بِسْــــــــــــــــــمِ اﷲِالرَّحْمَنِ اارَّحِيم
“Hari ini
telah aku sempurnakan bagi kamu agamamu (Islam) dan telah aku sempurnakan
segala nikmatku kepadamu dan aku pun ridha Islam sebagai agamamu.” (QS. al-Maidah [5]:3).
Islam adalah agama penyempurna bagi agama-agama
yang telah datang sebelumnya. Kesempurnaan Islam tercermin dari karakteristik-karakteristik
ajarannya yang bersifat universal, moderat, kontekstual, jelas, serta sesuai
dengan fitrah manusia sehingga tidak menimbulkan rasa bimbang dan ragu pada
pemeluknya.
Seperti disampaikan oleh Al-Kahiri di
Radio V.O.R.L Bandung, bahwa secara etimologi agama berasal dari dua kata,
yaitu ‘a’ yang berarti ‘tidak’, dan ‘gama’ yang berarti kacau. Adapun
fungsi agama jika dikaitkan dengan pengertian tersebut yaitu sebagai kontrol
agar kehidupan yang dijalani manusia tidak kacau atau senantiasa berjalan
dengan teratur. Selaras dengan pernyataan sebelumnya, dengan sifat kesempurnaannya
sebagai agama, Islam selalu mampu menjawab segala tantangan dan persoalan hidup
yang dihadapi manusia, bukan hanya segala sesuatu yang menyangkut moral, akan
tetapi juga menyentuh hingga tatanan hidup praktis.
Manusia adalah makhluk yang mempunyai
tujuan hidup yang tentunya selalu melakukan berbagai upaya untuk mencapai
tujuannya itu. Termasuk dalam berekonomi, sehingga manusia juga kerap kali
dilekati label homo economicus. Begitu pula dengan seluruh umat Muslim. Akan
tetapi, ada prinsip dasar yang harus senantiasa dipegang teguh oleh umat Muslim
yang menjadi pembeda dengan umat yang lain.
“Hai
orang-orang yang beriman, masuklah kamu ke dalam Islam secara keseluruhan, dan
janganlah kamu mengikuti langkah-langkah syaitan. Sesungguhnya syaitan itu
musuh yang nyata bagimu.” (QS. Al-Baqarah [2]: 208)
Seperti dalam surat Al-Baqarah ayat 200-201,
bahwa sudah menjadi keniscayaan bagi setiap Muslim agar tidak hanya menjadikan
dunia sebagai tolok ukur atas tujuan hidupnya. Keseimbangan antara dunia dan
akhirat sangat diperlukan mengingat hakikat manusia sebagai khalifah di muka
bumi yang segala tindak-tanduknya akan dipertanggungjawabkan di hadapan Sang
Khalik kelak. Oleh karena itu, sudah menjadi keharusan bagi setiap Muslim untuk
menjadikan kesempurnaan ajaran Islam sebagai way of life secara
konsisten dan komprehensif. Jika Islam benar-benar sudah dijadikan way of
life dalam setiap aspek kehidupan, maka bukan hal yang tidak mungkin akan
terlahir sebuah tatanan hidup yang baik yang dikenal dengan hayatan
thayyibah seperti dalam surat An-Nahl ayat 97. Hal ini karena nilai ajaran
Islam bersumber dari Al-Quran dan As-Sunnah yang sudah terjamin kebenarannya.
Jika
dikaitkan dengan fakta manusia sebagai homo econimocus, maka dalam menjalankan
roda perekonomian umat Muslim harus senantiasa berpegang pada ajaran Islam yang
bersumber dari Al-Quran dan As-Sunnah. Di era perekonomian modern ini, umat
Muslim harus memiliki kemampuan untuk menjaga dan memagari diri dari ranah perekonomian
yang dipenuhi berbagai macam problematika. Salah satu permasalah keuangan modern
saat ini, seperti pada dunia perbankan, adalah tidak pernah berujungnya perdebatan
mengenai riba, terutama dalam konteks ekonomi Islam.
