بِسْــــــــــــــــــمِ اﷲِالرَّحْمَنِ اارَّحِيم
Sebagai dua konstruksi utama dalam Islam,
akidah dan syariah saling mendukung untuk membentuk sebuah bangunan yang utuh,
kokoh, indah, dan berdayaguna meski masing-masing memiliki fungsi yang berbeda.
Di mana, akidah berfungsi sebagai fondasi sedangkan syariah sebagai kerangka
dan ornamen.
Sebagai konstruksi dasar, keretakan pada
akidah tidak bisa ditolerir sedikit pun apalagi dimanipulasi karena akan
berakibat fatal terhadap beban dan muatan bangunan di atasnya. Oleh karena itu persoalan
akidah sangatlah tegas dan jarang ditemukan toleransi.
Secara aktual, akidah berfungsi sebagai vision
yang menjadi dasar “cara pandang” terhadap kehidupan. Visi ini diperlukan agar
segala sesuatu yang diperbuat manusia terarah orientasinya. Dengan adanya visi,
setiap perbuatan orang yang beriman atau berakidah tidak terkesan rutinitas semata,
tetapi memiliki makna yang tertuju pada misi yang mulia dalam kehidupannya.
Kemudian, syariah berfungsi sebagai
eksistensi dan pelindung utama yang menampilkan adanya sosok dan performa suatu
bangunan. Pembangunan struktur syariah dilakukan jika akidah sebagai fondasi
sudah terasa siap dan kokoh. Pembangunan dimulai dari hal-hal yang sangat
primer, yaitu ibadah dengan lima poin rukun islamnya. Setiap poin rukun Islam
tersebut memiliki fungsi yang berbeda. Begitu juga dengan muamalah, munakahah,
serta akhlaknya.
Namun seluruth atribut yang disebutkan
pada paragraf sebelumnya akan rusak dalam sekejap jika tidak dilengkapi dengan
penutup kepala atau atap sebagai pelindung dari hujan atau panas yang akan
mengikis atribut tersebut. Oleh karena itu, keberadaan hukum termasuk punishment-nya
sangat diperlukan untuk melindungi seluruh bagian bangunan dari segala bentuk
kerusakan dan kejahatan.
“Hari ini
telah aku sempurnakan bagi kamu agamamu (Islam) dan telah aku sempurnakan
segala nikmatku kepadamu dan aku pun ridha Islam sebagai agamamu.” (QS. al-Maidah [5]:3).
Dari
hasil interpretasi analogi tersebut, dan dikaitkan dengan salah satu ayat Allah
di atas, maka dapat ditarik kesimpulan bahwa Islam datang sebagai penyempurna
bagi agama-agama yang telah datang sebelumnya dan Rasulullah SAW sebagai
pembawa serta pengemban risalah Ilahi merupakan Nabi terakhir yang setelahnya
tidak akan ada lagi Nabi dan Rasul. Seluruh ajaran dalam Islam baik akidah
maupun syari’ah, serta akhlak bertujuan untuk membebaskan manusia dari berbagai
belenggu penyakit mental spiritual dan stagnasi berpikir, serta mengatur
tingkah laku perbuatan manusia secara tertib agar tidak terjerumus ke lembah
kehinaan dan keterbelakangan, sehingga tercapai kesejahteraan dan kebahagiaan
hidup.
Islam juga satu-satunya agama yang
universal di mana syariah Islam dapat diterapkan dalam setiap waktu dan tempat
sampai hari akhir nanti. Rahasia keuniversalannya terdapat pada doktrin
ajarannya yang sesuai dan sejalan dengan fitrah manusia sehingga tidak terjadi
kebimbangan dan keraguan bagi pemeluknya. Universalisme Islam terintegritas dan
terkodifikasi dalam akidah, syariah, dan akhlak. Antara satu dan yang lainnya
terdapat nisbat atau hubungan yang saling berkaitan dan kesemuanya berfokus dan
menuju pada keesaan Allah atau bertauhid.
