
seorang bapak yang meninggalkan pesan dan berjanji selalu ada bersama mereka.
Namun, penyakit ganas datang tiba-tiba. Membisikkan bahwa tak lama lagi, mata bulat Satya dan Cakra akan ditinggalkan oleh Gunawan, sosok ayah yang tak ada duanya.
Gunawan yang selalu memegang teguh Planning
is everything, jelas tidak bisa tinggal diam. Sembari menunggu saat di
mana maut akan menjemput, ia mempersiapkan segala sesuatu yang dapat dijadikan pegangan
oleh istri dan kedua anaknya kelak. Ia mulai sibuk dengan handycam dan tripod-nya.
Merekam banyak hal yang mungkin tak akan sempat ia sampaikan secara langsung
pada keluarga kecilnya. Terutama Satya dan Cakra yang tentunya sangat memerlukan
banyak nasihat dan petuah. Atau setidaknya berbagi sedikit pengalaman agar
anak-anaknya itu dapat menjalani fase kehidupan dengan lebih kuat, cerdas, dan
baik meski tanpa seorang Bapak di sampingnya. Yang penting itu, kalau
salah satu dari kita pergi –yang ditinggalkan masih bisa mandiri.
Dan, kanker itu tak berbohong. Singkat
cerita, penyakit ganas itu benar-benar menjemputnya. Begitu cepat. Di usia
Satya dan Cakra yang masih sangat kecil. Mereka pun hidup bertiga. Itje, Satya,
Cakra.
Karena waktu kecil, gak ada orang yang ngasih tahu
ini ke Bapak.
Jadi, Bapak banyak telatnya. Tapi setidaknya Bapak
bersyukur, Bapak tidak telat untuk kalian.
Sesuai dengan segala sesuatu yang
telah disiapkan Gunawan, sepulang sekolah setiap hari Sabtu, Satya dan Cakra
selalu menonton video-video yang telah direkam sang Bapak. Setiap pesan dalam
video disesuaikan dengan usia mereka berdua. Hingga ada kalanya Satya hanya
diizinkan menonton sendirian jika video itu berisi nasihat untuk usia yang lebih
dewasa. Akan tetapi, Cakra lebih sering ikut menonton. Oleh karena itu, cara
berpikir Cakra menjadi lebih dewasa dibanding anak sebayanya yang lain.
Tentang seorang ibu
yang membesarkan mereka dengan penuh kasih.
Itje hidup menjadi single parent yang
mandiri dan sukses. Itje bahkan dapat menangani delapan rumah makan dengan kemampuannya
sendiri. Hal tersebut bahkan dilakukan tanpa mau ada campur tangan dari kedua putranya.
“Di budaya kita, anak membantu orangtua.”
“Dan di keluarga kita, kita gak nyusahin orang
lain.”
Tentang
seorang pria yang belajar menjadi bapak dan suami yang baik.
Satya tumbuh menjadi seseorang dengan
pribadi yang dapat dikatakan cukup keras. Satya menjadi pria nomor satu dalam
keluarganya. Karena jika dia lembek, dia takut ibu dan adiknya akan
terinjak-injak. Oleh karena itu, metode problem solving-nya adalah
dengan berkelahi. Sayangnya, sifat pemarahnya ini terbawa hingga dia
berkeluarga. Sifat yang selalu menjadi pemicu timbulnya permasalahan antara
dirinya dengan istri, juga ketiga putranya. Kepintaran yang tidak
diimbangi kesabaran akan menjadi ujian bagi dirinya sendiri, dan malapetaka
bagi anak-anaknya.
Oke, sampai paragraf di atas aku jadi
tahu, kalau ternyata sifat yang melekat pada diri kita saat ini dan mewarnai lingkungan
kita detik ini, belum tentu akan sesuai dengan lingkungan dan kehidupan kita di
masa mendatang. Perlu ada penyesuaian, kapan, pada siapa, dan bagaimana sifat
itu harus dikeluarkan. Apalagi kalau sifat itu berbau negatif. Ditunjukkan pada
anak pula. Jika dibiarkan, hal tersebut akan melahirkan rasa takut dalam diri
seorang anak.
