Bismillaah. Ini pertama kali saya
mencoba mereview buku yang genrenya agak serius ._. (?) Ini bukan novel
Ilana Tan yang selalu berhasil membuat pipi merona, bukan pula buku Raditya
Dika yang penuh dengan hal-hal absurdnya, apalagi novel pembunuhan Agatha
Christie yang menegangkan. Hihi :V
Dalam review ini saya mencoba menyimpulkan
dan mengungkapkan pemahaman dari beberapa buku yang saya baca. Jika ada
kesalahan dalam apa pun itu, apalagi kalau ada pakarnya yang baca postingan
ini, saya sangat terbuka menerima koreksi dan masukan^^/ maklum lah, saya kan masih
belajar :3
Oke,
kita mulai sekarang ini? :))))
Satu-dua-tiga.
Take a deep breath.
Seperti telah kita ketahui, lembaga
keuangan adalah lembaga yang kegiatan utamanya menghimpun dan menyalurkan dana
dengan motif mendapat keuntungan komersial. Sehingga aset terbesar yang dimiliki
lembaga keuangan adalah aset finansial.
Kemudian, bagaimana mekanisme lembaga
keuangan dalam menjalankan kegiatan utamanya itu? Dan, bagaimana pula lembaga
keuangan bisa mendapat keuntungan dari kegiatannya itu?
Mari kita paparkan satu per satu.
Perlu kita ketahui, bahwa lembaga
keuangan, baik konvensional mau pun syariah, keduanya memiliki banyak instrumen
yang dapat diimplementasikan untuk menjalankan setiap kegiatan yang tentunya berorientasi
pada pencapaian tujuan.
Seperti tercetak jelas pada judul, yang
akan dibahas di sini adalah lembaga keuangan syariah –selanjutnya akan disingkat
menjadi LKS.
Lalu, instrumen apa saja yang diterapkan
LKS agar tetap bisa menjaga eksistensinya dalam lalu lintas keuangan?
Pada buku yang tengah saya baca saat
ini, disebutkan ada sekitar dua belas instrumen yang biasa diterapkan di LKS,
seperti wadi’ah, murãbahah, salam, istishnã, sharf, mudhãrabah,
musyãrakah, ijãrah, rahn, wakãlah, kafãlah, hiwãlah, wardh, ji’ãlah.
Selanjutnya, yang akan menjadi fokus
pembahasan adalah wadi’ah.
Dalam
wacana fiqh dan ekonomi Islam, sesungguhnya ada sebuah akad mu’ãmalah yang
memiliki kemiripan dengan tabungan, yaitu akad wadi’ah.
Seperti disinggung di atas, himpun-salur
adalah kegiatan utama dari sebuah lembaga keuangan. Nah, LKS mengimplementasikan
wadi’ah untuk menjalankan salah satu kegiatan utamanya –yaitu himpun,
dengan menjaring dan merekrut dana dari nasabah, baik dalam bentuk deposito,
giro, atau pun tabungan. Dana yang telah terkumpul tersebut nantinya akan dijadikan
modal untuk selanjutnya diinvestasikan lagi oleh LKS.
Lalu,
kenapa disebut wadi’ah? Tabungan saja juga bisa, kan? Apa yang
salah?
Memang,
tidak ada yang salah dengan instrumen tabungan. Namun kasusnya akan menjadi
berbeda jika prinsip bunga sudah diikutsertakan sebagai stimultan bergeraknya
instrumen ini. Sehingga muncullah persoalan dalam perspektif hukum Islam yang mengharamkan
bunga karena identik dengan ribã. Dan larangan itu sudah terpampang
sangat jelas dalam QS. al-Baqarah ayat 175-181, misalnya. Maka dari itu, LKS menerapkan
wadi’ah sebagai instrumen alternatif untuk menggantikan tabungan yang
diperlengkapi dengan instrumen bunga di lembaga keuangan konvensional.
Lalu,
apa itu wadi’ah?