Sebagai agama yang disempurnakan oleh
Allah SWT, Islam mengatur seluruh aspek kehidupan manusia. Dengan sifat
kesempurnaan yang dimilikinya, Islam mampu menjawab segala tantangan dan
persoalan hidup yang dihadapi oleh manusia. Manusia sebagai makhluk yang
berakal dan mempunyai tujuan hidup, harus menegakkan keadilan dan kebenaran,
sehingga segala aspek dan tindakannya dapat dipertanggungjawabkan di hadapan
Tuhan. Oleh karena itu, agama hadir sebagai kontrol manusia yang bersumber
kepada wahyu dan tidak hanya berisi ajaran moral melainkan juga merupakan
tuntunan hidup praktis. Dalam konteks ini, agama yang dimaksud tiada lain
adalah agama Islam, sebagaimana dinyatakan dalam salah satu firman Allah:
“Sesungguhnya agama Allah itu Islam.” (QS. Ali-Imran [3]: 19)
Kenyataan tersebut juga seakan diperkuat
lagi dengan beberapa karakteristik ajaran Islam yang banyak dikatakan, terdiri
dari:
1. Rabbaniyah
2. Insaniyah
(Kemanusiaan)
3. Syumul (Universal)
4. Al-Wasthiyyah/Tawazun
(Moderat atau Pertengahan)
5. Al-Waqi’iyyah
(Kontekstual)
6. Al-Wudhuh
(Jelas)
Maka dari itu, agar termasuk ke dalam
orang beriman yang dikatakan Allah dalam surat Al-Baqarah ayat 208 yang artinya
“Hai orang-orang yang beriman, masuklah kamu ke dalam Islam secara
keseluruhan, dan janganlah kamu mengikuti langkah-langkah syaitan. Sesungguhnya
syaitan itu musuh yang nyata bagimu.”, selain untuk meraih keselamatan di
dunia dan akhirat, sebagai muslim dan mukmin yang sesuai dengan Al-Quran sudah
sepatutnya agar senantiasa memahami dan memaknai nilai-nilai yang terkandung
dalam ajaran agama Islam yang sempurna itu, untuk kemudian dijadikan way of
life secara konsisten pada seluruh aspek kehidupan, termasuk dalam
berekonomi.
Sistem ekonomi
Islam merupakan sekumpulan dasar-dasar umum ekonomi yang di simpulkan dari
al-Qur’an dan sunnah. Dan merupakan bangunan perekonomian yang di dirikan atas
landasan dasar-dasar tersebut yang sesuai dengan kondisi lingkungan dan masa.
Ekonomi Islam sendiri memiliki asas-asas tertentu:
“Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan
Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan
bahagianmu dari (kenikmatan) duniawi dan berbuat baiklah (kepada orang lain)
sebagaimana Allah telah berbuat baik kepadamu, dan janganlah kamu berbuat
kerusakan di (muka) bumi. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang
berbuat kerusakan,” (QS. Al-Qasas: 77).
Daripada ayat di atas terdapat beberapa asas
ekenomi Islam, di antaranya:
1.
Allah pemilik
segala sesuatu
Allah memberikan kekayaan kepada manusia dan
Dia adalah pemilik sebenarnya segala sesuatu. Allah SWT berfirman, “Kepunyaan-Nya-lah
semua yang ada di langit, semua yang di bumi, semua yang di antara keduanya dan
semua yang di bawah tanah,” (QS. Taha: 6).
2.
Kekayaan di
dunia adalah untuk mencari kehidupan akhirat
Manusia mestilah menggunakan kekayaan yang
diperolehnya di dunia untuk mendapatkan kehidupan yang baik dan sejahtera di
akhirat kelak. Rasulullah SAW
bersabda, “Ahli peniaga yang jujur lagi amanah adalah bersama-sama para
nabi, para siddiqin dan para syuhada,” (HR. Bukhari).
3.
Bahagia di
dunia tidak boleh diabaikan dalam mendapatkan akhirat
Manusia tidak boleh mengabaikan kebahagian di dunia
ini. manusia hendaklah bekerja semaksimal mungkin untuk mendapatkan kebaikan di
dunia dengan cara yang paling adil dan dibenarkan oleh undang-undang. Allah SWT
berfirman, “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu haramkan apa-apa
yang baik yang telah Allahhalalkan bagi kamu, dan janganlah kamu melampaui
batas. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas. Dan
makanlan makanan yang halal lahi baik dari apa yang Allah telah rizkikan
kepadamu, dan bertakwalah kepada Allah yang kamu beriman kepada-Nya. (QS.
Al-Maidah [5]: 87-88)
4. Tetap
berlaku adil kepada sesama manusia
Manusia mestilah berlaku baik terhadap sesama
manusia. Hendaklah mereka melaksanakan tanggung jawab terhadap masyarakat dan
membantu orang-orang yang berada dalam kesusahan dan kesempitan. Allah SWT
berfirman, “Maka berikanlah kepada kerabat yang terdekat akan haknya,
demikian (pula) kepada fakir miskin dan orang-orang yang dalam perjalanan.
Itulah yang lebih baik bagi orang-orang yang mencari keridhaan Allah, dan
mereka itulah orang-orang beruntung.” (QS. Ar-Rum: 38)
5. Tidak
boleh melakukan sembarang kerusakan
Manusia mesti mengelakkan dirinya daripada
melakukan perbuatan-perbuatan dosa yang termasuk di dalamnya kegiatan-kegiatan
mencarihasil kekayaan yang tidak adil, memubazirkan sumber-sumber dan
hasil-hasil kekayaan serta melakukan penipuan dalam perniagaan. Allah SWT
berfirman, “Dan janganlah sebagian kamu memakan harta sebagian yang lain
dengan jalan yang batil dan (janganlah) kamu membawa (urusan) harta itu kepad
hakim, supaya kamu dapat memakan sebagian daripadda harta benda orang lain itu
dengan (jalan berbuat) dosa, padahal kamu mengetahui.” (QS. Al-Baqarah [2]:
188)
Bahkan Prof. Sri Edi Swasono dalam essai pembuka
buku Ekonomi Cukup-nya Radhar Panca Dahana (bukunya belum selesai dibaca
:D), mengatakan bahwa ekonomi Islam atau yang lebih dikenal sistem ekonomi
syariah adalah suatu alternatif untuk menggantikan sistem ekonomi kapitalisme
yang rakus. Pada sistem ekonomi syariah prinsip dasarnya
adalah pemberdayaan (empowerment), kemitraan (partnership)
atau dikenal juga dengan istilah brotherhood
economy. Kompetisi dimaknai bukan sebagai sesuatu yang
saling menghancurkan, melainkan juga membangun kebersamaan.
