Langsung ke konten utama

[CREATE IT | TASK] Multiperspektif Riba


Oleh: Asti Nurhayati Nurjaman

source from google

Riba dalam Perspektif Agama-Agama
Riba dikenal sebagai istilah yang sangat terkait dengan kegiatan ekonomi. Kajian mengenai riba, ternyata bukan hanya diperbincangkan oleh umat Islam saja, tetapi berbagai kalangan di luar Islam pun memandang serius persoalan ini.
Jika dirunut mundur hingga lebih dari dua ribu tahun silam, kajian riba ini telah dibahas oleh kalangan non-Muslim, seperti Yahudi, Yunani, Romawi dan Kristen. Sebab pada hakikatnya praktik riba merupakan musuh setiap orang, tanpa batas keyakinan. Oleh karena itu, hampir banyak pihak bahkan agama telah mengharamkan riba secara tegas.
Konsep riba di kalangan Yahudi, yang dikenal dengan istilah “neshekh dinyatakan sebagai hal yang dilarang dan hina. Pelarangan ini banyak terdapat dalam kitab suci mereka, baik dalam Old Testament (Perjanjian lama) maupun dalam undang-undang Talmud.
Lebih lanjut, dua ahli filsafat Yunani terkemuka, Plato dan Aristotoles sangat mengecam praktik riba dan mengutuk orang-orang Romawi yang mempraktikkan pengambilan bunga. Plato mengecam bunga dengan dua alasan. Pertama, bunga menyebabkan perpecahan dan perasaan tidak puas dalam masyarakat. Kedua, bunga adalah alat golongan kaya untuk mengeksploitasi golongan miskin. Sedangkan Aristotoles menyoroti bunga dari fungsi uang sebagai alat tukar. Menurutnya, uang bukanlah alat untuk menghasilkan tambahan melalui bunga. Bunga sebagai uang berasal dari yang yang keberadaannya dari sesuatu yang belum pasti terjadi. Dengan demikian, pengambilan bunga secara tetap merupakan sesuatu yang tidak adil.
Sementara itu, riba telah jelas dan tegas dilarang dalam Islam. Pelarangan riba merupakan salah satu pilar utama ekonomi Islam, di samping implementasi zakat dan pelarangan maisir, gharar dan hal-hal yang bathil. Secara ekonomi, pelarangan riba akan menjamin aliran investasi menjadi optimal, implementasi zakat akan meningkatkan permintaan agregat dan mendorong harta mengalir ke investasi, sementara pelarangan maisir, gharar dan hal-hal yang bathil akan memastikan investasi mengalir ke sektor riil untuk tujuan produktif, yang akhirnya akan meningkatkan penawaran agregat.
Pelarangan riba, pada hakikatnya adalah penghapusan ketidakadilan dan penegakan keadilan dalam ekonomi. Penghapusan riba dalam ekonomi Islam dapat dimaknai sebagai penghapusan riba yang terjadi dalam jual beli dan utangpiutang. Dalam konteks ini, berbagai transaksi yang spekulatif dan mengandung unsur gharar harus dilarang.
Keyakinan agama-agama tentang keharaman praktik riba menunjukkan bahwa riba adalah musuh semua manusia, terutama musuh kesejahtaraan dan keadilan. Sebab, riba jelas-jelas penyebab kesengsaraan manusia itu sendiri. Realita tersebut sebagai bukti bahwa virus riba yang begitu dahsyat bisa menghancurkan sendi-sendi perekonomian bangsa.
Ditinjau dari Sisi Geografis