Sifat marahnya di masa lalu menjadi penghalang anak
untuk bercerita. Padahal, anak butuh bercerita pada orang yang mereka percaya.
Jika anak sudah tidak mau bercerita
atau curhat kepada orangtua, kepada siapa lagi anak harus mencurahkan isi
hatinya? Kepada orang lain? Kalau dikaitkan dengan retorika Ihsan Baihaqi Ibnu
Bukhari dalam bukunya yang berjudul “Renungan Dahsyat untuk Orangtua”, tidakkah
sebagai orangtua akan merasa cemburu jika, misalnya, teman sebangkunya lebih
tahu tentang cinta pertama sang anak dibanding orangtua itu sendiri? Seharusnya
orangtualah yang menjadi tempat paling nyaman bagi anak untuk curhat, bukan
orang lain. Jika anak lebih memilih bercerita kepada orang lain, pasti ada yang
salah dengan orangtua itu, bukan?
Jika dikaitkan dengan permasalahan
Satya dalam novel ini, adalah Satya yang tak bisa mengendalikan sifat
negatifnya di hadapan istri dan anak. Satya yang selalu dengan cepat marah jika
anak-anaknya berisik. Satya yang selalu marah-marah jika masakan istrinya tidak
sesuai yang diharapkan. Juga, Satya yang selalu marah-marah pada anak sulungnya
yang kerap kali tak sesuai dengan ekspektasinya.
Lalu, bagaimana caranya untuk mengatasi
permasalahan seperti ini?
Tentang
seorang pria yang belajar menjadi bapak yang baik.
Namun, orangtua yang lebih baik akan mampu mendidik
anak mengatasi itu semua, dengan tidak marah-marah.
Setelah melalui banyak kejadian yang cukup menohok,
salah satunya adalah insiden di tempat kerjanya. Dan yang paling penting adalah
setelah Satya kembali menonton semua video dari Bapaknya. Perlahan namun pasti.
Sedikit demi sedikit. Satya sadar. Meminta maaf ketika salah adalah wujud
dari banyak hal. Wujud dari sadar bahwa seseorang cukup mawas diri bahwa dia
salah. Wujud dari kemenangan dia melawan arogansi. Wujud dari penghargaan dia
kepada orang yang dimintakan maaf. Tidak meminta maaf membuat seseorang
terlihat bodoh dan arogan. He says sorry to his sons to be better
father for them, cause they deserves better. Meski Satya harus melalui fase
first is hardest, di mana ketiga putranya tampak terheran-heran dengan
perubahan pada Bapak mereka yang bahkan membuat suasana anak-bapak terasa
semakin canggung. Namun karena keinginan kuatnya untuk menjadi better father,
dia berhasil! Menjadi dekat dengan ketiga anaknya yang juga mulai terbuka mengenai
isi hati mereka pada sang Bapak.
Terkadang, bagi orang dewasa, apa yang dibincangkan
terasa remeh, tapi kali ini dia ingat bahwa bagi ketiga anaknya, semua topik
yang mereka bicarakan tidak ada yang terasa remeh.
Cara yang dilakukan Satya ini sejalan
dengan yang dikatakan Ihsan Baihaqi Ibnu Bukhari, bahwa terlepas dari anak
tersebut pendiam atau periang, introvert atau ekstrovert, mereka
pasti memiliki kebutuhan untuk berbicara. Oleh karena itu, dekati anak dan
bicaralah dengan cara yang baik, bukan marah-marah. Pancing dan beri anak
kenyamanan untuk turut berbicara. Pada saat anak berbicara, dengarkanlah. Karena
inti dari mendengarkan adalah membuat anak berbicara untuk mengungkapkan
pikiran dan perasaannya. Semakin sering mendengar, semakin orangtua akan
mengenali dan menguasai anak.
