Langsung ke konten utama

[CREATE IT] SATU WINDU

Gambar diambil di sini.



 “Satu pertanyaan terakhir.”
            Suara serak itu nyaris membuatmu tersedak. Begitu menoleh ke arah suara, dadamu seakan benar-benar meledak.
            “Judul bukunya, kenapa harus ini?”
Bola matamu tertancap kuat di sana. Pun, sepasang manik hitam pekat itu turut menatapmu lekat.
“Wah, ketahuan deh kalau Mas ini belum baca bukunya. Kalau sudah baca, Mas bakal tahu kalau secara implisit penulis telah menginterpretasikan makna di balik judul sederhana ini.”
Jawaban moderator mengalihkan fokusmu. Sejenak kamu menunduk. Menghela napas dalam, sebelum kemudian terdengar embusan beratmu. Belum sempat kamu membuka mulut, sosok itu kembali berucap.
“Saya sudah membacanya lebih dari tiga kali. Tapi saya ingin mendengar alasan langsung dari penulis. Sebab, kentara sekali kalau di bukunya kali ini, penulis seolah memberi ruang yang sangat luas untuk menafsirkan setiap bagian dari cerita. Alhasil, pemaknaan akan judul ini pasti berbeda-beda.”
Kalimat panjang lebar itu membuatmu meneguk ludah. Takjub sekaligus tak menyangka dengan pernyatannya. Ah, bukan itu. Melainkan kehadirannya. Bukankah akan lebih tepat jika diralat seperti itu? Parahnya, sosok jangkung yang menjulang beberapa meter di hadapanmu itu telah membuatmu lupa untuk bersuara.
“Dan sepertinya Mas terlambat datang ke sini. Sebab mengenai hal itu sudah dibahas panjang lebar tadi. Waktu kami di sini juga sudah habis. Mohon maaf, Mas.”
Tak berselang lama, seluruh audien beranjak dari tempatnya. Berpencar. Tak sedikit dari mereka melangkah ke arahmu. Buku berwarna biru muda tampak lekat dalam rangkuman tangan mereka. Diangsurkannya benda itu padamu. Agar detik berikutnya kamu meliukkan penamu di sana.
Sepuluh menit berjalan, dan irama gerak tubuhmu masih sama. Di atas kertas, membubuhkan coret demi coret tanda tangan meski lengan sudah merasa enggan. Ke arah kamera, melekuk senyum simpul meski kamu telah dirundung jemu. Pun, sosok jangkung itu masih ada. Dengan jelas terkunci di ekor mata kirimu. Membuatmu dilanda gusar. Ingin menghilang saja. Bersembunyi bersama huruf-huruf yang membentuk klausa indah di dalam bukumu. Ah, itu bukan solusi. Jika harus buku terbarumu yang dijadikan tempat melarikan diri, sosok itu tetap akan kamu dapati. Sebab di sana, tak terhitung berapa kali kamu mengukir namanya.
Napas lega kamu hela setelah menamatkan antrian pembaca yang cukup panjang. Kamu menggelindingkan pandangan ke setiap inci ruangan. Menyapu rak demi rak di toko buku yang luas itu. Senyum miris melengkung di sudut bibirmu. Sebentuk pertahanan agar tak hanyut dalam kecewa yang seketika menggelayut.
“Kamu mencariku?”
Jantungmu meloncat. Berdebam menghantam lantai begitu sosok yang dicari sudah ada di sisi. Sosok yang telah lama tak mengisi hari.
Assalamualaikum.” Ia memiringkan kepala. Melempar senyum ke arahmu.
Kamu terpaku begitu lekuk itu menerpa wajahmu. Buru-buru kamu alihkan pandangan. Mengendalikan detak jantung yang seketika menggebu. Kamu meneguk ludah. Mengusir sekat yang mencegat kalimat. “Waalaikumsalam.” Jawabmu setelah beberapa detik yang terasa berat.