Wadi’ah
diambil dari lafazh wad’ al-asya’i (menitipkan sesuatu) dengan makna
meninggalkannya. Secara bahasa, wadi’ah berarti sesuatu yang
diletakkan pada selain pemiliknya agar dipelihara atau dijaga. Sedangkan
menurut istilah, terdapat perbedaan secara redaksional di kalangan para fuqaha,
akan tetapi karena secara substantif tidak jauh berbeda maka saya akan langsung
menyimpulkannya saja. Jadi, wadi’ah adalah permintaan dari
seseorang (penitip/muwaddi’) kepada pihak lain (dititipi/wadi’)
untuk menggantikan posisi dalam memelihara atau menjaga hartanya tanpa disertai
pemindahan kepemilikan, sehingga pihak yang dititipi wajib mengambalikan kepada
penitip pada saat penitip itu menghendaki.
Seperti
dalam QS. al-Baqarah ayat 283 yang artinya:
“...
Dan jika sebagian kamu mempercayai sebgaian yang lain, maka hendaklah yang
dipercaya itu menunaikan amanatnya dan hendaklah bertakwa kepada Allah
Tuhannya.”
Atau
dalam hadis dari Abu Hurairah yang meriwayatkan bahwa Rasulullah SAW bersabda, “Sampaikanlah
(tunaikanlah) amanat kepada yang berhak menerimanya dan jangan membalas khianat
kepada orang yang telah mengkhianatimu.”
Jika
dikaitkan dengan akad secara umum, wadi’ah tergolong kepada akad tabarru’.
Apa itu akad tabarru’? Akad tabarru’ (gratuitous
contract) adalah segala macam akad
atau perjanjian yang tidak bertujuan untuk mencari keuntungan komersial. Karena
pada hakikatnya, akad tabarru’ merupakan salah satu bentuk
kebaikan yang hanya mengharapkan balasan dari Allah. Semakin kuat juga jika
dilihat dari segi lughat, di mana tabarru’ berasal dari
kata birr yang artinya kebaikan.
Dalam akad ini, pihak yang berbuat
kebaikan tidak mensyaratkan imbalan apa pun karena jika orientasinya adalah
keuntungan komersial, maka konsekuensi logisnya akad tersebut akan berubah
menjadi akad tijarah. Namun demikian, dalam kondisi tertentu wadi’
berhak meminta fee untuk menutupi biaya pemeliharaan barang tersebut.
Nah lho, sempat terbersit di kepala saya satu pertanyaan, kalau begini jadinya,
apakah wadi’ah ini masih bisa disebut tabarru’?
Atau malah sudah condong pada tijarah? Oke, pertanyaan ini saya
simpan dulu rapat-rapat di belakang kepala.
Selanjutnya, ternyata wadi’ah ini
dikelompokkan menjadi dua bagian besar. Pertama, wadi’ah yad-amanah.
Kedua, wadi’ah yad-dhamanah.
Wadi’ah yad-amanah (tangan amanah) adalah titipan
yang selama belum dikembalikan kepada penitip (muwaddi’) tidak boleh dimanfaatkan oleh penerima titipan
(wadi’) sampai barang titipan tersebut diambil kembali oleh
penitip (muwaddi’). Dan wadi’ tidak bertanggung
jawab atas kerusakan atau kehilangan barang titipan yang bukan diakibatkan
perbuatan atau kelalaiannya. Contohnya adalah kotak simpanan (safe deposit
box).
Wadi’ah yad-dhamanah (tangan penanggung) adalah
titipan yang selama belum dikembalikan kepada penitip (muwaddi’)
dapat dapat dimanfaatkan oleh peneriman titipan (wadi’). Apabila
dari hasil pemanfaatan tersebut diperoleh keuntungan atau pun kerugian maka
seluruhnya menjadi hak wadi’. Dan wadi’ harus bertanggung jawab terhadap kehilangan atau
kerusakan barang titipan tersebut. Contohnya adalah tabungan dan giro.