Cara
ini juga berhasil diterapkan Gunawan dan Itje pada Satya dan Cakra(Saka). Buktinya,
saat Saka jatuh cinta pada pandangan pertama kepada Ayu, saat itu pula ia
langsung memberi tahu ibunya, walau hanya lewat SMS. Mah, Saka ketemu
perempuan. Saka suka.
Tentang
seorang pria yang belajar menjadi suami yang baik.
Kembali kepada Satya Hal ini tentunya
tidak lepas dari peran sang istri yang luar biasa, Rissa. Istri yang tetap
setia meski bertahun-tahun harus bertahan menghadapi tempramen suaminya yang
tinggi. Istri yang tetap tak menyerah memasak makanan kesukaan Satya meski yang
didapat selalu kritikan pedas karena rasa yang tak enak.
Also, for her,
Satya will be better husband,
cause she deserves better.
Dari kisah hidup Satya ini aku
mengambil pelajaran bahwa sebelum menuntut anak untuk menjadi baik, orangtua
harus terlebih dahulu menjadi baik. Karena di sini pun dikatakan bahwa Intinya, selalu ada
pilihan untuk tidak berurusan dengan orang buruk. Akan tetapi, jika
yang buruk itu melekat pada diri orangtua, bagaimana? Sementara, Anak? Mereka
tidak pernah minta dilahirkan oleh orangtua buruk. Dan ketika mereka mendapat
orangtua yang pemarah, mereka tidak dapat menggantinya.
Di atas tadi, aku sempat sedikit
menyinggung mengenai anak sulung. Omong-omong tentang sulung, buku ini berhasil
mematahkan pemahamanku, atau bahkan pemahaman yang sudah sangat marak di
masyarakat pada umumnya. Tapi mungkin ini tergantung persepsi ya, kalau aku setuju
sekali sama yang dikatakan Adhitya Mulya dalam novel ini.
Kamu anak sulung, kamu harus kasih contoh untuk
adik-adik kamu.
Aku yakin, kalimat di atas, yang sederhana
tapi berimplikasi luar biasa itu sudah tak asing lagi di telinga kita. Atau
bahkan kita mendengarnya dari orangtua kita sendiri? Rite!
“Saya suka sedih setiap kali ada orangtua yang
memberi beban seperti itu pada anak sulungnya.
“Karena menjadi panutan bukan tugas anak sulung kepada
adik-adiknya. Karena menjadi panutan adalah tugas orangtua untuk anak-anaknya.”
“Seorang anak, tidak wajib menjadi baik atau pintar
hanya karena dia sulung. Nanti yang sulung benci sama takdirnya dan si bungsu tidak
belajar tanggung jawab dengan cara yang sama. Semua anak wajib menjadi baik dan
pintar karena memang itu yang sebaiknya semua manusia lakukan.”
Tapi,
bukannya orangtua mengatakan hal seperti itu pada si sulung untuk memberi
motivasi? Memang benar. Menurutku juga, pemahaman mengenai sulung yang seperti
itu tidak sepenuhnya suatu kesalahan dari orangtua. Akan tetapi, di buku ini Adhitya
Mulya memberi alternatif solusi untuk memberi motivasi kepada anak dengan
status kesulungannya itu. Seperti perkataan Gunawan ini, misalnya:
“Jika kita ingin memotivasi Satya dengan status
sulung, kita coba dengan cara positif.”
‘Kang Satya, coba ajarin Saka 1+1. Soalnya kalo
sama Mamah, Saka gak mau denger. Dia maunya dengerin Kakang. He thinks you’re
smart.’
Waw.