Tak dapat dipungkiri bahwa perekonomian di dunia
termasuk Indonesia saat ini telah digiring pada perekonomian yang mendukung
kapitalisme. Hal tersebut sebenarnya sangat bertentangan dengan nilai-nilai
yang terkandung dalam ajaran Islam. Sehingga tak heran jika saat ini keadaan
perekonomian di mana-mana, terutama di Indonesia terus dikungkung sekelumit masalah
yang membelenggu. Hal tersebut karena dilupakan dan tak diterapkannya
kesempurnaan ajaran Islam sebagai way of life secara konsisten dan
komprehensif.
Oleh karena itu, yang terjadi saat ini adalah
perekonomian memang mengalami pertumbuhan, akan tetapi laju pertumbuhan itu
diikuti pula oleh ketimpangan antara si kaya dan si miskin yang dirasa semakin
curam. Salah satu keadaan ini tidak sejalan dengan ekonomi Islam yang
mengedapankan kemaslahatan bagi seluruh umat.
Berbagai keadaan tak diinginkan itu tak mungkin
terjadi seandainya kegiatan ekonomi dilandaskan pada ajaran Islam. Ekonomi
Islam bukanlah sesuatu yang utopis sebagaimana banyak dikatakan oleh para
pemikir Barat. Ekonomi Islam benar-benar dapat diimplementasikan dalam kehidupan
berekonomi, salah satu contoh konkritnya adalah mulai menjamurnya lembaga
keuangan yang berkiprah di bawah naungan ekonomi berlandaskan syariah. Seperti
dikatakan oleh Fatikul Himami dalam artikelnya yang berjudul “Peran Lembaga Ekonomi Syariah
dalam Pengentasan Kemiskinan di Indonesia”, konsep lembaga
keuangan syariah tersebut sebenarnya telah diatur dalam ajaran Islam meski
tidak disebut secara eksplisit di dalam Al-Quran. Namun
jika yang dimaksud lembaga itu suatu yang memiliki unsur-unsur seperti
struktur, manajemen, fungsi serta hak kewajiban, maka semua lembaga itu disebut
secara jelas. Kata-kata seperti kaum,
ummat (kelompok masyarakat), muluk (pemerintah), balad (negeri), suq (pasar) dan sebagainya mengindi-kasikan bahwa al-Qur’an
mengisyaratkan nama-nama itu memiliki fungsi dan
peran tertentu dalam ekonomi, seperti zakat,
shadaqah, fai’, ghanimah, bai’, dain, mal dan
sebagainya memiliki konotasi fungsi yang dilaksanakan oleh peran tertentu. Dalam lembaga keuangan syariah modern,
konsep al-Qur’an ini diterjemahkan menjadi sebuah lembaga keuangan yang mampu
diterima oleh masyarakat umum.
Ekonomi
Islam berperan mendobrak keganjilan-keganjilan yang selama ini perlahan tapi
pasti meruntuhkan para pembangkang Tuhan. Hal tersebut seolah dibuktikan oleh
pernyataan Euis Amalia dalam kata pengantar bukunya yang berjudul “Sejarah Pemikiran
Ekonomi Islam” bahwa seiring berakhirnya teori ekonomi semenjak tahun
1990-an, para ekonom Barat mulai mencari sistem ekonomi alternatif yang tidak
akan menggiring pada kutub extrimitas seperti sistem ekonom yang sudah-sudah,
yaitu liberalisme dan sosialieme. Dan pada saat itulah wacana ekonomi yang
telah lama kehilangan cahayanya kembali bangkit menjadi sistem ekonomi yang akan
membawa seluruh umat pada kemaslahatan dengan kesempurnaan ajarannya.
Kolaborasi dari beberapa sumber:
Hasan, Nurul Ichsan. Perbankan Syariah: Sebuah
Pengantar. Jakarta: Referensi, 2014.
Amalia, Euis. Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam.
Depok: Gramata Publihsing, 2010.
sumber goodreads |
Dahana, Radhar Panca. Ekonomi Cukup. Jakarta: PT
Kompas Media Nusantara, 2015.
sumber: kompas |
islampos
Komentar
Posting Komentar