Ada beberapa keadaan di mana wadi’
menjadi wajib untuk mengganti wadi’ah yang rusak atau
bahkan hilang karena dirinya, yaitu:
Ø Wadi’ meninggalkan tugas memelihara harta
titipan;
Ø Wadi’ melanggar kesepakatan dengan muwaddi’
tentang cara pemeliharaan harta titipan;
Ø Wadi’ menyerahkan harta titipan kepada pihak
lain;
Ø Wadi’ mengambil manfaat atas harta titipan;
Ø Wadi’ bepergian dengan harta titipan tanpa
seizin muwaddi’;
Ø Wadi’ mengingkari harta titipan kemudian
mengakuinya.
Lalu, bagaimana kaitannya dengan LKS?
Sebagai alternatif
untuk mengganti sistem bunga pada lembaga keuangan konvensional, LKS menerapkan
wadi’ah, di mana LKS menempatkan diri sebagai pihak yang dititipi
(wadi’) untuk menampung dana-dana yang akan
dititipkan nasabah (muwaaddi’). Kemudian LKS akan mengambil manfaat dan
memberdayakannya dengan menyalurkan semua dana titipan tersebut untuk hal-hal
produktif guna mencari keuntungan komersial yang seluruhnya akan menjadi milik
LKS (wadi’). Sebagai imbalan, nasabah (muwaddi’) akan
mendapatkan jaminan keamanan terhadap titipannya serta dapat menikmati fasilitas
yang disediakan LKS. Namun tidak ada larangan juga bagi LKS (wadi’)
untuk memberikan semacam insentif berupa bonus kepada nasabah (muwaddi’)
dengan catatan hal tersebut tidak disyaratkan dalam akad dan jumlahnya tidak ditetapkan
dalam nominal presentase secara advance. Bonus tersebut hanyalah berupa
bentuk pemberian yang bersifat sukarela dari lembaga (‘athiya). Sebagaimana
Rasulullaah SAW. bersabda: “berikanlah itu, karena sesungguhnya sebaik-baiknya
kamu adalah yang terbaik ketika membayar.”
Pemberian bonus tersebut juga dimaksudkan sebagai upaya merangsang semangat
masyarakat dalam menabung hingga menstimulus loyalitas nasabah, sekaligus
sebagai salah satu indikator kesehatan LKS terkait. Hal ini karena semakin
besar nilai keuntungan yang diberikan kepada nasabah dalam bentuk bonus,
semakin efisien pula pemanfaatan dana tersebut dalam investasi yang produktif
dan menguntungkan.
Jika disangkutkan dengan dua macam wadi’ah
tadi, pasti kita langsung dapat menyimpulkan kalau jenis wadi’ah yang
paling mungkin diimplementasikan di LKS adalah wadi’ah yad-dhamanah.
Kenapa harus wadi’ah yad-dhamanah? Karena dalam wadi’ah yad-dhamanah pihak wadi’ atau LKS memiliki
wewenang untuk memberdayakan harta yang dititipkan padanya. Lalu, kenapa tidak wadi’ah
yad-amanah? Karena keuntungan tidak mungkin didapat
jika harus menerapkan wadiah yad-amanah
yang berimplikasi pada pasifnya uang.
Awalnya
saya merasa hal ini janggal jika dikaitkan dengan pernyataan bahwa wadi’ah
tergolong kepada akad tabarru’ yang sama sekali tidak
berorientasi pada keuntungan komersial. Sempat disinggung juga bahwa wadi’
berhak meminta fee kepada muwaddi’. Lalu, jika
dilihat dari motifnya, LKS pun melakukan penjaringan dana dari masyarakat
bahkan dengan tujuan mencari keuntungan komersial. Nah, kan? Seperti pertanyaan
yang telah saya simpan di belakang kepala tadi, masih bisakah ini disebut tabarru’?
Namun
kemudian, saya akhirnya menemukan jawaban atas kekeliruan pemahaman ini.