“Hai
orang-orang yang beriman, janganlah kamu memakan harta sesamamu dengan jalan
bathil.” (QS.
An-Nisa [4]: 29)
Pemberlakuan riba yang jelas-jelas
diharamkan di dalam Al-Quran dan As-Sunnah tentunya sangat dilarang dalam
ekonomi Islam. Bahkan menurut Ascarya, pelarangan riba merupakan salah satu
pilar utama ekonomi Islam. Dan pelarangan riba pada hakikatnya adalah penghapusan
ketidakadilan dan penegakan keadilan dalam ekonomi. Hal ini bisa dikaitkan pada
penafsiran Ibnu Al-Arabi Al-Maliki dalam kitab Ahkam Al-Quran-nya mengenai
surat An-Nisa ayat 29 di atas. Dijelaskan bahwa pengertian riba secara bahasa
adalah tambahan, namun yang dimaksud riba dalam ayat tersebut yaitu setiap
penambahan yang diambil tanpa adanya satu transaksi pengganti atau penyeimbang
yang dibenarkan syariah. Yang dimaksud dengan transaksi pengganti atau
penyeimbang yaitu transaksi bisnis atau komersial yang bersifat riil untuk
melegitimasi adanya pertambahan tersebut secara adil, seperti jual beli. Ketidakadilan
di sini karena si pemberi pinjaman harus selalu, tidak boleh tidak, dan pasti
untung dalam setiap penggunaan kesempatan tersebut. Padahal dana tidak mungkin
berkembang hanya karena faktor waktu tanpa adanya pihak yang mengelola terutama
dalam aset riil.
Kajian mengenai
riba ternyata bukan hanya diperbincangkan oleh umat Islam saja, tetapi berbagai
kalangan di luar Islam pun memandang serius persoalan riba ini. Seperti para
pendeta awal Kristen yang jika disimpulkan bahwa dalam Perjanjia Lama maupun
Perjanjian Baru disebutkan bahwa mengambil bunga bank dan keinginan atau niat untuk
mendapat imbalan melebihi apa yang dipinjamkan adalah suatu dosa. Kemudian
perkembangan yang sangat pesat dalam perekonomian pada masa para sarjana
kristen menelurkan pendefinisian baru mengenai bunga. Mereka membedakan bungan
menjadi interest dan usury. Interesi adalah bunga yang
diperbolehkan sedangkan usury adalah bunga yang berlebihan.
Namun sayangnya, sistem ekonomi
konvensional yang cenderung mengedapankan riba sudah sangat lama dikonsumsi
hingga nyaris menjadi budaya yang akhirnya menjadi sulit untuk ditanggalkan. Dan,
adalah Indonesia menjadi salah satu negara yang mengalami kondisi seperti itu,
yang bahkan mayoritas penduduknya beragama Islam. Bukankah itu ironis? Padahal
sudah selayaknya bagi seorang muslim untuk taat dan patuh tatkala Allah dan
Rasul-Nya melarang manusia dari sesuatu. Tentunya pula, di balik larangan itu
pasti terkandung hikmah sebab larangan dan perintah dalam agama Islam pasti
akan menghantarkan pada kebahagiaan di dunia dan akhirat.
Salah satu bukti konkrit dari kebenaran ajaran
Islam itu bisa ditinjau ulang pada krisis moneter yang terjadi pada tahun 1997,
seperti dikatakan Nasution bahwa pada saat itu ekonomi Indonesia terpuruk
bahkan telah terjadi krisis multidimensi. Perekonomian Indonesia yang ikut terseret
dalam kisaran krisis yang berkepanjangan ii ditengarai akibat pengelolaan
kebijakan moneter yang tidak efektif. Kemudian, Mubyarto menambahkan bahwa pengusaha-pengusaha
konglomerat yang dipuja-puja sebagai “pembayar pajak terbesar” ternyata tak
ubahnya sebagai “penjarah-penjarah” tingkat nasional yang menjadikan bank sebagai
alat untuk menjarah dana pemerintah dan masyarakat.
