Langsung ke konten utama

[BOOK REVIEW | CREATE IT] Lembaga Keuangan Syariah - Wadi'ah (BAG I)

بِسْــــــــــــــــــمِ اﷲِالرَّحْمَنِ اارَّحِيم


Bismillaah. Ini pertama kali saya mencoba mereview buku yang genrenya agak serius ._. (?) Ini bukan novel Ilana Tan yang selalu berhasil membuat pipi merona, bukan pula buku Raditya Dika yang penuh dengan hal-hal absurdnya, apalagi novel pembunuhan Agatha Christie yang menegangkan. Hihi :V

Dalam review ini saya mencoba menyimpulkan dan mengungkapkan pemahaman dari beberapa buku yang saya baca. Jika ada kesalahan dalam apa pun itu, apalagi kalau ada pakarnya yang baca postingan ini, saya sangat terbuka menerima koreksi dan masukan^^/ maklum lah, saya kan masih belajar :3
            Oke, kita mulai sekarang ini? :))))
            Satu-dua-tiga. Take a deep breath.




Seperti telah kita ketahui, lembaga keuangan adalah lembaga yang kegiatan utamanya menghimpun dan menyalurkan dana dengan motif mendapat keuntungan komersial. Sehingga aset terbesar yang dimiliki lembaga keuangan adalah aset finansial.
Kemudian, bagaimana mekanisme lembaga keuangan dalam menjalankan kegiatan utamanya itu? Dan, bagaimana pula lembaga keuangan bisa mendapat keuntungan dari kegiatannya itu?
Mari kita paparkan satu per satu.

Perlu kita ketahui, bahwa lembaga keuangan, baik konvensional mau pun syariah, keduanya memiliki banyak instrumen yang dapat diimplementasikan untuk menjalankan setiap kegiatan yang tentunya berorientasi pada pencapaian tujuan.
Seperti tercetak jelas pada judul, yang akan dibahas di sini adalah lembaga keuangan syariah –selanjutnya akan disingkat menjadi LKS.
Lalu, instrumen apa saja yang diterapkan LKS agar tetap bisa menjaga eksistensinya dalam lalu lintas keuangan?
Pada buku yang tengah saya baca saat ini, disebutkan ada sekitar dua belas instrumen yang biasa diterapkan di LKS, seperti wadi’ah, murãbahah, salam, istishnã, sharf, mudhãrabah, musyãrakah, ijãrah, rahn, wakãlah, kafãlah, hiwãlah, wardh, ji’ãlah.

Selanjutnya, yang akan menjadi fokus pembahasan adalah wadi’ah.



Dalam wacana fiqh dan ekonomi Islam, sesungguhnya ada sebuah akad mu’ãmalah yang memiliki kemiripan dengan tabungan, yaitu akad wadi’ah.


Seperti disinggung di atas, himpun-salur adalah kegiatan utama dari sebuah lembaga keuangan. Nah, LKS mengimplementasikan wadi’ah untuk menjalankan salah satu kegiatan utamanya –yaitu himpun, dengan menjaring dan merekrut dana dari nasabah, baik dalam bentuk deposito, giro, atau pun tabungan. Dana yang telah terkumpul tersebut nantinya akan dijadikan modal untuk selanjutnya diinvestasikan lagi oleh LKS.

            Lalu, kenapa disebut wadi’ah? Tabungan saja juga bisa, kan? Apa yang salah?
            Memang, tidak ada yang salah dengan instrumen tabungan. Namun kasusnya akan menjadi berbeda jika prinsip bunga sudah diikutsertakan sebagai stimultan bergeraknya instrumen ini. Sehingga muncullah persoalan dalam perspektif hukum Islam yang mengharamkan bunga karena identik dengan ribã. Dan larangan itu sudah terpampang sangat jelas dalam QS. al-Baqarah ayat 175-181, misalnya. Maka dari itu, LKS menerapkan wadi’ah sebagai instrumen alternatif untuk menggantikan tabungan yang diperlengkapi dengan instrumen bunga di lembaga keuangan konvensional.

