Langsung ke konten utama

[CREATE IT] Renungan Tentang Kematian dan Hikmahnya

بِسْــــــــــــــــــمِ اﷲِالرَّحْمَنِ اارَّحِيم




“Setiap yang bernyawa pasti akan merasakan mati....” (QS. al-Anbiya’: 35)
Perpisahan dua tahun lalu berhasil menarikku ke dalam pemahaman yang lebih mendalam dan luas terhadap ayat ini. Hingga kemudian sedikit demi sedikit mulai mengubah caraku dalam mengamalkan kalam ini.
5 September 2013 tepatnya, saat pulang sekolah dan mendapati Bapak sudah terbujur kaku, dikelilingi oleh banyak orang. Kenyataan yang membentang di hadapanku membuatku merasa tengah bermimpi di siang bolong. Dan kebetulan hari itu memang cahaya matahari memancar begitu terik, seolah turut kaget melihat pemandangan duka yang menyelimuti rumahku.
Banyak orang menangis hari itu. Mama, Kakek, Nenek, adik-adik, semuanya. Tapi sayangnya aku tidak. Kepergiannya begitu sulit dipercaya hingga membuatku tak bisa mengeluarkan air mata. Aku hanya bisa diam bersama cekaman hening yang membelenggu.
Namun saat orang-orang mulai tenang. Saat mereka memilih untuk menyimpan duka itu rapat-rapat. Saat itu aku mulai meledak. Bulir-bulir bening ini terus berguguran begitu malam menjelang. Setiap helaan napas terasa sangat menyembilu begitu menyadari dan merasakan ketidakhadirannya di tengah-tengahku.
          Dia beranjak tanpa kata. Dia bertolak tanpa bahasa.
          Aku tak sempat bercakap-cakap untuk yang terakhir kali dengannya. Aku tak sempat memandang wajah tegasnya yang tersenyum. Tak ada yang sempat kuungkapkan padanya, entah itu kata maaf atau kata sayang, semuanya menguap sebelum kuucap. Atau jika mungkin, aku akan memintanya untuk tinggal lebih lama lagi sampai nanti. Ah, salahkah ini?

          Dia sehat, haruskah mengakhiri hidupnya secepat itu? Dia masih muda, haruskah menutup usianya seburu-buru itu? Dia ... Ah, penyangkalan dan penolakan memenati benak dan memenuhi rongga kepalaku saat itu.
          Namun kemudian, dengan kehalusannya Allah membisikkan satu ayat itu ke telingaku.
       Setiap yang bernyawa pasti akan merasakan mati.
       Manusia adalah makhluk yang bernyawa.
          Dia adalah manusia yang memiliki nyawa.
       Dia akan merasakan mati.
          Kemudian, dari bentuk silogisme itu muncul sebuah pertanyaan –ah tidak, mungkin ini bahkan sebuah pernyataan.
          Aku adalah manusia yang bernyawa (.) (?)
          Otomatis, aku akan merasakan mati.
          Permasalahannya adalah, kapan?
Sementara maut itu bukan untuk orang sakit apalagi renta. Aku pun tidak berada dalam kategori keduanya. Pun dia, pria dengan usia muda yang segar bugar. Tapi dia mendahului banyak orang yang saat itu mungkin sedang bergelung melawan penyakit, bahkan melewati tak sedikit orang-orang lanjut usia di muka bumi ini.
Kemudian aku sampai di kesimpulan, aku pasti mati, kapan pun.

Ada tiga hal pasti dalam hidup yang tak mungkin bisa kita sangkal kedatangannya;
Sakit. Singkat atau tak berujung. Ringan atau mungkin parah. Hal ini mungkin tak terlalu mengejutkan, karena satu kepastian ini tidak mungkin tidak pernah singgah dalam hidup kita. Kita semua pernah sakit, pasti.
Begitu juga, enam tahun lalu dia pernah mengalami fase yang lumayan panjang dalam satu kepastian ini. Dia sakit. Namun dengan izin Allah, dia bisa melaluinya sampai mendapat kembali kesehatannya yang sempat Allah cabut selama beberapa saat. Dan di sinilah Allah membuktikan kalau mati bukan untuk orang sakit.
Lalu, yang kedua adalah tua. Jarum detik tak pernah berhenti berputar. Pun jarum menit dan jam yang selalu mengikuti. Hari terus berganti. Minggu berjalan menuju bulan-bulan baru. Kita semua pasti tua.
Selama itu pula dia terus menginjak usia demi usia menuju hari tua. Tapi dia bahkan pergi sebelum menyambut satu kepastian itu, tua. Namun lagi-lagi, Allah membuktikan kebenaran dari ayat-Nya, bahwa mati bukan untuk orang tua.
Sampai kemudian, satu kepastian terakhir akan datang tanpa disangka-sangka. Mati. Kita semua pasti mati.
Pun dia. Kematian. Allah mengambilnya.