“Kaku banget. Kayak ke orang baru aja.”
“Justru karena kamu bukan orang baru.” Sedetik setelahnya, kamu terdiam. Menyesal telah membiarkan kalimat itu meluncur begitu saja. Pun ia. Kalimat yang kamu lontarkan berhasil membuatnya termangu sekejap. “Apa kabar?” Tanyamu kemudian. Mencoba mencairkan suasana.
“Aku?”
Keningmu lantas mengernyit. Tanpa niat menimpali, kamu berlalu ke arah buku-buku terbitan baru yang berjejeran di rak. Milikmu adalah salah satunya.
“Kamu sendiri?”
Kamu meraih salah satu buku di sana. Membaca back covernya seraya menjawab, “Seperti yang kamu lihat.”
“Berapa lama kita tidak bertemu?”
“Sewindu lebih seminggu.”
Kontan ia melempar tatapan tak percaya ke arahmu. Mulutnya bergerak tak kentara. Memilah kata yang tepat untuk menimpali. Namun tak ada satu kalimat pun yang berhasil ia kecap.
“Ini.” Kamu mengambil bukumu lalu berkata, “Sengaja aku targetkan agar terbit bertepatan dengan hari itu. Seminggu lalu. Tepat satu windu.” Kamu meringis mendengar ucapanmu sendiri. Meredam perih yang juga, telah sewindu, tak kunjung beranjak pergi.
“Apa itu tidak terlalu lama?”
Kamu menghela napas berat. Seberat perasaan yang bertahun-tahun membuat dadamu penat. “Aku bahkan sempat yakin kalau aku dan kamu tidak akan pernah bertemu lagi. Selamanya.”
“Kamu tidak mau lagi bertemu denganku?”
“Aku hanya tidak menyangka kalau kita akan bertemu lagi. Seperti ini.”
“Kamu yang memanggilku.”
Kamu menoleh padanya. “Maksudnya?” Tandasmu dengan nada tak terima.
“Ini?” Tukasnya enteng seraya mengambil alih buku di tanganmu. “Semua kisah yang ada di sini, adalah kita. Dan judul buku ini, adalah satu kata yang dulu selalu kamu sebut, sangat mewakili kita. Maksudmu menulis semua ini, bukannya memanggilku untuk kembali?”
Pernyataan yang terlampau percaya diri itu membuatmu terbelalak. Kamu menggeleng tenang. “Jangan sebut kita. Tapi, aku-dan-kamu. Bukannya kamu sendiri yang telah mengubahnya? Aku juga tidak pernah mencoba menarikmu kembali. Karena sejak hari itu, dan sampai saat ini, bagiku, kamu adalah sebuah ketidakmungkinan. Itu kenapa aku berani menulis buku ini. Sebab, selamanya kamu adalah sebuah ketidakmungkinan bagiku.”
“Sebuah ketidakmungkinan?”
Kamu beringsut dari posisi, dan berdiri menghadapnya. Meraih buku birumu yang ada di tangannya. Seraya mengangguk mantap kamu berkata, “Aku berani menulis buku ini karena yakin kalau kamu tidak pernah menyadari keberadaanku. Kalaupun iya, dan kamu dihadapkan pada satu kondisi yang sangat memungkinkan untuk kembali menjangkauku, aku selalu yakin kamu tidak akan pernah melakukannya. Bahkan tidak mungkin.”
Penjelasan panjang lebarmu membuatnya terkesiap. Tiga detik, mata hitamnya tertancap tepat di matamu. Dan jika tak salah mengartikan, ada sorot tak terima terpancar di sana.
“Dan kenyataannya?”
Pun, kamu menikmati tiga detik itu. Menyelami wajah oval yang sekian lama tak menjumpai, meski dua musim selalu setia silih berganti. “Aku tidak tahu apa yang membawamu ke sini. Ah, apa kamu mau menuntutku karena telah memakai namamu di buku ini?”