            Lalu, apa itu wadi’ah?
            Wadi’ah diambil dari lafazh wad’ al-asya’i (menitipkan sesuatu) dengan makna meninggalkannya. Secara bahasa, wadi’ah berarti sesuatu yang diletakkan pada selain pemiliknya agar dipelihara atau dijaga. Sedangkan menurut istilah, terdapat perbedaan secara redaksional di kalangan para fuqaha, akan tetapi karena secara substantif tidak jauh berbeda maka saya akan langsung menyimpulkannya saja. Jadi, wadi’ah adalah permintaan dari seseorang (penitip/muwaddi’) kepada pihak lain (dititipi/wadi’) untuk menggantikan posisi dalam memelihara atau menjaga hartanya tanpa disertai pemindahan kepemilikan, sehingga pihak yang dititipi wajib mengambalikan kepada penitip pada saat penitip itu menghendaki.
            Seperti dalam QS. al-Baqarah ayat 283 yang artinya:
            “... Dan jika sebagian kamu mempercayai sebgaian yang lain, maka hendaklah yang dipercaya itu menunaikan amanatnya dan hendaklah bertakwa kepada Allah Tuhannya.”
            Atau dalam hadis dari Abu Hurairah yang meriwayatkan bahwa Rasulullah SAW bersabda, “Sampaikanlah (tunaikanlah) amanat kepada yang berhak menerimanya dan jangan membalas khianat kepada orang yang telah mengkhianatimu.”

            Jika dikaitkan dengan akad secara umum, wadi’ah tergolong kepada akad tabarru’. Apa itu akad tabarru’? Akad tabarru’ (gratuitous contract)  adalah segala macam akad atau perjanjian yang tidak bertujuan untuk mencari keuntungan komersial. Karena pada hakikatnya, akad tabarru’ merupakan salah satu bentuk kebaikan yang hanya mengharapkan balasan dari Allah. Semakin kuat juga jika dilihat dari segi lughat, di mana tabarru’ berasal dari kata birr yang artinya kebaikan.
Dalam akad ini, pihak yang berbuat kebaikan tidak mensyaratkan imbalan apa pun karena jika orientasinya adalah keuntungan komersial, maka konsekuensi logisnya akad tersebut akan berubah menjadi akad tijarah. Namun demikian, dalam kondisi tertentu wadi’ berhak meminta fee untuk menutupi biaya pemeliharaan barang tersebut. Nah lho, sempat terbersit di kepala saya satu pertanyaan, kalau begini jadinya, apakah wadi’ah ini masih bisa disebut tabarru’? Atau malah sudah condong pada tijarah? Oke, pertanyaan ini saya simpan dulu rapat-rapat di belakang kepala.

Selanjutnya, ternyata wadi’ah ini dikelompokkan menjadi dua bagian besar. Pertama, wadi’ah yad-amanah. Kedua, wadi’ah yad-dhamanah.
Wadi’ah yad-amanah (tangan amanah) adalah titipan yang selama belum dikembalikan kepada penitip (muwaddi’)  tidak boleh dimanfaatkan oleh penerima titipan (wadi’) sampai barang titipan tersebut diambil kembali oleh penitip (muwaddi’). Dan wadi’ tidak bertanggung jawab atas kerusakan atau kehilangan barang titipan yang bukan diakibatkan perbuatan atau kelalaiannya. Contohnya adalah kotak simpanan (safe deposit box).
Wadi’ah yad-dhamanah (tangan penanggung) adalah titipan yang selama belum dikembalikan kepada penitip (muwaddi’) dapat dapat dimanfaatkan oleh peneriman titipan (wadi’). Apabila dari hasil pemanfaatan tersebut diperoleh keuntungan atau pun kerugian maka seluruhnya menjadi hak wadi’. Dan wadi’  harus bertanggung jawab terhadap kehilangan atau kerusakan barang titipan tersebut. Contohnya adalah tabungan dan giro.
Ada beberapa keadaan di mana wadi’ menjadi wajib untuk mengganti wadi’ah yang rusak atau bahkan hilang karena dirinya, yaitu:
Ø  Wadi’ meninggalkan tugas memelihara harta titipan;
Ø  Wadi’ melanggar kesepakatan dengan muwaddi’ tentang cara pemeliharaan harta titipan;
Ø  Wadi’ menyerahkan harta titipan kepada pihak lain;
Ø  Wadi’ mengambil manfaat atas harta titipan;
Ø  Wadi’ bepergian dengan harta titipan tanpa seizin muwaddi’;
Ø  Wadi’ mengingkari harta titipan kemudian mengakuinya.