          Kenapa semendadak dan secepat itu?

          Ternyata, ada lagi yang kulupakan. Tiga rahasia Ilahi yang berkaitan dengan hidup manusia seperti dalam lirik lagu yang dilantunkan oleh Bimbo.
          Kesatu tentang kelahiran.
          Kedua pernikahan.
          Ketiga kematian.

          See? Kematian adalah satu-satunya kepastian hidup yang juga menjadi bagian dari rahasia Ilahi.  Kepastian yang datangnya tak dapat dijangkau oleh nalar manusia.
          Kepastian pertama, sakit. Hal ini masih bisa diprediksi oleh logika kita. Kita beri contoh yang sederhana, sakit akan datang jika kita bermain bersama rintikan hujan selama sehari penuh, atau apa pun itu, whatever.
          Kepastian kedua, tua. Kita semua sadar benar akan hal ini. Di dunia yang fana ini kita berpacu dengan waktu, terus berputar dan berlari menuju usia yang tak akan lagi muda.
          Kepastian ketiga. Terakhir. mati. Kapan kita mati? Mungkinkah kita tidak akan mati sebelum mendapat sakit dan menyambut tua? Tidak ada jaminan untuk itu. Teknologi secanggih apa pun, tak ada yang mampu menerawangnya. Pun, tak ada rumus-rumus rumit untuk menguraikan estimasi kedatangannya. Tak ada, karena mati adalah kepastian yang sekaligus menjadi rahasia Sang Khaliq.

         
          Bagaimana dengan kita?
          Bagaimana dengan mereka?
          Bagaimana dengan aku?
          Sedikit banyak kenyataan ini membuatku berpikir keras. Merenungi segalanya. Semakin diselami, rasa takut luar biasa semakin menyeruak ke permukaan. Aku takut. Sungguh takut.
          Bukan. Aku bukan takut mati karena sekuat apa pun ketakutan itu, maut akan tetap menjemput tanpa pandang bulu.

          Rahasia dari kepastian itu yang membuat aku takut.
          Iya.
          Mungkin saja maut tiba satu detik dari sekarang. Demi apa pun, tak ada yang tahu.
          Atau, pohon di lauh mahfudz sana telah membiarkan gugur sehelai daun. Dan, di permukaan daun itu bertuliskan namaku. Bisa saja, kan? Sungguh pun, tak ada yang mampu menerka sesuatu seabstrak itu.
         
          Ketidakpastian dari kepastian yang membuat aku takut.
          Bagaimana cara kita mati?
          Bagaimana cara mereka mati?
          Bagaimana cara aku mati?
          Adakah jaminan kalau maut tiba saat aku tengah bermesraan dengan Ilahi di dalam khusyuknya shalat? Atau bahkan maut akan menyalip saat aku tengah tenggelam dengan setan di dalam kubangan maksiat?
          Sudahkah aku memiliki perbekalan yang cukup untuk memulai hidup baru di sana?
          Apa yang aku punya? Segunung kebaikan, atau bahkan segunduk keburukan?
          Jangan sampai. Jangan sampai di sana kita menjadi bagian dari orang-orang yang memohon dikembalikan ke dunia untuk mencari kebaikan yang selalu dialpakan. Jangan sampai di sana kita menjadi bagian dari orang-orang yang menyesal karena telah melewatkan rahmat Allah yang terhampar di bumi-Nya ini. Naudzubillaah.