Aku takjub baca bagian ini! O.O aku baru tahu ternyata ada pemikiran yang
seperti ini. Aduh, ini kayaknya emang buku-buku parenting yang aku baca
masih minim deh x_x
Kemudian, ditegaskan pula mengenai
pentingnya orangtua agar selalu meluangkan waktunya untuk bersama anak, atau
yang sering disebut quality time. Orangtua harus benar-benar bersama
dengan anak, bukan sekadar berada di dekat anak. Dalam buku Ihsan Baihaqi Ibnu
Bukhari, dua kalimat itu merupakan kondisi yang sangat berbeda. Dari frasanya
pun terlihat sangat berbeda. Ketika orangtua memberikan waktu dan ruang
untuk bersimpati dan berempati dengan si sulung, anak sulung itu akan memiliki
waktu dan ruang untuk bersimpati dan berempati pada adik-adiknya.
Tentang
seorang pemuda yang belajar mencari cinta.
Lain halnya dengan Cakra, –yang lebih
dipanggil Saka oleh keluarga, ia tumbuh menjadi pria yang sama-sama sukses
seperti Satya. Namun ada satu kekurangannya, dia tak pernah merasa percaya diri
untuk mendekati seorang perempuan. Yang merupakan sebab terbesar ia tak kunjung
mempunyai pacar, apalagi calon istri.
“Pagi, Pak Cakra.”
“Pagi, Wati.”
“Udah punya pacar, Pak?”
“Diam kamu, Wati.”
“Pagi, Pak,”
“Pagi, Firman.”
“Pak, mau ngingetin dua hal aja, Bapak ada induksi
untuk pukul 9 nanti di ruang meeting.”
“Oh, iya. Thanks. Satu lagi apa?”
“Mau ngingetin aja, Bapak masih jomblo.”
“Enyah, kamu.”
(Hahaha XD ini salah satu part yang
menunjukkan kegilaan antara Cakra(Saka) dengan bawahannya di kantor. Banyak part
lain yang lebih lucu dan gila :v)
Part-part Cakra ini merupakan bagian yang penuh
dengan hal konyol, lucu, dan gila. Apalagi kalau Cakra udah bersatu sama
bawahan-bawahannya yang tak kalah absurdnya dari dia XD. Mereka akan
lebih bertambah ngaco kalau udah ngomongin penyakit jomblo kronisnya Cakra =)).
Kondisi ini menunjukan kalau Cakra bukanlah tipe atasan yang seolah membatasi diri
dengan bawahan. Karena kedekatannya dengan bawahan itu, mereka jadi mudah
mengerti saat menerima setiap masukan dari Cakra. Hal ini yang kemudian
berimplikasi pada melesatnya kesuksesan Satya. Akan tetapi, soft skillnya
itu tetap diimbangi dengan kecerdasan akademis.
“Saya melihat bahwa dunia kerja itu beda dengan
dengan dunia akademis. Dunia akademis itu mementingkan prestasi. Tapi dunia
kerja itu mementingkan soft
skill. Benar kan, Pak?”
Mengenai soft skill dan
akademis, aku jadi ingat percakapan waktu SMK dulu. Banyak teman yang
mengatakan kalau kecerdasan akademis itu sama sekali nggak penting. Karena pada
saatnya nanti di dunia kerja, hal itu tidak akan terpakai. Yang diperlukan hanyalah
soft skill. Dulu mereka memisalkan, kalau di dunia kerja kita tidak
mungkin ditanyai tentang seluk-beluk pendefinisian sesuatu atau apapun lah yang
termasuk ke dalam bentuk pembelajaran yang di dapat di sekolah. Oh ya, mungkin
lebih sering juga disebut kalau ilmu yang didapat dari teori itu berbeda dengan
kenyataan prakteknya di lapangan. Sering dikatakan pula kalau memperbanyak
praktek itu jauh lebih penting daripada terus dijejali teori. Namun menurutku,
keadaan ini tidak bisa dijadikan sebuah pembenaran. Karena untuk terjun praktek
ke lapangan pun kita harus terlebih dahulu dibekali teori yang cukup. Agar ada
keseimbangan. Agar kita mampu melakukan crosscheck antara teori dan
praktek dengan benar.