Tak dapat dipungkiri, perekonomian dunia ini memang didominasi praktik ribawi. Yang bukan hanya terjadi di negara sekuler, tapi juga tumbuh di negara-negara mayoritas muslim.
Mewabahnya riba yang merupakan bagian dari kegiatan ekonomi sudah pasti dilatarbelakangi oleh masalah akan pemenuhan kebutuhan hidup. Sebab, esensi dari ilmu ekonomi itu sendiri adalah mengkaji upaya-upaya manusia untuk memenuhi beragam kebutuhan hidupnya, baik itu berupa need maupun want. Tujuan untuk memenuhi kebutuhan hidup itu makin lama kian dilakoni dengan cara dan nilai pijakan yang salah. Yang konon katanya, kondisi geografis menjadi salah satu pemicu mekarnya adab ini.
Diceritakan, bahwa di salah satu bagian di dunia dengan daratan/kontinental yang mendominasi, manusia harus hidup dengan cara yang sama panasnya, bahkan seimbang kekerasannya dengan kondisi alam di sana. Sebab jika tidak, eksistensi manusia terancam akan terkalahkan oleh kondisi geografis itu. Sehingga terciptalah budaya hidup yang seolah mewajibkan untuk berjuang keras, berkompetisi, bahkan jika perlu menggunakan semua cara, antara lain dengan saling sikut atau saling menghabisi antarpesaing. Nilai itu kemudian secara normatif dianggap sebagai landasan dari “hak” yang individual, yang asasi dengan orientasi yang sepenuhnya bersifat materialistik, bahwa siapa pun berhak untuk memiliki “lebih”.
Nilai itulah yang menjadi titik tolak tumbuhnya tradisi menimbun yang merupakan tradisi khas di wilayah dengan kondisi geografis dengan iklim keras, suhu dingin dan panas ekstrim jangka panjang. Sehingga manusia membutuhkan semacam simpanan untuk jaminan agar dapat melalui masa keras itu. Seiring berjalannya waktu, tradisi menimbun ini terus tumbuh dan berubah bentuk sesuai zaman. Tradisi ini pula yang menjadi landasan manusia untuk berperilaku kompetitif dan eksploitatif untuk mendapatkan “lebih” dalam segala aspek. Termasuk riba yang menjadi bagian di dalamnya. Sebab mereka mengeksploitasi segala sesuatu demi mendapatkan “lebih”, termasuk uang yang dijadikan alat untuk menghasilkan tambahan dengan riba yang dijadikan instrumennya.
Namun di belahan bumi yang lain, berkembang pula sebentuk peradaban dengan pola berbeda. Dengan realitas geografis dimana air menjadi elemen utama, iklim yang tidak keras dan tidak terlalu dingin juga panas, terciptalah budaya bahari yang berkarakteristik cair sesuai hukum alam. Sebab, kondisi alam bak firdaus yang tidak hanya mendukung untuk kebertahanan hidup, tetapi juga menawarkan kebebasan untuk berekspresi dan mengaktualisasi diri.
Beda halnya dengan budaya kontinental yang materislistis sehingga apatis terhadap segala sesuatu yang dieksploitasinya, yang menjadi ukuran dalam budaya bahari justru keseimbangan serta manfaat yang dipastikan harus senantiasa menyentuh publik.