Memang. Kepergian dia menciptakan luka yang begitu menganga.
Memang. Kepulangan dia meninggalkan sesak yang terasa menyembilu.
          Apa pun itu, takkan pernah ada rasa nyaman dengan perpisahan.
          Namun, ternyata memang selalu ada hikmah di balik segala sesuatu. Dan tak dapat dipungkiri bahwa segala sesuatu itu terjadi untuk sebuah alasan.
          Dan di sinilah, Allah kembali menunjukkan kebesarannya padaku, hamba-Nya yang kecil ini. Perpisahan itu membuatku berpikir keras, merenungi, dan menyelami segalanya hingga melahirkan rasa takut yang amat sangat. Yang kemudian ketakutan itu mengantarkanku untuk lebih bertaqarrub padanya. Karena aku sadar, aku juga pasti mati, dan aku tidak tahu bagaimana aku mati.
Setelah kepergian dia, betapa indahnya dan betapa halusnya Allah Yang Maha Pengasih Maha Penyayang membantuku untuk semakin memperbaiki diri dan mendekat pada-Nya. Kemudian, seakan belum cukup Allah menghujaniku dengan kasih sayang-Nya, di momen ini aku merasakan hidupnya surat al-Baqarah ayat 186. Ya, Allah itu dekat. Sungguh dekat. Seperti banyak dikatakan, jika kita berjalan mendekat pada Allah, maka Dia akan berlari ke arah kita. Allah memelukku :”)))
Kemudian aku teringat surat al-Baqarah ayat 216 yang artinya:
... Boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagimu, dan boleh jadi (pula) kamu menyukai sesuatu, padahal ia amat buruk bagimu; Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui.
 al-Quran tidak pernah salah. Lewat kepastian Allah yang datang mengejutkan itu, Allah menunjukkan kepadaku satu per satu bukti nyata dari kalam indah-Nya. Dan beginilah jika tangan Allah sudah bekerja, perpisahan yang menyakitkan pun terasa indah selama kita menggenggam dan tidak pernah melepaskan husnuzan di lubuk hati dan di belakang kepala.


          Yaa Allah, sungguh, apa pun yang terjadi, aku tidak sedih lagi karena tidak ada dia. Jika pun sedih, itu bukan karena aku kehilangan sosok dia, melainkan sesal karena aku belum cukup berbuat baik kepadanya. Belum ada yang sempat aku buktikan padanya.
          Yang bisa dilakukan saat ini adalah mengiriminya doa tanpa henti. Bukankah doa anak shaleh dan shalehah untuk orang tuanya adalah salah satu dari tiga hal yang terus mengalir ke alam kubur? Ah, sudahkah aku menjadi anak shaleh? Karena tidak tahu, kalau begitu aku harus berusaha menjadi anak shalehah, untuk diriku sendiri, untuk menjadi hamba yang dekat dengan Allah, dan juga agar doa-doaku sampai untuk dia di sana. Nah, kan? Mungkin ini adalah salah satu cara Allah menarikku untuk senantiasa memperbaiki diri tanpa henti. Berhusnuzan itu indah :)))
         

          Untuk kita semua, mari kita memperbaiki diri, mengumpulkan kebaikan demi kebaikan kepada diri sendiri atau pun kepada orang lain di luar diri kita, terutama orangtua. Sebelum satu dari kepastian hidup itu datang tanpa mengetuk pintu, mengejutkan kita yang entah sedang shalat atau bahkan maksiat, astaghfirullaah.
          Dan mari kita berbuat baik kepada kedua orangtua yang masih ada. Sebelum mereka beranjak tanpa kata. Bertolak tanpa bahasa. Menguapkan banyak kata dalam kepala yang belum sempat kita ucap. Maaf dan sayang.
          Serta, jika orangtua sudah tiada, mari kita sama-sama menjadi anak yang senantiasa terus-menerus meningkatkan keshalehan dan keshalehahan. Bukan, ini bukan berarti kita harus menunggu maut menjemput untuk menjadi anak shaleh dan shalehah. Hanya saja, tanamkan pada diri kita untuk menjadikan kepergian mereka sebagai wake up call agar kita bertransformasi menjadi pribadi yang jauh lebih baik dari sebelumnya. Mari kita rapatkan dengan tak henti-henti merapalkan doa untuk mereka di sana, sebagai pengganti dari kebaikan yang telah kita alpakan saat mereka masih di dunia :”)


Allah. Aku sadar, kebaikan yang sedikit demi sedikit kukumpulkan belum apa-apa jika dibandingkan dengan gunungan keburukanku. Aku juga minta maaf, aku tidak bermaksud mengadakan perhitungan atas setiap kebaikanku. Namun Yaa Allah, aku sangat-sangat-sangat berharap, apapun kebaikan yang kulakukan, semoga tersampaikan untuk kedua orang tuaku. Untuk Bapak yang sudah tak ada, dan untuk Mama yang tinggal jauh di sana. Namun tidak dengan keburukanku. Jangan sampai keburukanku menjadi sesuatu yang akan menghambat kebahagiaan Mama di dunia dan memberatkan Mama juga Bapak di akhirat nanti. Jangan Yaa Allah. Karena sesungguhnya mereka adalah sepasang sosok luar biasa yang telah mendidikku dengan sebaik-baiknya. Kalau pun aku berbuat dosa, itu karena kesalahan yang ada pada diriku. Yaa Rabb, jangan sampai aku tergolong anak yang menjadi fitnah di dunia dan akhirat.