Mengenai
wadi’ah
dan dikaitkan dengan akad tabarru’ yang memberlakukan fee, juga motif LKS sebagai wadi’
yang berorientasi pada keuntungan komersial,
tentu saja beberapa fakta itu bertentangan jika dilihat dari
segi lughat. Akan tetapi ternyata, bukan
berarti akad tabarru’ sama sekali tidak dapat
digunakan untuk mencari keuntungan komersial, justru akad tabarru’
dapat dijadikan sebagai jembatan yang akan memperlancar kegiatan komersial. Dan bahkan dikatakan,
kalau akad tabarru’ sering sangat vital digunakan untuk memulai
berbagai macam kegiatan komersial.
Kenapa sebelumnya saya
keliru? Karena sejak awal saya terlalu menitikberatkan pemahaman pada sisi lughat.
Secara bahasa, konsep wadi’ah dengan akad tabarru’ memang
benar, sama sekali tidak ada unsur keuntungan. Tapi saya melewatkan fakta lain
dari akad tabarru’ yang ternyata dapat dijadikan sarana intermediasi
untuk memperlancar akad yang berorientasi pada keuntungan komersial, seperti
akad tijarah misalnya.
Menurut saya, hal tersebut
memang berterima, karena secara logika, kerja sama apa pun tidak akan terjalin jika
tidak ada iktikad untuk saling memberi kebaikan kepada setiap pihak yang terlibat
dan juga harus didasari oleh rasa suka-sama-suka. Seperti dalam surat an-Nisa
ayat 29 yang artinya, “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu makan
harta sesamamu dengan jalan batil, kecuali dengan perdagangan yang dilakukan
dengan suka sama suka.” Dasar rasa suka-sama-suka yang diungkapkan dalam akad
tabarru’ ini yang kemudian menjadi kekuatan lancarnya kegiatan
lain.
Dan juga, saya melupakan kenyataan
bahwa pada hakikatnya LKS adalah lembaga bisnis yang
berorientasi pada keuntungan komersial. Jika tidak, maka kita akan sampai di
kesimpulan bahwa bank bukan lagi lembaga
bisnis, melainkan akan bertransformasi menjadi lembaga sosial.
Kenyataan itu juga juga menjadi
salah satu yang melatarbelakangi permberlakuan fee kepada muwaddi’,
di mana fee tersebut menjadi konsekuensi logis agar LKS dapat
mempertahankan eksistensi dan kontribusinya dalam lalu lintas keuangan, apalagi
jika ditinjau dari sisi kesehatan LKS.
Pada komposisi tertentu,
semakin banyak uang yang yang mengendap dalam sebuah LKS, semakin tidak sehat
pula LKS tersebut. Oleh karena itu terdapat Pasar Uang Bank Syariah (PUAS) yang
salah satu tujuannya adalah agar LKS dapat menyalurkan aset-aset yang mengendap
dan memainkannya dalam hal-hal yang produktif. Semakin banyak uang yang dimainkan
dalam produktifitas, selain berdampak baik pada proyeksi keuntungan, juga
menjadi nutrisi yang akan memperbaiki kesehatan LKS. Ini bisa menjadi alasan tambahan
kenapa wadi’ah yad-amanah tidak diterapkan dalam LKS, karena meng-idle-kan
dana sama dengan membiarkannya pasif lalu mengendap begitu saja. Dan semakin
banyak dana yang mengendap, bisa jadi itu menunjukkan rendahnya produktifitas
pergerakan uang di LKS tersebut.
Kemudian,
bagaimana mekanisme operasionalnya? Apa saja unsur pembentuk agar kemudian wadi’ah
bisa terjalin?
Unsur-unsur
yang harus ada, yaitu:
Ø Muwaddi’ adalah orang yang menitipkan/ Rab
al-Maal adalah pemilik dana.
Ø Wadi’ adalah orang yang dititipi barang.
Ø Wadi’ah adalah barang yang dititipkan/ al-Maal
adalah harta.
Ø Shighat adalah pernyataan atau lafadz
yang disampaikan pada waktu akad; ijãb dan qabûl.
