Judul :
Rantau
1 Muara
Penulis : A. Fuadi
Penulis : A. Fuadi
Penerbit : Gramedia Pustaka Utama
Tebal Buku : 407 halaman
Cetakan Pertama : Mei 2013
Cetakan Pertama : Mei 2013
ISBN :
979-979-22-9473-6
Harga :
Rp. 75.000,-
Sumber Gambar : goodreads
Sumber Gambar : goodreads
Kepercayaan diri Alif sedang menggelegak. Sudah
separuh dunia dia kelilingi, tulisannya tersebar di banyak media, dan dia
diwisuda dengan nilai terbaik. Perusahaan mana yang tidak tergiur merekrutnya?
Namun Alif lulus di saat yang salah. Akhir ’90-an,
Indonesia diccekik krisis ekonomi dan dihoyak reformasi. Lowongan pekerjaan
sulit dicari. Kepercayaan dirinya goyah, bagaimana dia bisa menggapai
impiannya?
Secercah harapan muncul ketika Alif diterima
menjadi wartawan di Ibu Kota. Di sana, hatinya tertambat pada seorang gadis
yang dulu pernah dia curigai. Ke mana arah hubungan mereka?
Takdir menerbangkan Alif ke Washington DC. Life
is perfect, sampai terjadi tragedi 11 September 2001 di New York yang
menggoyahkan jiwanya. Kenapa orang dekatnya harus pergi? Alif dipaksa
memikirkan ulang misi hidupnya. Dari mana dia bermula dan ke mana dia akhirnya
akan bermuara?
‘Mantra’ ketiga “man saara ala darbi washala”
(siapa yang berjalan di jalannya akan sampai di tujuan) menuntun pencarian misi
hidup Alif. Hidup hakikatnya adalah perantauan. Suatu masa akan kembali ke
akarm ke yang satu, ke yang awal. Muara segala muara.
Rantau 1 Muara adalah kisah
pencarian tempat berkarya, pencarian belahan jiwa, dan pencarian di mana hidup
akan bermuara.
Novel ini adalah buku ketiga dari trilogi Negeri
5 Menara yang ditulis A. Fuadi, novelis asal Minang yang pernah tinggal di
Washington DC, London, Quebec, dan Singapura.
Bertualanglah sejauh mata memandang.
Mengayuhlan sejauh lautan terbentang.
Bergurulah sejauh alam terkembang.
Alhamdulillah. Trilogi 5 Menara sudah selesai semua!
>_<9 Aku sudah menyaksikan perjalanan hidup seorang Alif. Alif yang
berangkat ke Pondok Madani dengan membawa segunduk keraguan di pundak. Alif
yang dipandang sebelah mata karena keinginannya untuk mengenyam pendidikan di
PTN. Hingga Alif yang dibujuk mati-matian oleh ‘lelaki perayu’ dari London agar
bersedia menempat salah satu posisi di kantornya.
Oke, sekarang kita ulas novel berjumlah 407 halaman ini.
Kepulangan Alif dari Kanada, tepatnya Quebec, menjadi pembuka cerita. Setelah
menimba pengalaman luar biasa itu, kepercayaan diri Alif semakin menggelegak.
Bahkan ia pun sempat kembali terbang ke Singapura dan belajar di sana. Kehidupan
sehari-harinya pun stabil. Bukan sekadar kebutuhannya yang tercukupi, bahkan ia
bisa mengirim sejumlah uang untuk sang Amak di kampung halaman. Ini karena Alif
menjadi penulis tetap di beberapa koran lokal Bandung.
Hingga kemudian, waktu bukan hanya mengantarkannya pada hari wisuda,
tapi juga menempatkan Alif di suatu kondisi yang cukup tak menguntungkan. Ia
lulus bertepatan dengan krisis ekonomi yang menggurita di Indonesia. Alhasil, lamaran
demi lamaran yang ia layangkan mendapat penolakan. Bukan hanya itu, pihak koran
pun memutus kontrak kerja sama dengannya karena turut terkena imbas krisis
tersebut. Padahal pada saat itu, sumber penghasilan yang dimiliki Alif hanya
dari koran tersebut.
Keadaan pun berubah.
Pekerjaan yang tak kunjung berlabuh. Tabungan yang semakin meramping. Tagihan
biaya kost yang menggedor-gedor di balik pintu. Hingga teriakan debt
collector yang menagih utangnya.
Alif tak pernah menyangka akan melalui kondisi semacam itu.