Lalu, bagaimana kaitannya dengan LKS?
Sebagai alternatif untuk mengganti sistem bunga pada lembaga keuangan konvensional, LKS menerapkan wadi’ah, di mana LKS menempatkan diri sebagai pihak yang dititipi (wadi’) untuk menampung dana-dana yang akan dititipkan nasabah (muwaaddi’). Kemudian LKS akan mengambil manfaat dan memberdayakannya dengan menyalurkan semua dana titipan tersebut untuk hal-hal produktif guna mencari keuntungan komersial yang seluruhnya akan menjadi milik LKS (wadi’). Sebagai imbalan, nasabah (muwaddi’) akan mendapatkan jaminan keamanan terhadap titipannya serta dapat menikmati fasilitas yang disediakan LKS. Namun tidak ada larangan juga bagi LKS (wadi’) untuk memberikan semacam insentif berupa bonus kepada nasabah (muwaddi’) dengan catatan hal tersebut tidak disyaratkan dalam akad dan jumlahnya tidak ditetapkan dalam nominal presentase secara advance. Bonus tersebut hanyalah berupa bentuk pemberian yang bersifat sukarela dari lembaga (athiya). Sebagaimana Rasulullaah SAW. bersabda: “berikanlah itu, karena sesungguhnya sebaik-baiknya kamu adalah yang terbaik ketika membayar.”

Pemberian bonus tersebut juga dimaksudkan sebagai upaya merangsang semangat masyarakat dalam menabung hingga menstimulus loyalitas nasabah, sekaligus sebagai salah satu indikator kesehatan LKS terkait. Hal ini karena semakin besar nilai keuntungan yang diberikan kepada nasabah dalam bentuk bonus, semakin efisien pula pemanfaatan dana tersebut dalam investasi yang produktif dan menguntungkan.


Jika disangkutkan dengan dua macam wadi’ah tadi, pasti kita langsung dapat menyimpulkan kalau jenis wadi’ah yang paling mungkin diimplementasikan di LKS adalah wadi’ah yad-dhamanah. Kenapa harus wadi’ah yad-dhamanah? Karena dalam wadi’ah yad-dhamanah pihak wadi’ atau LKS memiliki wewenang untuk memberdayakan harta yang dititipkan padanya. Lalu, kenapa tidak wadi’ah yad-amanah? Karena keuntungan tidak mungkin didapat jika harus menerapkan wadiah yad-amanah yang berimplikasi pada pasifnya uang.
            Awalnya saya merasa hal ini janggal jika dikaitkan dengan pernyataan bahwa wadi’ah tergolong kepada akad tabarru’ yang sama sekali tidak berorientasi pada keuntungan komersial. Sempat disinggung juga bahwa wadi’ berhak meminta fee kepada muwaddi’. Lalu, jika dilihat dari motifnya, LKS pun melakukan penjaringan dana dari masyarakat bahkan dengan tujuan mencari keuntungan komersial. Nah, kan? Seperti pertanyaan yang telah saya simpan di belakang kepala tadi, masih bisakah ini disebut tabarru’?