Secara skematis maka akan menjadi
seperti ini:
Muwaddi’ menyerahkan harta yang hendak
dititipkannya kepada wadi’. Pada detik ini berlangsung shighat,
yaitu saat di mana muwaddi’ sebagai pihak pertama menyatakan
kehendaknya untuk menitipkan harta yang kemudian diterima oleh wadi’
sebagai pihak kedua untuk menjaga harta milik muwaddi’.
Di dalam buku juga dijelaskan mengenai
produk hukum tentang wadi’ah yang diberlakukan di Indonesia, baik dalam
bentuk perundang-undangan maupun dalam bentuk fatwa yang dikeluarkan oleh Dewan
Syariah Nasional (DSN) Mejelis Ulama Indonesia.
Seperti dalam UU Nomor 21 Tahun 2008
tentang Perbankan Syariah disebutkan salah satu produk perbankan syariah yaitu
simpanan yang terdiri tabungan dan giro. Simpanan diartikan dengan dana yang
dipercayakan oleh nasabah kepada bank syariah dan/atau UUS berdasarkan akan wadi’ah
atau akda lain yang tidak bertentangan dengan prinsip syariah dalam bentuk
giro, tabungan, atau bentuk lainnya yang dipersamakan dengan itu----
Dikemukakan juga dalam Peraturan Bank
Indonesia (PBI), yakni PBI Nomor 7/24B/PBI/2004 tentang Bank Umum yang Kegiatan
Usaha berdasrkan Prinsip Syariah dan PBI Nomor 7/46/PBI/2005 tentang Akad
Penghimpunan dan Penyaluran Dana bagi Bank yang Melaksanakan Kegiatan Usaha berdasarkan
Prinsip Syariah. Dan masih banyak lagi produk-produk hukum tentang wadi’ah
yang dipaparkan di dalamnya.
Sepertinya,
sekarang waktunya bagi saya untuk mengakhiri hasil review ini.
Terima
kasih sudah menyempatkan untuk membaca ulasan ini.
Akhirul
kalam, mudah-mudahan dapat dimengerti dan memberi manfaat. Dengan izin
Allah~
Salam.
AstiNH~
Glosarium:
Ø Akad Tabarru’: semua bentuk akad yang
dilakukan dengan tujuan kebajikan dan tolong menolong, bukan untuk tujuan
komersial. Termasuk akad tabarru’ adalah qard al-hasan, hibah, infaq,
dan wakaf.
Ø Akad Tijarah: akad perdagangan; semua
bentuk akad yang dilakukan untuk tujuan komersial, yaitu akad yang ditujukan
untuk memperoleh keuntungan.
Ø ‘Athaya:
bentuk jamak (plural) dari kata ‘athiyyah yang berarti suatu pemberian
tidak mengikat, sama dengan hibah.
Ø Yang lainnya mungkin sudah jelas pada
pembahasan di atas.
Sumber-sumber:
Ø Allah SWT yang Mahaluas dan Maha
Mengetahui.
Ø Hasil tanya jawab dengan Bapak Agus
Barkah Hamdani, dan Bapak Yana Masud Tashdiq. Terima kasih.
Ø Judul: Kamus Istilah Ekonomi, Keuangan,
dan Bisnis Syariah
Author: H. Muhammad Sholahuddin, Se,
M.Si
ISBN: 978-979-22-7925-9
Harga: Rp. 40.000,-
Penerbit: Gramedia Pustaka Utama
Ø Judul: Perbankan Syariah: Sebuah
Pengantar
Penulis: Nurul Ichsan Hasan, MA.
Cetakan: Pertama, Oktober 2014
ISBN: 978-979-9152-37-4
Harga: Rp. 60.000,-
Penerbit: Referensi
Ø Judul: Lembaga Keuangan Syariah
Penulis: Dr. Yadi Janwari
Cetakan: Pertama, Februari, 2015
ISBN: 978-979-692-611-4
Harga: Rp. 42.900,-
Penerbit: PT Remaja Rosdakarya
Komentar
Posting Komentar