Sampai pada suatu hari, percakapan dengan Randai mengingatkannya pada
satu mantra, yakni Man saara ala darbi washala. Seperti Randai yang fokus
selama bertahun-tahun di bidang teknik, maka Alif memutuskan untuk berjalan di
jalan yang sebenarnya sudah sangat lama ia tempuh, yakni menulis. Dengan tekad
tersebut Alif lalu melayangkan surat ke beberapa kantor dan di Derap-lah
akhirnya ia berlabuh.
Di Derap, banyak hal baru dalam hidupnya bermulai.
Mulai dari menyandang gelar doktor bersama Pasus, teman
sekantornya. Doktor yakni mondok di kantor. Hingga bertemu dengan seorang gadis
yang di waktunya nanti, menjadi perempuan yang ia pilih untuk menjadi
pendamping hidup. Dia adalah Dinara. Tokoh Dinara ini sempat diceritakan, hanya
sekali, dalam buku sebelumnya, yaitu Ranah 3 Warna. Dan yang tak kalah
mengejutkan adalah Alif berhasil menyabet salah satu beasiswa bergengsi, yakni
beasiswa Fulbright di George Washington University, USA!
Merantaulah ia dan Dinara ke sana. Meniti rumah tangga dari nol, di mana
mereka hanya mampu membeli baju di tempat yang terbilang murah, sampai mereka
bisa mencapai posisi DINK, yaitu golongan Double Income No Kid di sana.
Selain itu, di sana Alif menemukan keluarga baru pula, salah satu dan yang
terbaik di antaranya adalah Mas Garuda. Hiks sedih asli. Alif dan Dinara juga
turut menjadi saksi dan menjadi koresponden langsung untuk Indonesia atas peristiwa
11 September 2001, yang bukan hanya memporakporandakan New York, namun juga meluluhlantakkan
hatinya.
Seperti dua buku sebelumnya yang datang dengan ‘mantra’nya masing-masing,
pun dengan buku ketiga ini dengan man saara ala darbi washala-nya, yakni,
siapa yang berjalan di jalannya akan sampai di tujuan. Makna dari mantra ini
terinterpretasi secara jelas dan gamblang melalui perilaku seorang Alif. Alif
yang pada awalnya kebingungan karena tak kunjung memperoleh pekerjaan. Namun berlabuh
di Derap saat ia memantapkan diri untuk terjun ke dalam dunia tulis-menulis
yang paling sering ia geluti ketimbang bidang yang lain. Lalu, Alif yang
konsisten harga mati dengan terus-terusan menenteng buku TOEFL-nya kemana-mana,
sampai akhirnya, karena ketekunannya itu ia berhasil terbang ke USA. Negara
yang selalu ia angankan di bawah menara saat nyantren di Pondok Madani!
Man saara ala darbi washala ini mungkin bisa
disebut juga dengan menspesialisasikan diri dalam bidang tertentu ya? Tentunya
diracik dengan man jadda wa jada yang ruang antara sungguh-sungguh dan
suksesnya diisi dengan sabar, man shabara zhafira.
Ya.
Rantau 1 Muara ini menjadi novel yang menggenapkan perjalanan hidup Alif
yang tergores dalam dua buku yang telah lebih dulu lahir. Menjadi muara setelah
dengan ogah-ogahannya Alif berangkat ke Pondok Madani, bertemu dengan Sahibul
Menara di sana, dipandang sebelah mata karena keinginannya masuk PTN, menjejakkan
kaki di tiga ranah yang berbeda, mengalami patah hati pertama di hari
wisudanya, terkatung-katung karena sulitnya mencari pekerjaan, berlabuh di
Derap, bertemu dengan Dinara yang kemudian mendampinginya di Amerika, yang
kemudian Alif harus kembali ke muara yang sesungguhnya. Muara dari segala
muara.
Muara yang ia tempuh setelah dengan uletnya mendayung dengan sungguh-sungguh
dan sabar.
What a really inspiration story of life!
Yang aku suka adalah, dari buku awal sampai ini yang terakhir, selalu
diceritakan bahwa Alif dan Randai adalah karib sekaligus rival. Lawan yang
berkawan, hihi. Karena saat satu sama lain tak ingin merasa kalah, justru
atmosfer persaingan panas itulah yang membuat perjalanan hidup mereka melejit
dengan caranya masing-masing. Sosok Randai itu ada asli nggak, ya? Hehe. Raisa
juga, apa mereka ada?
Yang pasti, dari banyaknya teman Alif dengan latar belakang yang
berbeda-beda, yang menjadi favorit aku adalah para Shahibul Menara! ^.^b
Apalagi ya?
Aku ulas juga cara penulis memaparkan guliran ceritanya?
Hem masih sama kok seperti yang sudah aku jelaskan pada review buku-buku
sebelumnya.
Komentar
Posting Komentar