Tapi itu dulu, lebih sebelum dua ribu tahun lalu, ribuan tahun sebelum bangsa-bangsa Eropa lahir dan menyebarkan kapitalisme yang merupakan anak kandung dari paham liberalismenya, sebelum suku bangsa nomaden Arya-India datang ke kawasan awal berupa kerajaan-kerajaan archipelagic ini di awal Masehi dan menanamkan kultur kontinental awal berupa kerajaan-kerajaan konsentris/pedalaman di seluruh Sumatera, Jawa, Kalimantan hingga Nusa Tenggara.
Itu sebabnya, beragam transaksi ekonomi yang tak beretika bahkan absen budaya kini nyaris mewarnai perekonomian di setiap titik di dunia. Sebab tradisi kontinental yang tumbuh mengglobal dan menerabas banyak batas kebudayaan yang ada melalui proses akulturasi yang menjerat. Salah satunya adalah instrumen riba yang dimainkan dalam kegiatan perekonomian.
Islam sebagai Agama Kontinental dengan Karakteristik Bahari
Sebagai agama kontinental yang ternyata memiliki pendekatan bahari yang cukup kuat dan intens, kedatangan Islam di tengah-tengah kehidupan menjadi sangat menarik.
Dengan pendekatan budayanya, ajaran Islam menawarkan anti-tesis terhadap budaya kontinental yang terlampau materialistis. Anti-tesis tersebut yaitu tradisi yang bukan hanya melatih diri untuk tidak mengutamakan hidup “lebih”, bahkan melatih diri untuk hidup “kurang”. Salah satu anti-tesis yang paling sesuai dengan konteks ini, yakni ditumbuhkannya tradisi shadaqah yang bertolak belakang dengan riba. Tradisi tersebut mengandung nilai dan norma yang kemudian berakulturasi dengan adat lokal dan mengajarkan manusia untuk tidak serakah dengan melawan tradisi “lebih” dari kaum kontinental.
Begitu halnya dengan riba yang merupakan bagian dari kegiatan ekonomi yang telah berkembang sejak zaman jahiliyah hingga sekarang. Islam melarang praktik riba dan menumbuhkan tradisi shadaqah agar tidak ada yang teraniaya akibat riba. Pelarangan riba dalam al-Qur’an tidak diturunkan sekaligus melainkan secara bertahap, sejalan dengan kesiapan masyarakat pada masa itu. Hal ini sejalan dengan pernyataan A. Rafiq bahwa riba merupakan kebiasaan dalam tradisi berekonomi masyarakat jahiliyah, karena itu pelarangannya pun dilakukan secara bertahap karena menjadi kebiasaan yang mendarah daging.
Menariknya, Al-Quran menyebutkan bahwa keharaman riba itu sesuai dengan kondisi sosio-ekonomi yang terjadi saat itu. Oleh karena itu, ayat-ayat tentang pengharaman riba turun sesuai dengan kondisi sistem ekonomi ribawi yang sedang menggurita saat itu.
Di awal, Al-Quran telah menjelaskan secara umum tentang terjadinya kesalahan mindset (cara pandang) masyarakat yang menyatakan bahwa praktik riba itu dilakukan dalam rangka saling membantu satu sama lain. Sehingga, memberi tambahan kepada manusia adalah hal yang wajar saja. Lantas, Allah menurunkan ayat yang menegaskan bahwa riba itu tidak menambah sisi Allah. Ayat ini turun dengan tujuan untuk mengubah cara pandang manusia terhadap sistem ekonomi riba secara paradigmatis. Dan sesuatu riba (tambahan) yang kamu berikan agar dia bertambah pada manusia, maka riba itu tidak menambah pada sisi Allah (QS. Ar-Rum [30]: 39).