            Namun kemudian, saya akhirnya menemukan jawaban atas kekeliruan pemahaman ini.
Mengenai wadiah dan dikaitkan dengan akad tabarruyang memberlakukan fee, juga motif LKS sebagai wadi’ yang berorientasi pada keuntungan komersial, tentu saja beberapa fakta itu bertentangan jika dilihat dari segi lughat. Akan tetapi ternyata, bukan berarti akad tabarru sama sekali tidak dapat digunakan untuk mencari keuntungan komersial, justru akad tabarru dapat dijadikan sebagai jembatan yang akan memperlancar kegiatan komersial. Dan bahkan dikatakan, kalau akad tabarru’ sering sangat vital digunakan untuk memulai berbagai macam kegiatan komersial.
Kenapa sebelumnya saya keliru? Karena sejak awal saya terlalu menitikberatkan pemahaman pada sisi lughat. Secara bahasa, konsep wadi’ah dengan akad tabarru’ memang benar, sama sekali tidak ada unsur keuntungan. Tapi saya melewatkan fakta lain dari akad tabarru’ yang ternyata dapat dijadikan sarana intermediasi untuk memperlancar akad yang berorientasi pada keuntungan komersial, seperti akad tijarah misalnya.
Menurut saya, hal tersebut memang berterima, karena secara logika, kerja sama apa pun tidak akan terjalin jika tidak ada iktikad untuk saling memberi kebaikan kepada setiap pihak yang terlibat dan juga harus didasari oleh rasa suka-sama-suka. Seperti dalam surat an-Nisa ayat 29 yang artinya, “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu makan harta sesamamu dengan jalan batil, kecuali dengan perdagangan yang dilakukan dengan suka sama suka.” Dasar rasa suka-sama-suka yang diungkapkan dalam akad tabarru’ ini yang kemudian menjadi kekuatan lancarnya kegiatan lain.
Dan juga, saya melupakan kenyataan bahwa pada hakikatnya LKS adalah lembaga bisnis yang berorientasi pada keuntungan komersial. Jika tidak, maka kita akan sampai di kesimpulan bahwa bank bukan lagi lembaga bisnis, melainkan akan bertransformasi menjadi lembaga sosial.
Kenyataan itu juga juga menjadi salah satu yang melatarbelakangi permberlakuan fee kepada muwaddi’, di mana fee tersebut menjadi konsekuensi logis agar LKS dapat mempertahankan eksistensi dan kontribusinya dalam lalu lintas keuangan, apalagi jika ditinjau dari sisi kesehatan LKS.
Pada komposisi tertentu, semakin banyak uang yang yang mengendap dalam sebuah LKS, semakin tidak sehat pula LKS tersebut. Oleh karena itu terdapat Pasar Uang Bank Syariah (PUAS) yang salah satu tujuannya adalah agar LKS dapat menyalurkan aset-aset yang mengendap dan memainkannya dalam hal-hal yang produktif. Semakin banyak uang yang dimainkan dalam produktifitas, selain berdampak baik pada proyeksi keuntungan, juga menjadi nutrisi yang akan memperbaiki kesehatan LKS. Ini bisa menjadi alasan tambahan kenapa wadi’ah yad-amanah tidak diterapkan dalam LKS, karena meng-idle-kan dana sama dengan membiarkannya pasif lalu mengendap begitu saja. Dan semakin banyak dana yang mengendap, bisa jadi itu menunjukkan rendahnya produktifitas pergerakan uang di LKS tersebut.

            Kemudian, bagaimana mekanisme operasionalnya? Apa saja unsur pembentuk agar kemudian wadi’ah bisa terjalin?
            Unsur-unsur yang harus ada, yaitu:
Ø  Muwaddi’ adalah orang yang menitipkan/ Rab al-Maal adalah pemilik dana.
Ø  Wadi’ adalah orang yang dititipi barang.
Ø  Wadi’ah adalah barang yang dititipkan/ al-Maal adalah harta.
Ø  Shighat adalah pernyataan atau lafadz yang disampaikan pada waktu akad; ijãb dan qabûl.