Ekses tersebut menyebabkan turunnya pertumbuhan
ekonomi di Indonesia. Fakta tersebut juga menunjukkan bahwa perbankan
konvensional dengan sistem bunganya ternyata sangat labil dan tidak tahan
menghadapi gempuran dinamika perekonomian. Namun hal tersebut rupanya tidak menimpa
sistem perbankan syariah yang pada saat itu baru seumur jagung di Indonesia.
Konsep ekonomi syariah kemudian diyakini menjadi “sistem imun” yang efektif,
contohnya Bank Muamalat Indonesia yang tidak terpengaruh oleh gejolak krisis. Keadaan
ini sejalan dengan pernyataan Azyumardi Azra bahwa dalam konteks seperti inilah
wacana ekonomi Islam sangat relevan untuk dibahas lebih serius, dan
dikedepankan sebagai alternatif solusi untuk mengatasi masalah perekonomian,
terutama di Indonesia yang mayoritas penduduknya beragama Islam. Hal tersebut
karena menurut Euis Amalia, ekonomi Islam mendasarkan pada kemakmuran dan
kesejahteraan umat manusia yang mengacu pada konsep maslahat dengan
berlandaskan al-Quran dan as-Sunnah. Konsep kemaslahatan dalam ekonomi Islam ini,
lambat laun mulai menarik minat pihak perbankan konvensional untuk mendirikan bank
yang juga memakai sistem syariah.
Karakteristik sistem perbankan syariah
yang beroperasi berdasarkan prinsip bagi hasil memberikan alternatif sistem perbankan
yang saling menguntungan bagi masyarakat dan bank, serta menonjolkan aspek
keadilan dalam bertransaksi, investasi yang beretika, mengedepankan nilai-nilai
kebersamaan dan persaudaraan dalam berproduksi, dan menghindari kegiatan spekulatif
dalam bertransaksi keuangan. Ini membuktikan kebenaran dari pernyataan Sri Edi
Swasono bahwa pada sistem
ekonomi syariah prinsip dasarnya adalah pemberdayaan (empowerment),
kemitraan (partnership)
atau dikenal juga dengan istilah brotherhood economy. Kompetisi dimaknai bukan sebagai sesuatu yang saling
menghancurkan, melainkan juga membangun kebersamaan.
Dengan menyediakan beragam produk serta
layanan jasa perbankan yang beragam dengan skema keuangan yang lebih
bervariatif, perbankan syariah menjadi alternatif sistem perbankan yang
kredibel dan dapat dinikmati oleh seluruh golongan masyarakat Indonesia tanpa
terkecuali. Nurul Ichsan Hasan dalam bukunya yang berjudul Perbankan Syariah
mengklasifikasikan produk-produk perbankan syariah ke dalam tiga kelompok
besar, yaitu:
1. Produk simpanan bank syariah:
Ø Giro wadiah
Ø Tabungan dan tabungan berjangka
mudharabah
Ø Deposit manajemen berdasarkan mudharabah
2. Produk pembiayaan bank syariah:
a. Pembiayaan kerja sama/penyertaan modal:
Ø Musyarakah
Ø Mudharabah
Ø Muzara’ah
Ø Musaqah
b. Pembiayaan pemberian barang modal dan
barang konsumtif
Ø Murabahah
Ø Salam
Ø Istishna’
Ø Ijarah
3. Produk jasa perbankan syariah
Ø Wakalah
Ø Kafalah
Ø Hawalah
Ø Rahn
Ø Qard
Adapun mengenai perbedaan antara
perbankan konvensional dan perbankan syariah, yaitu:
Komentar
Posting Komentar