Kemudian, pada awal periode Madinah baru secara tegas Allah berfirman bahwa praktik bisnis ala Yahudi yang suka memakan riba ini adalah perilaku yang jahat dan akan dibalas dengan balasan yang sangat pedih. Praktik riba dikutuk dengan keras, sejalan dengan larangan pada kitab-kitab terdahulu. Riba dipersamakan dengan mereka yang mengambil kekayaan orang lain secara tidak benar dan mengancam kedua belah pihak dengan siksa Allah yang pedih. Hal ini sebagaimana tertera dalam Al-Quran surat An-Nisa ayat 160-161.
Tahap larangan riba selanjutnya adalah larangan dengan tegas oleh Allah ketika masyarakat saat itu sudah kelewat batas menggandakan uang. Maka turunlah firman Allah, Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memakan riba dengan berlipat ganda dan bertakwalah kepada Allah supaya kamu mendapatkan keberuntungan. (QS. Ali-Imran [3]: 130). Ayat ini turun setelah perang Uhud yaitu tahun ke-3 Hijriyah. Menurut Antonio, istilah berlipat ganda harus dipahami sebagai sifat, bukan syarat, sehingga pengertiannya adalah yang diharamkan bukan hanya yang berlipat ganda saja sementara yang sedikit, maka tidak haram, melainkan sifat riba yang berlaku umum pada waktu itu adalah berlipat ganda.
Dan pada tahap akhir, Allah lalu menegaskan kepada umat Islam untuk mengikis habis praktik riba melalui firman-Nya, Hai orang-orang yang beriman bertakwalah kepada Allah dan tinggalkanlah sisa-sisa dari berbagai jenis riba jika kamu orang-orang yang beriman. Jika kamu tidak melakukannya, ketahuilah bahwa Allah dan Rasul-Nya akan memerangimu. Dan jika kamu bertobat mengambil riba, bagimu pokok hartamu, kamu tidak menganiaya dan tidak pula dianiaya (QS. Al-Baqarah [2]: 278-279). Allah bermaksud menghapuskan riba dan menumbuhkan tradisi shadaqah, semakin jelas bila dilihat juga bahwa ayat pengharaman riba dalam surat Al-Baqarah didahului oleh 14 ayat –yakni ayat 261 sampai 274, tentang seruan untuk berinfaq, termasuk shadaqah dan kewajiban berzakat. Selain itu, di ayat setelahnya, yakni ayat 280 berisi seruan moral agar berbuat kebajikan kepada orang yang dalam kesulitan membayar utang dengan menunda tempo pembayaran atau bahkan dengan membebaskannya dari kewajiban melunasi utang.
Sebagai penguat, Rasulullah juga ikut menegaskan kembali tentang larangan terhadap riba itu menjelang akhir hayatnya, yakni pada tanggal 9 Zulhijah 10 H melalui pidatonya yang sangat monumental: “Ingatlah bahwa kamu akan menghadap Tuhamnu dan dia pasti akan menghitung amalmu. Allah telah lemarang kamu mengambil riba. Oleh karena itu, utang akibat riba harus dihapuskan. Modal adalah hakmu.
Hadis lain dari Rasulullah mengenai keharaman riba, yaitu:
“Telah mengabarkan Muhammad bin al-Shabah dan Zuhair bin Harbi dan Usman bin Abu Syaibah kepada kami dari Husyaim dari al-Zubair dari Jabir berkata: Rasulullah SAW. melaknat orang yang memakan riba, orang yang memberi makan riba, penulis dan saksi riba". Kemudian beliau bersabda: "mereka semua adalah sama. (H.R. Muslim)