Permasalahan ini juga disinggung di
sini. Di percakapan antara Cakra dengan mahasiswa yang tengah magang di
kantornya. Sama seperti Cakra, aku termasuk yang tidak setuju dengan pemahaman
seperti itu. Menurutku, pemahaman seperti itu adalah sebuah bentuk pembenaran
atas kemalasan atau pesimisme yang dimiliki seseorang. Terlepas dari tinggi
atau rendahnya tingkat kecerdasan akademis kita, sama sekali hal itu tak boleh diremehkan.
Oke, atau mungkin justru timbulnya pemahaman seperti itu karena faktor tinggi
rendahnya kecerdasan akademis? Jika iya, menurutku, yang akan menjadi semakin
bermasalah adalah, sudahkah kita berupaya? Urusan hasil, yakinlah, kalau hasil
tak akan pernah mendustai proses. Jadi, berproseslah. Atau dapat dianalogikan pula
pada Berapa kali kamu jatuh itu gak penting. Yang penting berapa kali
kamu bangkit lagi. Dan alasan lain yang lebih kuat, aku temukan dalam
nasihat Gunawan pada kedua anaknya di buku ini.
“Tapi yang
mereka salah adalah bilang bahwa perstasi akademis itu gak penting.
Attitude baik kalian tidak akan terlihat oleh
perusahaan karena mereka sudah akan membuang lamaran kerja kalian jika prestasi
buruk.
Prestasi akademis yang baik bukan segalanya. Tapi
memang membukakan lebih banyak pintu, untuk memperlihatkan kualitas kita yang
lain.
Asah soft skll kalian. Belajar juga demi akhlak yang
baik.”
Oke, kembali ke masalah jomblonya
Cakra.
“Terima saya, jika kamu lihat bahwa saya adalah
perhiasan dunia akhirat yang baik untuk kamu. Karena ... kamu adalah perhiasan
dunia dan akhirat untuk saya.”
Sebenarnya, bukan hanya masalah
percaya diri yang membuat Cakra tak kunjung mendapat pasangan. Lagi-lagi, ini
karena besarnya pengaruh dari peran sang Bapak. Di atas sempat dikatakan kalau Gunawan
sangat memegang teguh prinsip planning is everything. Termasuk menyangkut
masalah pasangan yang nantinya akan dijadikan teman hidup. Bukan hanya untuk di
dunia, tapi juga di akhirat. Sekarang dan nanti.
“Planning is everything. Ini adalah sesuatu yang
Bapak pelajari agak terlambat. Bapak tidak ingin kalian terlambat juga.”
“Bukan berarti seseorang harus kaya dulu sebelum
nikah. Tapi kalian harus punya rencana. Punya persiapan.”
Mengenai soal pasangan, yang cenderung
juga tertuju pada kata pacaran, aku jadi ingat novel Insya Allah, Sah!. Berkaitan
dengan masalah pacaran, aku menemukan kesamaan satu titik yang dituju akan
tetapi dengan jalan yang berbeda. Kalau pada Insya Allah, Sah!, si Raka tak mengenal
pacaran karena dia memegang prinsip keagamaan yang begitu kuat. Salah satunya
adalah karena di dalam Islam tidak ada pacaran, Islam hanya melegalkan
pernikahan. Sedangkan novel ini lebih cenderung pada aspek teknisnya, meski
tetap mengerucut pada urusan dunia-akhirat.
“Saka
membuktikan kepada diri sendiri dulu. Bahwa Saka siap lahir batin untuk jadi
suami. Makanya ngejar karier dulu. Belajar agama dulu. Nabung dulu. Kalau Saka
udah pede sama diri sendiri, Saka akan pede sama perempuan.
“Ka, istri yang baik gak akan keberatan diajak
melarat.”
“Iya, sih. Tapi, Mah, suami yang baik tidak akan
tega mengajak istrinya untuk melarat.”