“Kenapa?”
“Kenapa apanya?”
“Buku ini. Kita. Aku-dan-kamu.”
Untuk ke sekian kalinya, kamu menghela napas berat. Meredam varian rasa yang melesak-lesak. Satu per satu mencoba menyeruak. Kecewa dan rindu, sama-sama membuat dada sesak.
“Kenapa?” Ia mengulang pertanyaannya yang belum mendapat jawab.
Selama beberapa saat, kalian terbelenggu dalam diam. Orang-orang yang berlalu lalang, seakan bergerak melamban. Pun, semuanya mendadak memburam. Hanya kalian berdua. Berdiri mematung di depan rak bersama buku yang berderetan. Ia, tenggelam dalam tanya yang menyemak dalam benak. Sementara kamu, bergelung bersama rasa yang merimbun bertahun-tahun.
“Jika aku tak bisa bersamamu dalam realita, aku harus bersamamu dalam kumpulan klausa. Untuk menjangkaumu, hanya itu yang aku bisa.”
Lemparan tanpa aba-aba darimu, cukup membuatnya membisu seketika. Ingin berucap, namun ia tak dapat mengecap. Ia mengusap wajah oval-nya dengan telapak tangan. Lalu mengedarkan pandang. Dan sebentar setelahnya, ia berhenti di satu titik. “Tunggu.” Pintanya seraya berjalan menuju rak buku bergenre motivasi.
Sekembalinya, kamu menatapnya dengan kernyitan kening. Bertanya tanpa berucap.
“Kenapa aku harus jadi sebuah ketidakmungkinan?”
“Karena terlalu banyak variabel antara aku dan kamu.”
“Kenapa harus masalah yang sama?”
“Terlalu sulit untuk melupakan hari itu.”
Ekspresi wajahnya kontan dirundung rasa bersalah. “Maaf.”
Kamu tersenyum. Lekuk bibir yang tarikannya meninggalkan rasa pahit. Seraya mengedikkan sebelah bahu kamu berkilah, “Sudahlah.”
Ia tak langsung menimpali. Namun di detik berikutnya ia menghadapkan sebuah buku ke arahmu.
I’m Possible.
Buku yang baru saja diambilnya di rak motivasi.
Serta-merta kamu menggeleng. Mengerti akan arah yang ditujunya.
Ia mengerjap. Seraut wajah yang mengungkapkan bentuk protesnya.
Kamu menggeleng lagi. “Impossible.”
Pun, ia menggeleng. Tak habis pikir. Dan karena belum kehabisan akal, ia lalu melemparkan pertanyaan. “Perasaan yang dulu, seperti sewindu yang lalu, aku yakin masih ada. Kan?”
Pertanyaan itu terdampar tepat di dasar hatimu.
Kali ini kamu mengangguk. Bahkan tanpa ada sedikitpun keraguan di sana.
Wajahnya mendadak berseri. Menelan urat-urat yang sebelumnya menegang di sana. “Dengan begitu, kita bisa menjadi seperti dulu, sewindu yang lalu?”
“Apa maksud kamu?”
“Aku akan memperbaiki semuanya. Dan membuktikan bahwa tidak terlalu banyak variabel yang membentengi kita.”
Kali ini kamu kembali menggeleng. Pun, tanpa setitikpun keraguan membersit di sana.
“Apa maksud kamu?” Ia melempar balik pertanyaan yang kamu lontarkan.
“Aku menyukaimu, memang. Tapi tidak berarti aku juga percaya kamu. Kalaupun keduanya ada, suka sekaligus percaya, itu tidak cukup untuk dijadikan jaminan kalau aku mau untuk jadi satu sama kamu. Karena semenjak sewindu yang lalu aku sadar. Kalau cinta tidak sesederhana itu. Cinta bukan tentang ‘kita saling suka dan saling percaya, karena itu kita bersatu’. Sama sekali bukan. Cinta, jauh melampaui hal itu.”