Keharaman riba sebagai salah satu sistem ekonomi telah final dan paripurna karena telah secara tegas dinyatakan dalam Al-Quran melalui pengharaman yang bertahap itu. lebih dai itu, keharaman riba telah menjadi universal bagi semua agama di dunia. Islam sebagai agama syariat terakhir dan bersifat menyempurnakan telah memaripurnakan keharaman melalui firman Allah dalam Al-Quran maupun yang diejawantahkan Rasulullah lewat aktivitas bisnisnya.
Turunan dari Riba
Keterkaitan antara bunga bank dengan riba mungkin dapat dikatakan klasik atau bahkan usang. Namun hal ini akan terus berkembang, terlebih jika merunut pada pernyataan para tokoh agama ataupun filsuf mengenai keharaman riba, yang kerap kali menghubungkannya dengan bunga.
Persoalan riba atau bunga bank dimulai saat hubungan perjanjian –khususnya pinjam-meminjam, antara dua pihak atau lebih dengan kewajiban membayar “uang lebih”. Sejarah perilaku riba ini telah marak terjadi sebelum masa Rasulullah Saw. hadir di permukaan bumi, bahkan sangat menyeruak ketika Kota Mekah menjadi salah satu pusat keuangan dan bisnis di kawasan Jazirah Arab saat itu.
Di masyarakat masih banyak terjadi mispersepsi mengenai masalah tersebut. Dimana karena riba identik dengan tambahan, yang sesuai pula dengan makna etimologi dari riba itu sendiri, orang sering kali menyamaratakan antara bunga bank dan keuntungan atau bagi hasil. Sebab, keuntungan juga “tambahan” dari uang pokok. Padahal, sistem “tambahan” pada riba adalah sistem yang jauh dari keadilan sebab tak ada transaksi penyeimbang atas “tambahan” yang timbul dari transaksi tersebut. Jelas berbeda dengan “tambahan” dalam bagi hasil yang merupakan buah dari suatu usaha yang digalang bersama-sama.
Lalu, untuk menentukan apakah bunga bank merupakan bagian dari praktik riba yang dimaksud Al-Quran, bisa dilakukan dengan membandingkan instrumen-instrumen ekonomi pada masa Rasulullah dengan masa kini. Jika pada masa Rasulullah Saw. digunakan mata uang dinar dan dirham yang tingkat konsentrasinya sudah diakui dan kebal terhadap inflasi, beda halnya dengan uang kertas pada saat ini yang sangat rentan dengan fluktuasi nilai mata uang. Keadaan ini melahirkan pendapat yang membolehkan adanya tambahan dari pinjaman atau utang. Dengan menggunakan hukum ekonomi ini, bunga bank tidaklah haram.
Lain halnya dengan MUI yang secara tegas telah mengeluarkan fatwa bahwa bunga bank adalah haram. Keluarnya fatwa tersebut tentu bukan berasal dari ruang hampa yang nihil makna. Sebab pasti terlebih dahulu melalui kajian dan analisis yang mendalam terhadap fenomena bunga bank saat ini. Namun yang dilihat sebagai masalah adalah kenyataan bahwa dampak sebuah fatwa sekaliber MUI atau organisasi Islam seakan belum bertaji di negara yang bahkan mayoritas Islam ini.
Beberapa hal yang menjadi pemicu kondisi tersebut, yakni, pertama karena sebenarnya fatwa memang bersifat tidak mengikat. Kedua yaitu orientasi ekonomi umat yang masih tertuju pada keuntungan material. Dan ketiga adalah persoalan kesiapan perbankan syariah berkompetisi dengan perbankan konvensional.
Agar memiliki daya ikat dan daya laku, kekuatan fatwa haruslah dibarengi dengan kesiapan industri perbankan syariah itu sendiri. Apalagi jika keuntungan fatwa yang lebih bersifat spiritual dapat berjalan beriringan serta sepadan dengan keuntungan finansial dengan sistem ekonominya. Benar adanya bahwa tujuan dari suatu perekonomian pasti untuk memperoleh keuntungan. Akan tetapi, bukan hanya eksploitasi harta –termasuk uang dengan riba sebagai instrumen– yang menjadi orientasi dalam ekonomi Islam, melainkan juga konsep falah bagi seluruh manusia.
Penutup
Perbincangan terkait status keharaman riba, ternyata bukan hanya dibicarakan dalam Islam. Melainkan hampir semua agama telah dengan tegas menyatakannya.
Riba, yang menurut perbincangan geografis tumbuh dari budaya kontinental, merupakan musuh setiap orang. Sebab virus riba yang begitu dahsyat dapat menghancurkan sendi-sendi perekonomian. Oleh karena itu, secara bertahap turun ayat Al-Quran berkaitan dengan keharaman riba yang disesuaikan dengan kondisi perekonomian. Hal tersebut dimaksudkan agar pelarangan atas kebiasaan yang telah mendarah daging tersebut dapat lebih berterima di masyarakat kala itu.
Keterkaitan antara riba dengan bunga bank pun masih menjadi diskursus yang terus berkembang. Pun, mencuatlah perbedaan pendapat mengenai hal ini. Yaitu pihak yang membolehkan riba, tentunya dengan argumentasi tersendiri. Juga MUI yang masih memerlukan beberapa kondisi pendukung agar fatwanya bisa bertaji di negeri ini.