          Akhirul kalam, mudah-mudah ada manfaat atau hikmah yang bisa diambil dari renungan ini.
          Dengan izin Allah yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang.




          AstiNH~

Komentar

Postingan populer dari blog ini

[TASK] Proposal Usaha (Kewirausahaan)

Ini tugas bikin proposal waktu kelas sebelas hihi :3 Gak tau bener gak tau nggak soalnya dulu gak sempet direview sama gurunya -,- Disusun oleh: Asti Nurhayati Sri Isdianti Kelas XI-AP4 SMK Negeri 1 Garut 2012-2013 BAB 1 PENDAHULUAN A. Nama dan Alamat Perusahaan Toko Buku   “27 RADAR” Jl.   Radar   No. 27 Garut B. Nama dan Alamat Penanggung Jawab Usaha Ø     Penanggung jawab 1: Nama : Asti Nurhayati Nurjaman   TTL : Garut, 19 Agustus 1996   Ø      Penanggung jawab 2: Nama : Sri Isdianti TTL : Garut, 12 September 1996   C. Informasi Usaha          Usaha toko buku yang kami kelola ini berada di Jl.   Radar   No. 27, merupakan lokasi yang sangat strategis yang berada di pusat kota Garut ini, bisa dengan mudah dijangkau oleh kendaraan apapun. Juga terletak di antara banyaknya pusat perkantoran serta sekolah-sekolah sehingga menjadi suatu keuntungan tersendiri bagi kami karena berdekatan dengan banyak

[BOOK REVIEW] Sejarah Ekonomi Dalam Islam

بِسْــــــــــــــــــمِ اﷲِالرَّحْمَنِ اارَّحِيم Judul: Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam Penulis:DR. Euis Amalia, M.Ag Penerbit: Gramata Publishing Tebal Buku: xiv + 322 halaman ISBN: 978-602-96565-1-0 Harga: Rp. 69.000,- Sumber gambar: goodreads Ada kesenjangan epistemologi yang mengemuka lebar tatkala ingin menampilkan literatur sejarah pemikiran ekonomi. Nilai fairness dan transparansi seolah sulit untuk dibuka ketika dihadapkan pada siapa menemukan apa karena bermuara pada “otoritas klaim.” Fakta-fakta ironis menyebutkan bahwa seringkali hasil karya ilmuwan muslim kita diabaikan oleh sarjana barat, padahal mereka sendiri secara implisist mengakui banyak karyanya telah diilhami oleh  pemikir Islam atau karya mereka tidak pure lagi karena sebelumnya sudah diketemukan teori oleh sarjana muslim. Hanya bisa dihitung dengan jari penulis-penulis barat yang mengakui bahwa konsep-konsep atau teorinya berasal dari pemikir Islam. Secara simplistis saja,

[BOOK REVIEW] AYAH Tanpa Tapi

Surga juga ada di telapak kaki ayah – pada setiap langkah yang ia ambil untuk terus menyambung nafas dan menumbuhkanmu, ada surga. (Seribu Wajah Ayah – hlm. 16)             Ayah, salah satu bilah tervital dalam hidup yang dikatakan Rasulullah setelah penyebutan Ibu yang diulang sebanyak tiga kali.             Ibu, ibu, ibu, baru ayah .            Repetisi yang menomorempatkan ayah bukan berarti kita harus menomorsekiankan pula sosok itu dalam hidup. Tidak sama sekali.           Memang, kebanyakan figur ayah tidak sama dengan ibu. Jika ibu seakan tak pernah kehabisan agenda kata yang berlalu lalang di telinga kita, beda halnya dengan ayah yang bahkan seolah enggan untuk bersuara walau hanya sekecap. Pun, sering kali kita lebih nyaman bersandar di punggung ibu yang ekspresif dibanding harus bercengkrama dengan sosok ayah yang cenderung defensif.            Meski tidak menutup kemungkinan tidak semua ayah berkarakter begitu, tapi itu juga tak dapat dipungkiri, kan?