Komentar

Postingan populer dari blog ini

[TASK] Proposal Usaha (Kewirausahaan)

Ini tugas bikin proposal waktu kelas sebelas hihi :3 Gak tau bener gak tau nggak soalnya dulu gak sempet direview sama gurunya -,- Disusun oleh: Asti Nurhayati Sri Isdianti Kelas XI-AP4 SMK Negeri 1 Garut 2012-2013 BAB 1 PENDAHULUAN A. Nama dan Alamat Perusahaan Toko Buku   “27 RADAR” Jl.   Radar   No. 27 Garut B. Nama dan Alamat Penanggung Jawab Usaha Ø     Penanggung jawab 1: Nama : Asti Nurhayati Nurjaman   TTL : Garut, 19 Agustus 1996   Ø      Penanggung jawab 2: Nama : Sri Isdianti TTL : Garut, 12 September 1996   C. Informasi Usaha          Usaha toko buku yang kami kelola ini berada di Jl.   Radar   No. 27, merupakan lokasi yang sangat strategis yang berada di pusat kota Garut ini, bisa dengan mudah dijangkau oleh kendaraan apapun. Juga terletak di antara banyaknya pusat perkantoran serta sekolah-sekolah sehingga menjadi suatu keuntungan tersendiri bagi kami karena berdekatan dengan banyak

[BOOK REVIEW] Sejarah Ekonomi Dalam Islam

بِسْــــــــــــــــــمِ اﷲِالرَّحْمَنِ اارَّحِيم Judul: Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam Penulis:DR. Euis Amalia, M.Ag Penerbit: Gramata Publishing Tebal Buku: xiv + 322 halaman ISBN: 978-602-96565-1-0 Harga: Rp. 69.000,- Sumber gambar: goodreads Ada kesenjangan epistemologi yang mengemuka lebar tatkala ingin menampilkan literatur sejarah pemikiran ekonomi. Nilai fairness dan transparansi seolah sulit untuk dibuka ketika dihadapkan pada siapa menemukan apa karena bermuara pada “otoritas klaim.” Fakta-fakta ironis menyebutkan bahwa seringkali hasil karya ilmuwan muslim kita diabaikan oleh sarjana barat, padahal mereka sendiri secara implisist mengakui banyak karyanya telah diilhami oleh  pemikir Islam atau karya mereka tidak pure lagi karena sebelumnya sudah diketemukan teori oleh sarjana muslim. Hanya bisa dihitung dengan jari penulis-penulis barat yang mengakui bahwa konsep-konsep atau teorinya berasal dari pemikir Islam. Secara simplistis saja,

[BOOK REVIEW] AYAH Tanpa Tapi

Surga juga ada di telapak kaki ayah – pada setiap langkah yang ia ambil untuk terus menyambung nafas dan menumbuhkanmu, ada surga. (Seribu Wajah Ayah – hlm. 16)             Ayah, salah satu bilah tervital dalam hidup yang dikatakan Rasulullah setelah penyebutan Ibu yang diulang sebanyak tiga kali.             Ibu, ibu, ibu, baru ayah .            Repetisi yang menomorempatkan ayah bukan berarti kita harus menomorsekiankan pula sosok itu dalam hidup. Tidak sama sekali.           Memang, kebanyakan figur ayah tidak sama dengan ibu. Jika ibu seakan tak pernah kehabisan agenda kata yang berlalu lalang di telinga kita, beda halnya dengan ayah yang bahkan seolah enggan untuk bersuara walau hanya sekecap. Pun, sering kali kita lebih nyaman bersandar di punggung ibu yang ekspresif dibanding harus bercengkrama dengan sosok ayah yang cenderung defensif.            Meski tidak menutup kemungkinan tidak semua ayah berkarakter begitu, tapi itu juga tak dapat dipungkiri, kan?