DAFTAR PUSTAKA
Abdusshamad. Pandangan Islam terhadap Riba. Volume 1, Issue 1, Desember
2014.
Dahana, Radhar Panca. Ekonomi Cukup: Kritik Budaya pada Kapitalisme. Jakarta:
Kompas, 2015.
Rahmawaty, Anita. Riba dalam Perspektif Keuangan Islam.
Rokan, Mustafa Kamal. Bisnis ala Nabi: Teladan Rasulullah Saw. dalam

Berbisnis. Yogyakarta: Bunyan, 2013.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

[TASK] Proposal Usaha (Kewirausahaan)

Ini tugas bikin proposal waktu kelas sebelas hihi :3 Gak tau bener gak tau nggak soalnya dulu gak sempet direview sama gurunya -,- Disusun oleh: Asti Nurhayati Sri Isdianti Kelas XI-AP4 SMK Negeri 1 Garut 2012-2013 BAB 1 PENDAHULUAN A. Nama dan Alamat Perusahaan Toko Buku   “27 RADAR” Jl.   Radar   No. 27 Garut B. Nama dan Alamat Penanggung Jawab Usaha Ø     Penanggung jawab 1: Nama : Asti Nurhayati Nurjaman   TTL : Garut, 19 Agustus 1996   Ø      Penanggung jawab 2: Nama : Sri Isdianti TTL : Garut, 12 September 1996   C. Informasi Usaha          Usaha toko buku yang kami kelola ini berada di Jl.   Radar   No. 27, merupakan lokasi yang sangat strategis yang berada di pusat kota Garut ini, bisa dengan mudah dijangkau oleh kendaraan apapun. Juga terletak di antara banyaknya pusat perkantoran serta sekolah-sekolah sehingga menjadi suatu keuntungan tersendiri bagi kami karena berdekatan dengan banyak

[BOOK REVIEW] Sejarah Ekonomi Dalam Islam

بِسْــــــــــــــــــمِ اﷲِالرَّحْمَنِ اارَّحِيم Judul: Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam Penulis:DR. Euis Amalia, M.Ag Penerbit: Gramata Publishing Tebal Buku: xiv + 322 halaman ISBN: 978-602-96565-1-0 Harga: Rp. 69.000,- Sumber gambar: goodreads Ada kesenjangan epistemologi yang mengemuka lebar tatkala ingin menampilkan literatur sejarah pemikiran ekonomi. Nilai fairness dan transparansi seolah sulit untuk dibuka ketika dihadapkan pada siapa menemukan apa karena bermuara pada “otoritas klaim.” Fakta-fakta ironis menyebutkan bahwa seringkali hasil karya ilmuwan muslim kita diabaikan oleh sarjana barat, padahal mereka sendiri secara implisist mengakui banyak karyanya telah diilhami oleh  pemikir Islam atau karya mereka tidak pure lagi karena sebelumnya sudah diketemukan teori oleh sarjana muslim. Hanya bisa dihitung dengan jari penulis-penulis barat yang mengakui bahwa konsep-konsep atau teorinya berasal dari pemikir Islam. Secara simplistis saja,

[BOOK REVIEW] AYAH Tanpa Tapi

Surga juga ada di telapak kaki ayah – pada setiap langkah yang ia ambil untuk terus menyambung nafas dan menumbuhkanmu, ada surga. (Seribu Wajah Ayah – hlm. 16)             Ayah, salah satu bilah tervital dalam hidup yang dikatakan Rasulullah setelah penyebutan Ibu yang diulang sebanyak tiga kali.             Ibu, ibu, ibu, baru ayah .            Repetisi yang menomorempatkan ayah bukan berarti kita harus menomorsekiankan pula sosok itu dalam hidup. Tidak sama sekali.           Memang, kebanyakan figur ayah tidak sama dengan ibu. Jika ibu seakan tak pernah kehabisan agenda kata yang berlalu lalang di telinga kita, beda halnya dengan ayah yang bahkan seolah enggan untuk bersuara walau hanya sekecap. Pun, sering kali kita lebih nyaman bersandar di punggung ibu yang ekspresif dibanding harus bercengkrama dengan sosok ayah yang cenderung defensif.            Meski tidak menutup kemungkinan tidak semua ayah berkarakter begitu, tapi itu juga tak dapat dipungkiri, kan?