Secara skematis maka akan menjadi seperti ini:







Muwaddi’ menyerahkan harta yang hendak dititipkannya kepada wadi’. Pada detik ini berlangsung shighat, yaitu saat di mana muwaddi’ sebagai pihak pertama menyatakan kehendaknya untuk menitipkan harta yang kemudian diterima oleh wadi’ sebagai pihak kedua untuk menjaga harta milik muwaddi’.

Di dalam buku juga dijelaskan mengenai produk hukum tentang wadi’ah  yang diberlakukan di Indonesia, baik dalam bentuk perundang-undangan maupun dalam bentuk fatwa yang dikeluarkan oleh Dewan Syariah Nasional (DSN) Mejelis Ulama Indonesia.
Seperti dalam UU Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah disebutkan salah satu produk perbankan syariah yaitu simpanan yang terdiri tabungan dan giro. Simpanan diartikan dengan dana yang dipercayakan oleh nasabah kepada bank syariah dan/atau UUS berdasarkan akan wadi’ah atau akda lain yang tidak bertentangan dengan prinsip syariah dalam bentuk giro, tabungan, atau bentuk lainnya yang dipersamakan dengan itu----
Dikemukakan juga dalam Peraturan Bank Indonesia (PBI), yakni PBI Nomor 7/24B/PBI/2004 tentang Bank Umum yang Kegiatan Usaha berdasrkan Prinsip Syariah dan PBI Nomor 7/46/PBI/2005 tentang Akad Penghimpunan dan Penyaluran Dana bagi Bank yang Melaksanakan Kegiatan Usaha berdasarkan Prinsip Syariah. Dan masih banyak lagi produk-produk hukum tentang wadi’ah yang dipaparkan di dalamnya.







            Sepertinya, sekarang waktunya bagi saya untuk mengakhiri hasil review ini.

            Terima kasih sudah menyempatkan untuk membaca ulasan ini.

            Akhirul kalam, mudah-mudahan dapat dimengerti dan memberi manfaat. Dengan izin Allah~
            Salam. AstiNH~




   Glosarium:
Ø  Akad Tabarru’: semua bentuk akad yang dilakukan dengan tujuan kebajikan dan tolong menolong, bukan untuk tujuan komersial. Termasuk akad tabarru’ adalah qard al-hasan, hibah, infaq, dan wakaf.
Ø  Akad Tijarah: akad perdagangan; semua bentuk akad yang dilakukan untuk tujuan komersial, yaitu akad yang ditujukan untuk memperoleh keuntungan.
Ø   ‘Athaya: bentuk jamak (plural) dari kata ‘athiyyah yang berarti suatu pemberian tidak mengikat, sama dengan hibah.
Ø  Yang lainnya mungkin sudah jelas pada pembahasan di atas.


            Sumber-sumber:

Ø  Allah SWT yang Mahaluas dan Maha Mengetahui.
Ø  Hasil tanya jawab dengan Bapak Agus Barkah Hamdani, dan Bapak Yana Masud Tashdiq. Terima kasih.
Ø  Judul: Kamus Istilah Ekonomi, Keuangan, dan Bisnis Syariah
Author: H. Muhammad Sholahuddin, Se, M.Si
ISBN: 978-979-22-7925-9
Harga: Rp. 40.000,-
Penerbit: Gramedia Pustaka Utama



Ø  Judul: Perbankan Syariah: Sebuah Pengantar
Penulis: Nurul Ichsan Hasan, MA.
Cetakan: Pertama, Oktober 2014
ISBN: 978-979-9152-37-4
Harga: Rp. 60.000,-
Penerbit: Referensi




Ø  Judul: Lembaga Keuangan Syariah
Penulis: Dr. Yadi Janwari
Cetakan: Pertama, Februari, 2015
ISBN: 978-979-692-611-4
Harga: Rp. 42.900,-
Penerbit: PT Remaja Rosdakarya