Ih, Masya Allah. Penokohan Cakra
di novel ini membuatku luar biasa kagum >_< Meski berulang kali dikatakan
dalam deskripsi kalau Cakra itu tak memiliki wajah setampan Satya, tapi tetep
aja aku suka sama dia (?) Menurutku, Cakra tampan dengan caranya sendiri. Segala
hal baik yang melekat pada dirinyalah yang menciptakan ketampanan pada tokoh
Cakra, mungkin semacam inner handsome (?) hihi.
Sama
seperti Raka dalam Insya Allah, Sah!, pada akhirnya pun Cakra merasakan jatuh
cinta. Pada pandangan pertama. Mah, Saka ketemu perempuan. Saka suka.
Serupa pula dengan Satya yang
mengalami fase first is hardest saat mencoba berubah untuk anak-anaknya,
begitu pula Cakra. Kisah cinta pertamanya ini tak berjalan mulus. Intinya,
sama yang mau, dia nggak mau. Sama yang dia mau, dia nggak bisa ngomong. Selain
karena ini memang cinta pertamanya, ini disebabkan pula karena si Cakra yang
sama sekali nggak ahli untuk mendekati perempuan. Jangankan mendekati atau
bahkan mengajak ngobrol, saat hendak presentasi di depan Ayu pun, ia langsung nge-hang
XD
“Nama saya Cakra. Dan hari ini saya akan
membawa....”
“Membawa... bawa... membawakan presencantik sekali
untuk divisi... baju putih rada nerawang.”
“Pak Cakra, are you OK?”
Cakra
ini memang luar biasa konyol XD tapi tetap saja, meski dia absurd, porsi
seriusnya tetap lebih besar. Lalu, bagaimana kelanjutan perasaan Cakra pada
Ayu? Yang pasti, Dia baru sadar, dia belum pernah untuk memiliki seorang
perempuan seperti dia menginginkan Ayu.
Ada
satu hal lagi yang membuat Cakra tak kunjung menikah. Karena salah satu yang dia
takutkan dan beratkan adalah menjadi seorang suami.
“Apa yang bikin jadi suami itu berat?”
“Ketika seorang laki-laki dan perempuan menikah,
laki-laki itu meminta banyak dari perempuan.
Saya pilih
kamu.
Tolong pilih
saya, untuk menghabiskan sisa hidup kamu. Dan saya akan menghabiskan sisa hidup
saya bersama kamu.
Percayakan hidup
kamu pada saya. Dan saya pwnuhi tugas saya padamu, nafkah lahir dan batin.
Pindahkan
baktimu. Tidak lagi baktimu pada orangtuamu. Baktimu sekarang pada saya.
Itu, tiga perkara yang pria minta dari perempuan.
Banyak laki-laki yang saat mereka menikah tidak
tahu bahwa mereka meminta ini.
Banyak juga laki-laki yang bahkan kemudian hari,
mencederai tiga hal ini.”
Seperti kata Adhitya Mulya, semua
orang pasti pernah menjadi anak –dan mungkin memiliki anak. Semua pasti
memiliki orangtua –dan mungkin menjadi orangtua. Menurutku, Sabtu Bersama
Bapak adalah buku parenting yang
dibalut dengan kisah yang mengharukan, menggembirakan, bahkan menggelikan.
Banyak pelajaran yang bisa diambil berkaitan
dengan anak-orangtua oleh para orangtua agar bisa menjadi orangtua yang jauh
lebih baik lagi. Agar bisa menjadi orangtua yang mampu memberi didikan yang
benar-benar tepat kepada anaknya.
Dan dari sisi anak, itu semua bisa dijadikan
pengetahuan tambahan untuk menjadi anak yang lebih baik lagi. Serta menjadi
anak yang mudah-mudahan dapat memahami orangtua lebih dalam lagi. Juga pastinya,
lebih sayang lagi kepada orangtua. Apalagi ada salah satu bab yang berjudul “Yang
Orangtua Tidak Ucapkan”, dan itu memang nyata. Hal ini sejalan dengan pernyataan
Monde Ariezta dalam bukunya yang berjudul “1001 Alasan Kamu Harus Sayangi Ibumu”,
bahwa dalam hidupnya, ibu sering berbohong, seperti misalnya, saat ibu sedang
menjaga anaknya yang sakit sampai tengah malam, ia berkata “Istirahatlah,
Nak. Ibu belum ngantuk.”.