Komentar

Postingan populer dari blog ini

[TASK] Proposal Usaha (Kewirausahaan)

Ini tugas bikin proposal waktu kelas sebelas hihi :3 Gak tau bener gak tau nggak soalnya dulu gak sempet direview sama gurunya -,- Disusun oleh: Asti Nurhayati Sri Isdianti Kelas XI-AP4 SMK Negeri 1 Garut 2012-2013 BAB 1 PENDAHULUAN A. Nama dan Alamat Perusahaan Toko Buku   “27 RADAR” Jl.   Radar   No. 27 Garut B. Nama dan Alamat Penanggung Jawab Usaha Ø     Penanggung jawab 1: Nama : Asti Nurhayati Nurjaman   TTL : Garut, 19 Agustus 1996   Ø      Penanggung jawab 2: Nama : Sri Isdianti TTL : Garut, 12 September 1996   C. Informasi Usaha          Usaha toko buku yang kami kelola ini berada di Jl.   Radar   No. 27, merupakan lokasi yang sangat strategis yang berada di pusat kota Garut ini, bisa dengan mudah dijangkau oleh kendaraan apapun. Juga terletak di antara banyaknya pusat perkantoran serta sekolah-sekolah sehingga menjadi suatu keuntungan tersendiri bagi kami karena berdekatan dengan banyak

[BOOK REVIEW] Sejarah Ekonomi Dalam Islam

بِسْــــــــــــــــــمِ اﷲِالرَّحْمَنِ اارَّحِيم Judul: Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam Penulis:DR. Euis Amalia, M.Ag Penerbit: Gramata Publishing Tebal Buku: xiv + 322 halaman ISBN: 978-602-96565-1-0 Harga: Rp. 69.000,- Sumber gambar: goodreads Ada kesenjangan epistemologi yang mengemuka lebar tatkala ingin menampilkan literatur sejarah pemikiran ekonomi. Nilai fairness dan transparansi seolah sulit untuk dibuka ketika dihadapkan pada siapa menemukan apa karena bermuara pada “otoritas klaim.” Fakta-fakta ironis menyebutkan bahwa seringkali hasil karya ilmuwan muslim kita diabaikan oleh sarjana barat, padahal mereka sendiri secara implisist mengakui banyak karyanya telah diilhami oleh  pemikir Islam atau karya mereka tidak pure lagi karena sebelumnya sudah diketemukan teori oleh sarjana muslim. Hanya bisa dihitung dengan jari penulis-penulis barat yang mengakui bahwa konsep-konsep atau teorinya berasal dari pemikir Islam. Secara simplistis saja,

[BOOK REVIEW] AYAH Tanpa Tapi

Surga juga ada di telapak kaki ayah – pada setiap langkah yang ia ambil untuk terus menyambung nafas dan menumbuhkanmu, ada surga. (Seribu Wajah Ayah – hlm. 16)             Ayah, salah satu bilah tervital dalam hidup yang dikatakan Rasulullah setelah penyebutan Ibu yang diulang sebanyak tiga kali.             Ibu, ibu, ibu, baru ayah .            Repetisi yang menomorempatkan ayah bukan berarti kita harus menomorsekiankan pula sosok itu dalam hidup. Tidak sama sekali.           Memang, kebanyakan figur ayah tidak sama dengan ibu. Jika ibu seakan tak pernah kehabisan agenda kata yang berlalu lalang di telinga kita, beda halnya dengan ayah yang bahkan seolah enggan untuk bersuara walau hanya sekecap. Pun, sering kali kita lebih nyaman bersandar di punggung ibu yang ekspresif dibanding harus bercengkrama dengan sosok ayah yang cenderung defensif.            Meski tidak menutup kemungkinan tidak semua ayah berkarakter begitu, tapi itu juga tak dapat dipungkiri, kan?