Kemudian, ada satu tambahan. Menurutku,
meski tidak secara eksplisit, buku ini juga memaparkan tentang bagaimana
menjadi seorang perempuan yang pantas untuk dicintai oleh lelaki baik-baik, seperti
oleh Satya dan Cakra. Kalian bisa menganalisisnya dari penokohan Rissa dan Ayu.
Overall, kontennya luar biasssaaa. Sarat makna. Sama sekali
tidak ada pemubaziran. Setiap barisnya mengandung nilai-nilai yang dekat dengan
kehidupan pada umumnya. Bahkan yang aku highlight di buku jauh lebih
banyak dibanding dengan yang dipaparkan di sini. Karena jika dijelaskan
semuanya, postingan ini akan semakin panjang. Nanti reader pada
males bacanya hehehe :V
Dan-dan
dan, aku baru tahu kalau ternyata Adhitya Mulya adalah suaminya Ninit Yunita, novelis
yang beberapa bukunya sudah difilmkan, salah satunya adalah Test Pack. Benar-benar
pasangan serasi, sama-sama penulis hebat 0.0
Dari
gaya penulisan pun ada kesamaan. Keduanya sama-sama memiliki selera humor. Di
sini, sisi humornya dapat kita saksikan di setiap ada Cakra. Dan dalam
ceritanya pun, ada bumbu dewasa gitu (?) kayak di Test Pack kan juga ada tuh, kalau
itu dari judulnya juga udah ketahuan sih :v Di novel ini juga. Nggak banyak. Ada
beberapa. Di part Satya sama Rissa, karena mereka sudah menikah (?).
Aku
juga suka banget sama cara Adithya Mulya mengolah kata. Setiap kata selalu ia
rangkai dan bingkai dalam balutan kalimat yang cukup pendek-pendek. Sehingga
kesan puitisnya terasa. Efek dramatis pun terjaga, dalam artian tidak
berlebihan tapi tetap dapat membawa pembaca hanyut ke dalam cerita. Selain itu,
jadi lebih mudah dipahami pula. Diksinya kaya namun tetap dapat dimengerti
pembaca.
Bukan
bermaksud mencari-cari kesalahan orang lain (?) tapi, tak ada gading yang tak
retak, bukan? Salah satu kekurangan dari buku ini adalah tidak adanya footnote
untuk kata-kata berbahasa Sunda. Untuk aku tidak ada masalah karena aku
orang Sunda dan pasti tahu maksudnya. Tapi pembaca di daerah lain?
Tidak adanya pemberian footnote mungkin
memang karena arti dari kata itu sudah tercakup dalam situasi yang terjadi
dalam dialog. Karena ada kata atau kalimat lain yang secara implisit menunjukkan
arti dari bahasa Sunda tersebut. Iya, memang seperti itu sih. Dan mungkin juga
karena tak ingin merepotkan pembaca dengan harusnya menggerakkan bola mata ke sudut
bawah. Memang sih, terlalu banyak footnote terkadang dirasa cukup menyebalkan
-_- eh, jadi gimana ini? x_x
Namun
terlepas dari kekurangan itu, lagi-lagi, Sabtu Bersama Bapak adalah salah satu
novel yang aku rekomendasikan. Baca. Dapatkan pelajarannya. Maknai isinya. Pahami
maknanya. Aplikasikan semuanya.
Untuk
menjadi anak yang baik. Untuk menjadi suami yang baik. Untuk menjadi istri yang
baik. Untuk menjadi calon orangtua yang baik. Untuk menjadi orangtua yang baik.
Akhirul
kalam, mudah-mudahan mendatangkan manfaat. Dengan izin Allah~
*deep bow*
Komentar
Posting Komentar